YakusaBlog- Dia dikenal sebagai sosok yang pernah menduduki berbagai bidang. Letjen (Purn.) Achmad Tirtosudiro berperan penting dalam mengembangkan Badan Usaha Logistik (BULOG) sebagai penyangga stabilitas pangan nasional. Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) dan menjabat sebagai Dubes RI untuk berbagai negara (Arab Saudi, Yaman dan Oman). Terakhir, Achmad Tirtosudiro menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1999-2003). Mantan Pj. Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) periode 1997-2000. Dan ia juga berperan dalam mengantarkan BJ. Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia.
Terkait dengan HMI, pria kelahiran Plered, Purwakarta, 8 April 1922, ia
merupakan salah satu tokoh penting dalam mengawali berdirinya dan berkembangnya
HMI. Achmad Tirtosudiro menggantikan H.M.S. Mintaredja sebagai Ketua Umum PB
HMI pada tahun 1948. Ketika itu, dia merupakan mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pada saat menjadi Ketua Umum PB HMI, dia juga terpilih sebagai Ketua Umum
Perhimpunan Pemuda Mahasiswa Indonesia (PPMI). Bersama rekannya sesama aktivis
HMI lainnya, termasuk Dahlan Ranuwihardjo. Achmad Tirtosudiro pun membentuk dan
terlibat aktif di Corps Mahasiswa
(CM) sebagai wadah para mahasiswa angkatan bersenjata melawan penjajah yang
hendak kembali ke bumi pertiwi ini, termasuk untuk melakukan penumpasan
terhadap pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.
Achmad Tirtosudiro terlahir dalam lingkungan santri dan sering
berpindah-pindah sekolah mengikuti tugas ayahnya. Ia tidak kenal lelah, “dari
subuh hingga larut malam penuh dengan aktivitas, dari kuliah, bekerja, dan
mengurus organisasi.” Kepemimpinannya di HMI berakhir ketika dia terpaksa harus
meninggalkan Yogyakarta, mengingat tugasnya sebagai ketua Local Joint Commite (LJC) VI Jawa Barat.
Hal itu sejalan dengan tuntutan dan penggilan dinas militer, bahwa setelah
hijrah ke Yogyakarta, Divisi Siliwangi diharuskan segera kembali ke Jawa Barat.
Meskipun demikian, dia tetap memilih peran penting dalam menjaga eksistensi
HMI, terutama pada fase kritikal tahun 1960-an. Ketika itu, Panglima Angkatan
Darat (AD) Jenderal Achmad Yani menugaskan Achmad Tirtosudiro untuk “membina
HMI”. terutama melalui dirinyalah, hubungan HMI dan Angkatan Darat terjalin
erat, pada suatu masa ketika kekuatan Komunis berkembang secara mencemaskan.
“Saya tidak pernah bermimpi, HMI akan menjadi sedemikian besar,” kata
Achmad Tirtosudiro sebagaimana dikutip wartawan Kompas, Ely Roosita (1990). Achmad Tirtosudiro memang memili latar
belakang kemiliteran. Pada tahun 1944, ia berlatih dasar-dasar militer di Chou Seinen Kurensho. Pada 1947-1948, ia
mengikuti pendidikan di UGM dan aktif di HMI, namun akhirnya lebih memilih
karir di kemiliteran. Berbekal kuliah hukum di UGM, ia sempat menduduki kursi
hakim perwira untuk mengadili para prajurit pada 1952. Sebelumnya, Achmad
Tirtosudiro pernah bekerja di Jawat-an Kereta Api. Di situ, dia pun menjadi
Komandan Kompi Tentara Republik Kereta Api (TRIKA).
Religius dan
Pembelajar
Menurut kesaksian Dahlan Ranuwihardjo, Achmad Tirtosudiro dikenal taat
beribadah. Ini menunjukkan bahwa dia berjiwa religius. “Motivasi berprestasi
yang dimiliki Achmad merupakan suatu implikasi logis dari keyakinannya yang
kuat terhadap ajaran Islam,” catat Berliana Kartakusumah dalam bukunya, Pemimpin Adiluhung, Genealogi Kepemimpinan
Kontemporer (2006).
Dia juga manusia pembelajar. Menurut Kartakusumah, “Kesediaan Achmad untuk
belajar dari siapapun ditunjukkan dalam ketekunannya menjadi anggota pengajian
rutin yang dilaksanakan oleh Yayasan Paramadina, walaupun pada saat bersamaan,
Achmad adalah Ketua Dewan Penasihat Yayasan tersebut.
Penguasaan bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif, ditambah
penguasaan bahasa Perancis dan bahasa Arab secara pasif, serta bahasa daerah
Sunda secara aktif dan bahasa Jawa secara pasif, secara keseluruhan merupakan
bukti tentang kuatnya motivasi berprestasi yang dimiliki Achmad dalam
kesehariannya.
Kartakusumah mencatat, sebagai sosok pemimpin, kemampuan intelektual Achmad
Tirtosudiro menonjol: (1) Kemampuan berpikirnya yang kuat, sistematis dan
futuristik; dan (2) wawasan pemikirannya yang luas dan komprehensif, meliputi
pemikiran-pemikiran keislaman, kebangsaan, ekonomi, pendidikan, politik,
manajemen, hubungan internasional, dan pemikiran kebudayaan.
Sosok yang menurut Padamulya Lubis: “Hidupnya tak pernah lepas dari
perjuangan” ini, pun tak luput dari banyaknya penghargaan yang diterimanya.
Achmad Tirtosudiro mendapatkan 12 bintang jasa dari Pemerintah Yugoslavia dan
Republik Federal Jerman. Pria yang bernama asal Mohammad Irsyad dengan
panggilan Mamit ini tutup usia pada 9 Maret 2011 dan dimakamkan di samping
makam istrinya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[]
Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT. Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi,
2016, hal: 31-34.
Ket. gbr: Achmad Tirtosudiro
Sumber: https://nasional.tempo.co/
Ket. gbr: Achmad Tirtosudiro
Sumber: https://nasional.tempo.co/
No comments:
Post a Comment