YakusaBlog- Di
antara teman-teman pembaca sekalian, pernahkah kita meminta-minta jabatan
supaya ditempatkan pada posisi jabatan yang strategis di HMI? Adakah kita
membuat kontrak supaya kita atau teman kita mendapat jabatan yang strategis di
HMI, tanpa memperhatikan terlebih dahulu kualitasnya? Adakah kita marah,
apabila telah di-reshuffle dari
jabatan yang kita dapat di HMI, padahal kita tidak bisa menjalankannya? Apakah di
HMI kita mengejar jabatan atau proses berhimpunan?
Berapa
teman-teman kita yang terpecah-belah karena soal jabatan? Seberapa jauh jarak
persaudaraan dan pertemanan kita di HMI karena saling rebut jabatan atau
kekuasaan? Seberapa banyak orang yang menyukai kita karena jabatan yang kita minta?
Dan seberapa banyak orang yang membenci kita karena tidak bisa mengemban amanah
jabatan yang kita minta?
Seberapa
banyak hal-hal baik yang kita lakukan dengan jabatan di HMI? Atau lebih banyak
hal-hal buruk yang kita lakukan dengan memanfaatkan jabatan di HMI? Seberapa banyak
kader-kader yang kita bantu untuk mengembangkan potensi diri saat dalam jabatan
strategis? Atau seberapa banyak orang-orang yang kita sakitisemasa menjabat di
HMI? Bagaimanakah jabatan itu kita perdayakan atau kita yang diperdayakan oleh
jabatan? Apa visi kita ketika berada dalam jabatan?
Adakah
di antara kita yang merasa kecil hati karena tidak mendapatkan jabatan? Adakah
kita malas ber-HMI karena kita tidak mendapatkan jabatan? Patahkah semangat
kita jika tidak mendapatkan jabatan? Apa yang kita perbuat saat tidak
mendapatkan jabatan di HMI, masuk organisasi lain atau tetap berproses dengan
baik?
Ah,
pertanyaan saya di atas sungguh terlalu banyak. (Sebenarnya masih banyak lagi
stok pertanyaan). Sehingga membuat teman-teman pembaca samakin tegang. Ada
teman-teman pembaca yang resah. Ada teman-teman pembaca yang marah. Ada
teman-teman pembaca yang sedikit bingung. Ada teman-teman yang cengar-cengir sendiri. Dan ada
teman-teman pembaca, yang mengatakan, “Biasa
aja kali, memang si Ibnu begitu orangnya”.
Yaps...,
benar, biasa aja kali. Kalau kata
Mark Manson, Bodo Amat. Ini hanya
sekedar tulisan, tapi walau sekedar tulisan, saya harap bisa dijadikan bahan
pembicaraan. Saya harap bisa jadi bahan
perenungan. Saya harap juga bisa menjadi pelajaran. Dan saya berharap, harap,
dan berharap kali, walau teman-teman
bukan Bayo Harahap (Laki-laki marga
Harahap). (Apaan sih, si Ibnu ini. Gak
garing tau...)
Supaya
teman-teman pembaca lebih serius, lebih konsentrasi, tidak tegang, tidak marah,
tidak resah dan supaya tidak biasa aja
kali, seduh dulu kopimu teman atau minuman apa yang bisa teman-teman buat,
asal jangan Baygon cair atau
sejenisnya. S eruput dulu biar wajahmu tidak kusut dan berkerut. Jangan lupa
tarik dulu sebatang rokok dan nikmati hisapan pertamanya dengan penuh hikmat
serta semangat 28, semangat 45, semangat 47 dan semangat awal tahun 2019.Opps..., yang ini hanya berlaku bagi teman-teman yang
perokok, yang tidak perokok, tidak boleh protes. Hahahaa.... (Apaan lagi sih si Ibnu ini, receh banget.
Tapi gua pengen ketawa juga sih,
Wkwkwkwk... Cuih!)
Mari
kita mulai menjawab delapan belas soal yang bertanda tanya (?) di atas, yang
saya simpulkan menjadi satu tanda tanya, yaitu soal jabatan. Dan jawabannya
untuk semuanya adalah, mari belajar dari Lafran Pane. (Ya udah langsung aja, banyak bacot deh lo, Ibnu. Gua udah nggak sabar,
Bro...)
Sekali
lagi, mohon seruput kopi atau minuman yang ada di dekat teman-teman, nanti
keburu dingin. (Bodo amat. Minuman gua
yang dingin ini). Tarik (hisap) lagi rokok yang ada di sela-sela jarimu
teman. (Bodo amat. Gua nggak merokok,
Kanda Ibnu). Mari kita mulai membicarakan jawabannya. (Ya udah, dari tadi gua udah nunggu. Entar gua dampar lo pake Hp ini,
mau...?)
Soal Jabatan, Mari
Belajar Dari Lafran!
Pada
hari Rabu Pon 1878, 14 Rabi'ul Awal
1366 H, bertepatan tanggal 5 Februari 1947 M, Lafran Pane beserta
teman-temannya mendirikan organisasi mahasiswa Islam di Sekolah Tinggi Islam
(STI) dan sekarang Universitas Islam Indonesia (UII)-Yogyakarta, bernama
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setelah
melewati berbagai proses dan tantangan, Lafran Pane akhirnya berhasil mendirikan
HMI hingga saat ini masih tetap ada di negeri tercinta ini. Tepat bulan Februari depan, HMI kita ini berusia tujuh puluh dua tahun.
Di
awal-awal berdirinya HMI, tahun 1947, Lafran Pane beserta teman-temannya yang
lain membentuk kepengurusan, di mana Lafran Pane menjadi Ketua, Asmin Nasution
menjadi Wakil Ketua walau waktu itu tidak ikut rapat mendirikan HMI, tapi ia
sudah memberi dukungan sebelum mendirikan HMI. Anton Timur Djaelani menjadi
Penulis I, kemudian Karnoto menjadi Penulis II, Bendahara I diserahkan kepada
Dahlan Hussein, Bendahara II diserahkan kepada Maisaroh Hilal, dan Suwali,
Jusdi Ghozali, dan Masnyur menjadi Anggota. Ini lah kepengurusan pertama HMI,
sebagaimana yang tertulis dalam bukunya Hariqo Wibawa Satri, Lafran Pane; Jejak Hayat dan Pemikirannya,
pada halaman 59.
Ada
hal yang sangat menarik yang diterapkan oleh Lafran Pane dalam kepemimpinan
organisasi pada masa itu. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Bang Hariqo,
Lafran memulai tradisi kepemimpinan organisasi tidak mesti dari anak kiai,
bangsawan, tapi boleh dari siapa pun asal ia anggota HMI.
Mengapa
dikatakan Lafran membuat tradisi kepemimpinan yang baru? Karena pada masa itu,
kebanyak organisasi di awal berdirinya dipimpin oleh anak-anak priyayi,
anak-anak bangsawan, dan atau anak-anak tokoh besar.
Pada
22 Agustus 1947 atau enam bulan setelah berdirinya HMI, Lafran mengadakan
pergantian dan penyegeran kepengurusan agar posisi HMI semakin kuat dalam dunia
kemahasiswaan. Taukah kami posisi di mana setelah ia dan teman-temannya
melakukan resushuffle? Masih tetapkan
ia jadi Ketua? Tidak, ia yang mendirikan tapi kok dia tidak jadi ketua, ya?
Sebagaimana
yang dicatat oleh Hariqo dalam bukunya, Lafran Pane itu menjadi Wakil Ketua.
Terus siapa Ketuanya? Lafran dan teman-teman memilih mahasiswa di luar STI
untuk menjadi Ketua demi kepentingan eksisetensi HMI, supaya tidak hanya ada di
dalam kampus Islam. Karena HMI bukan untuk kampus Islam, tapi untuk seluruh
Mahasiswa Islam. Maka dari itu, mereka menunjuk M.S. Mintaredja menjadi Ketua
HMI. M.S. Mintaredja adalah mahasiswa Fakultas Hukum BPT Gajah Mada (sekarang
UGM). Kemudian Asmin Nasution menjadi menjadi Sekretaris I, Karnoto menjadi
Sekretaris II dan Bendaharanya tetap Maisaroh Hilal.
Selanjutnya,
dalam forum Kongres I HMI tanggal 30 November 1947, di Yogyakarta, dipilihlah
secara langsung pengurus PB HMI. Tahukah teman-teman semua, Lafran dipilih
sebagai apa? Jadi Ketua Umum? Salah. Wakil Ketua? Salah. Lafran Pane hanya
menjadi Penulis I. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketuanya adalah M.S.
Mintaredja dan Ahmad Tirtosudiro.
Seorang
yang mendirikan organisasi HMI, yang mulai tumbuh besar, tidak menjadi Ketua
Umum, Lafran Pane santai-santai aja. Ia tidak buat perlawanan, apalagi
memburukkan teman-temannya. Ia tidak buat HMI menjadi dua karena masalah
Jabatan dan apa pun itu alasannya. Yang lebih “aneh”-nya lagi waktu itu, ia mau
turun ke bawah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakrta. Coba kita lihat
sama-sama dengan kondisi kader-kader HMI sekarang, baik yang ada di Cabang,
Badko, dan PB HMI. Ayo belajar dari Lafran Pane.
Tidak
hanya sampai disitu, mari kita lihat lagi kebesaran jiwa Lafran Pane mengenai
jabatan. Hariqo menuliskan, “Beberapa hari pascakongres, struktur PB HMI
kembali berubah, karena ada usulan agar jabatan Penulis I diganti dengan
Ushuluddin Hutagalung, dan jabatan Penulis II yang masing kosong dipegang oleh
Lafran Pane. Lafran Pane menunjukkan kebesaran jiwanya, meski ia yang
mendirikan HMI, namun ia ikhlas jabatannya lebih rendah dari kawan-kawan lain
yang baru bergabung.”
Nah,
teman-teman pembaca sekalian. Tidakkah kita berdecak kagum pada Lafran Pane. Ia
tidak protes karena jabatannya diturunkan menjadi Penulis II, yang mana Penulis
I, Ushuluddin Hutagalung, masih anak baru di HMI. Lafran tidak ada buat
perlawanan, tidak berusaha menjatuhkan Ketua Umum, dan tidak menjelek-jelekkan
teman-temannya yang berada dalam jabatan strategis. Ia ikhlas. Bagi Lafran,
asalkan untuk kebaikan HMI, ia bersedia digeser ke jabatan yang paling rendah
sekalipun. Bagaiaman dengan kita yang bukan mendirikan HMI? Yang tidak
mencicipi betapa sulitnya awal mendirikan HMI. Teman-temanku semuanya, mari
belajar dari keikhlasan dan jiwa besarnya Lafran Pane.
selanjutnya,
pada 19 Desember 1948, di masa Perang Kolonial ke-2, Kota Yogyakarta berhasil
diduki oleh pihak Belanda, PB HMI terpencar. Ahmad Tirtosudiro (Wakil Ketua)
dan M. Sanusi (Bendahara I) ikut terjun ke medan pertempuran, sedangkan M.S.
Mintaredja (Ketua Umum) dan Ushuluddin Hutagalung (Penulis I) meninggalkan
Yogyakarta.
Dengan
terpecahnya para pengurus PB HMI, karena faktor Belanda menjajah Indonesia
lagi, apakah HMI mati atau bubar? Ternyata tidak teman-teman. Di sini lah,
terlihat sosok Lafran Pane seorang pemimpin. Walau waktu itu ia sebagai penulis
II, tapi ia tetap mempertahankan HMI. Masa genting itu HMI tetap bertahan, dan
hanya satu-satunya organisasi mahasiswa yang dapat bertahan walau dijalankan oleh dua
orang saja, yaitu Lafran Pane sebagai Ketua Umum dan Dahlan Ranuwiharja sebagai
Sekretaris Jenderalnya.
Nah,
coba kita tarik dalam kehidupan kader-kader HMI saat ini. Jika HMI mengalami
seperti apa yang dialami oleh Lafran Pane dan teman-temannya pada masa itu,
adakah kita berani menjadi mempertahankan HMI? Adakah kita mau menjadi Ketua
dengan tidak ada anggotanya? Atau kader-kader sekarang, banyak yang gila jadai
Ketua karena anggota HMI begitu banyak sehingga bisa “dijual” atau diklaim untuk
kepentingan pribadi? Hanya seseorang tersebut dan Allah Swt. lah yang tahu.
Setelah
Indonesia mendapatkan kembali pengakuan kedaulatannya, kondisi semakin aman.
Teman-teman yang terjun di medan tempur melanjutkan karirnya di militer. Lafran
dan Dahlan tetap menjalankan HMI serta terus melakukan konsolidasi ke beberapa
anggota yang lain dan menarik kembali dan juga mengajak mahasiswa-mahasiswa
Islam untuk bergabung dengan HMI.
Di
tahun 1951, mengikuti perkembangan saat itu, PB HMI pindah ke Jakarta, tepatnya
bulan Juni 1951. Perpindahan itu sekaligus dengan melakukan reshuffle kepengurusan. Dalam hal ini,
kita lihat kembali kebesaran jiwa Lafran Pane yang memberikan jabatan Ketua
Umum kepada Lukman E. Hakim. Dan Lafran hanya menjadi Pembantu di HMI. Apa
maksud daripada “Pembantu” pada masa
itu, nampaknya seperti MPK (Majelis Pengawas dan Konsultasi) saat ini.
Lagi-lagi
mari kita belajar pada kebesaran jiwa Lafran dalam soal jabatan. Di saat
kondisi Indonesia sudah kondusif dari agresi Militer Belanda II, dan hanya HMI
satu-satunya organisasi yang bertahan pada Perang Kolonial ke-2 tahun 1948, dan
dari HMI, Dahlan Ranuwiharja, menjadi Pimpinan PPMI tahun 1950, Lafran
mengikhlaskan dan memberikan Jabatan Ketua Umum kepada Lukman E. Hakim. Subhanallah. Sungguh sangat patur kita
tiru dan teladani atas kebesaran jiwa Lafran Pane.
Semoga
kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah apa yang ditunjukkan oleh Lafran
Pane. Memegang suatu jabatan di HMI, semata-mata untuk mewujudkan tujuan HMI,
bukan tujuan pribadi, apalagi mencari materi di HMI. Tidak memegang jabatan
yang strategisi di HMI, bukan berarti selesai ber-HMI. Di resuhuffle dari suatu jabatan, bukan berarti tamat ber-HMI. Di reshuffle dari kepengurusan harus
ikhlas, bukan malah menggilas hingga merusak HMI. Di mana pun posisinya, kita
tetap bisa menjalan misi-misi organisasi HMI, jika memang itu tujuan HMI itu
tertanam dalam diri kita. Dengan sendirinya,kualitas atau potensi kita sebagai
seorang kader akan lebih baik dan disukai oleh banyak orang.
Di
posisi mana pun kita, kita harus tetap menjaga dan merawat HMI. Melaksanakan
misi-misi HMI untuk kepentingan agama dan negara, sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh Lafran Pane. Dalam buku Secangkir
Kopi Untuk Semangat Ber-HMI, saya menuliskan, “Walau tidak mendapat atau
tidak ditempatkan dalam struktural HMI yang strategis, tidaka ada larang untuk
mewujudkan apa yang dicita-citakan HMI.” (Lu
mau promosi buku ni?. Hahahaa... entar gua beli deh, buku lu. Pengen juga gua
menyeruput buku yang lo tulis. Hahahaha...)
Indikator
ber-HMI yang benar itu bukan jabatannya, tapi perbutannya. Indikator berproses
di HMI bukan sampai level mana dan jabatan apa yang sudah pernah kita emban,
tapi apa yang kita lakukan semasa ber-HMI. Seruput lagi kopi atau minumanmu
teman. Tarik lagi rokokmu dengan semangat 28, semangat 45, semangat 47 dan
semangat awal tahun 2019 (berlaku untuk yang perokok). Proses kita masih
panjang. Tetap semangat ber-HMI dengan penuh perbuatan yang baik, bukan
mengejar-ngejar jabatan hingga tercekik. (Siap,
Kanda Ibnu. Thanks yo. Tulisan lu ni sangat bermanfaat buat gua. Mudah-mudahan
bagi teman-teman kita yang lain. Di tunggu tulisan-tulisan berikutnya. Oh, iya. Gua pengen juga ngopi sama lu. Kapan ada waktu?)
Ini
siapa teman-teman? Ngoceh aja dia dari tadi. Mau ngopi sama saya? Saya selalu
ada waktu, hubungi saja nomor kontak saya. Saya bukan sesibuk ketua-ketua itu.
Atau mereka pura-pura sibuk kali ya? Biar nampak jabatan ketua-nya.
Hahaha...... (Hahahaa...., siap. Nanti
gua hubungi. Gua bagiin dulu tulisan lu ini sama ketua-ketua itu).[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Pegiat Literasi)
Sumber gbr: https://news.detik.com/
No comments:
Post a Comment