Terkadang Ber-HMI Itu Memang Menyebalkan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday 19 December 2019

Terkadang Ber-HMI Itu Memang Menyebalkan


YakusaBlog- Pernah seorang kader menghampiriku dengan muka masam entah macam apa. Kutengok-tengok mukanya udah kayak angka lapan. Kutanya-tanya dia kenapa jawabannya pun entah apa. Kukorek-korek terus, rupanya dapatlah sebab musababnya.

Eh rupanya dia tak terima kalau jabatannya di kepengurusan tak jadi Ketua Bidang, bahasa kerennya Kabid. Keren kan kalau dipanggil Bid.... Bid.... Bid... Untungnya tak jadi kreta (motor). Ia gondok karena kawan satu angkatannya semasa LK I udah jadi Bid... Bid... Bid. Sedangkan dia dibuat Ketua Umum Komisariatnya sebagai Wakil Sekretaris Umum. Kan kurang keren kalau di singkat Wasek... Wasek... Wasek. Dipanggil sebutan ujungnya terdengar tak bagus. Bisa kena dampar muka awak apalagi diucapkan depan senior-senior yang selalu ingin maha benar.

Kalau disingkat Wasekum, kemudian dipanggil Kum... Kum... Kum, itu udah sapaan keren Sekretaris Umum jadi Sekum yang dipanggil sering Kum... Kum... Kum. Untung saja tidak dipanggil kumur-kumur atau kumat-kumat.

Aku pun jadinya bingung. Menjadikannya kayak yang diinginkannya, apalah dikata. Awak tak berani mengintervensi. Karena mengintervensi tidak membuat kader jadi baik. Awak bukan Ketum, mana mungkin mencampurinya. Jadi, aku pun terus memutar-mutar otak memikirkan apa kata atau bagaimana caraku menanggapi curhatannya yang mukanya entah udah macam apa.

Setelah memutar-mutar kepala, mencoba merasakan apa yang dirasakannya. Apa yang terjadi padanya tentu udah banyak dirasakan oleh kader-kader, baik tingkat Komisariat hingga PB HMI. Syukurnya pada orang kuceritakan ini tak pala membuat Komisariatnya jadi dualisme, walau ia banyak pengaruhnya sebab kepandaiannya berteman.

Aku pun mendapatkan sesuatu yang harus kuceritakan padanya. Sebelum aku bercakap-cakap, kutinggal ia sejenak. Aku masuk ke kamar, kemudian kubuka lemariku. Kuambil dua buah buku. Buku pertema lebih tebal dari buku kedua. Kupindahkan dan kusuruh dia membaca buku itu tanpa idiom, "Orang meminjamkan buku adalah orang bodoh. Dan orang yang mengembalikan buku adalah orang gila."

Kuberi ia limit waktu dua Minggu untuk melahap dua buku itu. Ia begitu senang kali saat menerimanya. Nampaknya ia seorang kader yang suka baca buku. Memang benar, kudengar-dengar cerita bahwa ia kader yang sangat cerdas dan luas wawasannya.

"Coba kau baca ini semua. Kau akan tau apa yang kau alami saat ini belum mempan dengan yang di alami Lafran Pane."

"Kenapa rupanya Lafran Pane, Bang?"

"Kau bacalah dulu. Nanti kalau udah siap baru kita diskusikan."

"Asyiaaaapppp, Bang." Senyum bibirnya.

***

Hari berganti hari, tidak terasa rupanya sudah dua Minggu kurang. Kader itu pun datang menghampiriku. Aku pikir ia akan datang dengan muka cerah meriah. Eh....rupanya, mukanya masam lagi entah macam apa.


"Kenapa lagi kau?"

"Tak kenapa-kenapa, Bang."


"Jadi mukamu udah kayak macam apa."


Ia pun mulai bercerita. Dalam ceritanya ia tidak lagi mau gila jabatan. Tak pala harus di panggil Tum... Tum, Kum... Kum, Dum..., Dum, dan atau Bid..., Bid. Lafran Pane saja pernah mengikhlaskan jabatannya untuk seorang kader yang baru masuk langsung jadi Tum..., Tum. Bahkan pernah dari Sekretaris I jadi Sekretaris II. Kalau kita tarik ke sekarang dari Sekum atau Sekjend jadi Wasekum atau Wasekjend. Padahal, Lafran Pane pendiri HMI, tapi ia tidak gila jabatan tapi tetap menjaga HMI. Tak pala buat dualisme itu Lafran.

Dengan kisah Lafran Pane itu, katanya membuat ia semangat ber-HMI lagi. Tak pala harus berjabatan strategis yang penting berproses dan mengabdi pada ummat, bukan pada pejabat. Dan macam lagi kata-katanya yang membuat ia semangat.

"Jadi kenapa mukamu tidak bersemangat?"

Ia terdiam dan menunduk. Bukan terdiam karena intervensi atau ketakutan, bukan pula menunduk pada kekuasaan atau yang berjabatan.

Lama jarum jam berdetik. Akhirnya pun membuka mulut. Katanya, kadang-kadang ber-HMI itu menyebalkan. Orang-orang baik dan berkualitas di HMI ini dibuang serta disingkirkan. Tidak sedikit yang membuat HMI alat politik praktis dengan menggadaikan independensinya serta norma-norma di HMI.

Tidak sedikit juga kader-kader yang jauh dari pelaksanaan sebagaimana visi-misi HMI. Sikut-sikutan untuk merebut kursi Tum-tum. Lobi-lobi babi biar jadi Kum-kum. Atau barjen-barjen biar mendapatkan Dum-Bid. Prestasi bukan lagi indikator jadi indikotor yang harus dibersihkan. Macam-macamlah pokoknya.

Belum lagi Tum-tumnya, serta yang lainnya lebih sibuk bahas-bahas politik praktis seolah-olah Timses. Mendadak jadi pengamat politik, sok-sok jadi konsultan, padahal urusan internal tidak motan di urusi.

"Kadang-kadang ber-HMI ini menyebalkan, Bang." Katanya padaku. "Dan aku pun menyebalkan karena belum dapat bersungguh-sungguh di HMI." Lanjutnya.

Aku diam  seribu kata. Ia tersenyum lebar hingga terlihat semua giginya. Memang dasar menyebalkan![]





Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut).


Sbr.gbr: https://m.facebook.com/mpohmi/photos/

No comments:

Post a Comment