Soal Jabatan, Mari Belajar Dari Lafran! - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Wednesday 9 January 2019

Soal Jabatan, Mari Belajar Dari Lafran!



YakusaBlog- Di antara teman-teman pembaca sekalian, pernahkah kita meminta-minta jabatan supaya ditempatkan pada posisi jabatan yang strategis di HMI? Adakah kita membuat kontrak supaya kita atau teman kita mendapat jabatan yang strategis di HMI, tanpa memperhatikan terlebih dahulu kualitasnya? Adakah kita marah, apabila telah di-reshuffle dari jabatan yang kita dapat di HMI, padahal kita tidak bisa menjalankannya? Apakah di HMI kita mengejar jabatan atau proses berhimpunan?

Berapa teman-teman kita yang terpecah-belah karena soal jabatan? Seberapa jauh jarak persaudaraan dan pertemanan kita di HMI karena saling rebut jabatan atau kekuasaan? Seberapa banyak orang yang menyukai kita karena jabatan yang kita minta? Dan seberapa banyak orang yang membenci kita karena tidak bisa mengemban amanah jabatan yang kita minta?

Seberapa banyak hal-hal baik yang kita lakukan dengan jabatan di HMI? Atau lebih banyak hal-hal buruk yang kita lakukan dengan memanfaatkan jabatan di HMI? Seberapa banyak kader-kader yang kita bantu untuk mengembangkan potensi diri saat dalam jabatan strategis? Atau seberapa banyak orang-orang yang kita sakitisemasa menjabat di HMI? Bagaimanakah jabatan itu kita perdayakan atau kita yang diperdayakan oleh jabatan? Apa visi kita ketika berada dalam jabatan?

Adakah di antara kita yang merasa kecil hati karena tidak mendapatkan jabatan? Adakah kita malas ber-HMI karena kita tidak mendapatkan jabatan? Patahkah semangat kita jika tidak mendapatkan jabatan? Apa yang kita perbuat saat tidak mendapatkan jabatan di HMI, masuk organisasi lain atau tetap berproses dengan baik?

Ah, pertanyaan saya di atas sungguh terlalu banyak. (Sebenarnya masih banyak lagi stok pertanyaan). Sehingga membuat teman-teman pembaca samakin tegang. Ada teman-teman pembaca yang resah. Ada teman-teman pembaca yang marah. Ada teman-teman pembaca yang sedikit bingung. Ada teman-teman yang cengar-cengir sendiri. Dan ada teman-teman pembaca, yang mengatakan, “Biasa aja kali, memang si Ibnu begitu orangnya”.

Yaps..., benar, biasa aja kali. Kalau kata Mark Manson, Bodo Amat. Ini hanya sekedar tulisan, tapi walau sekedar tulisan, saya harap bisa dijadikan bahan pembicaraan. Saya harap  bisa jadi bahan perenungan. Saya harap juga bisa menjadi pelajaran. Dan saya berharap, harap, dan berharap kali, walau teman-teman bukan Bayo Harahap (Laki-laki marga Harahap). (Apaan sih, si Ibnu ini. Gak garing tau...)

Supaya teman-teman pembaca lebih serius, lebih konsentrasi, tidak tegang, tidak marah, tidak resah dan supaya tidak biasa aja kali, seduh dulu kopimu teman atau minuman apa yang bisa teman-teman buat, asal jangan Baygon cair atau sejenisnya. S eruput dulu biar wajahmu tidak kusut dan berkerut. Jangan lupa tarik dulu sebatang rokok dan nikmati hisapan pertamanya dengan penuh hikmat serta semangat 28, semangat 45, semangat 47 dan semangat awal tahun 2019.Opps..., yang  ini hanya berlaku bagi teman-teman yang perokok, yang tidak perokok, tidak boleh protes. Hahahaa.... (Apaan lagi sih si Ibnu ini, receh banget. Tapi gua pengen ketawa juga sih, Wkwkwkwk... Cuih!)

Mari kita mulai menjawab delapan belas soal yang bertanda tanya (?) di atas, yang saya simpulkan menjadi satu tanda tanya, yaitu soal jabatan. Dan jawabannya untuk semuanya adalah, mari belajar dari Lafran Pane. (Ya udah langsung aja, banyak bacot deh lo, Ibnu. Gua udah nggak sabar, Bro...)

Sekali lagi, mohon seruput kopi atau minuman yang ada di dekat teman-teman, nanti keburu dingin. (Bodo amat. Minuman gua yang dingin ini). Tarik (hisap) lagi rokok yang ada di sela-sela jarimu teman. (Bodo amat. Gua nggak merokok, Kanda Ibnu). Mari kita mulai membicarakan jawabannya. (Ya udah, dari tadi gua udah nunggu. Entar gua dampar lo pake Hp ini, mau...?)

Soal Jabatan, Mari Belajar Dari Lafran!

Pada hari Rabu Pon 1878, 14 Rabi'ul Awal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Februari 1947 M, Lafran Pane beserta teman-temannya mendirikan organisasi mahasiswa Islam di Sekolah Tinggi Islam (STI) dan sekarang Universitas Islam Indonesia (UII)-Yogyakarta, bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Setelah melewati berbagai proses dan tantangan, Lafran Pane akhirnya berhasil mendirikan HMI hingga saat ini masih tetap ada di negeri tercinta ini. Tepat bulan Februari depan, HMI kita ini berusia tujuh puluh dua tahun.

Di awal-awal berdirinya HMI, tahun 1947, Lafran Pane beserta teman-temannya yang lain membentuk kepengurusan, di mana Lafran Pane menjadi Ketua, Asmin Nasution menjadi Wakil Ketua walau waktu itu tidak ikut rapat mendirikan HMI, tapi ia sudah memberi dukungan sebelum mendirikan HMI. Anton Timur Djaelani menjadi Penulis I, kemudian Karnoto menjadi Penulis II, Bendahara I diserahkan kepada Dahlan Hussein, Bendahara II diserahkan kepada Maisaroh Hilal, dan Suwali, Jusdi Ghozali, dan Masnyur menjadi Anggota. Ini lah kepengurusan pertama HMI, sebagaimana yang tertulis dalam bukunya Hariqo Wibawa Satri, Lafran Pane; Jejak Hayat dan Pemikirannya, pada halaman 59.

Ada hal yang sangat menarik yang diterapkan oleh Lafran Pane dalam kepemimpinan organisasi pada masa itu. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Bang Hariqo, Lafran memulai tradisi kepemimpinan organisasi tidak mesti dari anak kiai, bangsawan, tapi boleh dari siapa pun asal ia anggota HMI.

Mengapa dikatakan Lafran membuat tradisi kepemimpinan yang baru? Karena pada masa itu, kebanyak organisasi di awal berdirinya dipimpin oleh anak-anak priyayi, anak-anak bangsawan, dan atau anak-anak tokoh besar.

Pada 22 Agustus 1947 atau enam bulan setelah berdirinya HMI, Lafran mengadakan pergantian dan penyegeran kepengurusan agar posisi HMI semakin kuat dalam dunia kemahasiswaan. Taukah kami posisi di mana setelah ia dan teman-temannya melakukan resushuffle? Masih tetapkan ia jadi Ketua? Tidak, ia yang mendirikan tapi kok dia tidak jadi ketua, ya?

Sebagaimana yang dicatat oleh Hariqo dalam bukunya, Lafran Pane itu menjadi Wakil Ketua. Terus siapa Ketuanya? Lafran dan teman-teman memilih mahasiswa di luar STI untuk menjadi Ketua demi kepentingan eksisetensi HMI, supaya tidak hanya ada di dalam kampus Islam. Karena HMI bukan untuk kampus Islam, tapi untuk seluruh Mahasiswa Islam. Maka dari itu, mereka menunjuk M.S. Mintaredja menjadi Ketua HMI. M.S. Mintaredja adalah mahasiswa Fakultas Hukum BPT Gajah Mada (sekarang UGM). Kemudian Asmin Nasution menjadi menjadi Sekretaris I, Karnoto menjadi Sekretaris II dan Bendaharanya tetap Maisaroh Hilal.

Selanjutnya, dalam forum Kongres I HMI tanggal 30 November 1947, di Yogyakarta, dipilihlah secara langsung pengurus PB HMI. Tahukah teman-teman semua, Lafran dipilih sebagai apa? Jadi Ketua Umum? Salah. Wakil Ketua? Salah. Lafran Pane hanya menjadi Penulis I. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketuanya adalah M.S. Mintaredja dan Ahmad Tirtosudiro.

Seorang yang mendirikan organisasi HMI, yang mulai tumbuh besar, tidak menjadi Ketua Umum, Lafran Pane santai-santai aja. Ia tidak buat perlawanan, apalagi memburukkan teman-temannya. Ia tidak buat HMI menjadi dua karena masalah Jabatan dan apa pun itu alasannya. Yang lebih “aneh”-nya lagi waktu itu, ia mau turun ke bawah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakrta. Coba kita lihat sama-sama dengan kondisi kader-kader HMI sekarang, baik yang ada di Cabang, Badko, dan PB HMI. Ayo belajar dari Lafran Pane.

Tidak hanya sampai disitu, mari kita lihat lagi kebesaran jiwa Lafran Pane mengenai jabatan. Hariqo menuliskan, “Beberapa hari pascakongres, struktur PB HMI kembali berubah, karena ada usulan agar jabatan Penulis I diganti dengan Ushuluddin Hutagalung, dan jabatan Penulis II yang masing kosong dipegang oleh Lafran Pane. Lafran Pane menunjukkan kebesaran jiwanya, meski ia yang mendirikan HMI, namun ia ikhlas jabatannya lebih rendah dari kawan-kawan lain yang baru bergabung.”

Nah, teman-teman pembaca sekalian. Tidakkah kita berdecak kagum pada Lafran Pane. Ia tidak protes karena jabatannya diturunkan menjadi Penulis II, yang mana Penulis I, Ushuluddin Hutagalung, masih anak baru di HMI. Lafran tidak ada buat perlawanan, tidak berusaha menjatuhkan Ketua Umum, dan tidak menjelek-jelekkan teman-temannya yang berada dalam jabatan strategis. Ia ikhlas. Bagi Lafran, asalkan untuk kebaikan HMI, ia bersedia digeser ke jabatan yang paling rendah sekalipun. Bagaiaman dengan kita yang bukan mendirikan HMI? Yang tidak mencicipi betapa sulitnya awal mendirikan HMI. Teman-temanku semuanya, mari belajar dari keikhlasan dan jiwa besarnya Lafran Pane.

selanjutnya, pada 19 Desember 1948, di masa Perang Kolonial ke-2, Kota Yogyakarta berhasil diduki oleh pihak Belanda, PB HMI terpencar. Ahmad Tirtosudiro (Wakil Ketua) dan M. Sanusi (Bendahara I) ikut terjun ke medan pertempuran, sedangkan M.S. Mintaredja (Ketua Umum) dan Ushuluddin Hutagalung (Penulis I) meninggalkan Yogyakarta.

Dengan terpecahnya para pengurus PB HMI, karena faktor Belanda menjajah Indonesia lagi, apakah HMI mati atau bubar? Ternyata tidak teman-teman. Di sini lah, terlihat sosok Lafran Pane seorang pemimpin. Walau waktu itu ia sebagai penulis II, tapi ia tetap mempertahankan HMI. Masa genting itu HMI tetap bertahan, dan hanya satu-satunya organisasi mahasiswa yang dapat bertahan walau dijalankan oleh dua orang saja, yaitu Lafran Pane sebagai Ketua Umum dan Dahlan Ranuwiharja sebagai Sekretaris Jenderalnya.

Nah, coba kita tarik dalam kehidupan kader-kader HMI saat ini. Jika HMI mengalami seperti apa yang dialami oleh Lafran Pane dan teman-temannya pada masa itu, adakah kita berani menjadi mempertahankan HMI? Adakah kita mau menjadi Ketua dengan tidak ada anggotanya? Atau kader-kader sekarang, banyak yang gila jadai Ketua karena anggota HMI begitu banyak sehingga bisa “dijual” atau diklaim untuk kepentingan pribadi? Hanya seseorang tersebut dan Allah Swt. lah yang tahu.

Setelah Indonesia mendapatkan kembali pengakuan kedaulatannya, kondisi semakin aman. Teman-teman yang terjun di medan tempur melanjutkan karirnya di militer. Lafran dan Dahlan tetap menjalankan HMI serta terus melakukan konsolidasi ke beberapa anggota yang lain dan menarik kembali dan juga mengajak mahasiswa-mahasiswa Islam untuk bergabung dengan HMI.

Di tahun 1951, mengikuti perkembangan saat itu, PB HMI pindah ke Jakarta, tepatnya bulan Juni 1951. Perpindahan itu sekaligus dengan melakukan reshuffle kepengurusan. Dalam hal ini, kita lihat kembali kebesaran jiwa Lafran Pane yang memberikan jabatan Ketua Umum kepada Lukman E. Hakim. Dan Lafran hanya menjadi Pembantu di HMI. Apa maksud daripada “Pembantu”  pada masa itu, nampaknya seperti MPK (Majelis Pengawas dan Konsultasi) saat ini.

Lagi-lagi mari kita belajar pada kebesaran jiwa Lafran dalam soal jabatan. Di saat kondisi Indonesia sudah kondusif dari agresi Militer Belanda II, dan hanya HMI satu-satunya organisasi yang bertahan pada Perang Kolonial ke-2 tahun 1948, dan dari HMI, Dahlan Ranuwiharja, menjadi Pimpinan PPMI tahun 1950, Lafran mengikhlaskan dan memberikan Jabatan Ketua Umum kepada Lukman E. Hakim. Subhanallah. Sungguh sangat patur kita tiru dan teladani atas kebesaran jiwa Lafran Pane.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah apa yang ditunjukkan oleh Lafran Pane. Memegang suatu jabatan di HMI, semata-mata untuk mewujudkan tujuan HMI, bukan tujuan pribadi, apalagi mencari materi di HMI. Tidak memegang jabatan yang strategisi di HMI, bukan berarti selesai ber-HMI. Di resuhuffle dari suatu jabatan, bukan berarti tamat ber-HMI. Di reshuffle dari kepengurusan harus ikhlas, bukan malah menggilas hingga merusak HMI. Di mana pun posisinya, kita tetap bisa menjalan misi-misi organisasi HMI, jika memang itu tujuan HMI itu tertanam dalam diri kita. Dengan sendirinya,kualitas atau potensi kita sebagai seorang kader akan lebih baik dan disukai oleh banyak orang.

Di posisi mana pun kita, kita harus tetap menjaga dan merawat HMI. Melaksanakan misi-misi HMI untuk kepentingan agama dan negara, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Lafran Pane. Dalam buku Secangkir Kopi Untuk Semangat Ber-HMI, saya menuliskan, “Walau tidak mendapat atau tidak ditempatkan dalam struktural HMI yang strategis, tidaka ada larang untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan HMI.” (Lu mau promosi buku ni?. Hahahaa... entar gua beli deh, buku lu. Pengen juga gua menyeruput buku yang lo tulis. Hahahaha...)

Indikator ber-HMI yang benar itu bukan jabatannya, tapi perbutannya. Indikator berproses di HMI bukan sampai level mana dan jabatan apa yang sudah pernah kita emban, tapi apa yang kita lakukan semasa ber-HMI. Seruput lagi kopi atau minumanmu teman. Tarik lagi rokokmu dengan semangat 28, semangat 45, semangat 47 dan semangat awal tahun 2019 (berlaku untuk yang perokok). Proses kita masih panjang. Tetap semangat ber-HMI dengan penuh perbuatan yang baik, bukan mengejar-ngejar jabatan hingga tercekik. (Siap, Kanda Ibnu. Thanks yo. Tulisan lu ni sangat bermanfaat buat gua. Mudah-mudahan bagi teman-teman kita yang lain. Di tunggu tulisan-tulisan berikutnya. Oh, iya. Gua pengen juga ngopi sama lu. Kapan ada waktu?)

Ini siapa teman-teman? Ngoceh aja dia dari tadi. Mau ngopi sama saya? Saya selalu ada waktu, hubungi saja nomor kontak saya. Saya bukan sesibuk ketua-ketua itu. Atau mereka pura-pura sibuk kali ya? Biar nampak jabatan ketua-nya. Hahaha...... (Hahahaa...., siap. Nanti gua hubungi. Gua bagiin dulu tulisan lu ini sama ketua-ketua itu).[]

Penulis: Ibnu Arsib (Pegiat Literasi)
Sumber gbr: https://news.detik.com/

No comments:

Post a Comment