Melabuh Asa Di Sepertiga Malam - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 6 January 2019

Melabuh Asa Di Sepertiga Malam


Bulan temaram, tergolek pasrah di langit-langit angkasa Jakarta. Coba menyemai rindu serta cinta diantara remaja, pria terlebih wanita. Kodok-kodok berbunyi di tiap kolong padinya, bersahut-sahutan. Menggugat hujan yang tak kunjung tiba, atau barangkali. Mereka merasa risau akan hadirnya hujan.

Lain halnya denganku, harus merasa apa aku sekarang? bahagiakah? sedihkah?, hatiku bergolak tak karuan bersama gadis mungil di sebuah malam.

Awal malam bulan Januari 2018, kami duduk berhadapan di ujung warung pak Lukman, dengan dia terus menebar pandang ke semua penjuru warung, hampir tanpa secuil sudut pun yang luput darinya. Entah, apa yang dicari? sesekali ia terlihat memainkan bibir tipisnya, membiarkannya beradu, ditekannya. Oh sungguh seksi sekali, ia gadis sunda primadona. Yang selalu memesona

“Jadi,” mulaiku, mencoba memecah keheningan. Yang setelah 10 menit lamanya kami terdiam, disibukkan memesan dua mangkuk mie ayam serta dua gelas minuman lemon tea, dengan butiran es di dalamnya.

“Bulan depan sekolah selesai? terus mau lanjut kuliah kemana, atau kerja dulu?.” ragu menjalar padaku, takut. Salah-salah pertanyaanku dikira malah menginterogasinya. Yang ditanya hanya menyimpulkan bibirnya, hingga terus mengembang membentuk pelangi, memamerkan kemilau putih gigi-giginya, tersenyum lepas. Namun aneh ada beban bergelayut di mata indahnya, membuatnya terlihat sayu, lain dari biasanya.

"Iya ka'' tersenyum renyah.

"Iya apa?"

"Iya kuliah"

"Dimana?"

"UMJ, salah satu kampus di bilangan ibu kota," cetusnya.

"Oh," lenguhan panjang dariku tanpa sadar keluar begitu saja.

"Ini wawancara, semacam interview apa ka?" balik bertanya, mengernyitkan  dahi, timbul curiga. Mungkin winda tahu, pertanyaanku dirasa terlalu menggebu. Meyelinap masuk pada deretan privasinya

"Iya," Ucapanku terjeda sejenak, oleh datangnya pramusaji membawa pesanan kami. Sekilas, senyum terlihat ikut bersamanya. Menambah kesan ramah, atas pelayanannya. Sengaja kualihkan pandangan, pada semak-semak belukar tak bertuan. Tempat persembunyian bajing loncat yang kelaparan nun kesepian. Pramusaji berlalu, ku mulai kembali.

"Ini bentuk hawatir dan perhatianku padamu,"

"Khawatir untuk apa ka? apa yang akan menimpaku? dan, perhatian." muka merah padam, merah merona mengukir diwajah imutnya. Beberapa kali lirikan matanya berpagut denganku, ia menunduk menghindar, Hendak sembunyi. Malu? Alih-alih, dia menyodorkan garpu dan sendok padaku, mengaduk mangkuk mie ayamnya. Melahap suap pertamanya


 "Haruskah kujelaskan khawatir padamu akan apa? kalaupun iya, apakah bulan harus memberi alasan, kenapa menyinari bumi dengan sinar harapan. Kau tak tahu, bahwa di dunia ada alasan yang tak perlu dijelaskan. Dan lagi, kata-kataku tentang perhatian, kuralat lagi. Itu sekedar kepedulian."

"Kepedulian?" menggantung suaranya, tinggi menjulang. Diangkatnya alis sebelah kanan sebagai wujud rasa penasaran, menagih padaku sebuah jawaban.

"Ya, aku peduli padamu. peduli akan masa depanmu, takut kau akan memutuskan menikah setelah tamat sekolah, jadi ibu-ibu muda tanpa talenta berujung duka.

Memadamkan kobar mimpi dan cita-cita," seraya mengambil tisu disudut meja, menyapu bersih noda saus pada mulut, bibir. Juga pada sebagian meja di sekitaran mangkuk.

"Ya nggak lah, Ka. Saya tuh terlalu dini untuk sampai pada hubungan seperti itu" menyeruput lemon tea-nya, terdengar gemeretuk batu es saat ia letakkan kembali gelas, separuh lebih dia teguk minumannya. Mengisi perut dan mengobati dahaga luar biasa yang melanda, mungkin.

"Ya, itu khawatir yang dirasa, sebelum kau mengatakan akan kuliah di UMJ jakarta" berusaha mengungguli bicara.

Dia winda, gadis sunda. Tinggi semampai tubuhnya, mengantongi triliunan mimpi serta cita-cita, meninggalkan kota kelahirannya. Purwakarta, menuju kota Jakarta. Menimba ilmu, mengasah pengalaman juga ketrampilan bersosial. Apapun ia tekuni, apapun. Selama itu tidak berkaitan soal asmara. Ya! kecuali cinta!

"Win, Aku mencintaimu." menatapnya lamat-lamat, berusaha menelisik masuk melalui pancaran matanya, kami bertatapan untuk kedua kalinya, yang ia lakukan pun sama, hanya sembunyi, menunduk dalam. Mengaduk es yang tak perlu diaduk. Rasa penasaran akan jawaban  terus membelit, mencengkram dadaku. Semacam lilitan selimut saat gigil berkuasa. 

 Aku sadar betul, memang dalam hatiku selalu terjadi pergolakkan setiap bersamanya,  menggelora karenanya. Gusar mulai hadir, kalau pun iya aku menyukainya, apakah ia demikian?

"Apa ka?" sembari memajukan badannya, memiringkan satu telinganya, mendekat padaku, kuanggap itu suatu respon yang bagus, antara benar-benar tak terdengar suaraku olehnya, atau jangan-jangan. Winda mengogah percaya tentang realita yang terlanjur kadung tersibak di depan mukanya.

Malam semakin beranjak petang, Bintang gemintang tumpah ruah membentuk beberapa rasi bintang. Satu dua puluhan kunang-kunang menghias, berterbangan, sebagian hinggap ditepian dahan, pijar bulan memantul disetiap dedaunan, nampak elok dibeberapa kerlipnya. Membuai, merasuk ke inti sukma.

“Eheem “ mendeham, dengan wajah melengos, lalu menyeret pandang kembali kearah depan. Memandangku, tidak ku temukan senyum disana. Hanya tatapan kosonglah  yang kujumpa. Secolek kecap manis menempel pada pipi bakpaunya, sadar. Lantas diseka-lah menggunakan bahu kanannya. Kini, dua buah bola matanya bersitatap denganku, ditariknya nafas dalam-dalam. Merapikan letak duduknya, Bersiap.

 “Ka. Maaf dan terima kasih tentunya, atas ungkapan perasaan yang sudah diutarakan, tapi Ka," sengaja menjeda.

"Tapi kenapa? Dek," atensiku memuncak.

"Tapi sayang. Saya sama sekali tak suka dengan lelaki berkacamata, cupu, dan terlebih lagi orang Jawa. Bukan maksudku bertindak rasis, itu sekedar prinsip kualitas yang aku gigit erat dengan gigi-gigi gerahamku. Tahu maksudku kan ka?” suaranya berat. lugas, terbata sekali pun tidak, dengan pembawaan tegas. Tegap tanpa terhuyung sama sekali, di zaman sekarang sudah barang tentu wanita akan memilah dan memilih apa yang terbaik untuknya, masa depannya, dan apa-apa yang berkaitan dengan kehidupannya. Bukan materialistic, wanita hanya butuh yang berbobot realita. kaya raya, harta dimana-mana, dan hidupnya penuh suka cita

Sang rembulan kini mendadak tertikam guratan kesedihan. Walau tak begitu kentara, tapi bisa ku rasakan, mengeluarkan simfoni yang amburadul memekikkan indera pendengaran. Alasan Winda berdengung di ubun-ubun, apa alasannya cukup tepat sekedar untuk mengelak? atau, dalih beringsut?

"Jadi hanya karena cupu dan, apa itu? orang jawa?" tak puas dengan jawabannya, apa yang salah dari seorang beradat Jawa, dan berkacamata? aku setitik pun tak memilih untuk menjadi laki-laki berkacamata. Tersemat sebetik sesal menyelubungi dada, bisikan-bisikan sekejap menghampiri, Berulang-ulang, mengitari otak kanan, berputar sebentar disekeliling syaraf ingatan. Pening, tamat riwayatmu.

"Tidak! tidak hanya itu" kulihat dia merogoh dompet merah muda mirip beludru, dikeluarkannya seongok pas photo lelaki berkulit putih, sempurna untuk diklaim Arab, walau bukan keturunan Arab.

"Kau lihat Ka, ini photo lelaki yang kucinta, Aslan namanya. Dia orang Jogja, rasaku sudah terkuras habis untuknya di Jogja, dan secuil pun tidak, tidak kepadamu Ka!" dengan suara sangat bersemangat. Kuakui, Yang dipanggilnya Aslan, memang tampan rupawan, hartawan? pastilah. Tapi entahlah, apakah aku pantas diperlakukanya seperti ini? apa wanita semua sama, tak memiliki pikiran?. Ah aku jadi ingat artikel yang mengatakan lelaki cenderung kepada pikirannya, sedangkan perempuan lebih kepada perasaannya. Pantas saja mereka dibutakan oleh perasaan yang kalang kabut, rentan bertindak nekat ketika hati dirundung kalut.

"Kau sangat mencintai Aslan, Winda?" kataku pelan.

"Ya Ka, Aku sangat mencintainya, sangat mencintai Aslan. Bahkan hatiku sesak hanya karena, serta untuk Aslan seorang." diucapkannya dengan mantap, tak kurang ragu sama sekali.

"Lalu, aku yang juga mencintaimu? Mencintai tanpa syarat, Dek Winda" kupintal sedikit harap.

"Adakah perasaan yang bisa dipaksakan? Ka" balasnya.

"Tak ada sama sekali Dek, tidak ada" seharusnya kau tahu Dek Winda, di dunia yang menjadikan orang yang satu berjodoh dengan orang yang lain lagi, tidak selalu mutlak berawal dari rasa saling suka, atau saling cinta diantara mereka. Tetaplah setiap sesuatu ada campur tangan Tuhan, mereka berjodoh walau tak pernah sekalipun bertemu, tak saling mengenal, tak pernah saling telponan, sms-an, tapi diam-diam mereka saling mendoakan. Agar diberikan yang terbaik oleh Tuhan.

Pupus sudah harapan. Cinta hanyalah persetan belaka, Bukankah cinta mudah didapatkan. Bisa ditemukan di pinggir jalan, atau dijajakan oleh si kupu-kupu malam. Bagi si hidung belang, hakikat cinta ialah kenikmatan. Pergilah ke perempatan kota-kota besar metropolitan. Carilah di gang-gang sempit minim penerangan. Ribuan kesenangan, hiburan, yang tak kalah menjanjikan. Malah lebih mengagumkan, mengalahkan kisah cinta laila majnun yang mati kerana kasmaran.

Setelah apa yang kukatakan pada Winda, sepertinya tidak ada hal penting lagi yang bisa kuabadikan malam itu. Selama akhir-akhir perjumpaan, yang bisa kulakukan hanyalah menggigit lidah dan bibir secara bersamaan. Kencang-kencang, tak acuhkan darah segar yang sedari tadi telah melesat keluar. Kau tak memberi salam hangat sekedar obat saat perpisahan malam itu.

Aku hanya lelaki usang. Langkah kaki ku gontai menggaruk punggung jalanan. Pulang, serasa menggamit sepucuk harapan berbaur kesialan. Ketidakpuasan akan takdir tuhan. Hingga suatu saat, aku sadar. Ternyata takdir tuhanlah yang aku butuhkan. Tidak mendasarkan hidup hanya dengan apa-apa yang di inginkan, melainkan benar-benar kepada apa yang kita butuhkan dan Tuhan Maha Tahu setiap apa-apa yang hambanya butuhkan.

Sesampainya dirumah. berkelabat kenangan hadir, bahkan potret wajah winda yang sudah kulipat rapat-rapat. Muncul, menyembul kembali dipermukaan hati dan pikiran, menyusuri kanal-kanal impian. Ibarat alarm yang kadang memilih sikap diam sebagai jawaban. Tanpa perlu komando, ingatan membangunkan ku tepat jam tiga dini hari.  Memberiku luang bersimpuh meminta kebaikan diri pada sepertiga malam. Lagi-lagi bayangan winda timbul, Membenak. Oh ya tuhan jika memang ini bukan yang aku butuhkan, maka hamba rela, tidak Engkau berikan. sekalipun itu sangat aku inginkan. Atau sampai kau jauhkan pun tak mengapa.

Awal Juli 2018, hari cerahku datang kembali. Bunga-bunga bermekaran menggenapkan bahagia di hati, semilir tiada henti membawa aroma jerami yang terpanggang teriknya mentari. Hingga tiba kabar yang tak kunanti sama sekali. sudah kupastikan burung-burung camar akan merasa resah nanti, menunggu Kau yang hilang selama-lamanya. Menuju perjumpaan yang hakiki, mengahadap keharibaan Ilahi. Menjadi abadi.

Hari itu juga mendung, seolah mengantarkan dirimu untuk kembali. dan hari itu juga secarik kertas dalam amplop jingga kuterima dari kerabatmu, winda. Kulihat ada namaku disitu dengan imbuhan, my guardian angel, dengan bercak mangsi disekujur tubuh amplop, bertanggal awal Februari 2018.[]

Penulis: M. Ainur Rizki Erian
(Mahasiswa STIT UW Jombang)

Sumber gbr. ilustrasi: https://www.kajiansastra.com

No comments:

Post a Comment