Alimbas Dalam Sebuah Kenangan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 21 August 2018

Alimbas Dalam Sebuah Kenangan

Suara rintik hujan terdengar dari ruang kamar rumahku. Di ruang meja makan, istriku tercinta sedang mempersiapkan makan malam. Anakku yang baru bisa berjalan merangkak sedang tertidur pulas di ayunan. Aku pikir anakku yang masih kecil itu kedinginan karena hujan yang lumayan lebat. Ternyata tidak, istriku telah menyelimutinya. Sebetulnya tanpa turunnya hujan, cuacanya di daerah tempat tinggalku memang sudah terkenal dingin. Selain terkenal dengan cuacanya yang dingin, terkadang ada kekhawatiran udara yang penuh dengan abu dari letusan Gunung Sinabung. Apalagi akhir-akhir ini, gunung itu sering menunjukkan aksinya pada masyarakat. Dengan itu, Kamu pasti tahu di daerah mana aku, istriku dan anakku tinggal saat ini.
Tinggal di desa yang cukup terpencil adalah pilihan hidupku bersama orang yang aku cintai, istriku. Aku merasa nyaman bila tinggal di pedesaan walaupun aku terlahir sebagai masyarakat kota. Ia tidak pernah mengeluh dan bosan tinggal di pedesaan walaupun fasilitas rumah kami apa adanya. Rumahku tidaklah terlalu besar dan juga tidak terlihat mewah. Setidaknya nyamanlah untuk tinggal. Terkait masalah cuaca yang dingin sudah menjadi biasa bagi kami dan juga masyarakat-masyarakat yang ada di daerah tempat tinggalku. Kulit dan kondisi tubuh kami sudah dapat beradaptasi dengan kondisi-kondisi cuaca. Kamidan masyarakat sesekali mengunggsi dari rumah masing-masing ketika erupsi terjadi.
“Ada apa Bang. Kok Abang lihat-lihat foto itu?” Suara istriku mengagetkan saat aku menikmati pemandangan pada foto yang tertempel di dinding.
Foto yang sedang kulihat itu adalah foto sebuah gedung sederhana, atau lebih tepatnya semacam rumah. Tapi bangunan gedung itu tidak seperti rumah tempat tinggal penduduk sekitar. Di sebelah rumah itu, biasa disebut istilah gedung kantor, terdapat bangunan yang ruangannya cukup besar dan ada bangunan yang digunakan untuk mushollah. Dan yang membuat indah pemandangan di tempat itu adalah tumbuhnya pohon yang daunnya cukup rindang. Orang-orang mengatakan nama pohon itu adalah Pohon Seri. Dan juga yang lebih membuat indah lagi dari gedung itu adalah kenangannya.
Aku tidak ingat secara pasti dari mana aku mendapatkan foto itu. Aku hanya ingat, bahwa ada seorang kader waktu itu memberikannya padaku. Itupun kalau aku tidak salah mengingatnya.Aku juga tidak tahu persis tahun berapa suasana keadaan dalam foto yang sedang kulihat itu. Yang jelas, aku masih dapat merasakannya secara langsung. Sedangkan Kamu pun tidak akan menemukan suasana seperti yang tergambar di foto itu saat ini.
Di sanalah aku dilatih dan disadarkan oleh orang-orang yang awalnya tidak kukenal. Mereka memperkenal banyak teori-teori keilmuan kepadaku, mereka banyak memotivasiku dan teman-temanku waktu itu, dan aku pun merasakan perubahan pada diriku sendiri setelah selesai mengikuti suatu kegiatan yang dilaksanakan di dalam salah satu gedung yang lumayan cukup luas. Ruangan itu diatur memang untuk tempat belajar atau berdiskusi. Sering dinamakan sekarang forum pelatihan dan nama kerennya adalah Student Center. Setiap Kamu yang telah melewati atau pernah di dalamnya, pasti Kamu sudah tahu apa-apa saja perlengkapan yang ada di dalamnya.
“Ayok Bang. Makanan kita udah siap itu.” Ajak istriku ke meja makan.
“Iya Dek. Duluanlah, aku akan segera menyusul.” Aku tanggapi ajakan istriku itu untuk makan malam. Saat berbicara, wajahku tetap mengarah pada foto kenangan itu.
Aku memanggil istriku dengan sebutan Adek atau Dek, bukan seperti sebutan Adek kepada saudara kandung perempuan atau laki-laki. Di daerahku, atau mayoritas di provinsiku, masyarakat menyebut Adek pada orang yang lebih muda dari dia. Nah, selain aku sebagai suaminya, usia istriku lebih muda dariku. Jarak kami sekitar empat tahun.
“Masih teringat sama Himpunan?” Tanyanya padaku.
Kata “Himpunan” adalah sebutan untuk organisasi yang kuikuti selama aku bermahasiswa. Dan itu satu-satunya organisasi yang kuikuti. Istrikujuga begitu. Aku dipertemukan dengannyaketika masih aktif-aktif berproses. Tapi, tidak langsung pacaran dan menikah. Sangat berliku jalan yang kulewati untuk bisa menjadikannya sebagai istriku. Waktu itu aku sudah menjadi Pengurus Cabang, sedangkan dia sebagai Pengurus Komisariat di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Medan. Bagaimana kisah asmara kami, aku harap Kamu tidak ingin kepo.
Aku bukan tidak berkesempatan untuk aktif di organisasi kedaerahan. Bahkan teman-temanku sedaerah mengajakku untuk aktif bersam. Bahkan pernah suatu kejadian, namaku dimasukkan oleh seorang teman sebagai kandidat calon ketua. Aku tahu itu setelah panitia mengonfirmasikan kepadaku agar melengkapi syarat-syarat yang telah ditentukan. Alhasil, aku terkejut dan tanpa pikir panjang aku mengklarifikasi bahwa aku tidak pernah berniat. Aku menolak dicalonkan dengan menggunakan bahasa yang halus. Aku takut beberapa teman-teman yang mengusulkanku kecewa. Aku katakan pada mereka, bahwaaku tidak bisa aktif di organisasi mahasiswa daerah kami karena aku masih aktif dan memang fokus mengabdi di Himpunan.
“Adek tahu, jika aku melihat foto ini siapa yang kuingat?” Aku balik bertanya padanya.
“Siapa?” Ia balik bertanya lagi.
“Yang kuingat adalah Kamu.” Aku tersenyum padanya.
“Halah...udah jadi istri sendiripun masih di gombali.” Jawabnya agak cuek sambil berdiri di sampingku melihat pada satu titik yang sama denganku.
Aku tak melihat senyuman darinya saat aku mengeluarkan jurus gombalan itu. Aku yakin betul, walau tidak terlihat senyum di bibirnya, tapi di dalam hatinya pasti tersenyum. Telinganya sudah tidak dapat memenuhi ruangan kamar. Dan kalau tidak karena jenis massa tubuhnya lebih berat dari udara, dia pasti sudah melayang-layang.
“Dari pada aku menggombali istri orang lain, apa Adek mau? Kalau mau nggak  apa-apa. Rasanya aku dapat adil nantinya. Kalau....” Candaku padanya yang tidak kuselesaikan lanjutannya.
“Hahahaha.....hahahahaa....” Ia malah tertawa mendengar candaanku itu. “Masih syukur ada perempuan yang mau samamu Bang.” Ia melanjutkan.
“Heii..., Yunda tidak tahu bahwa suamimu ini secara fisik tidak kalah gantengnya dengan artis-artis di Tivi. Lihat tubuhku ini, sempurna bukan. Seperti sempurnanya tubuh seorang manusia normal.” Aku melakukan pembelaan sambil menghadap tegak di depannya.
“Iya, aku tahu itu Bang. Tapi pemikiranmu dan pilihan hidup yang Abang pilih sebagai guruSekolah Dasar di desa kecil ini.Anehnya lagi, Abang terlalu idealis dalam kehidupan ini. Selama ber-Himpunan dulu, dengan keidealisan dan sifat independensi yang Abang pegang teguh itu membuat banyak orang tidak suka denganmu. Termasuk aku pada awal mula melihatmu Bang.” Ia duduk di tepi tempat tidur kami.
Posisiku yang sedang berdiri menghadap foto kenangan itu setelah melakukan pembelaan kembali menatap wajah manisnya. Percakapan tentang apa yang barusan disebutkannya bukanlah hal yang baru dalam dialog-dialog kami. Terkadang itu menjadi bahan perdebatan kami di meja makan dan terkadang juga di atas tempat tidur.
“Itu bukan salahku. Itu salah mereka bagi yang tidak suka denganku. Aku bisa memahami mereka, sedangkan mereka tidak memahamiku. Pilihan hidup yang kujalani saat ini adalah suatu kenikmatan bagiku. Bukankah dulu semasa kita berproses di Himpunan diajarkan hidup idealis dan tetap memegang teguh nilai-nilai independensi. Independensi itu tidak berarti tidak berpihak. Kita masih berpihak, tapi berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Herannya, banyak teman-teman kita yang membuang nilai-nilai itu ketika selesai ber-Himpunan. Bahkan saat ini, beberapa informasi yang aku dapatkan dari beberapa teman-teman, kader-kader yang masih aktif pun sudah membuang nilai-nilai itu. Bagaimana jadinya jika nanti seorang kader itu menjadi alumni?Benarkah apa yang dikatakan Sejarawan organisasi kita, Alm. Agussalim Sitompul, bahwa organisasi yang kita cintai ini akan mati atau organisasi ini hidup tapi mati suri. Nampaknya mengarah ke sana.” Aku jelaskan padanya  dengan perlahan-lahan ikut duduk di sampingnya.
“Sepertinya tidak perlu lagi Abang jelaskan itu, seperti sedang menjelaskan materi Tafsir Independensi atau materi Mission di dalam forum itu.” Istriku mengarahkan telunjukkanya ke foto yang menempel di dinding kamar. “Sudah sering kita membahas itu. Aku mengerti betul kecintaanmu pada Himpunan. Aku dapat memahmimu Bang, walaupun awalnya berat. Dan sekarang aku nyaman juga berada di jalanmu.” Ia memegang tanganku dengan lembut mencoba menghiburku dan menguatkan jalan yang sedang kami tempuh dan nikmati bersama.
“Tidakkah Adek menangkap ada sesuatu yang baru dari penjelasanku?” Aku bertanya padanya.
“Ya, Adek tahu dan paham maksud Abang. Terkait informasi baru yang Abang katakan itu kan? Itu menurut Adek bukan hal yang baru Bang. Sejak kita masih aktif pun, sudah ada seperti itu. Akan tetapi memang tidak sejelas dan seterang-terang apa yang kita lihat dan dengar sekarang. Tapi, Adek yakin pasti ada yang masih menjaga nilai-nilai kebaikan di Himpunan. Akan terus ada kader-kader yang baik dan idealis yang tercipta dari gedung itu. Jangan khawatir, Alimbas akan tetap menhasilkan kader-kader yang berkualitas. Jika tidak di Alimbas, bisa di Cabang-cabang yang lain.” Ia kembali lagi menunjuk foto yang kami perhatikan secara bersama-sama.
Suara lagu Hymne Himpunan di Hp-ku yang sedang di-charge berbunyi. Aku meninggalkan istriku menuju meja cermin yang berada di dalam kamar kami juga. Tempat aku menaro Hp-ku. Dialog kami pun terhenti. Kulihat siapa yang menelfon malam itu. Nomor Hp tanpa nama. Sejenak aku bertanya dalam hati siapa yang menelfonku.
Assalamu’alaykum Bang.” Terdengar suara dari kejauhan di dalam Hp-ku.
Wa’alaykumsalam Warahmatullahi Wabarokathu. Maaf ini siapa?” Kujawab salam dari seseorang tersebut dan bertanya.
Seseorang tersebut menanyakan namaku, mungkin memastikan apakah akuorang yang ia maksudkan. Ia memperkenalkan dirinya. Bertanya bagaimana kabarku  dan menyampaikan apa maksudnya menelfonku. Saat aku sedang berbicara dengan seseorang lewat Hp-ku, istriku keluar dari kamar menuju meja makan yang terbuat daripapan dan di atasnya dilapisi, atau biasa disebut taplak meja berwarna biru muda.
“Siapa Bang?” Istriku memulai pembicaraan saat aku mulai duduk di kursi setelah beberapa menit aku melayani pembicaraan dari seseorang.
“Seorang kader organisasi yang kita cintai.” Jawabku sambil menyendok nasi dari tempat yang telah disediakan dan menaruhnya di atas piringku.
“Kader dari Himpunan?” Ia bertanya sambil mendekatkan sayur dan ikan goreng yang bercampur sambal pedas padaku.
“Iya. Katanya Dia adalah Ketua Panitia kegiatan Pameran Foto-foto yang akan dilaksanakan di Alimbas. Kegiatannya akan dilaksanakan dua minggu lagi. Ia mengundang kita supaya datang pada kegiatan tersebut. Dan Abang diminta, jika ada foto-foto yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan Himpunan atau yang berhubungan dengan Alimbas di Cabang kita, supaya membawanya pada saat kegiatan. Tujuannya untuk di pamerkan. Katanya juga, akan banyak Alumni-alumni dan Kader-kader Himpunan yangdatang ke Alimbas.” Aku jawab pertanyaannya dan dengan semangat kusendok sayur dari tempatnya. Sedangkan Ikan goreng yang pedas itu sudah lebih dahulu melompat ke piringku.
Dan Alimbas adalah nama tempat foto yang aku ceritakan dari awal. Alimbas adalah nama alamat suatu tempat yang disingkat dari kepanjangan Adinegoro 15. Maksudnya, gedung yangmemberikan kenangan dalam hidupku dan istriku itu beralamat di Jln. Adinegoro No. 15. Aku tidak tahu, siapa orang pertama yang memberikan singkatan kata itu. Sehingga di masa kami ber-Himpunan, cukup mengatakan; ke Alimbas atau di Alimbas, semuanya sudah mengerti. Kalau kader-kader sekarang, aku tidak tahu bagaimana mereka menyebutnya jika hendak ke sana.
“Cocoklah Bang. Foto-foto yang berhubungan dengan Alimbas atau foto-foto kegiatan sewaktu menjadi Pengurus Cabang, lumayan banyak Abang simpan. Bisa ditunjukkan di acara itu kan.” Istriku secara tidak langsung menyuruhku supaya hadir di acara itu dua minggu lagi. Kebetulan memang kegiatannya di hari libur sekolah.
“Untuk apa coba kegiatan seperti itu dibuat. Apa manfaatnya bagi mereka dan bagi yang datang? Lebih baik mereka membuat kegiatan-kegiatan yang lebih mengarah pada keilmuan.” Kata-kataku sedikit bertanya heran tentang kegiatan yang akan dilaksanakan itu.
“Bang....” Kata istriku.
“Hmm...” Aku menoleh padanya dan tak mengeluarkan kata-kata yang jelas karena mulutku sedang menguyah masakannya yang lenyat.
“Baru lagi kita membahas tentang foto yang tertempel di dinding kamar kita tadi.” Saat berbicara wajahnya sangat terlihat serius.
“Jadi...” Jawabku dengan singkat. Kemudian mengunyah lagi makanan yang lenyat itu.
Sebenarnya aku sudah paham dan mengerti dengan kegiatan yang sangat baik itu. Suatu kegiatan yang bernilai pendidikan, yaitu pendidikan sejarah. Aku hanya memancing-mancing pembicaraan dari istriku saja. Dan dengan kegiatan itu, Alumni-alumni dapat bersilaturahmi dengan Kader-kader yang masih berproses. Dan kegiatan itu dapat menambah semangat ber-Himpunan. Menambah kecintaan pada Himpunan. Dan lagi dapat mengingat-ingat kenangan yang sudah mulai hilang dari kepala karena kesibukan sehari-hari.
“Dari kegiatan itu, Kader-kader dan Alumni-alumni dapat bertemu dalam kepentingan silaturahmi. Memberikan ghirah dan kecintaan pada Himpunan apabila melihat-lihat dokumentasi semasa ber-Himpunan. Ada juga pendidikan sejarah yang di dapatkan dari kegiatan itu Bang. Dan banyaklah nilai-nilai positifnya. Kemudian satu hal yang harus Abang ketahui, suatu gambar atau foto akan dapat menjelaskan ribuan makna.” Ia menjelaskannya dengan tegas dan semangat seperti pendapatku yang tidak kusampaikan padanya. Dan kami ternyata satu alur pemikiran.
Selesai mendengarkan penjelasannya aku tersenyum. Dia tahu aku sedang mengerjainya supaya mau bersuara atau berdialog alot di meja makan. Dia pun tahu bahwa aku sekarang memposisikannya seperti peserta Basic Training. Sedangkan aku sebagai Instrukturnya yang sudah mengantongi jawaban. Karena kebiasaan dalam Basic Training, bukan kebenaran atau kesalahan yang dilihat dari peserta. Tapi, bagaimana keberanian untuk berbicara dan menyampaikan pendapat di depan orang banyak atau di depan peserta lainnya.
“Dasar....Abang ya. Udah ah, malas ngomong sama Abang sekarang. Aku mau makan.” Istriku sedikit kesal padaku. Ia lampiskan kekesalannya pada nasi dengan mengunyah-ngunyahnya.
“Dasar apa? Undang-Undang Dasar Empat Lima? Atau Nilai-nilai Dasar Perjuangan? Hehehe...Ukhuk...Ukhukk...” Aku mengejeknya. Aku tertawa melihat istriku yang sedang kesal padaku. Saat tertawa aku pun tersedak.
Kuraih gelas yang sudah berisi air dan langsung kuminum. Rasanya lega sekali. Makanan masuk kekerongkongan menuju perut dan tersusun di dalam perut. Dan Alimbas yang kurasakan menjadi sebuah kenangan yang tersusun dalam lembaran-lembaran kertas dan tersusun dalam ingatan yang sudah mulai hilang.[]

*Penulis: Ibnu Arsib, Instruktur HMI Cabang Medan.

No comments:

Post a Comment