YakusaBlog- Kemampuan dalam memahami lingkungan hidup, baik yang bersifat fisik maupun
sosial kultural dapat dipandang sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahan manusia.
Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan penemuan sunnatullah (hukum-hukum Allah) yang telah ditetapkannya untuk alam
ciptaan secara universal. Ilmu pengetahuan modern yang banyak mempengaruhi
perkembangan dan perubahan masyarakat merupakan rekayasa manusia terhadap sunnatullah.
Pada gilirannya dapat ditegaskan bahwa, perubahan menjadi esensi dan
eksistensi manusia dan alam secara terus-menerus sepanjang sejarah
peradabannya. Alam memang mengalami perubahan (Al ‘Alamu Mutaghayyir). Sama halnya dengan kehidupan masyarakat
yang bersifat dinamis dari yang tradisional menuju kehidupan modern.
Kenyataannya perubahan sosial (social
change) telah menjadi inti perdebatan para sosiolog abad ke-19.
Rangkaian perubahan yang kompleks melanda kehidupan masyarakat setelah
terjadinya revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Prancis
dalam rentangan abad ke-16 sampai abaf ke-19. Dalam kondisi ini, ummat Islam
benar-benar tertinggal dalam perkembangan sosial, budaya dan politik. Kita
(ummat Islam-pen) gagal menyesuaikan
diri dengan perubahan fisik akibat sains dan teknologi. Di sisi lain pemahaman
ummat terhadap Islam dalam kondisi kehidupan yang berubah dianggap kurang
relevan.
Kenyataan ini barangkali dapat dimengerti, bahwa akibat struktural dari
kolonialisme Barat menimbulkan kebodohan dan kemiskinan hampir di seluruh
belahan dunia Muslim. Ummat Islam kehilangan arah dalam mengikuti perubahan
sosial yang terjadi, lebih-lebih setelah pintu ijtihad buru-buru ditutup. Kolonialisme mencapai puncaknya dengan
menawarkan kapitalisme sebagai model dan ideologi pembangunan untuk mencapai
perubahan dan kemajuan. Dalam rentangan yang lain, sosialme marxis mendapat
pasaran baru setelah dunia Muslim memperoleh kemerdekaannya pada abad ke-20.
Uraian ini (tulisan ini-pen),
berusaha memahami inti persoalan Islam dan perubahan sosial yang mengakar pada
prinsip masalah; bagaimana pandangan dasar Islam tentang perubahan sosial,
esensi perubahan sosial Islam yang dinamis untuk masa kini sekaligus rakayasa
masyarakat Islam sehingga sesuai dengan parameter peradaban Muslim secara
oksidental. Prospeknya mengarah pada pada keinginan kita supaya ummat Islam
dapat mengamalkan Islam secara kaffah
(QS. Al-Baqarah: 208), dalam kemajuan peradaban modern di sini kini dan
mendatang.
Islam dan
Perubahan: Membanding Kapitalisme dan Sosialisme
Dominasi struktural Barat terhadap dunia Muslim begitu berhasil menawarkan
sekularisme terhadap dunia Muslim yang ditularkan dari sistem pembangunan
kapitalisme dan sosialisme. Akar pemikiran diangkat dari teori-teori
perkembangan (development thoery)
modern yang membawa kemajuan industrialisasi. Akibat dari penerapan teori
inilah Barat berhasil menjajah dunia Islam. Lebih jauh, kendatipun sudah
memperoleh kemerdekaan kita mengalami stagnasi peradaban, dan kolonialisme
benar-benar meninggalkan kemiskinan dan kebodohan rakyat terjajah.
Kenyataannya kini dunia ketiga yang tergolong dalam dunia Muslim mulai
bergeser dari kehidupan tradisional ke arah medern dengan pemikiran yang
semakin rasional (Weber) dari satu sisi, sedangkan di sisi lain semakin
memudarnya solidaritas mekanis, yaitu suatu ikatan antara pribadi di antara
warga masyarakat pra-industri menuju berkembang luasnya solidaritas organis (Durkheim)
yaitu suatu ikatan yang didasarkan pada pembagian kerja pada masyarakat
industri.
Proses pembangunan membawa perubahan sosial secara menyeluruh. Menurut
Rostow, pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional
menjadi suatu masyarakat modern merupakan proses yang multi dimensional. Di
samping perubahan yang sifatnya ekonomis suatu pembangunan juga merubah sistem
politik, sosial dan budaya. Akibatnya, kemajuan material baik dalam sistem
kapitalis (monopoli pemodal secara liberal) maupun sosialis (pemilikan bersama
oleh negara) hanya menciptakan tuntutan-tuntutan baru yang sama eksploisifnya
dengan tuntutan-tuntutan orang yang lapar. Dalam kedua sistem pembangunan ini,
problemnya sama saja. Dalam pembangunan kapitalis, selain terdapat orang-orang
yang lebih kaya dan kehidupannya lebih baik, dalam pembangunan sosialis orang
tak pernah berkecukupan, secara signifikan menimbulkan orang-orang yang
materialis.
Hampir secara bersamaan awal abad ke-20 dunia Muslim lepas dari jerat
kolonialisme, ketika kita akan membangun timbul persoalan baru tentang model
pembangunan manakah yang relevan dengan prinsip pembangunan untuk perubahan sosial
dalam kehidupan ummat Islam. Inilah yang diperkirakan Yusuf Al-Qardawy bahwa,
baru saja ummat Muslim melepaskan dan membebaskan diri dari kolonialisme
politik, kini terperangkap dalam kolonialisme teknologi dan kita tahu bahwa
kolonialisme teknologi jauh lebih jelas daripada kolonialisme politik.
Berkaitan dengan masalah pengabsahan kolonialisme yang dilakukan Barat atas
dunia Islam selalu menggunakan alasan humanisme adalah suatu tesis yang
digunakan oleh penguasa di dunia ini yang mengontrol nasib bangsa-bangsa lain
untuk menjalin hubungan palsu antara penjajah dan terjajah, yang menurut Ali
Syari’ati dipandang sebagai humanisme sekuler. Teknologi modern yang membawa kemajuan
dan perubahan monumental di seluruh manca negara cukup riskan sehingga menjadi
bumerang dalam kemaslahatan dan eksistensi ummat manusia. Kenyataannya
menunjukkan eksploitasi manusia, peperangan, dan lain-lain menghantui kehidupan
manusia. Rasionalisme terus mengingkari wahyu.
Lalu bagaimana seharusnya dunia Islam melihat aspek pembangunan ummat
sebagai motivator terjadinya perubahan sosial? Perlu ditegaskan bahwa,
persoalan perubahan sosial di dalam Islam hendaknya dilihat dari segi agama dan
perubahan yang lebih luas.
Menusia sebagai khalifah atau
wakil Tuhan di muka bumi (QS. 6:165) yang sekaligus mampu dan sadar dengan
kemampuannya untuk mengemban amanah (QS. 33:72). Dengan begitu manusia memiliki
kesadaran diri spritualitas, intelektual, emosional untuk menciptakan
kreativitas di alam ini sehingga menempatkan dirinya sebaik-baiknya makhluk (Ahsanitaqwim) yang diciptakan dan
dimuliakan makhluk lain, baik ketika mereka di darat maupun di lautan lepas.
Islam sebagai keyakinan adalah warisan dan fitrah untuk bergama (QS.
30:30), karenanya Islam adalah kepasrahan dan ketundukan yang sejati (Qs.
3:19). Jelaslah bahwa Islam sebagai agama merupakan keharusan spritual,
psikologis, sosiologis dalam kehidupan manusia. Pada gilirannya, agama
menyentuh kehidupan masyarakat (komunitas). Untuk membina kualitas kehidupan
masyarakat diperlukan pembangunan yang memerlukan perubahan dan perbaikan
(Islam-pembaharuan). Islam sebagai Ad-Din
seharusnyalah dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam mendinamisasi
pembangunan yang dilaksanakan ummat, disinilah konsep perubahan sosial Islam
secara praktis mulai mewarnai kehidupan ummat.
Untuk itu, kita (ummat Islam) perlu menyadari bahwa; model pembangunan
Islam bertujuan membangun suatu masyarakat Islam yang ideal berdasarkan
lingkungan politik dan sosio ekonomi yang memenuhi kebutuhan material dan
spritual manusia. Sebagaimana meterialisme kontemporer dalam
masyarakat-masyarakat Muslim hanya dapat berkembang karena tiadanya lingkungan
Islam yang ideal di dunia Muslim. Secara historis, sosialisme merupakan reaksi
melawan kekejaman sistem kapitalisme, sementara Islam merupakan suatu kekuatan
positif yang mendahului gerak pertumbuhan kapitalisme itu sendiri. Lalu mengapa
kita (dunia Muslim) harus berkiblat kepada kapitalisme dan sosialisme dalam
membangun ummat? Bukankah sistem Muslim mengatakan semua isme atau agama yang
lain (QS. 48:28).
Karena masyarakat terus tumbuh dan berkembang, maka harus ditegaskan bahwa
perubahan sosial Islam mempunyai dua aspek utama, yaitu orientasi internal dan
orientasi eksternal. Orientasi internal adalah upaya menuju perubahan sosial
Islam yang di dalamnya dilakukan upaya-upaya guna mengembangkan dan
melestarikan pranata-pranata Islam di dalam ummat Muslim baik secara evolusi
(peningkatan kualitas Muslim) maupun secara revolusi lewat tranpormasi sosial,
kadang kala kita terlalu berbuat sepihak, sedangkan seharusnya perlu
diseimbangkan setiap gerakan Islamisasi melalui pendidikan ummat.
Sedangkan orientasi eksternal biasanya dikenal dengan pengembangan dakwah
dengan memanfaatkan peluang dan fasilitas modern yang menyentuh seluruh lapisan
ummat manusia, jadi orientasinya ke luar dan terpadu. Pada gilirannya
pembangunan di dunia Muslim secara langsung membuka peluang perubahan sosial yang
sesuai dengan pranata Muslim melalui keluarga, sosial ekonomi, poltiik dan
kebudayaan.
Rekayasa
Masyarakat Islam
Dalam sejarah, kewajiban setiap Muslim untuk melaksanakan kehendak Tuhan
adalah bersifat komunal sekaligus, induvidual (QS. 3:104, 110). Dengan demikian
dakwah sebagai rekonstruksi kehidupan masyarakat harus menyentuh seluruh aspek
kehidupan. Dakwah sebagai sarana rekayasa sosial mesti dipahami arah dan
prospek pengembangannya untuk merangkul masa depan ummat.
Kenyataannya menunjukkan bahwa komunitas Islam menempatkan solidaritas
keagamaan sebagai akarnya telah menggantikan ikatan suku; ummat merupakan
wahana dinamis di dalam melaksanakan tugas ilahi dalam masyarakat (QS. 2:143).
Masyarakat Islam adalah teosentris dan etika-religius yang dilestarikan dalam
upaya kebajikan. Sebagai suatu masyarakat yang teosentris falsafat sosialnya
didasarkan pada sistem nilai yang paling tinggi, berorientasi pada kebenaran,
keadilan, keindahan dan kasih sayang sesamanya.
Namun bagaimana kita membentuk ummat Islam yang ideal, sementara sistem
pengembangan dan pembangunan Islam masih statis, sementara perubahan sosial
terus melaju menawarkan sains dan teknologi masa kini sabagai mobilisator
masyarakat secara global. Kenyataannya sejak 1258 H atau 1429 M, ummat Islam
beanr-benar mengalami kejatuhan, apalagi dominasi kolonialisme sehingga akhir
abad XIX. Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam kehidupan masyarakat Islam. di
sini diperlukan pembaharuan (islah) dalam Islam. Semangat untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah menyadarkan ummat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup (dibuka kembali) dan ajaran Islam
meliputi seluruh aspek kehidupan, diharapkan dapat mendinamisir ummat dalam
rekaya sosial. Awal abad XX, Djamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh, Iqbal dan
lain-lain telah menyuarakan tema pembaharuannya dalam dunia politik,
pendidikan-kultural dan reformasi spritual.
Zianuddin Sardar melihat bahwa, kemunduran ummat Muslim ini merupakan
akibat dari kegelapan mereka dalam mengubah bentuk kerangka peradaban teoritis
Islam ke dalam bentuk operasional. Bagaimanapun, Islam tidak hanya menganggap
perubahan sebagai sesuatu yang nyata adanya. Melainkan juga mendorong ummat
Muslim agar menyesuaikan diri dengannya. Untuk itu dunia Islam harus mampu
menawarkan kembali kepemimpinan Islam yang tangguh dalam semangat jihad, dalam dakwahnya dan ijtihad untuk memobilisir pelaksanaan
syari’at Islam dalam setiap perubahan sosial menurut ukuran zamannya.
Kalaupun prinsip pokok ini bisa ditegakkan kembali dalam sistem kepemimpinan
Islam (Imamah-Khalifah), kita berkeyakinan dan berharap potensi ummat Islam
yang menjadi dinamis untuk rekaya sosial, karena akibat tumpulnya semangat jihad pemimpin Islam (berbuat di atas
pamrih) timbul persaingan primordial, akhirnya demokratisasi tidak dapat
ditegakkan. Di sisi lain, disfungsional ijtihad
mengakibatkan stagnasi pemikiran, menjadi beku dan statis.
Disintegrasi kepemimpinan (pemimpin) dengan kepentingan ummat mengakibatkan
ulama tidak dikenal ummat atau dakwah tidak mendapat respon dari masyarakat
karena tidak menyentuh kebutuhan masa kini. Pranata Islam tentang pembinaan
keluarga Muslim, ekonomi, budaya dan politik terlupakan, karena institusi kita
semakin dicekoki semangat ambisius dan materialisme. Sampai di sini, cukup
menyedihkan dalam rekayasa masyarakat Islam, sehingga terlihat program dakwah
menjadi kabur (kehilangan arah dan tanpa bobot); pendidikan Islam menjadi ajang
bisnis dan elitisme; tidak lagi menyuarakan kaum dhuafah (kelompok lemah). Sedangkan ciri masyarakat Islam bersifat
egalitarianisme (kebersamaan dan sederajat) yang membedakan hanya taqwa.
Berpijak pada toeri dan praktek rekayasa masyarakat Islam sepanjang sejarah
peradaban Islam, maka strategi untuk pembentukan masyarakat Islam meliputi:
Pertama, Komponen primer (inti) keluarga Muslim; dikembangkan melalui perkawinan
sebagai lembaga sakral (suci) yang senantiasa komitmen terhadap akidah tauhid, mawaddah warahmah dalam melaksanakan hak
dan kewajiban unsur keluarga (ayah, ibu, dan anak-anak), ukhuwah Islamiyah dalam kekerabatan (usrah). (QS. 30:21). Prospek ini, diproses melalui pemantapan etika
sosial pergaulan yang Islami, bertetangga, dan kerja sama ekonomi (koperasi),
perlu fungsionalisasi Masjid sebagai sarana transformasi nilai-nilai Islami (QS.
9:17, 18), menuju masyarakat yang penuh kasih sayng, keadilan dan kebajikan.
Kedua, Komponen Penggerak (Lembaga Penggerak); diperlukan sarana penggerak
potensi masyarakat yang mendapingi organisasi Muslim; lembaga ekonomi Islam;
pendidikan Islam; informasi dan jasa (lapangan kerja, budaya Islam, dan
lain-lain yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam satu wilayah
tertentu di mana rekayasa ummat dilakukan.
Ketiga, Komponen Institusional (Organisasi Muslim). Perlu dikembangkan organisasi
keagamaan yang tangguh; diarahkan pada aktivitas kaderisasi yang mapan dan
berkesinambungan, kepemimpinan Islami (ikhlas, demokratis, edukatif,
akomodatif), program dakwah yang integral dengan realitas sosial ummat. (QS.
3:159).
Strategi yang penulis kemukakan di atas sekedar tawaran yang masih perlu
diterjemahkan dalam tindakan operasional menurut kebutuhan kita. Sehingga
persolan rekayasa masyarakat Islam, tumbuh dalam memperbanyak kualitas iman,
ilmu dan amal Muslim baik secara individual maupun secara komunal. Di satu sisi
kita harus mempunyai komitmen yang tangguh atau teguh terhadap diktum Islam,
sementara di sisi lain kita harus berijtihad menafsirkan ajaran tersebut supaya
dapat dilaksanakan dalam dinamika perubahan sosial. Jadi harapan kita supaya
tidak tertinggal oleh kemajuan sain dan teknologi modern, bisa dicapai dengan
tetap berada dalam rangkulan Islam Khaffah,
sehingga kemiskinan dan kebodohan ummat dapat diperkecil atau kalau mungkin
dihilangkan. Insya Allah.
Penutup
Secara individual kita berorientasi kepada pembinaan pribadi paripurna (Insan Kamil), dengan kualitas; teguh
dalam aqidah rabbaniah, menegakkan
syari’at Islam, Jihad membela yang
hak (benar-pen), sabar dan tabah
menghadapi tantangan realitas kehidupan. Pada gilirannya, secara inpilisit dan berkesinambungan,
masing-masing kualitas individu itu membentuk komunitas Muslim.
Kita harus memulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat secara
menyeluruh, karena Islam milik semua ummat untuk mencapai ummatan washatan (berkeadilan) dan ummatan wahidatan (integral dalam aqidah), sebuah cita-cita Muslim
yang kreatif, dinamis dalam amal sholeh.
Kepustakaan
Al-Qur’anul Karim.
Ali Syariati, Membangun Masa Depan
Islam, Edisi Indonesia, Mizan, Bandung, 1988.
Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi
Islam dan Masyarakat Kontemporer, Mizan, Bandung, 1989.
Joghn L. Elposito (ed), Dinamika
Kebangkitan Islam, Rajawali, Jakarta, 1987.
M. Fajlurrahman Anshari, Konsepsi
Masyarakat Islam Modern, Risalah, Bandung, 1987.
Zianuddin Sardar, The Future of
Muslim Civilization, Croom Helm, London, 1979.
*******Penusli: Drs. H. Fakhrur Razy
Ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.alawan.org/
No comments:
Post a Comment