YakusaBlog- Di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang kita cintai ini, senior-senior,
alumni-alumni, dan atau pun teman-teman kita, sering mengatakan bahwa; “HMI
bukan organisasi profit. Di HMI kita tidak mendapatkan uang. Akan tetapi malah
mengeluarkan uang untuk perjuangan organisasi.” Bahkan para pendahulu-pendahulu
(senior-senior atau alumni-alumni) kita mengajarkan anti kemapanan.
Selain
itu, kita diajarkan bahwa ber-HMI adalah memperjuangkan ummat dan bangsa,
karena Kader-kader HMI itu dikatakan anak kandung ummat dan bangsa. Dan juga di
HMI, kita disuruh untuk baik-baik berproses, menyeimbangkan aspek spiritual dan
intelektual. Serta tidak melupakan pengabdian pada ummat. Sebagaimana yang
disarankan dalam Mukaddimah Anggaran Dasar HMI, serta pengaplikasian
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, yang berintikan Iman, Ilmu, dan Amal.
Pertanyaannya
sekarang, apakah ajaran-ajaran itu telah usang? Apakah sudah masuk dalam tong
sampah? Apakah nilai-nilai kebaikan yang ditancapkan pada Kader saat di training hanya kata-kata menghiasi
retorika saja?
Jika
memang jawabannya; TIDAK, mengapa
Kader-kader HMI saling sikut menyikut menjadi Penguasa HMI, dalam artian kata
menjadi Ketua Umum atau ingin menguasai struktural HMI? Jawaban awal tadi
dengan otomatis memunculkan pertanyaan baru lagi.
Di
HMI, kita juga diajarkan bahwa HMI adalah tempat menempah intelektualitas
menjadi pemikir serta ditempah menjadi pemimpin. Apakah setelah berproses, maka
akan menjadi pelacur intelektual dan pemimpin bermental penjilat?
Sudah
menjadi rahasia umum dalam rumah kita sendiri (HMI), setiap kontestasi Kongres
HMI, para Calon Ketua Umum PB HMI, harus mengeluarkan ratusan juta atau bahkan
milyaran rupiah untuk mendapatkan suara dari Cabang-cabang HMI. Yang lebih
parah lagi, tingkat Cabang dan Badko juga demikian, walau nilai rupiahnya tidak
sebesar tingkat PB HMI. Sudah separah ini kah organisasi mahasiswa yang
berazaskan Islam ini?
Kalau
kita pakai logika dasar, jika sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk supaya
menang atau mendapatkan suara, maka muncul dua pertanyaan yang tak perlu
dijawab dalam tulisan ini, cukup kita jawab dalam hati saja. Pertama, dari manakah sumber uang itu? Kedua, apa motivasi dan tujuan ketika
setelah terpilih?
Nah,
selain kekuatan uang untuk dapat menjadi pimpinan di HMI, adalagi kekuatan yang
lain. Yaitu mengandalkan senior-senior, alumni-alumni yang berpengaruh atau mempunyai
nama, baik di HMI maupun di negara ini. Hal-hal ini semua menjadi tradisi
jahiliyah (bodoh) yang pernah ada di HMI.
Sungguh
tidak berlaku lagi ide dan gagasan di HMI ini. Ide dan gagasan di HMI telah
menjadi barang usang karena uang. Orientasinya sudah lari dari tujuan HMI.
Organisasi ini katanya berazaskan Islam, telah diganti menjadi organisasi
berazaskan uang. HMI yang katanya bertujuan terbinanya insan akademis,
pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt, telah diganti
menjadi terbinanya insan abangan, penjilat, penipu, yang bernafaskan uang dan
berselingkuh atas terwujudnya gerbong yang diridhoi pejabat taala.
Selanjutnya,
usaha-usahanya pun diganti untuk memenuhi segala unsur hawa nafsu pribadi dan
kelompok atau gerbong yang sepaham. Sifanya yang independen diganti menjadi
dependen. Statusnya masih tetap mahasiswa, tapi tanpa nilai-nilai
kamahasiswaan. Fungsinya menjadi organisasi massa, yang hanya merekrut untuk
dijual kepalanya.
Jika
HMI terus seperti ini, kita tinggal menunggu wafatnya saja. Melihat dualisme PB
HMI, kecurangan-kecurangan administrasi, dan lobi-lobi setan yang terus
terjadi, alangkah lebih baik bubarkan saja HMI. Untuk apalagi HMI terus ada
jika tidak mampu menciptakan kader-kader sebagaimana harapan-harapan awal HMI
didirikan. Kader-kader dan Alumni-alumni yang baik tidak lagi dapat dikatakan
baik, karena membiarkan praktek iblis di HMI sehingga berjalan dengan mulus.
Sebagai Instruktur HMI, penulis hanya dapat menghelus dada sampai entah do’a
apa yang terucap.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
No comments:
Post a Comment