Dewasa Dalam Berdemokrasi - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Friday, 14 December 2018

Dewasa Dalam Berdemokrasi


YakusaBlog- Sejatinya demokrasi  adalah bentuk pemerintahan dimana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Pada tahun 2017 media ternama Amerika Serikat, The Economist, telah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Indeks itu memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel.
Lima variabel Indeks Demokrasi itu meliputi; Pertama, Proses elektoral dan pluralisme. Kedua, Keberfungsian pemerintahan. Ketiga, Partisipasi politik. Keempat, Kultur politik. Dan terakhir, yang Kelima adalah Kebebasan sipil. Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan dijadikan sebagai tolok ukur penetapan peringkat indeks.
Nah, lantas bagaimana dengan posisi Indonesia dalam indeks demokrasi tersebut? Dalam Indeks Demokrasi tersebut, Indonesia duduk diposisi 68 dan masuk dalam kategori negara dengan pemerintahan demokrasi yang cacat.
Posisi Indonesia merosot tajam 20 peringkat dari perhitungan tahun 2016 dan menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di tanah air ini. Dan salah satu penyebabnya adalah dinamika-dinamika yang terjadi khususnya pada kontestasi Pilkada dan Pilpres serta politik identitas yang digaungkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Menjelang pemilihan Presiden 2019, tensi politik tanah air sedang hangat-hangatnya yang disertai pula dengan “Drama-dramanya” dan adu pendapat pun mulai marak. Dan alhasil terbentuklah dua kubu di masyarakat akibat situasi politik saat ini.
Pembelahan ini terjadi di media sosial atau pun dilingkungan sehari-hari dan riuh rendah dukungan sudah mulai terasa. Lebih dari separuh masyarakat yang akhirnya terseret arus kegaduhan dua kubu pendukung bakal Calon Presiden, baik dikehidupan sehari-hari, di media massa, maupun di media cetak.
Bahkan tidak sedikit dari masyarakat yang terlibat pertengkaran karena berbeda dukungan bakal calon presiden. Masa kampanye belum dimulai tetapi suhu politik negara kita sudah panas.
Pendapat publik pun cenderung terbelah diantara mereka yang yang menilai bahwa pengkotakan masyarakat adalah wajar dan tidak wajar terkait pilpres ini. Hal yang terjadi akhir-akhir ini adalah dua kubu pendukung bakal calon presiden kerap berseteru mengenai hal-hal yang tidak esensial.
Publik seakan-akan kehilangan akal sehat dan berubah haluan menjadi pendukung fanatik. Fanatisme terhadap bakal calon presiden yang berlebihan ini berpotensi merusak tatanan nilai demokrasi. Padahal, seharusnya pemilih berpartisipasi aktif menjelang Pilpres dengan mencari tahu hal-hal yang penting, seperti, visi, misi dan programnya.
Pemilih seharusnya kritis terhadap program yang dilontarkan kandidat dalam rangka menjaring pemimpin yang berkualitas. Sayangnya, adu kompentesi ini justru belum muncul dari keriuhan sebagian pendukung dua kubu.
Pembelahan yang terjadi di masyarakat akibat pemilu harus dibayar mahal dengan sejumlah kerugian, sebagian masyarakat mengatakan dampak yang paling memperhatinkan publik adalah media sosial yang dipenuhi ujaran kebencian.
Saling unjuk pendapat di media sosial memang kerap mengabaikan etika. Masing-masing meyakini dirinya yang paling benar sehingga konflik dan perpecahan sulit dihindari, lihat saja bagaimana tagar #2019GantiPresiden atau #2019tetapjokowi muncul silih berganti di lini masa media sosial. Kondisi ini diperparah dengan maraknya berita bohong (Hoaks) yang provokatif.

(Buku ini dapat dipesan. Klik Disini)
Pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan berita bohong bukan baru saat ini, survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia pada tahun 2017 menyebutkan, hampir semua responden (92 persen) mengaku seing menerima berita bohong terkait sosial politik, khususnya pemelihan Kepala Daerah dan Pilpres.
Masyarakat yang cenderung tidak dewasa dalam berdemokrasi menghasilkan pengkotakan berdasarkan pilihan politik. Perpecahan tidak hanya terjadi pada interaksi keseharian masyarakat, bahkan juga sampai kerumah tangga sebagai imbas hajatan politik. Berbeda pandangan politik pun mampu menciptakan api permusuhan dalam suatu relasi sosial yang telah lama dibina.
Bangsa ini harus belajar dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang begitu gaduh akibat politik identitas. Dampaknya masih terasa hingga kini. Tak disangka, Pilkada yang seharusnya jadi pesta demokrasi lokal tersebut justru memicu keretakan kohesi bangsa.
Tanpa sadar rakyat hanya dijadikan alat oleh elit politik untuk mencapai kekuasaan. Etika politik diabaikan dan kaum elit yang mendulang untung. Terbukti, isu sensitif  seperti SARA masih digunakan.
Reformasi memang melahirkan demokrasi yang saat ini kita nikmati. Akan tetapi, ambisi untuk meraih kekuasaan dengan berbagai cara malah mendegradasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Kini, yang terjadi malah masyarakat saling menjelekkan satu sama lain hingga begitu gampang terjadi gesekan horizontal yang terjadi akibat perdebatan isu politik yang tak berkesudahan.
Masyarakat seharusnya sadar bahwa Pilpres hanya bagian kecil dari perjalanan Negeri ini. Ujian berbangsa sesungguhnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan disegala situasi dan bertanggung jawab untuk membuat suasana dilapangan menjadi harmonis.
Pada akhirnya, relasi sosial harus terus dijaga karena Pilpres hanyalah proses politik yang akan berlangsung setiap lima tahun sekali. Kesadaran pluralisme (bersama) sebagai konsekuensi hidup di Negeri yang multikultural ini seharusnya menjadi modal bersama. Mari kita hadirkan demokrasi yang lancar dan kondusif demi menghasilkan pemimpin yang berkualitas.[]

Penulis: Mhd. Fathria Alfardzi
(Mahasiswa Stia Nusa Sungai Penuh dan Kader HMI Komisariat Stie Sak-Stia Nusa)


Sumber gambar: http://www.yuksinau.id/

No comments:

Post a Comment