Memerdekakan Diri Dari tuhan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday, 15 March 2018

Memerdekakan Diri Dari tuhan


YakusaBlog- Pembahasan kita kali ini mungkin sedikit “seram”, “keren” dan menarik. Thema pembahasan kita kali ini di kegiatan Ngobrol Pintar Kader Insan Cita (Ngopi Kita) ditarik atau dipecahkan dari pembahasan yang ada di dalam Nilai-Nili Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI) pada Bab I dengan pembahasan Dasar-Dasar Kepercayaan.
Pada kesempatan kali ini, saya meminta ijin menyajikan materi dengan membuat tulisan yang mungkin cukup singkat dibandingkan luasnya pembahasan judul kita kali ini. Saya mencoba membuat paper ini bukan ingin sok ilmiah, tapi agar terlihat keseriusan dalam pembahasan ini. Seperti yang kita sepakati pada pertemuan-pertemuan yang telah lalu, dalam forum kita ini tetaplah bebas berargumentasi walau tanpa dasar referensi dari buku. Karena memang forum kita ini kita jadikan layaknya seperti percakapan sehari-hari. Tak wajib menggunakan bahasa formal dan berbagai macam penyebutan literatur. Dan tidak dilarang pula jika menggunakannya.
Pembahasan terkait judul kita kali ini beberapa kali sudah direkomendasikan oleh beberapa teman-teman, baik secara bahasa langsung ataupun tidak langsung. Tentunya juga, pembahasan ini tidak asing lagi bagi kader-kader HMI. Walau terkesan materi yang sudah agak klasik, tapi menurut saya masih relevan untuk dibahas atau dikaji. Alasannya adalah, di zaman now ini, yang mengatakan telah beriman masih terjebak kepada siapa iman itu dilandaskan dan siapakah yang diimaninya.
Mengawali pembahasan ini, agar tidak salah paham dengan judul yang kita angkat, perlu harus dimaknai dan pahami maksud daripada penulisan judul kita ini. Maksudnya, supaya tidak salah sangka atau menjustifikasi bahwa kita terlalu liberal. Kepada kita semua juga, teman-teman yang hadir dalam forum ini, tujuan pengangkatan tema ini bukan hanya untuk keren-kerenan. Tapi, memang kita harus duduk terkait masalah ini, karena pada parakteknya sebagai manusia kita masih sering terbelenggu oleh tuhan, baik secara tradisi dan nilia-nilai yang terlembagakan.
Perlu disadari juga, tulisan saya ini kiranya tidak menjadi pembatas pada diskusi kita kali ini. Biarlah semuanya liar dan bebas, yang terpenting substansi ataupun esensi menjadi tujuan kita bersama. Tidak ada larangan untuk membas tentang ketuhanan. Seperti yang dikatakan Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam, Tuhan bukanlah suatu daerah terlarang untuk dibahas. Sehinga menurut saya juga, Tuhan saja bukan daerah terlarang untuk dibahas apalagi tuhan.
Memerdekakan Diri Dari tuhan
Sebelum kita membahas bagaimana itu Memerdekakan Diri Dari tuhan, terlebih dahulu kita bahas dulu frasa atau kata “tuhan” dalam judul tersebut.
Dalam Latar Belakang Perumusan NDP HMI yang disusun oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Endang Saifuddin Anshari dan Sakieb Mahmud, Cak Nur menjelaskan perdebatan terkait penyebutan Allah SWT. di berbagai negara. Kemudian ia mengambil kesimpulan bahwa penyebutan Allah SWT. boleh menggunakan frasa “Tuhan” dengan penulisan huruf “T” besar. Sedangkan penulisan dengan huruf “t” kecil dimaksudkan pada tuhan-tuhan yang banyak disembah atau diimani oleh manusia. Bahkan yang mencampur adukkan di antara keduanya.
Lantas, adakah perbedaan antara Tuhan dengan tuhan itu? Mengapa masih banyak manusia mencampur adukkan antara keduanya, mengimani Tuhan (Allah Swt) kemudian mengimani tuhan yang lain? Apakah kerugian mengimani tuhan itu sehingga kita perlu memerdekakan diri darinya? Bagaimana usaha untuk melepaskan diri dari tuhan-tuhan itu?
Di dalam Latar Belakang Perumusan NDP HMI kembali dijelaskan bahwa di dalam masyarakat terdapat banyak tuhan-tuhan yang diyakini oleh masyarakat, hal ini sering disebut dengan politeisme. Maka dalam ajaran Islam, inilah yang harus diruntuhkan sehingga percaya pada satu Tuhan, yaitu Allah Swt. dalam hal ini sering disebut dengan monoteisme.
Yang menjadi problema atau akar masalah dalam kepercayaan manusia adalah politeisme. Jadi sebetulnya, seperti yang dikatakan di dalam NDP HMI, jika kita membaca Al-Qur’an bukan bagaimana supaya manusia yakin kepada Tuhan, karena suatu kepercayaan secara alamiah melekat dalam diri manusia. Tetapi, yang menjadi problema adalah bagaimana membebaskan atau memerdekakan diri dari banyak tuhan.
Terkait masalah ateisme, merupakan sesuatu yang tak mungkin. Di dalam Al-Qur’an memang ada membahas tentang ateisme dengan sebutan dahriyyah. Ateisme ini tidak mungkin terjadi, justru yang terjadi pada diri manusia atau yang menjadi problema besarnya adalah politeisme.
Nah, seperti apakah maksud tuhan-tuhan yang banyak disembah oleh manusia itu sehingga membelenggunya dan harus membebaskan diri dari belenggu tuhan-tuhan tersebut. Azhari Akmal Tarigan, dalam bukunya Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar NDP, menjelaskan bahwa pentingnya membebaskan diri belenggu tuhan yang banyak. tuhan yang dimaksudkan itu adalah Hawa Nafsu dan Kekuatan Tiranik atau Taghut.
Menanggapi apa yang dijelaskan Azhari Akmal Tarigan tersebut, ia menggambarkan tuhan-tuhan itu secara abstrak. Walaupun secara abstrak, dalam praktek kehidupan manusia dapat kita lihat secara kongkrit bagaimana manusia-manusia menuhankan hawa nafsunya, bagaimana penindasan atau tirani dari para penguasa. Maka manusia harus memerdekakan dari hal-hal tersebut.
Kemudian, secara konkrit dan fisikis, bentuk tuhan-tuhan yang banyak itu dapat berupa berhala-berhala. Jika kita membaca sejarah, pada zaman kebodohan di Makkah, berpuluh-puluh berhala memenuhi Baitullah. Penghulu para berhala itu bernama Lata dan Uzza. Ahmad Thohari menjelaskan dalam bukunya Berhala Kontemporer, masyarakat pada masa itu percaya bahwa berhala mampu mendatangkan kemaslahatan.
Lebih lanjut Ahmad Thohari menjelaskan, berhala dahulu memang sederhana dan konkrit wujudnya. Sedangkan berhala yang dijadikan tuhan-tuhan sudah baru dan canggih, abstrak wujudnya, halus luar biasa dan kadang punya daya tarik yang begitu merangsang. tuhan-tuhan itu dapat berbentuk isme-isme dari hedonisme (penyembahan surga duniawi), konsumerisme (penyembahan nikmat benda-benda), sampai ke humanisme yang bercorak agnostik, serta sederet isme lainnya.
Sembahan baru (tuhan-tuhan) lainnya adalah premis-premis, simbol-simbol, atau norma-norma non Islam. Semua itu mengakar kuat di kalangan ummat.
selanjutnya, bagaimanakah kita memerdekakan diri dari tuhan-tuhan yang membelenggu manusia atau bagaimanakah menghancurkan politeisme. Dalam ajaran Islam, seperti yang dijelaskan di dalam Bab I NDP HMI: Dasar-Dasar Kepercayaan, bahwa perkataan la ilaha Illallah (Tidak ada tuhan selain Allah) yang diyakini sepenuh hati adalah merupakan cara menghancurka tuhan-tuhan tersebut. Tidak bergantung kepada tuhan-tuhan yang membelenggu secara kaffah kecuali kepada Tuhan yang mutlak kebenarannya, Tuhan yang tidak membelenggu manusia, yaitu Allah Swt.
Perumusan kalimat persaksian (syahadat-la ilaha Illallah) mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualiaan. Perkataan la ilaha (tidak ada tuhan) artinya meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan Illallah (selain Allah) artinya mengecualikan suatu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia memerdekakan dirinya dari belenggu segenap tuhan-tuhan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk kepada kebenaran yang mutlak, kepercayaan yang tidak membelenggu, yaitu Allah Swt.
Terkait mengenai hal tersebut, Cak Nur dalam bukunya Islam, Kemodernan, Dan Keindonesiaan, menjelaskan kalimat persaksian tersebut dengan konsep Negasi dan Afirmasi. Kalimat la ilaha Illallah, merupakan garis pemisah antara siapa Mukmin dan siapa kafir. Dalam kalimat tersebut terkandung dua pengertian yaitu peniadaan (negation) dan pengukuhan (affirmation). Perkataan “tidak ada tuhan” adalah peniadaan, dan perkataan “melainkan Allah atau Tuhan itu sendiri” adalah pengukuhan.
Lebih lanjut ia mengatakan, Islam mengajarkan tauhid memulai dengan ajaran yang meniadakan sama sekali suatu tuhan atau ilah. Dan dalam syahadat itu segera disusul dengan pengecualian, tidak semua tuhan itu ada, kecuali satu, yaitu Tuhan itu sendiri, atau Allah (Allah adalah Ilah yang telah memperoleh awalan al). Jadi, negasi ketuhanan dalam kalimat syahadat adalah negasi yang terbatas, tidak mutlak. Sebab, memang tidak demikian yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan membebaskan atau memerdekakan diri dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI Cabang Medan)

No comments:

Post a Comment