YakusaBlog- Sejatinya
demokrasi adalah bentuk pemerintahan
dimana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang
dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi,
baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan
pembuatan hukum.
Pada
tahun 2017 media ternama Amerika Serikat, The
Economist, telah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari
2018. Indeks itu memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada
setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel.
Lima
variabel Indeks Demokrasi itu meliputi; Pertama,
Proses elektoral dan pluralisme. Kedua,
Keberfungsian pemerintahan. Ketiga, Partisipasi
politik. Keempat, Kultur politik. Dan
terakhir, yang Kelima adalah Kebebasan sipil. Hasil penilaian yang
diukur dari kelima variabel itu akan dijadikan sebagai tolok ukur penetapan
peringkat indeks.
Nah,
lantas bagaimana dengan posisi Indonesia dalam indeks demokrasi tersebut? Dalam
Indeks Demokrasi tersebut, Indonesia duduk diposisi 68 dan masuk dalam kategori
negara dengan pemerintahan demokrasi yang cacat.
Posisi
Indonesia merosot tajam 20 peringkat dari perhitungan tahun 2016 dan menjadi
sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di tanah air ini. Dan salah
satu penyebabnya adalah dinamika-dinamika yang terjadi khususnya pada
kontestasi Pilkada dan Pilpres serta politik identitas yang digaungkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan.
Menjelang
pemilihan Presiden 2019, tensi politik tanah air sedang hangat-hangatnya yang
disertai pula dengan “Drama-dramanya” dan adu pendapat pun mulai marak. Dan
alhasil terbentuklah dua kubu di masyarakat akibat situasi politik saat ini.
Pembelahan
ini terjadi di media sosial atau pun dilingkungan sehari-hari dan riuh rendah
dukungan sudah mulai terasa. Lebih dari separuh masyarakat yang akhirnya
terseret arus kegaduhan dua kubu pendukung bakal Calon Presiden, baik
dikehidupan sehari-hari, di media massa, maupun di media cetak.
Bahkan
tidak sedikit dari masyarakat yang terlibat pertengkaran karena berbeda
dukungan bakal calon presiden. Masa kampanye belum dimulai tetapi suhu politik
negara kita sudah panas.
Pendapat
publik pun cenderung terbelah diantara mereka yang yang menilai bahwa pengkotakan
masyarakat adalah wajar dan tidak wajar terkait pilpres ini. Hal yang terjadi
akhir-akhir ini adalah dua kubu pendukung bakal calon presiden kerap berseteru
mengenai hal-hal yang tidak esensial.
Publik
seakan-akan kehilangan akal sehat dan berubah haluan menjadi pendukung fanatik.
Fanatisme terhadap bakal calon presiden yang berlebihan ini berpotensi merusak
tatanan nilai demokrasi. Padahal, seharusnya pemilih berpartisipasi aktif
menjelang Pilpres dengan mencari tahu hal-hal yang penting, seperti, visi, misi
dan programnya.
Pemilih
seharusnya kritis terhadap program yang dilontarkan kandidat dalam rangka
menjaring pemimpin yang berkualitas. Sayangnya, adu kompentesi ini justru belum
muncul dari keriuhan sebagian pendukung dua kubu.
Pembelahan
yang terjadi di masyarakat akibat pemilu harus dibayar mahal dengan sejumlah
kerugian, sebagian masyarakat mengatakan dampak yang paling memperhatinkan
publik adalah media sosial yang dipenuhi ujaran kebencian.
Saling
unjuk pendapat di media sosial memang kerap mengabaikan etika. Masing-masing
meyakini dirinya yang paling benar sehingga konflik dan perpecahan sulit
dihindari, lihat saja bagaimana tagar #2019GantiPresiden
atau #2019tetapjokowi muncul silih
berganti di lini masa media sosial. Kondisi ini diperparah dengan maraknya
berita bohong (Hoaks) yang
provokatif.
(Buku ini dapat dipesan. Klik Disini)
Pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan
berita bohong bukan baru saat ini, survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia pada
tahun 2017 menyebutkan, hampir semua responden (92 persen) mengaku seing
menerima berita bohong terkait sosial politik, khususnya pemelihan Kepala
Daerah dan Pilpres.
Masyarakat
yang cenderung tidak dewasa dalam berdemokrasi menghasilkan pengkotakan
berdasarkan pilihan politik. Perpecahan tidak hanya terjadi pada interaksi
keseharian masyarakat, bahkan juga sampai kerumah tangga sebagai imbas hajatan
politik. Berbeda pandangan politik pun mampu menciptakan api permusuhan dalam
suatu relasi sosial yang telah lama dibina.
Bangsa
ini harus belajar dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang begitu gaduh akibat
politik identitas. Dampaknya masih terasa hingga kini. Tak disangka, Pilkada
yang seharusnya jadi pesta demokrasi lokal tersebut justru memicu keretakan
kohesi bangsa.
Tanpa
sadar rakyat hanya dijadikan alat oleh elit politik untuk mencapai kekuasaan.
Etika politik diabaikan dan kaum elit yang mendulang untung. Terbukti, isu
sensitif seperti SARA masih digunakan.
Reformasi
memang melahirkan demokrasi yang saat ini kita nikmati. Akan tetapi, ambisi
untuk meraih kekuasaan dengan berbagai cara malah mendegradasi nilai-nilai
demokrasi itu sendiri. Kini, yang terjadi malah masyarakat saling menjelekkan
satu sama lain hingga begitu gampang terjadi gesekan horizontal yang terjadi
akibat perdebatan isu politik yang tak berkesudahan.
Masyarakat
seharusnya sadar bahwa Pilpres hanya bagian kecil dari perjalanan Negeri ini.
Ujian berbangsa sesungguhnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan disegala
situasi dan bertanggung jawab untuk membuat suasana dilapangan menjadi
harmonis.
Pada
akhirnya, relasi sosial harus terus dijaga karena Pilpres hanyalah proses
politik yang akan berlangsung setiap lima tahun sekali. Kesadaran pluralisme
(bersama) sebagai konsekuensi hidup di Negeri yang multikultural ini seharusnya
menjadi modal bersama. Mari kita hadirkan demokrasi yang lancar dan kondusif
demi menghasilkan pemimpin yang berkualitas.[]
Penulis: Mhd. Fathria Alfardzi
(Mahasiswa Stia Nusa Sungai Penuh dan Kader HMI
Komisariat Stie Sak-Stia Nusa)
Sumber gambar: http://www.yuksinau.id/
No comments:
Post a Comment