Dari Menjemput Kematian HMI Sampai Tolong 'Jangan Bergabung di HMI' - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday 28 July 2019

Dari Menjemput Kematian HMI Sampai Tolong 'Jangan Bergabung di HMI'

YakusaBlog- Dalam satu pekan ini muncul dua bahan literasi yang amat menarik, ia tidak kalah dari kondisi politik pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Aku katakan amat menarik karena, Pertama, menarik banyak perhatian Warga Insan Cita. Kedua, mengandung penilaian kontroversial, ada yang suka dan ada yang tidak suka, ada yang sepakat dan ada yang tidak sepakat, ada yang merasa terwakili kegelisahannya terkait kondisi HMI saat ini dan ada yang merasa tersinggung. Ketiga, memang sangat menarik untuk dibahas, mengingat keberanian dua kader HMI yang menuliskannya.

Dua bahan literasi itu adalah, yang pertama terkait video puisi yang berjudul Menjemput Kematian HMI, karya seorang HMI-Wati. Yang kedua yaitu artikel yang berjudul Tolong ‘Jangan Bergabung di HMI’ karya seorang HMI-Wan. Mohon maaf aku tidak akan menerangkan kedua kader tersebut mengingat karena aku tidak mengenal dekat, kecuali pembuat puisi itu. Dan juga demi kerahasiaan mereka serta aku bermaksud mengundang penasaran yang belum mendengarkan puisi dan juga belum membaca artikel tersebut.

Dalam kesempatan kali ini, aku hanya menanggapi atau sedikit memberikan komentar terkait viralnya dua bahan literasi tersebut. Setiap orang tentunya mempunyai tanggapan sendiri terkait itu. Sebagai seorang kader, tidak puas rasanya hanya mendengarkan puisi dan membaca artikel tersebut tanpa terlibat juga untuk memberikan tulisan tanggapan ataupun berupa komentar. Baiklah, aku akan memulai dari menanggapi puisi karya seorang HMI-Wati itu dulu, kemudian baru karya tulisan HMI-Wan yang kusebutkan judulnya tadi.

Puisi Menjemput Kematian HMI

Mendengarkan puisi Menjemput Kematian HMI itu, aku teringat pada puisiku yang berjudul HMI Terkubur, yang jauh hari telah dimuat di Yakusa Blog. Saat mendengarkan, di sela-sela kesibukan mengelola Intermediate Training atau Latihan Kader II (LK II) HMI Cabang Persiapan Deli Serdang, Badko Sumatera Utara, beberapa hari lalu, aku merasakan keresahan dan kegelisan pengarang puisi itu melihat kondisi HMI saat ini. Baik itu dari tingkat terendah hingga tertinggi. Baik itu secara internalnya maupun eksternalnya. Baik itu secara kader-kader yang masih aktif maupun yang sudah meninggal, maksudku meninggalkan HMI.

Mohon maafku pada pembaca, aku agak malas mengutip isi puisinya dalam tulisan ini, langsung saja mengunjungi akun media sosial online (Instagram-nya). Jika kamu tidak tahu akun media sosialnya, tolong tanyakan pada temanmu. Jika temanmu tidak tahu, tolong tanyakan pada Pengurus-pengurus HMI yang di struktural HMI, baik di Komisariat hingga PB HMI. Jika mereka juga tidak tahu, astaga…, katanya anak melenial, memanfaatkan tekhnologi informasi komunikasi, bagaiamana ini…?

Puisi Menjemput Kematian HMI itu sangat viral nan kontroversial. Menembus gendang telinga, menampar mereka yang mengatakan berjuang demi umat, kader independen, yang katanya ini dan itu, tapi nyata....? silahkan jawab sendiri. Bahkan ada yang bertambah semangat. Seperti aku, bertambah semangat menulis puisi-puisi HMI.

Aku sempat berkomunikasi dengan penciptanya, katanya ada yang mengucapkan terimakasih atas puisi itu, tapi ada juga yang mengata-ngatain dia, dalam arti tidak baik. Orang-orang yang terakhir tadi, mungkin yang tersindir dengan isi puisi tersebut. Kukatakan saja padanya, ingat saja apa kata John F. Kennedy; “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya.” Politik HMI lagi kotor dan bau busuk. Ia jawab, “Siap master”. Eh, tiba-tiba pesanku itu jadi story di Ig-nya. Makasih, udah promot Ig-ku. Followers di Ig-nya pun naik drastis. Dalam pengamatanku, selama dua hari bertamba seribu. Hahahaa…

Bahkan ada yang mengkritisi, maksudnya kritik bernada buruk, mengatakan bahwa kapan pula HMI yang Islam kalau mati memakai peti mati. Aku geli mendengar atau siapa saja yang berkata atau bertanya seperti itu. Dia (orang yang mengkritik itu) tidak memahami bagaimana sastra itu penuh dengan metafor. Anehnya, mereka (orang-orang yang mengkritik) lebih mendebatkan gambar vidionya daripada merenungi isi puisinya. Menurutku itu adalah kader-kader yang simbolik, atau phobi pada simbol-simbol, sebagaimana banyak orang Islam di Indonesia ini mengkritik lambang segi tiga pada masjid yang di rancang oleh Ridwan Kamil. Padahal dalaman yang dipakainya segi tiga juga.

Jika benar-benar memahami kandungan puisi tersebut, kita akan sadar betapa rusaknya HMI saat ini menurut pengarang puisi tersebut. Dari puisi itu pula dapat ditarik semangat untuk kembali menjalankan aktivitas HMI sebagaimana mestinya. Puisi itu jika direnungkan sedalam-dalamnya, sebagaimana dalam syair lagi dangdut; sedalam-dalamnya lautan India, mengajak supaya kita sadar dan kembali pada khittahnya.

Tolong ‘Jangan Bergabung di HMI’

Nah, artikel yang berjudul Tolong ‘Jangan Bergabung di HMI’ (lihat SUARAJELATA.COM), tidak kalah kontroversial dari puisi tadi. Membaca tulisan ini, aku teringat lagi beberapa tulisan-tulisanku, baik dalam genre sastra, catatan ringan, dan artikel yang cukup serius, yang dimuat di berbagai media online, terkhususnya di Yakusa Blog.

Setelah membaca tulisan tersebut, aku pikir benar atas ungkapan permasalahan-permasalahan yang dipaparkannya. Mulai dari sibuknya HMI mengurusi internalnya, HMI hanya banyak retorika, HMI dualisme, kondisi konferensi yang tak jelas, sebagaimana ia mencontohkan HMI Cabang Medan dan Cabang Gowa Raya, dan segudang permasalahan lainnya.

Aku merasa ajakan supaya mahasiswa ‘jangan bergabung di HMI’ ada makna tersirat di dalamnya. Suatu kritikan yang pedas untuk diseriusi, supaya kondisi HMI tidak separah saat ini, baik dari bawah hingga atas. Terlepas jika ada unsur kekecewaan di dalamnya terkait keadaan HMI saat ini, menurutku lagi, penulis artikel itu sangat berani untuk menyuarakan kebenaran yang telah diperkosa oleh segelintir orang-orang di HMI, sebagaimana pengarang puisi yang kita tanggapi tadi.

Di saat artikel tersebut lagi viral-viralnya, aku pribadi menunggu adanya statemen dari kader-kader HMI, terkhususnya Ketua-ketua, Dewa-dewa, dan segenap warga Insan Cita, untuk menanggapi atau menjawab keresahan dari penulis artikel tersebut.

Jika penulis artikel tersebut, membaca buku yang aku tulis dengan judul Secangkir Kopi Untuk Semangat Ber-HMI, sedikit banyaknya dia akan terbantu. Bukan bermaksud mengatakan bahwa buku itu hebat. Akan tetapi, apa yang diresahkannya pernah kualami sebelumnya. Dan dengan optimis, jiwa-jiwa memperbaiki kultur di HMI harus tetap digalakkan sesuai kemampuan kita. Kita ketahui bahwa HMI saat ini dikelilingi oleh Fir’aun, Bal’am, Qorun, setan, hantu, pelacur, anjing, tikus, ular, dan sebangsanya. Akan tetapi, sebagai kader tidak boleh menyerah dengan keadaan ini.

Mengajak orang ber-HMI adalah cara untuk mengumpulkan kekuatan supaya dapat menumbangkan makhluk-makhluk jahat itu. Mengajak mahasiswa baru masuk HMI bukan bertujuan menambah jamaah makhluk jahat itu, akan tetapi mengajak dalam berlomba-lomba dalam kebaikan. Tak perlu menunggu harus jadi pengurus. Persetan menjadi pengurus jika tidak amanah.

Penutup

Tulisan ringan ini kututup saja dengan kata: TETAP SEMANGAT DALAM BER-HMI. JIKA BAJINGAN-BAJINGAN ITU MASIH MEMPERKOSA HMI, ITU ARTINYA KADER-KADER BERJIWA PAHLAWAN HARUS TETAP MELAWAN.[]


Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).

No comments:

Post a Comment