YakusaBlog- Untuk
memberi jawaban terhadap permasalahan besar yang dihadapi HMI saat ini,
Muhammad Yahya Zaini, mantan Ketua Umum PB HMI periode 1992-1995, mengemukakan
4 upaya terpadu untuk mempertajam visi dan misi HMI. Tawaran tersebut
dikemukakannya menjelang Kongres ke-20 HMI di Surabaya tahun 1995. Tawaran tersebut
adalah:
Revitalisasi
Dalam
revitalisasi tidaklah berarti bahwa HMI telah kehilangan inti daya energi,
vitalitas eksistensi, visi dan misinya, melainkan justru merupakan perwujudan
dari tekad secara sadar dan bertanggungjawab, disertai oleh keyakinan yang
mendasar untuk terus melanjutkan pilihan sejarahnya sesuai dengan cita dan
tujuan organisasi.
Melakukan
upaya revitalisasi berarti meyakini dan menyadari sedalam-dalamnya bahwa
keluarga besar HMI secara bersama-sama mengemban tugas luhur dan mulia untuk
mengaktualisasikan eksistensi, visi dan misi HMI. Tugas mulia dan luhur ini
dibentuk oleh inti daya hidup yang membentuk jati diri HMI sebagai kader dari
organisasi, dengan ciri keislaman, keindonesiaan, dan kemahasiswaan.
Hal
ini hanya bisa dilakukan dengan upaya terus memperkukuh kualitas komitmen
kreatif HMI kepada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Ini merupakan kunci
jawaban yang sangat mendasar, tentunya karena HMI sebagai organisasi telah
merasakan, mengalami, dan bahkan telah diuji oleh sejarah, sehingga HMI menjadi
semakin yakin bahwa dalam suatu masyarakat Indonesia yang pluralistik, maka harmonisasi
komitmen keislaman dan keindonesiaan adalah merupakan pilihan terbaik
organisasi.
Tanpa
proses revitalisasi terhadap eksistensi, visi, doktrin, dan misi HMI secara
sadar dan bertanggungjawab, perjalanan HMI di masa mendatang akan menjadi surut
dan bahkan lumpuh, karena ketiadaan energi vitalisasi yang membentuk serta
menopang gerak hidup dan kehidupan HMI. Tanpa komitmen yang utuh dan padu,
terhadap nilai keislaman dan keindonesiaan, maka punahlah keberadaan HMI.
Kesadaran
bahwa upaya revitalisasi terhadap eksistensi, visi, doktrin dan misi HMI
tersebut, akan membawa HMI ke arah proses refleksi yang kritis dan kreatif. Proses
ini kemudian sangat diperlukan guna memberikan kualitas basis pemecahan
persoalan secara lebih kuat dan akomodatif dalam lingkup pemikiran dan wawasan
yang utuh, padu dan komprehensif.
Reaktualisasi
Sebagaimana
halnya dengan revitalisasi, maka upaya reaktualisasi tidak berarti bahwa HMI
telah tidak mampu lagi mengaktualisasikan eksistensi, visi, doktrin dan misi
HMI dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan organisasi.
Reaktualisasi
dalam hal ini dipahami sebagai upaya melanjutkan, mendinamisasikan dan
menumbuhkembangkan penghayatan dan pengalaman HMI terhadap nilai-nilai
keislaman dan keindonesiaan, secara utuh, padu, harmonis, dan menyeluruh. Reaktualisasi
menuntut dimilikinya suatu kemampuan yang mumpuni dalam melakukan interpretasi
dinamis dan kreatif secara terus menerus atas jati diri HMI, sebagai bagian dari
upaya melanjutkan kelangsungan hidup organisasi.
Melalui
reaktulisasi inilah HMI berupaya menjaga kelangsungan eksistensi, visi, idealisme
dan misi organisasi, dan sekaligus berupaya meningkatkan peran, kualitas,
harkat, martabat, dan citra HMI dalam arus perubahan zaman. Karena itulah,
interaksi yang positif, kreatif, dinamis, dan inovatif harus pula dilaksanakan
secara sistematik dan konsisten, di dalam semangat kebersamaan yang utuh
terpadu dan menyeluruh.
Tanpa
adanya proses aktualisasi dan reaktualisasi di dalam kehidupan organisasi, maka
niscaya akan terjadi kelambanan dan bahkan mungkin kemandekan eksistensi. Akibatnya
HMI tidak akan mampu melahirkan kreasi baru serta memberikan respon baru kepada
kebutuhan dan tantangan perjuangan yang terus menerus berubah.
Ini
artinya daya energi vitalisasi HMI akan kehilangan makna dan kekuatannya. Dan adalah
suatu imperatif yang logis dan konsekuen, bahwa aktualisasi dan reaktualisasi
ini harus bermuara kepada upaya untuk menciptakan tata kehidupan organisasi
yang Islamis, emansipatif, egaliter, dan demokratis. Dalam perspektif ini maka
adanya tuntutan untuk mengkaji kembali NDP, dan sistem perkaderan HMI,
seyogyanya disambut baik oleh segenap warga HMI dengan upaya-upaya intelektual
dan konsepsional yang bisa dipertanggungjawabkan.
Refungsionalisasi
Refungsionalisasi
tidak berarti bahwa saat ini telah terjadi kerusakan terhadap sistem ataupun
mandeknya gerakan HMI yang disebabkan oleh struktur organisasi telah mengalami
disfungsional secara total. Upaya refungsionalisasi dalam hal ini dimaksudkan
sebagai keharusan kreatif dan terus menerus guna mengembangkan struktur dan
fungsi-fungsi organisasi, untuk mendukung dan menopang proses aktualisasi dan
reaktualisasi sistem kehidupan organisasi di semua aspeknya dalam rangka
pengembangan peran dan fungsi organisasi itu sendiri.
Berbicara
tentang fungsionalisasi dan refungsionalisasi struktur ini, sebenarnya kita
sedang memperbincangkan sistem organisasi secara keseluruhan. Dalam hal ini
yang berkenan dengan pola dasar, di mana pasal-pasal yang terdapat di dalam
AD/ART serta pedoman himpunan lainnya, telah cukup memberikan acuan mengenai
bangunan struktur serta fungsi-fungsi dalam organisasi HMI.
Dengan
demikian, untuk memberikan nafas baru atau daya gerak baru agar daya gerak
organisasi ini bisa luwes, adaptif, dan antisipatif terhadap perubahan yang
sedang berkembang maka upaya refungsionalisasi merupakan suatu langkah
strategis. Karena upaya ini pada intinya ingin mengembalikan dan mengembangkan
lebih lanjut fungsi-fungsi organisasi, yang karena pengaruh ruang dan waktu
mengalami bias atau distorsi dalam implementasinya.
Adanya
gugatan terhadap kurang berfungsinya lembaga-lembaga kekaryaan, terjadinya
penyimpangan fungsi-fungsi organisasi dari level teratas sampai ke bawah,
sehingga tidak memunculkan gerak organisasi yang sinergik dan sistematik. Benturan
visi dan kepentingan antar level organisasi, misalnya terjadinya konflik Komisariat
dengan Cabang, Cabang dengan Badko, atau Badko dengan PB HMI, karena kaburnya
fungsi antar tingkatan tersebut, merupakan isyarat bahwa upaya
refungsionalisasi organisasi dalam berbagai tingkatan merupakan suatu
keniscayaan.
Karena
tanpa upaya refungsionalisasi ini, berarti kita tetap membiarkan terjadinya
praktek-praktek disfungsional para aparat HMI pada berbagai level, yang akan
berakibat terjadinya disorientasi dan penyimpangan terhadap eksistensi visi dan
misi organisasi HMI secara keseluruhan.
Restrukturisasi
Eksistensi
manusia di dalam perjalanan sejarah selalu diwarnai pergumulan dan
perjuangannya menghadapi perubahan alam dan zaman. Dalam perspektif ini,
manusia senantiasa secara kreatif menciptakan struktur dan fungsi-fungsi
tertentu, sehingga dengan demikian eksistensinya dapat tumbuh dan berkembang
dalam suatu sistem yang organik.
Di
sini struktur dan fungsi tersebut harus menjadi pendukung gerak dan proses
dengan aktualisasi yang selalu berkembang dan berubah. Kadang-kadang sistem
tetap dipertahankan, namun adakalanya harus disempurnakan dan diperbaharui. Kalau
dibutuhkan, struktur dan fungsi dapat dirombak, agar ia lebih adaptif, antisipatif,
dan dinamis dalam menjawab tantangan zaman.
Kondisi
ini pun berlaku bagi HMI. Struktur organisasi yang digunakan selama ini, tidak
ubahnya seperti organisasi politik. Fenomena yang terjadi seperti konflik dan
friksi di kalangan pengurus, dominannya orientasi politik dan orientasi ke
atas, adanya tuntutan terhadap pemekaran Badko-Badko HMI dengan otonomi yang
lebih besar serta kurangnya popularitas dan wibawa struktur-struktur
fungsional, semisal lembaga kekaryaan, sehingga pernah memunculkan gagasan
untuk membentuk konsorsium, merupakan akibat konsekuensi dan masih berlakunya
struktur organisasi yang sangat vertikal.
Fenomena
ini identik dengan apa yang terjadi di organisasi politik. Boleh jadi, situasi
inilah yang membuat HMI selalu berjalan di tempat tanpa bisa melakukan
perubahan yang signifikan. Pada titik ini harus muncul keberanian melakukan
langkah restrukturisasi terhadap seluruh komponen sistem organisasi HMI. Karena
bercermin dari kondisi di atas, secara jujur harus diakui bahwa struktur
organisasi HMI belumlah mencerminkan struktur organisasi kader yang ideal.
Upaya
pencarian model dan sistem organisasi yang lebih relevan dengan fungsi
organisasi HMI sebagai organisasi kader kini terasa semakin mendesak dan
membutuhkan semangat dan tekad yang sungguh-sungguh. Munculnya konsep model
organisasi matriks, umpamanya, bisa kita jadikan alat banding terhadap model
dan struktur organisasi yang kita kenal selama ini, seperti struktur organisasi
garis, fungsional, garis dan fungsional ataupun garis dan staf.
Pilihan
terhadap struktur organisasi yang paling relevan dengan fungsi organisasi HMI,
orientasi dan pola interaksi kader HMI di masa yang akan datang. Gagasan restrukturisasi
organisasi ini tidak dimaksudkan untuk merombak secara total sehingga sama
sekali baru, akan tetapi lebih dimaksudkan untuk melakukan penyesuaian struktural
tanpa menghilangkan identitas, jati diri dan citra HMI.
Demikianlah
gambaran singkat tentang empat budaya terpadu yang mesti dilakukan HMI dalam
rangka menumbuhkembangkan eksistensi, visi, dan misi HMI di tengah-tengah
dinamika kehidupan mahasiswa, pemuda, masyarakat dan bangsanya. Paparan di atas
jelas terlihat eratnya hubungan antara pengembangan eksistensi, visi dan misi
HMI dengan upaya revitalisasi, raktualisasi, refungsionalisasi, dan
restrukturisasi organisasi yang harus dilakukan secara terus menerus tanpa
henti. (Buletin Oponi, Kongres News,
Edisi Minggu Pertama November 1994, diterbitkan PB HMI).[]
Catatan: Tulisan di atas disadur dari Buku 44 Indikator Kemunduran HMI,
karya Agussalim Sitompul, Hal: 138-144, dengan sub judul tulisan Ketiga, Empat Upaya
Terpadu dari Muhammad Yahya Zaini.
Ket.gbr: IlustrationSbr.gbr: https://mediaindonesia.com/
No comments:
Post a Comment