YakusaBlog- Membicarakan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kita cintai ini memang sangat menarik dan
tidak pernah kering untuk tetap dibahas. Dari semenjak berdirinya organisasi
mahasiswa ini, selalu HMI menjadi sorotan baik internal maupun eksternal. Kritik
dan otokritik bukti adanya dinamisasi organisasi kita ini. Bukan hanya sebagai
bahan pembicaraan, organisasi ini kita ini kerap kali menjadi “barang” yang
harus dikuasai atau direbut oleh pihak-pihak tertentu. Organisasi kita ini juga
kerap kali dijadikan alat dalam kegiatan-kegiatan yang beraroma politik. Secara
sadar atau tidak sadar, HMI pun banyak terlibat dalam kegiatan politik.
Kondisi
sekarang yang akan menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 nanti, menjadi suatu
kesempatan bagi kita untuk memperhatikannya. Secara organisatoris dan
individual kader HMI, terkadang terjebak dalam kegiatan yang beraroma politik
praktis. Bahkan, ada yang secara sadar terlibat sebagai tim suksesi dari salah
satu politisi, padahal kader tersebut masih aktif dalam kepengurusan di HMI.
Keterlibatan
HMI dalam kegiatan politik ini menurut Agussalim Sitompul adalah salah satu
indikator kemunduran HMI, tepatnya indikator yang ke 29 dari 44 indikator yang
ia sebutkan. Ia menuliskan dalam bukunya yang berjudul 44 Indikator Kemunduran HMI, HMI banyak terlibat dalam kegiatan
politik, sehingga banyak menyedot perhatian, tenaga, pikiran bahkan dana.
Menurutnya,
akibat dari hal-hal tersebut kegiatan-kegiatan lain berkurang, dan sering
terabaikan. Yang nampak menonjol dari kegiatan HMI adalah kegiatan yang beraroma
politik. Di sadari atau tidak, kalau HMI tidak cepat berubah orientasi dari “kegiatan
politik” yang berlebihan inilah yang secara pelan-pelan akan membunuh atau
mematik HMI.
Sebenarnya
kegiatan tersebut tidak salah, kata beliau. Akan tetapi, kita sebagai seorang
kader harus dapat membatasi diri. HMI yang berperan sebagai organisasi
perjuangan, untuk melakukan perombakan, perubahan, penyempurnaan, salah satu
jalurnya adalah kegiatan politik. Akan tetapi, koridor untuk itu harus tetap
dipegang teguh. Jikalau HMI masih terus terlalu berorientasi kepada kegiatan
politik, mengapa HMI tidak dijadikan sebagai “Partai Politik HMI.” Atau anggota-anggota HMI yang senang
berpolitik, masuk dan aktif saja di Partai Politik yang sudah ada.
Dalam
hal ini, kader-kader tersebut harus melepaskan dirinya dari HMI sehingga
menjadi Alumni HMI dan tidak sebagai pengurus di HMI dan menjadi pengurus di
Partai Politik. Sifat independensi HMI harus tetap di jaga oleh kader-kader HMI
dan juga oleh Alumni-alumninya. Tidak memanfaatkan HMI sebagai massa dan
gerbong politik praktis.
HMI
memang tidak boleh buta politik, dan harus faham akan politik, supaya tidak
tergilas oleh politik, kata Agussalim. Jika HMI ingin sukses dalam
perjuangannya, yang berfungsi sebagai organisasi kader, semestinya HMI harus
banyak mencetak kader-kader yang berkualitas. Beliau, mengatakan seperti tipe
Hatta-problem solving dan tipe Soekarno-solidarity making.
Nah,
jika kita hubungkan dengan sekarang, bagaimanakah kita lihat kegiatan-kegiatan
HMI? Entah mengapa saat kegiatan-kegiatan di HMI lebih cenderung beraroma
politik. Kalaupun ada kegiatan yang kita katakan tradisi intelektual, tetap ada
saja aroma politik yang tercium. Tidak jauh-jauh, contohnya adalah ketika Pengurus
Besar HMI melakukan suatu kegiatan Sekolah Pimpinan HMI, ada aroma-aroma
politik yang tercium. Banyak kader-kader yang menjadi pimpinan cabang di
seluruh Indonesia di giring menuju istana.
Dapat
kita temukan lagi, ada beberapa kader masih menjadi pengurus di tingkatan HMI terlibat
menjadi tim sukses calon legislatif dari salah satu Partai Politik. Selanjutnya,
kader-kader HMI lebih terlihat saat kegiatan-kegiatan politik yang dibuat oleh
salah satu instansi pemerintahan dari pada kegiatan yang dilakukan kader
bersama ummat. Memang tidak semua, untunglah masih ada kader-kader yang idealis
dan juga menjaga independensinya. Tapi, sayang ia adalah kelompok kecil di
organisasi mahasiswa yang terbesar ini. Bahkan, kelompok-kelompok ini sengaja
dan harus dimatikan oleh kelompok mayoritas yang telah menanamkan aroma
kepentingan politik praktis di HMI.
Ada
baiknya kita simak perkataan seorang Mantan Ketua Umum Pengurus Besar yang
penuliskan kutipkan langsung dari bukunya Agussalim Sitompul. Mantan Ketum PB
HMI itu berkata dalam tulisannya:
“Sebagai organisasi
mahasiswa, HMI bukan dibentuk sebagai organisasi politik, dan karena itu tidak
berorientasi pada politik. Perjuangan HMI adalah perjuangan kebenaran, atau
nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian maka HMI tepat disebut sebagai
kekuatan moral dan pantulan suara nurani masyarakat. Akan tetapi sebagai organisasi
yang telah mengalami perkembangan sedemikian rupa, termasuk persentuhannya
dengan dinamika politik bangsa, maka setiap sikap dan perilaku HMI akan tetap
mempunyai nilai dan resonansi politis. HMI yang postur awalnya sebagai moral
force mau tidak mau juga dihitung sebagai political force. Kondisi demikian
menuntut HMI untuk mengaktualisasi potensinya itu, baik moral force maupun
political force. Tanpa aktualisasi keduanya, bukan hanya akan mubazir, tetapi
juga akan menyebabkan proses pembusukan secara internal. Aktualisasi potensi
tersebut tentunya bersifat outward looking, sehingga akan meminimalisir
terjadinya konflik internal atau menumpuk kolesterol institusi yang akan
membuat kinerja dan kerja-kerja organisasi menjadi lamban. Akan tetapi yang
harus ditegaskan bahwa awal keberangkatan HMI adalah sebagai kekuatan moral. Ini
yang tidak boleh luntur atau hilang. Artinya setiap bentuk aktualisasi kekuatan
politiknya harus tetap dalam kerangka moralitas itu. bahkan parameter
perjuangan HMI tetap pada etika, moralitas dan nilai-nilai kebenaran. Aktualisasi
kekuatan politik yang lepas dari kerangka moralitas itu tidak dapat dibenarkan.”
Dapatlah
kiranya kita tangkap esensi dari tulisan di atas. Sebagai seorang kader HMI
harus menadi moral force dan
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Yang paling penulis soroti, HMI mempunyai
selain moral force tapi mempunyai political force, akan tetapi harus tetap
dalam kerangka moralits. Bahkan perjuanga HMI harus tetap pada etika, juga
moralits dan nilai-nilai kebenaran. Penulis ulangi lagi dan sangat perlu kita
tanamkan dalam hati dan juga pikiran kita, bahwa aktualisasi kekuatak politik (political force) yang lepas dari
kerangka moralitas tidak dapat dibenarkan.
Nah,
kita kembali kita tari lagi pada kondisi saat ini dan yang akan datang, HMI
jangan sampai menggadaikan moralitas, etika dan nilai-nilai kebenaran dalam
kegiatan-kegiatan yang beraroma politik praktis. Tidak menggadaikan
independensi HMI sehingga dapat membunuh HMI. Tidak menjadi HMI sebagai alat
kepentingan politik praktis karena dia (HMI) berdiri bukan untuk politik.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Kader HMI Cabang Medan
No comments:
Post a Comment