YakusaBlog- Pembahasan
kita kali ini mungkin sedikit “seram”, “keren” dan menarik. Thema pembahasan
kita kali ini di kegiatan Ngobrol Pintar
Kader Insan Cita (Ngopi Kita) ditarik atau dipecahkan dari pembahasan yang
ada di dalam Nilai-Nili Dasar Perjuangan
Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI) pada Bab I dengan pembahasan Dasar-Dasar
Kepercayaan.
Pada
kesempatan kali ini, saya meminta ijin menyajikan materi dengan membuat tulisan
yang mungkin cukup singkat dibandingkan luasnya pembahasan judul kita kali ini.
Saya mencoba membuat paper ini bukan ingin sok
ilmiah, tapi agar terlihat keseriusan dalam pembahasan ini. Seperti yang kita
sepakati pada pertemuan-pertemuan yang telah lalu, dalam forum kita ini
tetaplah bebas berargumentasi walau tanpa dasar referensi dari buku. Karena
memang forum kita ini kita jadikan layaknya seperti percakapan sehari-hari. Tak
wajib menggunakan bahasa formal dan berbagai macam penyebutan literatur. Dan
tidak dilarang pula jika menggunakannya.
Pembahasan
terkait judul kita kali ini beberapa kali sudah direkomendasikan oleh beberapa
teman-teman, baik secara bahasa langsung ataupun tidak langsung. Tentunya juga,
pembahasan ini tidak asing lagi bagi kader-kader HMI. Walau terkesan materi
yang sudah agak klasik, tapi menurut saya masih relevan untuk dibahas atau
dikaji. Alasannya adalah, di zaman now
ini, yang mengatakan telah beriman masih terjebak kepada siapa iman itu
dilandaskan dan siapakah yang diimaninya.
Mengawali
pembahasan ini, agar tidak salah paham dengan judul yang kita angkat, perlu
harus dimaknai dan pahami maksud daripada penulisan judul kita ini. Maksudnya,
supaya tidak salah sangka atau menjustifikasi bahwa kita terlalu liberal.
Kepada kita semua juga, teman-teman yang hadir dalam forum ini, tujuan
pengangkatan tema ini bukan hanya untuk keren-kerenan. Tapi, memang kita harus
duduk terkait masalah ini, karena pada parakteknya sebagai manusia kita masih
sering terbelenggu oleh tuhan, baik secara tradisi dan nilia-nilai yang
terlembagakan.
Perlu
disadari juga, tulisan saya ini kiranya tidak menjadi pembatas pada diskusi
kita kali ini. Biarlah semuanya liar dan bebas, yang terpenting substansi
ataupun esensi menjadi tujuan kita bersama. Tidak ada larangan untuk membas
tentang ketuhanan. Seperti yang dikatakan Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam, Tuhan
bukanlah suatu daerah terlarang untuk dibahas. Sehinga menurut saya juga, Tuhan
saja bukan daerah terlarang untuk dibahas apalagi tuhan.
Memerdekakan Diri Dari tuhan
Sebelum kita
membahas bagaimana itu Memerdekakan Diri
Dari tuhan, terlebih dahulu kita bahas dulu frasa atau kata “tuhan” dalam
judul tersebut.
Dalam Latar
Belakang Perumusan NDP HMI yang disusun oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur),
Endang Saifuddin Anshari dan Sakieb Mahmud, Cak Nur menjelaskan perdebatan
terkait penyebutan Allah SWT. di berbagai negara. Kemudian ia mengambil
kesimpulan bahwa penyebutan Allah SWT. boleh menggunakan frasa “Tuhan” dengan
penulisan huruf “T” besar. Sedangkan penulisan dengan huruf “t” kecil
dimaksudkan pada tuhan-tuhan yang banyak disembah atau diimani oleh manusia.
Bahkan yang mencampur adukkan di antara keduanya.
Lantas,
adakah perbedaan antara Tuhan dengan tuhan itu? Mengapa masih banyak manusia
mencampur adukkan antara keduanya, mengimani Tuhan (Allah Swt) kemudian
mengimani tuhan yang lain? Apakah kerugian mengimani tuhan itu sehingga kita
perlu memerdekakan diri darinya? Bagaimana usaha untuk melepaskan diri dari
tuhan-tuhan itu?
Di dalam Latar
Belakang Perumusan NDP HMI kembali dijelaskan bahwa di dalam masyarakat
terdapat banyak tuhan-tuhan yang diyakini oleh masyarakat, hal ini sering
disebut dengan politeisme. Maka dalam
ajaran Islam, inilah yang harus diruntuhkan sehingga percaya pada satu Tuhan,
yaitu Allah Swt. dalam hal ini sering disebut dengan monoteisme.
Yang menjadi
problema atau akar masalah dalam kepercayaan manusia adalah politeisme. Jadi
sebetulnya, seperti yang dikatakan di dalam NDP HMI, jika kita membaca
Al-Qur’an bukan bagaimana supaya manusia yakin kepada Tuhan, karena suatu
kepercayaan secara alamiah melekat dalam diri manusia. Tetapi, yang menjadi
problema adalah bagaimana membebaskan atau memerdekakan diri dari banyak tuhan.
Terkait
masalah ateisme, merupakan sesuatu yang tak mungkin. Di dalam Al-Qur’an memang
ada membahas tentang ateisme dengan sebutan dahriyyah.
Ateisme ini tidak mungkin terjadi, justru yang terjadi pada diri manusia atau
yang menjadi problema besarnya adalah politeisme.
Nah, seperti
apakah maksud tuhan-tuhan yang banyak disembah oleh manusia itu sehingga
membelenggunya dan harus membebaskan diri dari belenggu tuhan-tuhan tersebut.
Azhari Akmal Tarigan, dalam bukunya Islam
Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar NDP, menjelaskan bahwa pentingnya membebaskan
diri belenggu tuhan yang banyak. tuhan yang dimaksudkan itu adalah Hawa Nafsu dan Kekuatan Tiranik atau Taghut.
Menanggapi
apa yang dijelaskan Azhari Akmal Tarigan tersebut, ia menggambarkan tuhan-tuhan
itu secara abstrak. Walaupun secara abstrak, dalam praktek kehidupan manusia
dapat kita lihat secara kongkrit bagaimana manusia-manusia menuhankan hawa
nafsunya, bagaimana penindasan atau tirani dari para penguasa. Maka manusia
harus memerdekakan dari hal-hal tersebut.
Kemudian,
secara konkrit dan fisikis, bentuk tuhan-tuhan yang banyak itu dapat berupa
berhala-berhala. Jika kita membaca sejarah, pada zaman kebodohan di Makkah,
berpuluh-puluh berhala memenuhi Baitullah. Penghulu para berhala itu bernama
Lata dan Uzza. Ahmad Thohari menjelaskan dalam bukunya Berhala Kontemporer, masyarakat pada masa itu percaya bahwa berhala
mampu mendatangkan kemaslahatan.
Lebih lanjut
Ahmad Thohari menjelaskan, berhala dahulu memang sederhana dan konkrit
wujudnya. Sedangkan berhala yang dijadikan tuhan-tuhan sudah baru dan canggih,
abstrak wujudnya, halus luar biasa dan kadang punya daya tarik yang begitu
merangsang. tuhan-tuhan itu dapat berbentuk isme-isme dari hedonisme
(penyembahan surga duniawi), konsumerisme (penyembahan nikmat benda-benda),
sampai ke humanisme yang bercorak agnostik, serta sederet isme lainnya.
Sembahan
baru (tuhan-tuhan) lainnya adalah premis-premis, simbol-simbol, atau
norma-norma non Islam. Semua itu mengakar kuat di kalangan ummat.
selanjutnya,
bagaimanakah kita memerdekakan diri dari tuhan-tuhan yang membelenggu manusia
atau bagaimanakah menghancurkan politeisme.
Dalam ajaran Islam, seperti yang dijelaskan di dalam Bab I NDP HMI: Dasar-Dasar
Kepercayaan, bahwa perkataan la ilaha
Illallah (Tidak ada tuhan selain Allah) yang diyakini sepenuh hati adalah
merupakan cara menghancurka tuhan-tuhan tersebut. Tidak bergantung kepada
tuhan-tuhan yang membelenggu secara kaffah
kecuali kepada Tuhan yang mutlak kebenarannya, Tuhan yang tidak membelenggu
manusia, yaitu Allah Swt.
Perumusan
kalimat persaksian (syahadat-la ilaha
Illallah) mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualiaan. Perkataan
la ilaha (tidak ada tuhan) artinya
meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan Illallah (selain Allah) artinya mengecualikan suatu kepercayaan
kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia memerdekakan
dirinya dari belenggu segenap tuhan-tuhan yang ada dengan segala akibatnya, dan
dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk kepada kebenaran
yang mutlak, kepercayaan yang tidak membelenggu, yaitu Allah Swt.
Terkait
mengenai hal tersebut, Cak Nur dalam bukunya Islam, Kemodernan, Dan Keindonesiaan, menjelaskan kalimat
persaksian tersebut dengan konsep Negasi dan
Afirmasi. Kalimat la ilaha Illallah, merupakan garis
pemisah antara siapa Mukmin dan siapa kafir. Dalam kalimat tersebut terkandung
dua pengertian yaitu peniadaan (negation)
dan pengukuhan (affirmation).
Perkataan “tidak ada tuhan” adalah peniadaan, dan perkataan “melainkan Allah
atau Tuhan itu sendiri” adalah pengukuhan.
Lebih lanjut
ia mengatakan, Islam mengajarkan tauhid memulai dengan ajaran yang meniadakan
sama sekali suatu tuhan atau ilah.
Dan dalam syahadat itu segera disusul dengan pengecualian, tidak semua tuhan
itu ada, kecuali satu, yaitu Tuhan itu sendiri, atau Allah (Allah adalah Ilah
yang telah memperoleh awalan al).
Jadi, negasi ketuhanan dalam kalimat syahadat adalah negasi yang terbatas,
tidak mutlak. Sebab, memang tidak demikian yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan
membebaskan atau memerdekakan diri dari berbagai jenis kepercayaan kepada
tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada
Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.[]
Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI Cabang Medan)
No comments:
Post a Comment