YakusaBlog- Dunia
bergerak sangat cepat. Pengaruh teknologi begitu mendominasi. Berita yang baru
saja tampil di pagi hari, bisa jadi segera basi saat sore hari. Isu yang
biasanyya bertahan lama, kini banyak ditimpa isu lain yang tampil lebih
mengena. Ini lah era di mana kita dimanjakan oleh beragam informasi yang dengan
mudah kita dapatkan sehari-hari. Tinggal klik, tingggal pencet tuts di keyboard, bahkan tinggal perintah suara
di gadget smartphone yang makin canggih, berita terdepan segera tersaji.
Bukan
itu saja. Melakukan apa pun, kini bisa dilakukan hanya dengan gerakan jemari,
atau bahkan jempol saja. Transaksi bank, beli barang, hingga membayar
pengacara. Semua seolah dipermudah dengan kemajuan teknologi komunikasi. Duduk
manis di belakang layar computer atau sembari bergerak aktif memegang sabak-e (tablet), kita sudah bisa berkeliling
dunia melakukan banyak hal.
Dengan
kondisi tersebut, tak heran jika kecepatan kerja pun meningkat. Jika dulu
mengirim surat harus via pos dan butuh beberapa hari, kini sekali klik suda
bisa lintas negeri. Jika dulu mengirim laporan video harus dikirim langsung,
kini via satelit, kita bisa mengunggah berita kapan dan di mana saja dengan
mudahnya.
Semua
berkembang dengan cepat dan pesat. Maka, mereka yang berjalan lambat, hanya
akan jadi penonton atau sekedar penikmat, bukan yang mampu meraih keuntungan
maksimal dari perubahan yang terjadi.
Tapi,
apakah semua lantas bisa dengan mudahnya diselesaikan dengan beragam teknologi
yang muncul? Lantas, apakah semua harus bisa terselesaikan dengan cepat dan
melahirkan budaya seba instan? Bagi saya pribadi, taka da yang bersifat instan.
Semua butuh proses dan diperjuangkan. Bahkan, teknologi secanggih apa pun, tak
tercipta dalam satu dua hari. Untuk itu, bagi yang masih merasa tertinggal atau
keteteran, jangan berkecil hati. Ibarat sebuah pepatah Tiongkok Kuno, bu pa
zou de man, zhi pa ting, yang arti harfiahnya jangan takut berjalan
lambat, tapi takutlah jika diam tidak melakukan apa-apa. Lambat di sini bisa
diartikan proses sedang berjalan, di mana bisa jadi butuh pematangan yang perlu
waktu untuk tumbuh dan berkembang.
“Alkisah, ada dua orang pemuda yang
bersahabat. Mereka sepakat untuk membangun jembatan agar mempermudah perjalanan
mereka ke kota menuju desa. Sebab, selama ini, dari rumahnya di sebuah pelosok
hutan, orang memang sangat jarang pergi ke kota karena harus memutar
mengelilingi sungai yang cukup jauh jaraknya.
Saat mengutarakan maksudnya ke
pemuka desa, niatan mereka pun disetujui. Namun, untuk menjalankan rencana
tersebut, pemuka desa berencana akan mencari bantuan dana ke pemerintah kota
agar dibangunkan jembatan. Mendengar hal tersebut, kedua pemuda tersebut tak
setuju. Bagi mereka, desa itu harus segera memiliki jembatan yang dibuat dengan
swadaya masyarakatnya sendiri. Namun, dengan alasan harus ada dana yang cukup
besar untuk membangun jembatan, pemuka desa tetap bersikeras membangun jembatan
setelah disetujui dan diberi dana oleh pemerintah kota.
Karena tak ada kata sepakat, maka
kedua pemuda itu pun kembali ke rumah masing-masing. Mereka sendiri yakin,
bahwa jembatan bisa segera dibangun jika semua bahu-membahu saling bantu. Maka,
sembari mengumpulkan dukungan, mereka pun setiap hari rajim mengumpulkan kayu, bamboo,
dan ranting sebagai bahan dasar membangun jembatan.
Makin lama, makin banyak orang yang
mulai membantu mereka. Maka, berawal dari sebuah rakit kecil yang mereka
bangun, pelan-pelan mereka terus mengumpulkan kayu yang bisa dipakai untuk membangun
jembatan. Makin hari, kayu yang terkumpulk makin banyak. Dan, melihat
perkembangan yang bagus, makin banyak pula yang membantu mereka.
Sementara, sang pemuka desa rupanya
tak segera mendapat persentujuan dari pemerintah kota untuk membangun jembatan
di desa tersebut. Mendengar berita itu, kedua pemuda tadi mengatakan kepada
pemuka desa untuk bergabung dengan mereka, daripada sekedar menanti bantuan
yang tak pasti. Namun sekali lagi sang pemuka desa tetap tak mau bergabung.
Begitulah, lama-kelamaan, dengan
makin banyaknya bantuan dan makin menggunungnya kayu dan bamboo yang terkumpul,
rangkaian dasar jembatan pun berhasil dibuat. Rakit kecil yang berhasil mereka
pasang untuk menyeberangkan orang pun difungsikan sebagai rakit untuk meletakkan
beragam rangkaian kayu yang diikat erat sehingga mampu menjangkau antar pinggir
sungai.
Dengan bergotong royong, akhirnya
jembatan itu mulai terbangun. Dari jembatan yang kecil, lama-kelamaan, karena
makin banyak bantuan yang diberikan, jembatan itu makin kokoh oleh kayu dan
makin besar hingga bisa dilalui orang banyak.
Beberapa tahun kemudian, jembatan
itu pun selesai dengan kokohnya, berkat inisiatif dua pemuda. Sementara, si
pemuka desa akhirnya merasa bersalah, karena dulu tidak memberikan bantuan,
tapi malah mengharap bantuan yang tak kunjung tiba.”
Kisah
tersebut menggambarkan bahwa orang yang mau bergerak, berjuang, meski terkesan
lambat, juah lebih baik daripada yang hanya berpangku tangan menunggu bantuan. Karena
itu, di tengah kemajuan teknologi yang serbacanggih, mari kita biasakan untuk
terus berkarya. Jangan hanya menunggu atau mencari-cari peluang tanpa berusaha
mewujudkannya.
Meski
kecil, atau bahkan mungkin belum punya dampak sama sekali, setiap langkah akan
mengantarkan kita lebih dekat dengan tujuan. Bukankah perjalanan ribuan mil
semua berawal dari satu langkah? Mari, kita camkan pepatah jangat takut
berjalan lambat, tapi takutlah jika diam tak melakukan apa-apa, yakni dengan
terus berkarya, mencoba, dan melangkah. Maka akan makin banyak pencapaian yang
bisa kita raih dalam kehidupan.[]
Ket:
Tulisan di atas adalah tulisan dari Andrie Wongso, yang dimuat dalam majalah
motivasi Luar Biasa pada September
2012, halaman 08-09.
Sbr. gambar ilustrasi: https://pixabay.com/id/
No comments:
Post a Comment