YakusaBlog- Secara fungsional, hadis atau sunnah adalah sumber hukum yang kedua sesudah
Al-Qur’an, yaitu sebagai bayan atau
penjelas, penegas, dan memuat ketentuan hukum yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an.
Pada dasarnya, Al-Qur’an merupakan ketentuan global yang diwahyukan Allah Swt.
kepada Rasul-Nya.
Di kalangan ulama, Al-Qur’an disebut wahy
matlu (wahyu yang dibacakan Allah Swt. dengan lafal dan maknanya dengan
menggunakan bahasa Arab kepada Rasul-Nya), dan Hadis disebut wahy gair matlu (wahyu yang tidak
langsung dibacakan Allah Swt. kepada Rasul-Nya).
Hadis adalah perincian ketentuan agar Al-Qur’an itu dapat dioperasionalkan,
lebih-lebih pada ketentuan hukum yang bersifat amali dan perinciannya tidak
tercantum dalam Al-Qur’an, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
Misalnya, pelaksanaan Shalat hanya diperintahkan secara global. Oleh karena
itu, tata cara dan pelaksanaan shalat secara terperinci hanya dapat diketahui
melalui hadis Rasulullah Saw.
Di samping itu, hadis merupakan penegas Al-Qur’an. Artinya, hadis berfungsi
menegaskan ketentuan yang sudah diterangkan Al-Qur’an. Ketentuan hukum yang
tercantum dalam Al-Qur’an tidak selamanya hanya diterangkan dalam Al-Qur’an
tanpa ada penegasan dari hadis. Ketentuan hukum yang seperti ini ada banyak. Umpamanya,
Al-Qur’an menentukan bahwa awal puasa Ramadhan harus bertepatan dengan awal
bulan Ramadhan. Ketentuan ini sudah secara eksplisit ditentukan Al-Qur’an,
sebagaimana tercantum dalam surah Al-Baqarah
ayat 185. Rasulullah Saw. sendiri dalam suatu hadis bersabda, “Puasalah kalian
ketika melihat bulan dan berharirayalah pula ketika melihat bulan” (HR.
Bukhari).
Aspek lain ialah hadis yang menerangkan ketentuan hukum yang tidak tercantum
dalam Al-Qur’an; artinya, hadis menentukan hukum secara mandiri yang tidak
diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Hadis merupakan tambahan hukum selain yang ada
dalam Al-Qur’an. Umpamanya, Imam Bukhari meriwayatkan hadis Rasulullah Saw.
tentang haramnya puasa bagi seorang perempuan yang sedang haid. Larangan puasa
bagi perempuan yang sedang haid itu hanya ada dalam hadis, tidak ada dalam
Al-Qur’an. Hukum yang ditentukan dalam hadis secara mandiri amat banyak.
Dalam kaitan tersebut, timbul persolan lain apabila suatu hadis tampak
bertentangan dengan kandungan Al-Qur’an, padahal sanad hadis itu shahih. Ulama menyelesaikan
masalah seperti ini dengan takwil (memberi makna metaforis) hadis itu atau
menggugurkannya, dengan ungkapan bahwa matan hadis itu dhaif.
Pendapat ini belum disepakati ulama. Pengguguran hadis seperti itu pernah
dilakukan oleh Umar dan Aisyah dari kalangan sahabat, dan Imam Malik dari
kalangan átba’ tabi’in. Kebanyakan ulama
Persatuan Islam dan Muhammadiyah di Indonesia mengambil jalan dengan menyebut
sanahnya shahih dan matannya dhaif.
Sepanjang sejarahnya, sejak zaman klasik Islam sampai sekarang, pandangan
para pemikir terhadap hadis memunculkan kelompok yang disebut inkarsunah
(penolak sunnah). Kelompok semacam ini muncul sejak Imam asy-Syafi’i, sehingga
ia perlu menyusun kaidah ilmiah yang berkaitan dengan penentuan status hadis. Kelompok
penolak sunnah ini ada empat kategori, yaitu kelompok yang menolak sunnah sama
sekali karena sudah merasa cukup dengan Al-Qur’an; kelompok yang hanya menerima
hadis mutawatir, kelompok yang hanya
menerima hadis yang sejalan dengan ayat Al-Qur’an; dan kelompok yang
mensyaratkan keberadaan sanad hadis sampai sekarang, walaupun hadis tersebut
sudah tercantum dalam kitab hadis. Menurut kelompok ini, hadis tersebut harus manqul (dikutip atau diterima secara
langsung melalui periwayatan) dari guru untuk selanjutnya dapat diamalkan.
Selanjutnya, mazhab Syiah mempunyai kriteria tersendiri dalam menentukan
konsep hadis shahih, sebagaimana telah disinggung di atas. Kitab hadis yang
menjadi rujukan utama mazhab Syiah berbeda dari mazhab Sunni. Kitab Musnad ‘Ali Rida (semua hadis yang
tercantum di dalamnya bersumber dari Imam Ali Rida dari ahlullbait) dan Kitab al-Kafi (Kitab yang Memadai) karya al-Kulayani
(w. 941) merupkan dua kitab penting di kalangan penganut mazhab ini.
Meskipun demikian, penganut mazhab ini adakalanya mengambil rujukan dari
kitab hadis yang digunakan oleh kalangan Sunni, seperti kitab Kutub as-Sittah. Namun, kesepakatan mayoritas
ulama dari berbagai mazhab Islam mengenai hadis atau sunah sebagai sumber
ajaran Islam kedua sesudah Al-Qur’an merupakan hal yang penting. Namun, ada
sebagian kecil mazhab yang tidak menyetujuinya, khususnya menyangkut
perinciannya.[]
Sumber bacaan:
Prof Dr. Taufik Abdullah, dkk (editor), Eksiklopedi
Tematis Duni Islam jilid 4. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Hal. 63-64.
No comments:
Post a Comment