Suara
rintik hujan terdengar dari ruang kamar rumahku. Di ruang meja makan, istriku
tercinta sedang mempersiapkan makan malam. Anakku yang baru bisa berjalan
merangkak sedang tertidur pulas di ayunan. Aku pikir anakku yang masih kecil
itu kedinginan karena hujan yang lumayan lebat. Ternyata tidak, istriku telah
menyelimutinya. Sebetulnya tanpa turunnya hujan, cuacanya di daerah tempat
tinggalku memang sudah terkenal dingin. Selain terkenal dengan cuacanya yang
dingin, terkadang ada kekhawatiran udara yang penuh dengan abu dari letusan
Gunung Sinabung. Apalagi akhir-akhir ini, gunung itu sering menunjukkan aksinya
pada masyarakat. Dengan itu, Kamu pasti tahu di daerah mana aku, istriku dan
anakku tinggal saat ini.
Tinggal
di desa yang cukup terpencil adalah pilihan hidupku bersama orang yang aku
cintai, istriku. Aku merasa nyaman bila tinggal di pedesaan walaupun aku
terlahir sebagai masyarakat kota. Ia tidak pernah mengeluh dan bosan tinggal di
pedesaan walaupun fasilitas rumah kami apa adanya. Rumahku tidaklah terlalu
besar dan juga tidak terlihat mewah. Setidaknya nyamanlah untuk tinggal.
Terkait masalah cuaca yang dingin sudah menjadi biasa bagi kami dan juga
masyarakat-masyarakat yang ada di daerah tempat tinggalku. Kulit dan kondisi
tubuh kami sudah dapat beradaptasi dengan kondisi-kondisi cuaca. Kamidan
masyarakat sesekali mengunggsi dari rumah masing-masing ketika erupsi terjadi.
“Ada
apa Bang. Kok Abang lihat-lihat foto
itu?” Suara istriku mengagetkan saat aku menikmati pemandangan pada foto yang
tertempel di dinding.
Foto
yang sedang kulihat itu adalah foto sebuah gedung sederhana, atau lebih
tepatnya semacam rumah. Tapi bangunan gedung itu tidak seperti rumah tempat
tinggal penduduk sekitar. Di sebelah rumah itu, biasa disebut istilah gedung
kantor, terdapat bangunan yang ruangannya cukup besar dan ada bangunan yang
digunakan untuk mushollah. Dan yang membuat indah pemandangan di tempat itu
adalah tumbuhnya pohon yang daunnya cukup rindang. Orang-orang mengatakan nama
pohon itu adalah Pohon Seri. Dan juga yang lebih membuat indah lagi dari gedung
itu adalah kenangannya.
Aku
tidak ingat secara pasti dari mana aku mendapatkan foto itu. Aku hanya ingat,
bahwa ada seorang kader waktu itu memberikannya padaku. Itupun kalau aku tidak
salah mengingatnya.Aku juga tidak tahu persis tahun berapa suasana keadaan
dalam foto yang sedang kulihat itu. Yang jelas, aku masih dapat merasakannya
secara langsung. Sedangkan Kamu pun tidak akan menemukan suasana seperti yang
tergambar di foto itu saat ini.
Di
sanalah aku dilatih dan disadarkan oleh orang-orang yang awalnya tidak kukenal.
Mereka memperkenal banyak teori-teori keilmuan kepadaku, mereka banyak
memotivasiku dan teman-temanku waktu itu, dan aku pun merasakan perubahan pada
diriku sendiri setelah selesai mengikuti suatu kegiatan yang dilaksanakan di
dalam salah satu gedung yang lumayan cukup luas. Ruangan itu diatur memang
untuk tempat belajar atau berdiskusi. Sering dinamakan sekarang forum pelatihan
dan nama kerennya adalah Student Center.
Setiap Kamu yang telah melewati atau pernah di dalamnya, pasti Kamu sudah tahu
apa-apa saja perlengkapan yang ada di dalamnya.
“Ayok
Bang. Makanan kita udah siap itu.”
Ajak istriku ke meja makan.
“Iya
Dek. Duluanlah, aku akan segera menyusul.” Aku tanggapi ajakan istriku itu
untuk makan malam. Saat berbicara, wajahku tetap mengarah pada foto kenangan
itu.
Aku
memanggil istriku dengan sebutan Adek atau Dek, bukan seperti sebutan Adek
kepada saudara kandung perempuan atau laki-laki. Di daerahku, atau mayoritas di
provinsiku, masyarakat menyebut Adek pada orang yang lebih muda dari dia. Nah,
selain aku sebagai suaminya, usia istriku lebih muda dariku. Jarak kami sekitar
empat tahun.
“Masih
teringat sama Himpunan?” Tanyanya padaku.
Kata
“Himpunan” adalah sebutan untuk organisasi yang kuikuti selama aku
bermahasiswa. Dan itu satu-satunya organisasi yang kuikuti. Istrikujuga begitu.
Aku dipertemukan dengannyaketika masih aktif-aktif berproses. Tapi, tidak
langsung pacaran dan menikah. Sangat berliku jalan yang kulewati untuk bisa
menjadikannya sebagai istriku. Waktu itu aku sudah menjadi Pengurus Cabang,
sedangkan dia sebagai Pengurus Komisariat di salah satu perguruan tinggi negeri
yang ada di Medan. Bagaimana kisah asmara kami, aku harap Kamu tidak ingin kepo.
Aku
bukan tidak berkesempatan untuk aktif di organisasi kedaerahan. Bahkan
teman-temanku sedaerah mengajakku untuk aktif bersam. Bahkan pernah suatu
kejadian, namaku dimasukkan oleh seorang teman sebagai kandidat calon ketua. Aku
tahu itu setelah panitia mengonfirmasikan kepadaku agar melengkapi
syarat-syarat yang telah ditentukan. Alhasil, aku terkejut dan tanpa pikir
panjang aku mengklarifikasi bahwa aku tidak pernah berniat. Aku menolak
dicalonkan dengan menggunakan bahasa yang halus. Aku takut beberapa teman-teman
yang mengusulkanku kecewa. Aku katakan pada mereka, bahwaaku tidak bisa aktif
di organisasi mahasiswa daerah kami karena aku masih aktif dan memang fokus
mengabdi di Himpunan.
“Adek
tahu, jika aku melihat foto ini siapa yang kuingat?” Aku balik bertanya
padanya.
“Siapa?”
Ia balik bertanya lagi.
“Yang
kuingat adalah Kamu.” Aku tersenyum padanya.
“Halah...udah
jadi istri sendiripun masih di gombali.” Jawabnya agak cuek sambil berdiri di
sampingku melihat pada satu titik yang sama denganku.
Aku
tak melihat senyuman darinya saat aku mengeluarkan jurus gombalan itu. Aku
yakin betul, walau tidak terlihat senyum di bibirnya, tapi di dalam hatinya
pasti tersenyum. Telinganya sudah tidak dapat memenuhi ruangan kamar. Dan kalau
tidak karena jenis massa tubuhnya lebih berat dari udara, dia pasti sudah
melayang-layang.
“Dari
pada aku menggombali istri orang lain, apa Adek mau? Kalau mau nggak apa-apa. Rasanya aku dapat adil nantinya.
Kalau....” Candaku padanya yang tidak kuselesaikan lanjutannya.
“Hahahaha.....hahahahaa....”
Ia malah tertawa mendengar candaanku itu. “Masih syukur ada perempuan yang mau samamu
Bang.” Ia melanjutkan.
“Heii...,
Yunda tidak tahu bahwa suamimu ini secara fisik tidak kalah gantengnya dengan
artis-artis di Tivi. Lihat tubuhku ini, sempurna bukan. Seperti sempurnanya
tubuh seorang manusia normal.” Aku melakukan pembelaan sambil menghadap tegak
di depannya.
“Iya,
aku tahu itu Bang. Tapi pemikiranmu dan pilihan hidup yang Abang pilih sebagai
guruSekolah Dasar di desa kecil ini.Anehnya lagi, Abang terlalu idealis dalam
kehidupan ini. Selama ber-Himpunan dulu, dengan keidealisan dan sifat
independensi yang Abang pegang teguh itu membuat banyak orang tidak suka
denganmu. Termasuk aku pada awal mula melihatmu Bang.” Ia duduk di tepi tempat
tidur kami.
Posisiku
yang sedang berdiri menghadap foto kenangan itu setelah melakukan pembelaan
kembali menatap wajah manisnya. Percakapan tentang apa yang barusan
disebutkannya bukanlah hal yang baru dalam dialog-dialog kami. Terkadang itu
menjadi bahan perdebatan kami di meja makan dan terkadang juga di atas tempat
tidur.
“Itu
bukan salahku. Itu salah mereka bagi yang tidak suka denganku. Aku bisa
memahami mereka, sedangkan mereka tidak memahamiku. Pilihan hidup yang kujalani
saat ini adalah suatu kenikmatan bagiku. Bukankah dulu semasa kita berproses di
Himpunan diajarkan hidup idealis dan tetap memegang teguh nilai-nilai
independensi. Independensi itu tidak berarti tidak berpihak. Kita masih
berpihak, tapi berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Herannya, banyak
teman-teman kita yang membuang nilai-nilai itu ketika selesai ber-Himpunan.
Bahkan saat ini, beberapa informasi yang aku dapatkan dari beberapa
teman-teman, kader-kader yang masih aktif pun sudah membuang nilai-nilai itu.
Bagaimana jadinya jika nanti seorang kader itu menjadi alumni?Benarkah apa yang
dikatakan Sejarawan organisasi kita, Alm. Agussalim Sitompul, bahwa organisasi
yang kita cintai ini akan mati atau organisasi ini hidup tapi mati suri. Nampaknya
mengarah ke sana.” Aku jelaskan padanya
dengan perlahan-lahan ikut duduk di sampingnya.
“Sepertinya
tidak perlu lagi Abang jelaskan itu, seperti sedang menjelaskan materi Tafsir Independensi atau materi Mission di dalam forum itu.” Istriku
mengarahkan telunjukkanya ke foto yang menempel di dinding kamar. “Sudah sering
kita membahas itu. Aku mengerti betul kecintaanmu pada Himpunan. Aku dapat
memahmimu Bang, walaupun awalnya berat. Dan sekarang aku nyaman juga berada di
jalanmu.” Ia memegang tanganku dengan lembut mencoba menghiburku dan menguatkan
jalan yang sedang kami tempuh dan nikmati bersama.
“Tidakkah
Adek menangkap ada sesuatu yang baru dari penjelasanku?” Aku bertanya padanya.
“Ya,
Adek tahu dan paham maksud Abang. Terkait informasi baru yang Abang katakan itu
kan? Itu menurut Adek bukan hal yang baru Bang. Sejak kita masih aktif pun,
sudah ada seperti itu. Akan tetapi memang tidak sejelas dan seterang-terang apa
yang kita lihat dan dengar sekarang. Tapi, Adek yakin pasti ada yang masih
menjaga nilai-nilai kebaikan di Himpunan. Akan terus ada kader-kader yang baik
dan idealis yang tercipta dari gedung itu. Jangan khawatir, Alimbas akan tetap
menhasilkan kader-kader yang berkualitas. Jika tidak di Alimbas, bisa di
Cabang-cabang yang lain.” Ia kembali lagi menunjuk foto yang kami perhatikan
secara bersama-sama.
Suara
lagu Hymne Himpunan di Hp-ku yang sedang di-charge
berbunyi. Aku meninggalkan istriku menuju meja cermin yang berada di dalam
kamar kami juga. Tempat aku menaro
Hp-ku. Dialog kami pun terhenti. Kulihat siapa yang menelfon malam itu. Nomor
Hp tanpa nama. Sejenak aku bertanya dalam hati siapa yang menelfonku.
“Assalamu’alaykum Bang.” Terdengar suara
dari kejauhan di dalam Hp-ku.
“Wa’alaykumsalam Warahmatullahi Wabarokathu.
Maaf ini siapa?” Kujawab salam dari seseorang tersebut dan bertanya.
Seseorang
tersebut menanyakan namaku, mungkin memastikan apakah akuorang yang ia
maksudkan. Ia memperkenalkan dirinya. Bertanya bagaimana kabarku dan menyampaikan apa maksudnya menelfonku.
Saat aku sedang berbicara dengan seseorang lewat Hp-ku, istriku keluar dari
kamar menuju meja makan yang terbuat daripapan dan di atasnya dilapisi, atau
biasa disebut taplak meja berwarna
biru muda.
“Siapa
Bang?” Istriku memulai pembicaraan saat aku mulai duduk di kursi setelah
beberapa menit aku melayani pembicaraan dari seseorang.
“Seorang
kader organisasi yang kita cintai.” Jawabku sambil menyendok nasi dari tempat
yang telah disediakan dan menaruhnya di atas piringku.
“Kader
dari Himpunan?” Ia bertanya sambil mendekatkan sayur dan ikan goreng yang
bercampur sambal pedas padaku.
“Iya.
Katanya Dia adalah Ketua Panitia kegiatan Pameran Foto-foto yang akan
dilaksanakan di Alimbas. Kegiatannya akan dilaksanakan dua minggu lagi. Ia
mengundang kita supaya datang pada kegiatan tersebut. Dan Abang diminta, jika
ada foto-foto yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan Himpunan atau yang
berhubungan dengan Alimbas di Cabang kita, supaya membawanya pada saat
kegiatan. Tujuannya untuk di pamerkan. Katanya juga, akan banyak Alumni-alumni
dan Kader-kader Himpunan yangdatang ke Alimbas.” Aku jawab pertanyaannya dan
dengan semangat kusendok sayur dari tempatnya. Sedangkan Ikan goreng yang pedas
itu sudah lebih dahulu melompat ke piringku.
Dan
Alimbas adalah nama tempat foto yang aku ceritakan dari awal. Alimbas adalah
nama alamat suatu tempat yang disingkat dari kepanjangan Adinegoro 15.
Maksudnya, gedung yangmemberikan kenangan dalam hidupku dan istriku itu
beralamat di Jln. Adinegoro No. 15. Aku tidak tahu, siapa orang pertama yang
memberikan singkatan kata itu. Sehingga di masa kami ber-Himpunan, cukup
mengatakan; ke Alimbas atau di Alimbas, semuanya sudah mengerti. Kalau
kader-kader sekarang, aku tidak tahu bagaimana mereka menyebutnya jika hendak
ke sana.
“Cocoklah
Bang. Foto-foto yang berhubungan dengan Alimbas atau foto-foto kegiatan sewaktu
menjadi Pengurus Cabang, lumayan banyak Abang simpan. Bisa ditunjukkan di acara
itu kan.” Istriku secara tidak langsung menyuruhku supaya hadir di acara itu
dua minggu lagi. Kebetulan memang kegiatannya di hari libur sekolah.
“Untuk
apa coba kegiatan seperti itu dibuat. Apa manfaatnya bagi mereka dan bagi yang
datang? Lebih baik mereka membuat kegiatan-kegiatan yang lebih mengarah pada
keilmuan.” Kata-kataku sedikit bertanya heran tentang kegiatan yang akan
dilaksanakan itu.
“Bang....”
Kata istriku.
“Hmm...”
Aku menoleh padanya dan tak mengeluarkan kata-kata yang jelas karena mulutku
sedang menguyah masakannya yang lenyat.
“Baru
lagi kita membahas tentang foto yang tertempel di dinding kamar kita tadi.”
Saat berbicara wajahnya sangat terlihat serius.
“Jadi...”
Jawabku dengan singkat. Kemudian mengunyah lagi makanan yang lenyat itu.
Sebenarnya
aku sudah paham dan mengerti dengan kegiatan yang sangat baik itu. Suatu
kegiatan yang bernilai pendidikan, yaitu pendidikan sejarah. Aku hanya
memancing-mancing pembicaraan dari istriku saja. Dan dengan kegiatan itu,
Alumni-alumni dapat bersilaturahmi dengan Kader-kader yang masih berproses. Dan
kegiatan itu dapat menambah semangat ber-Himpunan. Menambah kecintaan pada
Himpunan. Dan lagi dapat mengingat-ingat kenangan yang sudah mulai hilang dari
kepala karena kesibukan sehari-hari.
“Dari
kegiatan itu, Kader-kader dan Alumni-alumni dapat bertemu dalam kepentingan
silaturahmi. Memberikan ghirah dan
kecintaan pada Himpunan apabila melihat-lihat dokumentasi semasa ber-Himpunan.
Ada juga pendidikan sejarah yang di dapatkan dari kegiatan itu Bang. Dan
banyaklah nilai-nilai positifnya. Kemudian satu hal yang harus Abang ketahui,
suatu gambar atau foto akan dapat menjelaskan ribuan makna.” Ia menjelaskannya
dengan tegas dan semangat seperti pendapatku yang tidak kusampaikan padanya.
Dan kami ternyata satu alur pemikiran.
Selesai
mendengarkan penjelasannya aku tersenyum. Dia tahu aku sedang mengerjainya
supaya mau bersuara atau berdialog alot di meja makan. Dia pun tahu bahwa aku
sekarang memposisikannya seperti peserta Basic
Training. Sedangkan aku sebagai Instrukturnya yang sudah mengantongi
jawaban. Karena kebiasaan dalam Basic
Training, bukan kebenaran atau kesalahan yang dilihat dari peserta. Tapi,
bagaimana keberanian untuk berbicara dan menyampaikan pendapat di depan orang
banyak atau di depan peserta lainnya.
“Dasar....Abang
ya. Udah ah, malas ngomong sama Abang sekarang. Aku mau
makan.” Istriku sedikit kesal padaku. Ia lampiskan kekesalannya pada nasi
dengan mengunyah-ngunyahnya.
“Dasar
apa? Undang-Undang Dasar Empat Lima? Atau Nilai-nilai Dasar Perjuangan? Hehehe...Ukhuk...Ukhukk...”
Aku mengejeknya. Aku tertawa melihat istriku yang sedang
kesal padaku. Saat tertawa aku pun tersedak.
Kuraih
gelas yang sudah berisi air dan langsung kuminum. Rasanya lega sekali. Makanan
masuk kekerongkongan menuju perut dan tersusun di dalam perut. Dan Alimbas yang
kurasakan menjadi sebuah kenangan yang tersusun dalam lembaran-lembaran kertas
dan tersusun dalam ingatan yang sudah mulai hilang.[]
*Penulis: Ibnu Arsib, Instruktur HMI Cabang Medan.
No comments:
Post a Comment