YakusaBlog- Mungkin banyak di keluarga kita (HMI dan KAHMI) pabila membaca tulisan ini akan merasa gerah. Tidak menutup kemungkinan beberapa orang akan mengecam, mengatakan tulisan ini emosional, tanpa data akurat dan semakna lainnya. Mungkin juga ada yang mengklaim bahwa penulisnya hipokrit atau bisa juga menuduh "barisan sakit hati" atau apalah itu. Bisa jadi ada yang menuduh telah menjelekkan nama baik HMI.
Akan tetapi, penulis yakin sekali masih ada yang menanggapinya dengan rasional dan obyektif. Tidak membenci tulisan ini dan juga penulisnya. Jika itu tidak dari HMI sendiri, bisa jadi dari mereka yang mencintai HMI walau tidak bergabung dalam HMI dan KAHMI.
Terkait mengenai nepotisme di negeri kita ini - tepatnya di masa Orde Baru (Orba)- nepotisme pernah tumbuh subur bersama saudaranya; Korupsi dan Kolusi. Sehingga, salah satu tuntutan reformasi adalah menghapuskan tiga bersaudara ini (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme - KKN) dari ruang birokrasi dan atau pun dari ruang pemerintahan. Hingga sampai saat ini, KKN ini masih tumbuh subur bahkan menjadi sebuah budaya buruk. Budaya buruk ini pun ada yang diperankan oleh oknum dari organisasi-organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan, seperti oknum HMI-KAHMI. Di samping ia (HMI-KAHMI) berperan membangun bangsa dan negara, nepotisme HMI juga tumbuh subur di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lainnya.
Sebelum kita membahas tumbuh suburnya nepotisme HMI di Indonesia ini, tanpa maksud menggurui, alangkah lebih baiknya kita pahami kembali awal mula nepotisme itu secara terminologi, etimologis dan bagaimana histori awalnya sehingga nepotisme ini menjadi budaya buruk dalam sebuah negara.
Baca juga: Gagal Paham! Badko HMI Menolak Kongres HMI
Sudah menjadi pemaknaan yang populer bahwa nepotisme adalah lebih memilih atau mengangkat seseorang dari saudara, teman akrab dan atau kelompoknya berdasarkan hubungan (relationship) bukan berdasarkan kemampuan (Skill).
Jika boleh memberi contohnya, seperti pengangkatan seseorang atau pemilihan seseorang untuk mendapatkan jabatan atau profesi, atau bisa juga bekerja di kantor-kantor pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan, dan sejenisnya, yang diangkat atau yang dipilih ialah berdasarkan hubungan bukan kemampuan. Walau katanya sudah ada ujian seleksi dengan ketat, toh sering juga terjadi Kong kali Kong (settingan) di balik layar supaya lulus. Ujian seleksi hanya formalitas belaka. Bahkan, ada yang mengandalkan orang dalam, rekomendasi seseorang yang berpengaruh dan dengan uang. Akhirnya sepaket; KKN, dijalankan. Akibat budaya ini, sering kali terjadi yang diangkat atau yang dipilih dan atau yang diluluskan bukan mengurangi masalah, akan tetapi menambah masalah.
Secara etimologisnya, nepotisme ini berasal dari bahasa Latin; Nepos. Arti Nepos ini "Keponakan" atau "cucu". Yang intinya adalah hubungan (relationship), baik sedarah maupun tidak sedarah.
Secara historisnya, pada Abad Pertengahan beberapa Paus Katolik dan Uskup yang telah mengambil janji "chastity", sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri.
Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktik seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XIII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu (kualitas atau kemampuan) dapat dijadikan seorang Kardinal. (wikipedia.org).
Jika hal di atas nepotisme pernah terjadi di belahan Eropa, sebelumnya di belahan Timur Tengah pernah membudaya nepotisme setelah masa Khalifah Rausyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) habis kemudian berdiri dinasti Umayyah, Abbasiyah dan dinasti-dinasti lainnya.
Di negeri kita sendiri, setelah menjadi Indonesia, tumbuh subur di masa Orba, hingga sampai hari ini walau tidak berbentuk dinasti. Dan HMI-KAHMI, sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas tadi, berperan menyuburkan nepotisme. Yang akibatnya, tidak sedikit masyarakat kecewa kepada HMI-KAHMI (secara oknum) yang memegang sebuah jabatan birokrasi atau lembaga-lembaga pemerintahan.
Di HMI sendiri, kita sering mendengar "HMI yang membangun negara ini, HMI juga yang merusak negara ini." Kalimat ini sudah sangat familiar bahkan yang bukan HMI juga telah mengucapkan ini.
Entah kapan budaya nepotisme ini tertanam di kepala Kader-kader dan Alumni-alumni HMI? Mengangkat atau memilih berdasarkan kedekatan, karena satu organisasi, satu bendera dan satu keluarga di HMI. Sudah jadi membudaya mengandalkan orang dalam dari HMI sendiri dan mengandalkan rekomendasi atau bekapan dari HMI-KAHMI yang menjadi tokoh berpengaruh. Bukan berdasarkan kemampuan (skill) atau pun prestasi.
Dapat kita pastikan, oknum HMI-KAHMI yang masih memegang erat nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai yang diajarkan di HMI pasti tidak akan membudayakan nepotisme. Tapi hari ini, hanya sedikit yang menerapkannya. Budaya nepotisme HMI jauh lebih subur, mengangkat atau memilih berdasarkan hubungan, bukan prestasi.
Cak Nur sering memperingkatkan hal ini. Jangan memilih atau mengangkat karena prestise, tapi angkat dan pilihlah berdasarkan prestasi. Sehingga, jika seseorang berprestasi atau memiliki kemampuan di bidang yang dibutuhkan, itulah yang diangkat atau dipilih. Siapapun itu, tidak harua orang HMI-KAHMI.
Baca juga: HMI Ukir Rekor Dunia
Kiranya kita dapat mencontoh Lafran Pane yang tidak mau mempraktikkan nepotisme seperti yang diceritakan Syafi'i Ma'arif ketika hendak masuk kuliah di kampus Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS). Pada masa itu Lafran memegang jabatan strategis sebagai Pembantu Dekan I di fakultas tersebut. Saat Syafi'i meminta bantuan supaya diterima di fakultas tersebut, Lafran tidak langsung menerimanya. Akan tetapi, setelah melihat kegigihan, usaha, prestasi dan keinginan kuat Ma'arif untuk belajar di IKIP Yogyakarta (Sekarang Universitas Negeri Yogyakarta - UNY), baru kemudian Lafran Pane menerima Ma'arif.
Syafi'i Ma'arif sebelumnya sudah menjadi Kader HMI saat kuliah di Solo. Walau sama-sama HMI, Lafran Pane tidak mau bernepotisme. Karena HMI sendiri harus menjauhkan diri dari budaya buruk itu (baca: nepotisme).
Jika boleh saya mengkritik, saat ini banyak terjadi budaya nepotisme di tubuh HMI itu sendiri dari segi struktural. Tidak perlu kiranya saya jelaskan secara detailnya di sini. Takut membuka luka sudah membusuk. Mungkin ini juga bagian daripada akar-akar nepotisme HMI masa kini.
Seharusnya, jika pun kita ingin mengangkat atau memilih oknum dari HMI-KAHMI, kiranya karena kemampuan dan prestasinya. Sehingga tidak melukai banyak orang-orang di luar HMI. Sehingga di HMI juga bukan tempat menyemai bibit-bibit KKN dan Oligarki.
Bagi kita yang masih aktif berproses di HMI, kiranya kita meningkatkan kualitas, kemampuan dan juga prestasi di bidang yang kita inginkan. Tidak perlu sibuk sana dan sibuk sini untuk mengemis jabatan ataupun profesi pekerjaan kepada Senior-senior/Alumni-alumni HMI. Marilah kita mulai dengan kejujuran. Bukan dengan seleksi yang sudah kong kali kong.
Baca juga: Saddam dan Arya Tak Perlu Dipecat
Untuk para Senior-senior atau pun Alumni-alumni HMI yang memiliki jabatan strategis dalam sebuah lembaga, tanpa maksud hendak menggurui, angkat dan atau pilihlah seseorang benar-benar berdasarkan kemampuan dan prestasinya dalam bidang yang dibutuhkan tersebut. Bukan harus dari oknum HMI-KAHMI, tapi juga dari masyarakat luas.
Demikianlah (menjauhi nepotisme - KKN) salah satu cara kita membangun integritas HMI di mata bangsa, umat dan dihadapan Tuhan yang kelak kita pertanggungjawabkan. Mudah-mudahan![]
Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
No comments:
Post a Comment