YakusaBlog- Setiap ciptaan yang diciptakan Allah Swt pastilah ada
maksud makhluk tersebut diciptakan itulah makna dari sebagian nama Allah Al
Aliim (Maha Mengatui) (QS : Al-Mulk [67]:14). Pada hakekatnya Allah menciptakan
semua makhluk termasuk Jin dan Manusia hanya untuk berbadah pada Allah Swt (QS
: Adz Dzariyat [51] :56). Fitrahya manusia diciptakan hanya untuk beribadah
pada Allah Swt lalu karena manusia adalah makhluk paling sempurna dari makhluk
ciptaan Allah maka tugas manusia akan lebih sulit daripada ciptaan lainnya,
tidak hanya beribadah tetapi sebagai khalifah sekaligus merawat dan memakmurkan
bumi (QS : Al Baqarah [2]:30, QS : Al a’raf ayat [7]:56) bahkan makhluk-makhluk
apapun tidak mampu untuk menjalankan amanah yang diberikan pada manusia (QS :
Al Ahzab [33]:72).
Lantas hal apakah yang membuat seorang manusia menjadi
makhluk yang paling sempurnya dari makhluk lain (QS : At-Tin [95]:4)? Jawabannya
itulah akal dan nafsu yang difitrahkan Allah pada manusia.
Suatu ketika Imam Ja'far Ash-Shadiq Rahimahullah pernah
ditanya oleh seseorang mengenai hal demikian, kedudukan manusia, malaikat, dan
hewan, lalu beliau menjawab:
“Allah memberikan
akal tanpa syahwat kepada malaikat. Dan memberi syahwat tanpa akal kepada
binatang. Dan dia memberi akal dan syahwat kepada manusia. Maka, siapa yang
akalnya mengalahkan syahwatnya maka dia lebih mulia dari malaikat. Dan siapa
yang syahwatnya mengalahkan akalnya maka dia lebih sesat dari binatang”
Seyogyanya dengan fitrah akal tersebut manusia dapat
mengenal hakikat Allah, Islam, dan Iman, karena tanpa akal manusia sulit
mengenal Allah (tanpa kehendak Allah), melalui akal tersebut lah manusia
seharusnya kembali mengkaji, menelaah apa itu Islam, apa itu Iman sehingga
seorang manusia tersebut tidak terjerumus kedalam kepercayaan yang buta dan mitoligis.
Dalam buku Nurcholis Madjid beliau mengatakan manusia
hakikatnya tidak akan mampu untuk lepas dari sebuah kepercayaan bahkan sampai
ia Atheis sekalipun, karena orang yang Atheis pun masih mempercayai adanya
keberuntungan ataupun sejenisnya. Karena kepercayaan tersebut sangat diperlukan
oleh manusia, maka muncullah bermacam-macam kepercayaan tersebut.
Karena kepercayaan yang beragam tersebut dalam kesimpulannya
tidak mungkin semua kepercayaan tersebut benar, pasti salah satu benar atau
semua salah. Lantas kepercayaan manakah yang benar tersebut? Apakah kepercayaan
yang kita anut selama ini hanyalah mitologis semata seperti masyarakat romawi
kuno yang diteliti oleh seorang ahli mitologi yaitu (Joseph Campbell, Mytsh to Live By, 1988) dalam hasil
penelitiannya bahwa masyarakat romawi kuno mempercayai sesuatu dewa yang besar
di astronomi, Yaitu Dewa Matahari, Dewa
Bulan, Dewa Mars, Dewa Merkurius, Dewa Jupiter, Dewa Venus, Dan Dewa Saturnus. Sehingga
muncullah konsep tujuh hari untuk menyembah tuhan-tuhan tersebut yang diawali
dengan menyembah dewa yang paling bersinar terang, itulah matahari (Sunday =
Hari Matahari).
Akan tetapi kepercayaan yang konservatif atau kolot
tersebut akhirnya terpatahkan dengan demitologisasi bahwasanya teori dewa
tersebut tidak ada karena hanya bersifat mitos atau mitologi, akan tetapi
bingungnya istilah planet-planet tersebut masih ada sampai sekarang dan menjadi
bahan ajaran wajib untuk masyarakat, termasuk Indonesia.
Telah disampaikan diatas bahwasanya kepercayaan sangat
diperlukan, lantas kepercayaan manakah yang benar? Islam akhirnya memberi
jawaban atas pernyataan tersebut dengan kalimat yang menjadi pegangan keyakinan
dan bukti keImanan seorang muslim yaitu kalimat Syahadat. La ilaha illallah
(tiada Tuhan selain Allah), artinya pada kalimat depan menyatakan tiada tuhan
dimuka bumi ini, termasuk tuhan batu, tuhan kayu, tuhan planet, dll, karena
“Tiada Tuhan” artinya peniadaan, lalu menyambung pada kalimat setelahnya
“Selain Allah” kalimat pengecualian yang artinya dunia ini tidak memiliki tuhan
kecuali Allah itu sendiri. Haqq.
Kalimat persaksian yang selalu dipegang oleh umat Islam
mahwa dia telah beriman pada Allah dan mempercayai Allah lah tuhan yang tunggal
di muka bumi. Tetapi problematik nya
apakah Iman itu cukup dengan percaya, setelah dipercayai apakah ada tindak
lanjut dari mempercai itu?
Berani berbuat maka berani bertanggung jawab, berani
menyatakan berIman pada Allah maka berani menerima konsekuensi, perintah, dan
larangan dari Allah Swt. maka hakikatnya Iman itu sami'na wa atho'na (QS : An-Nisa [4]: 59) diyakini dalam hati,
diucapkan melalui lisan, dan dilakukan dengan tindakan.
Apabila seseorang belum mampu melaksanakan perintah Allah
maka ia tidak memenuhi definisi keImanan tadi dan apabila seseorang tega
membakar suatu kalimat tauhid yang bernafaskan La ilaha illallah yang mana
kalimat tersebut menjadi salah satu syarat berIman dan BerIslamnya seorang
muslim.
Seperti yang dikatakan di awal, manusia seharusnya lebih
mengedepankan akal dari pada nafsu yang mana dapat menjerumuskan seorang muslim
bahkan lebih rendah dari hewan sekalipun karena hewan diciptakan hanya memiliki
nafsu. Maka terkadang tidak salah bahwa ada pernyataan dalam ilmu saint yang
mengatakan “Manusia adalah Binatang yang Berpikir” disaat manusia menggunakan
akalnya dalam bertindak maka sifat kemanusiaannya lah yang tampak, tetapi
sebaliknya apabila manusia tidak berpikir apalagi dalam tindakan maka naluri
kebinatangannya pun muncul, itulah kenapa bisa saja manusia lebih mulia dari
malaikat dan lebih hina dari binatang.
Seyogya dan semestinya kalimat tauhid haruslah selalu
kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari karena sebagai persaksian atas
kepercayaan dan penyerahan diri kepada Allah Swt.[]
Penulis: Muhammad Muqaffa (Intruktur Muda HMI Cabang Medan)
No comments:
Post a Comment