YakusaBlog-Jika kita
bertanya pada hati nurani kita, di antara kedua Pasangan Calon Gubernur-Wakil
Gubernur Sumatera Utara periode 2018-2022, pasti hati kita memilih Tidak
Memilih keduanya (Golput). Akan tetapi, masyarakat kita diiming-imingi dan dijanji-janjikan
dengan sesuatu yang harum tapi busuk.
Belum lagi
hari ini, bukanlah sejatinya pemilihan pemimpin masyarakat Sumut, akan tetapi
Pemilukada tahun 2018 di Sumut adalah pertarungan elit-elit politik, elit-elit
pengusaha dan elit-elit agama dari tingkat Nasional hingga tingkat Daerah.
Masyarakat Sumut dipaksa secara halus untuk memilih si “Nomor 1” atau si “Nomor
2”. Masyarakat kita dipengaruhi dengan berbagai macam isu agar tidak mengikuti
suara hatinya rakyat, yaitu Golput.
Suku, Agama,
dan Ras menjadi barang dagangan paling laku untuk digoreng-goreng. Penarikan
kelompok-kelompok ormas mengeluarkan dana yang sangat banyak dari kedua
pasangan. Banyak aktivis-aktivis sosial dan agama melacurkan dirinya.
Rakyat Sumut
menjadi bingung, antara mengikuti perintah Suku, Agama dan Ras untuk memilih
pemimpin, mengikuti peraturan-peraturan negara dan godaan-godaan para
tokoh-tokoh masyarakat dan juaga aktivis-aktivis Sumut yang sedang melacurkan
dirinya pada kedua paslon.
Masyarakat
Sumut, yang pengetahuannya tentang politik masih dibawah rata-rata tidak
dicerdaskan oleh akademisi-akademisi kita. Malah di antara mereka banyak yang
melacurkan diri di dalamnya sebagai konsultan politik dan mengatur strategi pemenangan.
Dengan harapan jika menang kelak akan diberi proyek atau jabatan, kalaupun
kalah setidaknya dapat uang.
Masyarakat
Sumut pun dilema, di tahun ini hendak memberikan amanah kepada orang-orang yang
telah merampas tanah-tanah rakyat. Program-programnya hanya sekedar
slogan-slogan belaka. Ini bukan demokrasi, tapi ini adalah pertarungan dua
“kerajaan” besar atau pertarungan lanjutan dari pemilihan Gubernur-Wakil
Gubernur DKI Jakarta.
Sumut sangat
rentan dengan koruptor. Dua Gubernur Sumut belakangan ini diangkut oleh KPK.
Akhir-akhir ini, berdasarkan informasi yang berkembang, puluhan Wakil Rakyatnya
(Anggota DPRD-Sumut) pun ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi, dan
mereka semuanya berasal dari partai-partai politik pendukung kedua Pasangan Calon
Gubernur-Wakil Gubernur Sumut periode 2018-2022. Sebenarnya masyarakat Sumut
mengalami krisis kepemimpinan yang jujur dan tidak menginginkan harta haram.
Sebenarnya
masyarakat Sumut ingin Golput, karena dipengaruhi berbagai macam
doktrin-doktrin, mereka pun dilarang untuk mengkritisi atau mengetahui secara
dalam siapa dan bagaimana latar belakang orang-orang yang hendak mereka pilih.
Para tim-tim suksespun tidak berani menjelaskan hal itu. Karena memang keduanya
telah diberi garis merah oleh alam. Ketika diantara kedua paslon itu pun
terpilih, alam sendiri yang turun langsung.
Manuver-manuver
politik mereka sebenarnya bau dan busuk, rakyat Sumut mengetahui itu,
terlebih-lebih sistem politik Indonesia saat ini. Tapi karena dibungkus dengan
kopiah, peci, baju batik, dan sombolik-simbolik kebusukannya tidak terlihat.
Suara (kepala) manusia dihitung seperti hewan-hewan, hendak ingin menangkapnya
maka terlebih dahulu beri makanan. Pertanyaannya kepada mereka, kenapa hendak
mau Calon baru turun ke masyarakat bagi-bagi sembako dan memberikan bantuan ini
dan itu? Ini namanya sistem politik kolonialisme, politik penjajah, seperti
Belanda yang menerapkan Take and Give (Beri dan Ambil), beri sembako,
uang dan bantuan kemudian ambil suaranya. Yang lebih parahnya lagi mereka
menerapkan Devide in Empera (Pecah belah kemudian kuasai).
Orang yang
tak dipilih masyarakat Jakarta akan dipilih masyarakat Sumut? Oh...tidak
mungkin. Orang yang merampas tanah-tanah rakyat Sumut hendak ingin dipilih
rakyat Sumut? Ohhh....juga tidak akan mungkin, jangan harap walaupun sering
memberi bantuan membersihkan Masjid. Orang yang menjadi titipan dari seorang
yang pernah jadi Bos Militer, yang men-Dorr banyak mahasiswa di setiap
daerah pada rezim Orde Baru ingin dipilih masyarakat atau mahasiswa Sumut?
Aduh...tidak mungkin, jangan mimpi. Orang yang besar-besarnya di Luar Negeri
dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan masyarakat Sumut ingin dipilih?
Aduh...tak mungkin juga.
Jika pun ada
tokoh-tokoh masyarakat memilih dan mengajak masyarakat memilih atas nama Suku,
Agama dan Ras sungguh ia telah melacurkan dirinya. Kalau ada masyarakat Sumut
yang memilihnya, itu artinya ia menerima dan meng-aminkan tirani-tirani atau
kedzaliman-kedzaliman yang menyiksa dan menghilangkan orang-orang terdahulunya.
Itu artinya mengaminkan pembunuhan dan perampasan.
Atas semua
itu, bukan kita tidak ingin pemimpin dalam kehidupan kita. Tapi untuk apalah
memilih pemimpin yang pernah mendzalimi. Suara hati kita pasti berkata, “Tidak
Akan Memilih”. Jika ada yang berkata, suara kita akan dimanfaatkan untuk
kecurangan, maka jangan takut, mari kita coblos setiap foto yang ada dengan
niat bukan untuk menjadikan meraka pemimpin, tapi menggagalkan mereka menjadi
pemimpin kita.
Biarlah
tokoh-tokoh masyarakat kita, yang terus menjadi pemimpin kita, dan itupun asal
mereka bisa menjaga kesuciannya tidak terlibat pada kedua Pasangan Calon itu.
Sampai kita benar-benar mendapatkan seseorang yang layak untuk memimpin
masyarakat kita secara menyeluruh, tanpa latar belakang seperti yang kita
sebutkan di atas tadi.
Inilah suara
hati masyarakat Sumut, “Memilih untuk Tidak Memilih mereka semua.” Perlu
diketahui Golput itu ada dua, yaitu Golput Aktif dan Golput Pasif. Golput Aktif
prakteknya adalah tidak sama sekali datang ke tempat pemilihan, atau nama
keren-kerenannya TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan Golput Pasif dengan
prakteknya datang ke TPS dengan mencoblos seluruh foto-foto yang ada dalam
Surat Suara dengan niat seperti yang kita jelaskan tadi.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Masyarakat Sumatera Utara
No comments:
Post a Comment