Bulan temaram, tergolek pasrah di
langit-langit angkasa Jakarta. Coba menyemai rindu serta cinta diantara remaja,
pria terlebih wanita. Kodok-kodok berbunyi di tiap kolong padinya,
bersahut-sahutan. Menggugat hujan yang tak kunjung tiba, atau barangkali. Mereka
merasa risau akan hadirnya hujan.
Lain
halnya denganku, harus merasa apa aku sekarang? bahagiakah? sedihkah?, hatiku
bergolak tak karuan bersama gadis mungil di sebuah malam.
Awal
malam bulan Januari 2018, kami duduk berhadapan di ujung warung pak Lukman,
dengan dia terus menebar pandang ke semua penjuru warung, hampir tanpa secuil
sudut pun yang luput darinya. Entah, apa yang dicari? sesekali ia terlihat
memainkan bibir tipisnya, membiarkannya beradu, ditekannya. Oh sungguh seksi
sekali, ia gadis sunda primadona. Yang selalu memesona
“Jadi,”
mulaiku, mencoba memecah keheningan. Yang setelah 10 menit lamanya kami
terdiam, disibukkan memesan dua mangkuk mie ayam serta dua gelas minuman lemon
tea, dengan butiran es di dalamnya.
“Bulan
depan sekolah selesai? terus mau lanjut kuliah kemana, atau kerja dulu?.” ragu
menjalar padaku, takut. Salah-salah pertanyaanku dikira malah
menginterogasinya. Yang ditanya hanya menyimpulkan bibirnya, hingga terus
mengembang membentuk pelangi, memamerkan kemilau putih gigi-giginya, tersenyum
lepas. Namun aneh ada beban bergelayut di mata indahnya, membuatnya terlihat
sayu, lain dari biasanya.
"Iya
ka'' tersenyum renyah.
"Iya
apa?"
"Iya
kuliah"
"Dimana?"
"UMJ,
salah satu kampus di bilangan ibu kota," cetusnya.
"Oh,"
lenguhan panjang dariku tanpa sadar keluar begitu saja.
"Ini
wawancara, semacam interview apa ka?" balik bertanya, mengernyitkan dahi, timbul curiga. Mungkin winda tahu,
pertanyaanku dirasa terlalu menggebu. Meyelinap masuk pada deretan privasinya
"Iya,"
Ucapanku terjeda sejenak, oleh datangnya pramusaji membawa pesanan kami.
Sekilas, senyum terlihat ikut bersamanya. Menambah kesan ramah, atas
pelayanannya. Sengaja kualihkan pandangan, pada semak-semak belukar tak
bertuan. Tempat persembunyian bajing loncat yang kelaparan nun kesepian.
Pramusaji berlalu, ku mulai kembali.
"Ini
bentuk hawatir dan perhatianku padamu,"
"Khawatir
untuk apa ka? apa yang akan menimpaku? dan, perhatian." muka merah padam,
merah merona mengukir diwajah imutnya. Beberapa kali lirikan matanya berpagut
denganku, ia menunduk menghindar, Hendak sembunyi. Malu? Alih-alih, dia
menyodorkan garpu dan sendok padaku, mengaduk mangkuk mie ayamnya. Melahap suap
pertamanya
"Haruskah kujelaskan khawatir padamu akan
apa? kalaupun iya, apakah bulan harus memberi alasan, kenapa menyinari bumi
dengan sinar harapan. Kau tak tahu, bahwa di dunia ada alasan yang tak perlu
dijelaskan. Dan lagi, kata-kataku tentang perhatian, kuralat lagi. Itu sekedar
kepedulian."
"Kepedulian?"
menggantung suaranya, tinggi menjulang. Diangkatnya alis sebelah kanan sebagai
wujud rasa penasaran, menagih padaku sebuah jawaban.
"Ya,
aku peduli padamu. peduli akan masa depanmu, takut kau akan memutuskan menikah
setelah tamat sekolah, jadi ibu-ibu muda tanpa talenta berujung duka.
Memadamkan
kobar mimpi dan cita-cita," seraya mengambil tisu disudut meja, menyapu
bersih noda saus pada mulut, bibir. Juga pada sebagian meja di sekitaran
mangkuk.
"Ya
nggak lah, Ka. Saya tuh terlalu dini untuk sampai pada hubungan seperti
itu" menyeruput lemon tea-nya, terdengar gemeretuk batu es saat ia
letakkan kembali gelas, separuh lebih dia teguk minumannya. Mengisi perut dan
mengobati dahaga luar biasa yang melanda, mungkin.
"Ya,
itu khawatir yang dirasa, sebelum kau mengatakan akan kuliah di UMJ jakarta"
berusaha mengungguli bicara.
Dia
winda, gadis sunda. Tinggi semampai tubuhnya, mengantongi triliunan mimpi serta
cita-cita, meninggalkan kota kelahirannya. Purwakarta, menuju kota Jakarta.
Menimba ilmu, mengasah pengalaman juga ketrampilan bersosial. Apapun ia tekuni,
apapun. Selama itu tidak berkaitan
soal asmara. Ya! kecuali cinta!
"Win,
Aku mencintaimu." menatapnya lamat-lamat, berusaha menelisik masuk melalui
pancaran matanya, kami bertatapan untuk kedua kalinya, yang ia lakukan pun
sama, hanya sembunyi, menunduk dalam. Mengaduk es yang tak perlu diaduk. Rasa
penasaran akan jawaban terus membelit,
mencengkram dadaku. Semacam lilitan selimut saat gigil berkuasa.
Aku sadar betul, memang dalam hatiku selalu
terjadi pergolakkan setiap bersamanya,
menggelora karenanya. Gusar mulai hadir, kalau pun iya aku menyukainya,
apakah ia demikian?
"Apa
ka?" sembari memajukan badannya, memiringkan satu telinganya, mendekat padaku,
kuanggap itu suatu respon yang bagus, antara benar-benar tak terdengar suaraku
olehnya, atau jangan-jangan. Winda mengogah percaya tentang realita yang
terlanjur kadung tersibak di depan mukanya.
Malam
semakin beranjak petang, Bintang gemintang tumpah ruah membentuk beberapa rasi
bintang. Satu dua puluhan kunang-kunang menghias, berterbangan, sebagian
hinggap ditepian dahan, pijar bulan memantul disetiap dedaunan, nampak elok
dibeberapa kerlipnya. Membuai, merasuk ke inti sukma.
“Eheem
“ mendeham, dengan wajah melengos, lalu menyeret pandang kembali kearah depan.
Memandangku, tidak ku temukan senyum disana. Hanya tatapan kosonglah yang kujumpa. Secolek kecap manis menempel
pada pipi bakpaunya, sadar. Lantas diseka-lah menggunakan bahu kanannya. Kini,
dua buah bola matanya bersitatap denganku, ditariknya nafas dalam-dalam.
Merapikan letak duduknya, Bersiap.
“Ka. Maaf dan terima kasih tentunya, atas
ungkapan perasaan yang sudah diutarakan, tapi Ka," sengaja menjeda.
"Tapi
kenapa? Dek," atensiku memuncak.
"Tapi
sayang. Saya sama sekali tak suka dengan lelaki berkacamata, cupu, dan terlebih
lagi orang Jawa. Bukan maksudku bertindak rasis, itu sekedar prinsip kualitas
yang aku gigit erat dengan gigi-gigi gerahamku. Tahu maksudku kan ka?” suaranya
berat. lugas, terbata sekali pun tidak, dengan pembawaan tegas. Tegap tanpa
terhuyung sama sekali, di zaman sekarang sudah barang tentu wanita akan memilah
dan memilih apa yang terbaik untuknya, masa depannya, dan apa-apa yang
berkaitan dengan kehidupannya. Bukan materialistic, wanita hanya butuh yang
berbobot realita. kaya raya, harta dimana-mana, dan hidupnya penuh suka cita
Sang
rembulan kini mendadak tertikam guratan kesedihan. Walau tak begitu kentara,
tapi bisa ku rasakan, mengeluarkan simfoni yang amburadul memekikkan indera
pendengaran. Alasan Winda berdengung di ubun-ubun, apa alasannya cukup tepat
sekedar untuk mengelak? atau, dalih beringsut?
"Jadi
hanya karena cupu dan, apa itu? orang jawa?" tak puas dengan jawabannya,
apa yang salah dari seorang beradat Jawa, dan berkacamata? aku setitik pun tak
memilih untuk menjadi laki-laki berkacamata. Tersemat sebetik sesal
menyelubungi dada, bisikan-bisikan sekejap menghampiri, Berulang-ulang,
mengitari otak kanan, berputar sebentar disekeliling syaraf ingatan. Pening, tamat riwayatmu.
"Tidak!
tidak hanya itu" kulihat dia merogoh dompet merah muda mirip beludru,
dikeluarkannya seongok pas photo lelaki berkulit putih, sempurna untuk diklaim
Arab, walau bukan keturunan Arab.
"Kau
lihat Ka, ini photo lelaki yang kucinta, Aslan namanya. Dia orang Jogja, rasaku
sudah terkuras habis untuknya di Jogja, dan secuil pun tidak, tidak kepadamu
Ka!" dengan suara sangat bersemangat. Kuakui, Yang dipanggilnya Aslan,
memang tampan rupawan, hartawan? pastilah. Tapi entahlah, apakah aku pantas
diperlakukanya seperti ini? apa wanita semua sama, tak memiliki pikiran?. Ah
aku jadi ingat artikel yang mengatakan lelaki cenderung kepada pikirannya,
sedangkan perempuan lebih kepada perasaannya. Pantas saja mereka dibutakan oleh
perasaan yang kalang kabut, rentan bertindak nekat ketika hati dirundung kalut.
"Kau
sangat mencintai Aslan, Winda?" kataku pelan.
"Ya
Ka, Aku sangat mencintainya, sangat mencintai Aslan. Bahkan hatiku sesak hanya
karena, serta untuk Aslan seorang." diucapkannya dengan mantap, tak kurang
ragu sama sekali.
"Lalu,
aku yang juga mencintaimu? Mencintai tanpa syarat, Dek Winda" kupintal
sedikit harap.
"Adakah
perasaan yang bisa dipaksakan? Ka" balasnya.
"Tak
ada sama sekali Dek, tidak ada" seharusnya kau tahu Dek Winda, di dunia
yang menjadikan orang yang satu berjodoh dengan orang yang lain lagi, tidak
selalu mutlak berawal dari rasa saling suka, atau saling cinta diantara mereka.
Tetaplah setiap sesuatu ada campur tangan Tuhan, mereka berjodoh walau tak
pernah sekalipun bertemu, tak saling mengenal, tak pernah saling telponan,
sms-an, tapi diam-diam mereka saling mendoakan. Agar diberikan yang terbaik
oleh Tuhan.
Pupus
sudah harapan. Cinta hanyalah persetan belaka, Bukankah cinta mudah didapatkan.
Bisa ditemukan di pinggir jalan, atau dijajakan oleh si kupu-kupu malam. Bagi
si hidung belang, hakikat cinta ialah kenikmatan. Pergilah ke perempatan
kota-kota besar metropolitan. Carilah di gang-gang sempit minim penerangan.
Ribuan kesenangan, hiburan, yang tak kalah menjanjikan. Malah lebih
mengagumkan, mengalahkan kisah cinta laila majnun yang mati kerana kasmaran.
Setelah
apa yang kukatakan pada Winda, sepertinya tidak ada hal penting lagi yang bisa
kuabadikan malam itu. Selama akhir-akhir perjumpaan, yang bisa kulakukan
hanyalah menggigit lidah dan bibir secara bersamaan. Kencang-kencang, tak
acuhkan darah segar yang sedari tadi telah melesat keluar. Kau tak memberi
salam hangat sekedar obat saat perpisahan malam itu.
Aku
hanya lelaki usang. Langkah kaki ku gontai menggaruk punggung jalanan. Pulang,
serasa menggamit sepucuk harapan berbaur kesialan. Ketidakpuasan akan takdir
tuhan. Hingga suatu saat, aku sadar. Ternyata takdir tuhanlah yang aku
butuhkan. Tidak mendasarkan hidup hanya dengan apa-apa yang di inginkan,
melainkan benar-benar kepada apa yang kita butuhkan dan Tuhan Maha Tahu setiap
apa-apa yang hambanya butuhkan.
Sesampainya
dirumah. berkelabat kenangan hadir, bahkan potret wajah winda yang sudah kulipat
rapat-rapat. Muncul, menyembul kembali dipermukaan hati dan pikiran, menyusuri
kanal-kanal impian. Ibarat alarm yang kadang memilih sikap diam sebagai
jawaban. Tanpa perlu komando, ingatan membangunkan ku tepat jam tiga dini hari. Memberiku luang bersimpuh meminta kebaikan
diri pada sepertiga malam. Lagi-lagi bayangan winda timbul, Membenak. Oh ya tuhan jika memang ini bukan yang aku
butuhkan, maka hamba rela, tidak Engkau berikan. sekalipun itu sangat aku
inginkan. Atau sampai kau jauhkan pun tak mengapa.
Awal
Juli 2018, hari cerahku datang kembali. Bunga-bunga bermekaran menggenapkan
bahagia di hati, semilir tiada henti membawa aroma jerami yang terpanggang
teriknya mentari. Hingga tiba kabar yang tak kunanti sama sekali. sudah
kupastikan burung-burung camar akan merasa resah nanti, menunggu Kau yang
hilang selama-lamanya. Menuju perjumpaan yang hakiki, mengahadap keharibaan
Ilahi. Menjadi abadi.
Hari
itu juga mendung, seolah mengantarkan dirimu untuk kembali. dan hari itu juga
secarik kertas dalam amplop jingga kuterima dari kerabatmu, winda. Kulihat ada
namaku disitu dengan imbuhan, my guardian
angel, dengan bercak mangsi disekujur tubuh amplop, bertanggal awal
Februari 2018.[]
Penulis: M. Ainur Rizki Erian
(Mahasiswa STIT UW Jombang)
Sumber gbr. ilustrasi: https://www.kajiansastra.com
No comments:
Post a Comment