YakusaBlog- Manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan pemimpin dimuka
bumi (khalifah fil ardhi) dengan
kewajiban mengabdikan diri semata-mata untuk kehadirat Sang Pencipta. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pemimpin” mempunya arti yaitu orang yang
memimpin. Dapat disimpulkan bahwasanya pemimpin mempunyai objek yang
dipimpinnya setidak-tidaknya adalah memimpin dirinya sendiri. Dalam
aktivitasnya, si pemimpin tentunya harus memiliki sifat “kepemimpinan” yang
dapat mengarahkan apa yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita
bersama antara si pemimpin dan yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam KBBI juga
mempunyai arti yaitu, perihal pimpinan; cara memimpin. Antara “pimpinan” dan
“kepemimpinan” tentunya mempunyai korelasi yang tidak dapat dipisahkan dalam
praktik memimpin (leadership). Namun
kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Pimpinan dapat disetarakan dengan Ketua,
Kepala, atau istilah pimpinan lainnya. Sedangkan “kepemimpinan” lebih mengarah
kepada gaya, cara, atau seni yang harus dimiliki setiap pimpinan. Banyak cara,
gaya, atau seni memimpin yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia mulai dari
otoriter sampai totaliter (melayani). Selain itu terdapat juga beberapa teori
kepemimpinan.
Menurut Robbins dalam Sus Budiharto dan Fathul Himan (2005:
136), teori kepemimpinan yang paling mutakhir antara lain berhubungan dengan
demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa
dari mana saja termasuk dari Islam.
Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam KBBI, profetik artinya
bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh
Kuntowijoyo. Dia menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami
oleh Muhammad Iqbal (Filsuf Muslim asal India abad ke-20). Iqbal
mendeskripsikan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW. ber-Mi’raj, beliau tetap kembali ke
bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi SAW tidak hanya menikmati
kebahagiaannya berjumpa dengan Allah SWT, dan melupakan masyarakatnya. Dengan
demikian, pengertian profetik di sini adalah melaksanakan
sesuatu sesuai dengan nilai-nilai dan pola kenabian. Dalam hal ini adalah
kepemimpinan. Kepemimpinan profetik berarti gaya atau seni memimpin berdasarkan
nilai-nilai dan pola kenabian. Kekuatan kepemimpinan profetik inilah yang
penulis lihat dan cermati ada pada sosok Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Dan hal ini pulalah yang coba penulis urai dalam tulisan ini.
Tjokroaminoto merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia
yang lahir pada Rabu, 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Di bawah
kepemimpinan beliaulah organisasi Sarekat Islam (SI)
berada pada masa kejayaan sekaligus mengantarkan beliau menjadi salah satu
tokoh pergerakan kebangkitan nasional. Tak salah penulis menempatkan beliau
menjadi salah satu tokoh idola baik di dalam kehidupan
berorganisasi, pergerakan, dan bersosial. Pola kekuatan kepemimpinan profetik
yang beliau parktikkan tergambar melalui salah satu trilogi termasyhur yang
pernah beliau ungkapkan dalam pidato beliau untuk membakar semangat juang
anggotan SI dalam melawan kolonialisme penjajah yaitu, “Semurni-murni Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu,
dan Sepintar-pintar Siasat”.
Didalam triolgi tersebut penulis menafsirkan, bahwasanya
dasar-dasar kepercayaan yang kuat dalam ketauhidan harus ditopang dengan
keinginan mencari ilmu yang setinggi-tingginya sesuai dengan hadist
Rasulullah SAW, “tuntutlah ilmu dari
buaian sampai ke liang lahat” untuk mencapai solusi dan penyelesaian
penjajahan dalam mencapai kemerdekaan. Semangat inilah yang menjadi gambaran
apa yang harus dimiliki oleh setiap pejuang kebangkitan nasional khususnya SI dalam
mencapai kemerdekaan atas penjajah.
Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan Sanerya Hendrawan
(2009: 158), bahwa kekuatan kepemimpinan profetik ini, terletak pada kondisi
spiritualitas pemimpinnya. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang
yang telah selesai memimpin dirinya sehingga upaya mempengaruhi orang lain atau
memimpin sesuai dengan keteladanan terhadap Rasulullah SAW. Selain itu, karya
beliau buku Islam dan Sosialisme menurut
tafsiran penulis beliau menjelaskan bahwasanya tidak ada yang salah dengan Karl
Marx dan Engels tetapi mengapa beberapa diantara kita terjebak dengan
sosialismenya Karl Marx dan Engels sedangkan Rasulullah SAW sudah mempraktikkan
sosialisme jauh sebelum mereka.
Didalam buku Islam dan Sosialisme Tjokroaminoto
menuliskan, “adapun yang menjadi dasar
pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan
kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam
melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu. Luasnya wilayah kekuasaan Islam
pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, tidak terlepas dari prinsip-prinsip
sosialisme yang diterpkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya
memperluas wilayah, termassuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai
menjadi milik negara. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka
negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya
milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam
telah melancarkan dirinya ke negri-negri luar” (Tjokroaminoto, 1963: 10).
Lebih lanjut kepemimpinan profetik yang Tjokroaminoto
wujudkan, berdasarkan buku Islam dan
Sosialisme beliau bagi menjadi tiga
prinsip sosialisme yang menurut beliau merupakan kunci kejayaan pemerintahan
Islam di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad. Yaitu Kemerdekaan (vrijheid-liberty),
persamaan (gelijk-heid-equality), dan
persaudaraan (broederschap-fraternity),
dan itulah yang dapat menyatukan umat Islam itu. Dalam perspektif penulis,
ketiga prinsip diatas dapat disimpulkan menjadi tujuan humanisasi (memanusiakan
manusia) dan tujuan liberasi (pembebasan belenggu penjajahan) sesuai dengan
pertentangan beliau yang menganggap bahwasanya kolonialisasi yang dipraktikkan
oleh penjajah memandang bahwasanya masyarakat Indonesia yang dijajah adalah
sapi perahan yang hanya diambil susu dan dagingnya tanpa kesejahterahan.
Hal ini menurut penulis merupakan inspirasi teologis dan
pola kenabian yang melandasi Tjokroaminoto di dalam
perumusan Islam dan Sosialisme tersebut. Sifat kepemimpinan profetik HOS. Tjokroaminoto
inilah yang penulis pikir mampu menghasilkan tokoh-tokoh bekas murid beliau
sekaliber Ir. Soekarno, Semaoen, Alimin, Kartosuwirjo, Musso, Hamka, sehingga
tak heran jika beliau di beri predikat sebagai Guru Bangsa. Bahkan Abdul Malik
Karim Amrullah saat itu masih berusia belasan tahun ketika pertama kali
bertatap muka dengan beliau. Malik rutin mengikuti kursus yang diselenggarakan
SI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi
tentang Islam dan Sosialisme.
Malik berkata, “Beliau (Tjokroaminto-pen) dalam kursusnya tidak mencela Karl Marx dan Friedrich
Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme
mereka telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi
Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu
mengambil teori yang lain lagi”, sebut Malik (Amelz, HOS Tjokroaminoto: Hidup
dan Perjuangannya, 1952: 36). Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak
usia 16 tahun ini memang sangat mengidolakan dan mengagumi sosok HOS
Tjokroaminoto sama dengan penulis. “Bilamana tiba giliran beliau, Tjokroaminoto,
mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di
wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus). Saya seakan-akan bermimpi, sebab
akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi
jiwaku”, kenang Malik. Malik murid Tjokroaminoto sang Guru Bangsa , kelak
dikenal dengan Buya Hamka salah satu tokoh besar di Negeri ini. Sejatinya sifat
kepemimpinan profetik inilah yang seharusnya disadur oleh pemimpin-pemimpin di
dunia, khususya penulis sendiri.
Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Aamiin.[]
Penulis: Muhammad Ardiyansyah
Kader HMI Cabang
Medan
Ket.gbr: Karikatur Tjokroaminoto
Sumber.gbr: https://tirto.id/
No comments:
Post a Comment