Islam, Iman, dan Masalah Ketauhidan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday, 1 November 2018

Islam, Iman, dan Masalah Ketauhidan



YakusaBlog- Setiap ciptaan yang diciptakan Allah Swt pastilah ada maksud makhluk tersebut diciptakan itulah makna dari sebagian nama Allah Al Aliim (Maha Mengatui) (QS : Al-Mulk [67]:14). Pada hakekatnya Allah menciptakan semua makhluk termasuk Jin dan Manusia hanya untuk berbadah pada Allah Swt (QS : Adz Dzariyat [51] :56). Fitrahya manusia diciptakan hanya untuk beribadah pada Allah Swt lalu karena manusia adalah makhluk paling sempurna dari makhluk ciptaan Allah maka tugas manusia akan lebih sulit daripada ciptaan lainnya, tidak hanya beribadah tetapi sebagai khalifah sekaligus merawat dan memakmurkan bumi (QS : Al Baqarah [2]:30, QS : Al a’raf ayat [7]:56) bahkan makhluk-makhluk apapun tidak mampu untuk menjalankan amanah yang diberikan pada manusia (QS : Al Ahzab [33]:72).

Lantas hal apakah yang membuat seorang manusia menjadi makhluk yang paling sempurnya dari makhluk lain (QS : At-Tin [95]:4)? Jawabannya itulah akal dan nafsu yang difitrahkan Allah pada manusia.

Suatu ketika Imam Ja'far Ash-Shadiq Rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang mengenai hal demikian, kedudukan manusia, malaikat, dan hewan, lalu beliau menjawab:

Allah memberikan akal tanpa syahwat kepada malaikat. Dan memberi syahwat tanpa akal kepada binatang. Dan dia memberi akal dan syahwat kepada manusia. Maka, siapa yang akalnya mengalahkan syahwatnya maka dia lebih mulia dari malaikat. Dan siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya maka dia lebih sesat dari binatang”

Seyogyanya dengan fitrah akal tersebut manusia dapat mengenal hakikat Allah, Islam, dan Iman, karena tanpa akal manusia sulit mengenal Allah (tanpa kehendak Allah), melalui akal tersebut lah manusia seharusnya kembali mengkaji, menelaah apa itu Islam, apa itu Iman sehingga seorang manusia tersebut tidak terjerumus kedalam kepercayaan yang buta dan mitoligis.

Dalam buku Nurcholis Madjid beliau mengatakan manusia hakikatnya tidak akan mampu untuk lepas dari sebuah kepercayaan bahkan sampai ia Atheis sekalipun, karena orang yang Atheis pun masih mempercayai adanya keberuntungan ataupun sejenisnya. Karena kepercayaan tersebut sangat diperlukan oleh manusia, maka muncullah bermacam-macam kepercayaan tersebut.

Karena kepercayaan yang beragam tersebut dalam kesimpulannya tidak mungkin semua kepercayaan tersebut benar, pasti salah satu benar atau semua salah. Lantas kepercayaan manakah yang benar tersebut? Apakah kepercayaan yang kita anut selama ini hanyalah mitologis semata seperti masyarakat romawi kuno yang diteliti oleh seorang ahli mitologi yaitu (Joseph Campbell, Mytsh to Live By, 1988) dalam hasil penelitiannya bahwa masyarakat romawi kuno mempercayai sesuatu dewa yang besar di astronomi, Yaitu Dewa Matahari, Dewa Bulan, Dewa Mars, Dewa Merkurius, Dewa Jupiter, Dewa Venus, Dan Dewa Saturnus. Sehingga muncullah konsep tujuh hari untuk menyembah tuhan-tuhan tersebut yang diawali dengan menyembah dewa yang paling bersinar terang, itulah matahari (Sunday = Hari Matahari).

Akan tetapi kepercayaan yang konservatif atau kolot tersebut akhirnya terpatahkan dengan demitologisasi bahwasanya teori dewa tersebut tidak ada karena hanya bersifat mitos atau mitologi, akan tetapi bingungnya istilah planet-planet tersebut masih ada sampai sekarang dan menjadi bahan ajaran wajib untuk masyarakat, termasuk Indonesia.

Telah disampaikan diatas bahwasanya kepercayaan sangat diperlukan, lantas kepercayaan manakah yang benar? Islam akhirnya memberi jawaban atas pernyataan tersebut dengan kalimat yang menjadi pegangan keyakinan dan bukti keImanan seorang muslim yaitu kalimat Syahadat. La ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), artinya pada kalimat depan menyatakan tiada tuhan dimuka bumi ini, termasuk tuhan batu, tuhan kayu, tuhan planet, dll, karena “Tiada Tuhan” artinya peniadaan, lalu menyambung pada kalimat setelahnya “Selain Allah” kalimat pengecualian yang artinya dunia ini tidak memiliki tuhan kecuali Allah itu sendiri. Haqq.

Kalimat persaksian yang selalu dipegang oleh umat Islam mahwa dia telah beriman pada Allah dan mempercayai Allah lah tuhan yang tunggal di muka bumi. Tetapi problematik nya apakah Iman itu cukup dengan percaya, setelah dipercayai apakah ada tindak lanjut dari mempercai itu?

Berani berbuat maka berani bertanggung jawab, berani menyatakan berIman pada Allah maka berani menerima konsekuensi, perintah, dan larangan dari Allah Swt. maka hakikatnya Iman itu sami'na wa atho'na (QS : An-Nisa [4]: 59) diyakini dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dilakukan dengan tindakan.

Apabila seseorang belum mampu melaksanakan perintah Allah maka ia tidak memenuhi definisi keImanan tadi dan apabila seseorang tega membakar suatu kalimat tauhid yang bernafaskan La ilaha illallah yang mana kalimat tersebut menjadi salah satu syarat berIman dan BerIslamnya seorang muslim.

Seperti yang dikatakan di awal, manusia seharusnya lebih mengedepankan akal dari pada nafsu yang mana dapat menjerumuskan seorang muslim bahkan lebih rendah dari hewan sekalipun karena hewan diciptakan hanya memiliki nafsu. Maka terkadang tidak salah bahwa ada pernyataan dalam ilmu saint yang mengatakan “Manusia adalah Binatang yang Berpikir” disaat manusia menggunakan akalnya dalam bertindak maka sifat kemanusiaannya lah yang tampak, tetapi sebaliknya apabila manusia tidak berpikir apalagi dalam tindakan maka naluri kebinatangannya pun muncul, itulah kenapa bisa saja manusia lebih mulia dari malaikat dan lebih hina dari binatang.

Seyogya dan semestinya kalimat tauhid haruslah selalu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari karena sebagai persaksian atas kepercayaan dan penyerahan diri kepada Allah Swt.[]

Penulis: Muhammad Muqaffa (Intruktur Muda HMI Cabang Medan)

No comments:

Post a Comment