Islam dan Perubahan Sosial - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday, 10 February 2018

Islam dan Perubahan Sosial


YakusaBlog- Kemampuan dalam memahami lingkungan hidup, baik yang bersifat fisik maupun sosial kultural dapat dipandang sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahan manusia. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan penemuan sunnatullah (hukum-hukum Allah) yang telah ditetapkannya untuk alam ciptaan secara universal. Ilmu pengetahuan modern yang banyak mempengaruhi perkembangan dan perubahan masyarakat merupakan rekayasa manusia terhadap sunnatullah.
Pada gilirannya dapat ditegaskan bahwa, perubahan menjadi esensi dan eksistensi manusia dan alam secara terus-menerus sepanjang sejarah peradabannya. Alam memang mengalami perubahan (Al ‘Alamu Mutaghayyir). Sama halnya dengan kehidupan masyarakat yang bersifat dinamis dari yang tradisional menuju kehidupan modern. Kenyataannya perubahan sosial (social change) telah menjadi inti perdebatan para sosiolog abad ke-19.
Rangkaian perubahan yang kompleks melanda kehidupan masyarakat setelah terjadinya revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Prancis dalam rentangan abad ke-16 sampai abaf ke-19. Dalam kondisi ini, ummat Islam benar-benar tertinggal dalam perkembangan sosial, budaya dan politik. Kita (ummat Islam-pen) gagal menyesuaikan diri dengan perubahan fisik akibat sains dan teknologi. Di sisi lain pemahaman ummat terhadap Islam dalam kondisi kehidupan yang berubah dianggap kurang relevan.
Kenyataan ini barangkali dapat dimengerti, bahwa akibat struktural dari kolonialisme Barat menimbulkan kebodohan dan kemiskinan hampir di seluruh belahan dunia Muslim. Ummat Islam kehilangan arah dalam mengikuti perubahan sosial yang terjadi, lebih-lebih setelah pintu ijtihad buru-buru ditutup. Kolonialisme mencapai puncaknya dengan menawarkan kapitalisme sebagai model dan ideologi pembangunan untuk mencapai perubahan dan kemajuan. Dalam rentangan yang lain, sosialme marxis mendapat pasaran baru setelah dunia Muslim memperoleh kemerdekaannya pada abad ke-20.
Uraian ini (tulisan ini-pen), berusaha memahami inti persoalan Islam dan perubahan sosial yang mengakar pada prinsip masalah; bagaimana pandangan dasar Islam tentang perubahan sosial, esensi perubahan sosial Islam yang dinamis untuk masa kini sekaligus rakayasa masyarakat Islam sehingga sesuai dengan parameter peradaban Muslim secara oksidental. Prospeknya mengarah pada pada keinginan kita supaya ummat Islam dapat mengamalkan Islam secara kaffah (QS. Al-Baqarah: 208), dalam kemajuan peradaban modern di sini kini dan mendatang.
Islam dan Perubahan: Membanding Kapitalisme dan Sosialisme
Dominasi struktural Barat terhadap dunia Muslim begitu berhasil menawarkan sekularisme terhadap dunia Muslim yang ditularkan dari sistem pembangunan kapitalisme dan sosialisme. Akar pemikiran diangkat dari teori-teori perkembangan (development thoery) modern yang membawa kemajuan industrialisasi. Akibat dari penerapan teori inilah Barat berhasil menjajah dunia Islam. Lebih jauh, kendatipun sudah memperoleh kemerdekaan kita mengalami stagnasi peradaban, dan kolonialisme benar-benar meninggalkan kemiskinan dan kebodohan rakyat terjajah.
Kenyataannya kini dunia ketiga yang tergolong dalam dunia Muslim mulai bergeser dari kehidupan tradisional ke arah medern dengan pemikiran yang semakin rasional (Weber) dari satu sisi, sedangkan di sisi lain semakin memudarnya solidaritas mekanis, yaitu suatu ikatan antara pribadi di antara warga masyarakat pra-industri menuju berkembang luasnya solidaritas organis (Durkheim) yaitu suatu ikatan yang didasarkan pada pembagian kerja pada masyarakat industri.
Proses pembangunan membawa perubahan sosial secara menyeluruh. Menurut Rostow, pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu masyarakat modern merupakan proses yang multi dimensional. Di samping perubahan yang sifatnya ekonomis suatu pembangunan juga merubah sistem politik, sosial dan budaya. Akibatnya, kemajuan material baik dalam sistem kapitalis (monopoli pemodal secara liberal) maupun sosialis (pemilikan bersama oleh negara) hanya menciptakan tuntutan-tuntutan baru yang sama eksploisifnya dengan tuntutan-tuntutan orang yang lapar. Dalam kedua sistem pembangunan ini, problemnya sama saja. Dalam pembangunan kapitalis, selain terdapat orang-orang yang lebih kaya dan kehidupannya lebih baik, dalam pembangunan sosialis orang tak pernah berkecukupan, secara signifikan menimbulkan orang-orang yang materialis.
Hampir secara bersamaan awal abad ke-20 dunia Muslim lepas dari jerat kolonialisme, ketika kita akan membangun timbul persoalan baru tentang model pembangunan manakah yang relevan dengan prinsip pembangunan untuk perubahan sosial dalam kehidupan ummat Islam. Inilah yang diperkirakan Yusuf Al-Qardawy bahwa, baru saja ummat Muslim melepaskan dan membebaskan diri dari kolonialisme politik, kini terperangkap dalam kolonialisme teknologi dan kita tahu bahwa kolonialisme teknologi jauh lebih jelas daripada kolonialisme politik.
Berkaitan dengan masalah pengabsahan kolonialisme yang dilakukan Barat atas dunia Islam selalu menggunakan alasan humanisme adalah suatu tesis yang digunakan oleh penguasa di dunia ini yang mengontrol nasib bangsa-bangsa lain untuk menjalin hubungan palsu antara penjajah dan terjajah, yang menurut Ali Syari’ati dipandang sebagai humanisme sekuler. Teknologi modern yang membawa kemajuan dan perubahan monumental di seluruh manca negara cukup riskan sehingga menjadi bumerang dalam kemaslahatan dan eksistensi ummat manusia. Kenyataannya menunjukkan eksploitasi manusia, peperangan, dan lain-lain menghantui kehidupan manusia. Rasionalisme terus mengingkari wahyu.
Lalu bagaimana seharusnya dunia Islam melihat aspek pembangunan ummat sebagai motivator terjadinya perubahan sosial? Perlu ditegaskan bahwa, persoalan perubahan sosial di dalam Islam hendaknya dilihat dari segi agama dan perubahan yang lebih luas.
Menusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi (QS. 6:165) yang sekaligus mampu dan sadar dengan kemampuannya untuk mengemban amanah (QS. 33:72). Dengan begitu manusia memiliki kesadaran diri spritualitas, intelektual, emosional untuk menciptakan kreativitas di alam ini sehingga menempatkan dirinya sebaik-baiknya makhluk (Ahsanitaqwim) yang diciptakan dan dimuliakan makhluk lain, baik ketika mereka di darat maupun di lautan lepas.
Islam sebagai keyakinan adalah warisan dan fitrah untuk bergama (QS. 30:30), karenanya Islam adalah kepasrahan dan ketundukan yang sejati (Qs. 3:19). Jelaslah bahwa Islam sebagai agama merupakan keharusan spritual, psikologis, sosiologis dalam kehidupan manusia. Pada gilirannya, agama menyentuh kehidupan masyarakat (komunitas). Untuk membina kualitas kehidupan masyarakat diperlukan pembangunan yang memerlukan perubahan dan perbaikan (Islam-pembaharuan). Islam sebagai Ad-Din seharusnyalah dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam mendinamisasi pembangunan yang dilaksanakan ummat, disinilah konsep perubahan sosial Islam secara praktis mulai mewarnai kehidupan ummat.
Untuk itu, kita (ummat Islam) perlu menyadari bahwa; model pembangunan Islam bertujuan membangun suatu masyarakat Islam yang ideal berdasarkan lingkungan politik dan sosio ekonomi yang memenuhi kebutuhan material dan spritual manusia. Sebagaimana meterialisme kontemporer dalam masyarakat-masyarakat Muslim hanya dapat berkembang karena tiadanya lingkungan Islam yang ideal di dunia Muslim. Secara historis, sosialisme merupakan reaksi melawan kekejaman sistem kapitalisme, sementara Islam merupakan suatu kekuatan positif yang mendahului gerak pertumbuhan kapitalisme itu sendiri. Lalu mengapa kita (dunia Muslim) harus berkiblat kepada kapitalisme dan sosialisme dalam membangun ummat? Bukankah sistem Muslim mengatakan semua isme atau agama yang lain (QS. 48:28).
Karena masyarakat terus tumbuh dan berkembang, maka harus ditegaskan bahwa perubahan sosial Islam mempunyai dua aspek utama, yaitu orientasi internal dan orientasi eksternal. Orientasi internal adalah upaya menuju perubahan sosial Islam yang di dalamnya dilakukan upaya-upaya guna mengembangkan dan melestarikan pranata-pranata Islam di dalam ummat Muslim baik secara evolusi (peningkatan kualitas Muslim) maupun secara revolusi lewat tranpormasi sosial, kadang kala kita terlalu berbuat sepihak, sedangkan seharusnya perlu diseimbangkan setiap gerakan Islamisasi melalui pendidikan ummat.
Sedangkan orientasi eksternal biasanya dikenal dengan pengembangan dakwah dengan memanfaatkan peluang dan fasilitas modern yang menyentuh seluruh lapisan ummat manusia, jadi orientasinya ke luar dan terpadu. Pada gilirannya pembangunan di dunia Muslim secara langsung membuka peluang perubahan sosial yang sesuai dengan pranata Muslim melalui keluarga, sosial ekonomi, poltiik dan kebudayaan.
Rekayasa Masyarakat Islam
Dalam sejarah, kewajiban setiap Muslim untuk melaksanakan kehendak Tuhan adalah bersifat komunal sekaligus, induvidual (QS. 3:104, 110). Dengan demikian dakwah sebagai rekonstruksi kehidupan masyarakat harus menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dakwah sebagai sarana rekayasa sosial mesti dipahami arah dan prospek pengembangannya untuk merangkul masa depan ummat.
Kenyataannya menunjukkan bahwa komunitas Islam menempatkan solidaritas keagamaan sebagai akarnya telah menggantikan ikatan suku; ummat merupakan wahana dinamis di dalam melaksanakan tugas ilahi dalam masyarakat (QS. 2:143). Masyarakat Islam adalah teosentris dan etika-religius yang dilestarikan dalam upaya kebajikan. Sebagai suatu masyarakat yang teosentris falsafat sosialnya didasarkan pada sistem nilai yang paling tinggi, berorientasi pada kebenaran, keadilan, keindahan dan kasih sayang sesamanya.
Namun bagaimana kita membentuk ummat Islam yang ideal, sementara sistem pengembangan dan pembangunan Islam masih statis, sementara perubahan sosial terus melaju menawarkan sains dan teknologi masa kini sabagai mobilisator masyarakat secara global. Kenyataannya sejak 1258 H atau 1429 M, ummat Islam beanr-benar mengalami kejatuhan, apalagi dominasi kolonialisme sehingga akhir abad XIX. Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam kehidupan masyarakat Islam. di sini diperlukan pembaharuan (islah) dalam Islam. Semangat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah menyadarkan ummat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup (dibuka kembali) dan ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan, diharapkan dapat mendinamisir ummat dalam rekaya sosial. Awal abad XX, Djamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh, Iqbal dan lain-lain telah menyuarakan tema pembaharuannya dalam dunia politik, pendidikan-kultural dan reformasi spritual.
Zianuddin Sardar melihat bahwa, kemunduran ummat Muslim ini merupakan akibat dari kegelapan mereka dalam mengubah bentuk kerangka peradaban teoritis Islam ke dalam bentuk operasional. Bagaimanapun, Islam tidak hanya menganggap perubahan sebagai sesuatu yang nyata adanya. Melainkan juga mendorong ummat Muslim agar menyesuaikan diri dengannya. Untuk itu dunia Islam harus mampu menawarkan kembali kepemimpinan Islam yang tangguh dalam semangat jihad, dalam dakwahnya dan ijtihad untuk memobilisir pelaksanaan syari’at Islam dalam setiap perubahan sosial menurut ukuran zamannya.
Kalaupun prinsip pokok ini bisa ditegakkan kembali dalam sistem kepemimpinan Islam (Imamah-Khalifah), kita berkeyakinan dan berharap potensi ummat Islam yang menjadi dinamis untuk rekaya sosial, karena akibat tumpulnya semangat jihad pemimpin Islam (berbuat di atas pamrih) timbul persaingan primordial, akhirnya demokratisasi tidak dapat ditegakkan. Di sisi lain, disfungsional ijtihad mengakibatkan stagnasi pemikiran, menjadi beku dan statis.
Disintegrasi kepemimpinan (pemimpin) dengan kepentingan ummat mengakibatkan ulama tidak dikenal ummat atau dakwah tidak mendapat respon dari masyarakat karena tidak menyentuh kebutuhan masa kini. Pranata Islam tentang pembinaan keluarga Muslim, ekonomi, budaya dan politik terlupakan, karena institusi kita semakin dicekoki semangat ambisius dan materialisme. Sampai di sini, cukup menyedihkan dalam rekayasa masyarakat Islam, sehingga terlihat program dakwah menjadi kabur (kehilangan arah dan tanpa bobot); pendidikan Islam menjadi ajang bisnis dan elitisme; tidak lagi menyuarakan kaum dhuafah (kelompok lemah). Sedangkan ciri masyarakat Islam bersifat egalitarianisme (kebersamaan dan sederajat) yang membedakan hanya taqwa.
Berpijak pada toeri dan praktek rekayasa masyarakat Islam sepanjang sejarah peradaban Islam, maka strategi untuk pembentukan masyarakat Islam meliputi:
Pertama, Komponen primer (inti) keluarga Muslim; dikembangkan melalui perkawinan sebagai lembaga sakral (suci) yang senantiasa komitmen terhadap akidah tauhid, mawaddah warahmah dalam melaksanakan hak dan kewajiban unsur keluarga (ayah, ibu, dan anak-anak), ukhuwah Islamiyah dalam kekerabatan (usrah). (QS. 30:21). Prospek ini, diproses melalui pemantapan etika sosial pergaulan yang Islami, bertetangga, dan kerja sama ekonomi (koperasi), perlu fungsionalisasi Masjid sebagai sarana transformasi nilai-nilai Islami (QS. 9:17, 18), menuju masyarakat yang penuh kasih sayng, keadilan dan kebajikan.
Kedua, Komponen Penggerak (Lembaga Penggerak); diperlukan sarana penggerak potensi masyarakat yang mendapingi organisasi Muslim; lembaga ekonomi Islam; pendidikan Islam; informasi dan jasa (lapangan kerja, budaya Islam, dan lain-lain yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam satu wilayah tertentu di mana rekayasa ummat dilakukan.
Ketiga, Komponen Institusional (Organisasi Muslim). Perlu dikembangkan organisasi keagamaan yang tangguh; diarahkan pada aktivitas kaderisasi yang mapan dan berkesinambungan, kepemimpinan Islami (ikhlas, demokratis, edukatif, akomodatif), program dakwah yang integral dengan realitas sosial ummat. (QS. 3:159).
Strategi yang penulis kemukakan di atas sekedar tawaran yang masih perlu diterjemahkan dalam tindakan operasional menurut kebutuhan kita. Sehingga persolan rekayasa masyarakat Islam, tumbuh dalam memperbanyak kualitas iman, ilmu dan amal Muslim baik secara individual maupun secara komunal. Di satu sisi kita harus mempunyai komitmen yang tangguh atau teguh terhadap diktum Islam, sementara di sisi lain kita harus berijtihad menafsirkan ajaran tersebut supaya dapat dilaksanakan dalam dinamika perubahan sosial. Jadi harapan kita supaya tidak tertinggal oleh kemajuan sain dan teknologi modern, bisa dicapai dengan tetap berada dalam rangkulan Islam Khaffah, sehingga kemiskinan dan kebodohan ummat dapat diperkecil atau kalau mungkin dihilangkan. Insya Allah.
Penutup
Secara individual kita berorientasi kepada pembinaan pribadi paripurna (Insan Kamil), dengan kualitas; teguh dalam aqidah rabbaniah, menegakkan syari’at Islam, Jihad membela yang hak (benar-pen), sabar dan tabah menghadapi tantangan realitas kehidupan. Pada gilirannya, secara inpilisit dan berkesinambungan, masing-masing kualitas individu itu membentuk komunitas Muslim.
Kita harus memulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat secara menyeluruh, karena Islam milik semua ummat untuk mencapai ummatan washatan (berkeadilan) dan ummatan wahidatan (integral dalam aqidah), sebuah cita-cita Muslim yang kreatif, dinamis dalam amal sholeh.
Kepustakaan
Al-Qur’anul Karim.
Ali Syariati, Membangun Masa Depan Islam, Edisi Indonesia, Mizan, Bandung, 1988.
Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Mizan, Bandung, 1989.
Joghn L. Elposito (ed), Dinamika Kebangkitan Islam, Rajawali, Jakarta, 1987.
M. Fajlurrahman Anshari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Risalah, Bandung, 1987.
Zianuddin Sardar, The Future of Muslim Civilization, Croom Helm, London, 1979.
*******

Penusli: Drs. H. Fakhrur Razy

Ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.alawan.org/

No comments:

Post a Comment