YakusaBlog- Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi yang menghimpun anak-anak muda
beragama Islam terpelajar, maka sesungguhnya kekuatan utama HMI bertumpu pada
potensi intelektualitas. Potensi ini (intelektualitas), menurut Amich Alhumami
dalam tulisannya yang dibukukan oleh Agussalim Sitompul dengan judul HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, jika
dikembangkan maka HMI memiliki keunggulan kompetitif (Competitive Advantages). Ia juga berpendapat, potensi
intelektualitas itu menjadi alat agar mampu bersaing dengan ormas-ormas
kepemudaan yang lain.
Pendapat
di atas tentunya menguatkan yang pernah ada pada HMI. Bukankah keunggulan HMI
sebelum masa kini terletak pada kualitas kadernya yang mempunyai bobot
intelektualitas? Tradisi intelektual yang telah pernah ditanamkan dalam ber-HMI
harus tetap dipertahankan. Jika tradisi intelektual yang telah dibangun itu
runtuh, maka HMI akan kehilangan peran-peran strategis di masa yang akan
datang.
Tapi
saat ini, seiring dengan perkembangan peta perpolitikan negara ternyata
mempengaruhi kondisi internal HMI. Menurut penulis, saat ini dan pastinya sudah
lama terjadi mulai sejak reformasi hingga saat ini, terjadi pergeseran ciri
kader HMI. Ciri kader HMI dari corak intelektual muda Islam, yang cenderung
kritis dan solutif bergeser kepada corak politikus yang mengedepankan
pragmatisme politik. Setelah penulis ketahui, perkataan ini juga pernah
diungkapkan oleh Teuku Syahril Anshari, yang dituliskan dalam Harian Terbit, Jakarta, tanggal 5 Juli
1997, kemudian dibukukan oleh Agussalim Sitompul sebagaimana buku yang penulis
sebutkan di atas tadi.
Nah,
penulis menyoroti dua hal di atas, pergeseran ciri kader HMI yang bercorak
intelektual dengan kader HMI bercorak politikus yang pragmatis. Sebagaimana
kita ketahui bersama, baik di internal kita atau di eksternal kita sendiri, HMI
saat ini sangat rapuh dalam dunia intelektual. Bagaimana kita menandai hal ini?
Gampang saja menurut penulis, cukup kita melihat tradisi-tradisi intelektual
yang pernah ditunjukkan oleh para pendahulu-pendahulu kita, apakah masih
terjaga dan teraplikasi dengan baik saati ini?
Jika
pun masih ada kader-kader yang komitmen menjaga dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari, itu hanya segelintir orang yang sadar dan belum menjadi
mayoritas di tubuh kita sendiri. Meningkatkan potensi kualitas intelektual,
terlihat tidak lagi menjadi fokus utama HMI. Jika pun itu terlihat ada, tapi
tradisi intelektual itu dipolitisir untuk kepentingan politik dan memenuhi
sesuatu, kita katakanlah itu uang, eksistensialisme dan atau ingin mencari
panggung menaikkan nama. Sehingga muncul suatu pola pikir yang salah, yaitu
mengukur segala sesuatu dari kuantitas.
Saat
ini, rasanya sudah sering penulis ungkapkan, ada kader-kader HMI terlibat dalam
dunia politik praktis. Apalagi menjelang Pemilihan Umum 2019 nanti. Kader-kader
kita menghabiskn pemikirannya dan aktivitasnya dengan sia-sia karena ikut
terlibat aktif di dalam perpolitikan saat ini, ia sudah semacam seorang
politikus. Sehingga, hal-hal strategis yang harus dilakukan tertinggal begitu
saja.
Misalnya
hal-hal stretegis itu adalah pendalaman ilmu pengetahuan, melakukan
pelatihan-pelatihan yang mendongkrak potensi diri, melakukan penelitian dan
juga melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk aksi sosial atau bakti
sosial, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang benar-benar dikerjakan hanya untuk
meningkatkan kualitas intelektual kader HMI dan mengharapkan ridho dari Allah
Swt. Bukan untuk mencari eksistensi semata dan hal-hal nisbi lainnya.
Menurut
Alhumami, jika kita berkeinginan mengembalikan kepeloporan HMI, maka kita harus
menjadikan kader HMI sebagai braintrust.
Maksudnya adalah, kader HMI menjadi kelompok penalar atau kelompok pemikir bagi
bangsa ini. Kita dapat melebur ke dalam mainstream
zaman yang sekarang cenderung pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi.
Mobilitas
intelektual kader HMI harus dipacu bersamaan dengan arus perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi. Maka dengan demikian, peran kader HMI ke depan akan
semakin menentukan dalam proses pembangunan bangsa dan negara ini. Tapi jika,
kader HMI terlibat dalam politik praktis dan menjadi kader yang pragmatis, maka
menurut penulis kita menambah masalah perpolitikan lagi dan juga menambah
masalah di HMI. Yang mana kita ketahui betapa rapuhnya situasi negara kita saat
ini akibat kondisi perpolitikan. Praktek politik yang bukan substansi tapi
lebih ke arah politik sensasi dan politik identitas.
Pergeseran
ciri kader HMI yang bercorak intelektual kepada ciri kader HMI yang politikus
praktis atau politikus pragmatisme harus kembali kita geser ke posisi semula.
Setidaknya, kita menjaga ke depannya, kader-kader HMI yang baru bergabung di
HMI tidak digeser ke posisi ke dua. Karena, sumbangsih terbesar HMI kepada
negara, bangsa dan agama adalah ketika ia mampu menyuguhkan atau memasok sumber
daya manusia yang unggul dan berkualitas. Manusia atau kader HMI yang unggul
dan berkualitas itulah yang dibutuhkan untuk membangun bangsa dan negara ke
depan. Semoga dan Yakusa!
Penulis: Ibnu Arsib
Kader HMI Cabang Medan
Sbr. gbr: https://locita.co/
No comments:
Post a Comment