YakusaBlog- Dalam
kegiatan diskusi Kader-Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), baik dalam diskusi
formal maupun dalam diskusi non-formal, ketika membahas tentang Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI) sering muncul pertanyaan bahkah menjadi bahan
perdebatan yang konstruktif, mengapa dalam Kesimpulan atau Inti NDP HMI yang
disusun oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Endang Saifuddin Anshari (ESA) dan
Sakib Mahmud, itu iman yang pertama disebutkan kemudian barulah ilmu? Mengapa
bukan ilmu dahulu baru iman? Tidak memungkinkah juga, kedua term ini (iman dan ilmu) menjadi bahan diskusi yang sangat alot di
dalam organisasi-organisasi lain, atau bahan kajian dalam forum-forum diskusi
di suatu kampus.
Terkait mengenai
hal ini, saya melihat muncul dua kelompok yang bertentangan, baik di forum HMI
maupun di wadah lain. Kelompok yang pertama menyepakati bahwa imanlah yang
lebih dahulu barulah kemudian ilmu.Dan kelompok yang kedua sepakat bahwa
ilmulah yang lebih dahulu baru kemudian iman. Masing-masing kelompok mempunyai
dasar argumentasinya.
Saya sendiri
pun terkadang di lain kesempatan memilih iman lebih dahulu, di lain kesempatan
lagi saya memilih ilmu yang lebih dahulu. Kemudian, saya menempatkan diri saya
dalam posisi netral, artinya menerima kedua-duanya dan memposisikan diri berada
di tengah-tengah.Tetapi saya tidak dapat bertahan lama.Saya pun bingung lagi,
yang mana harus saya letakkan di kanan dan di kiri. Saya masih bingung term mana yang harus diletakkan di atas
dan di bawah, serta mana yang harus diletakkan di depan dan di belakang.
Selanjutnya,
supaya tidak terjebak terlalu lama dalam kebingungan dengan penuh pertanyaan,
saya pun menentukan sikap terkait hal ini.Sikap saya bukan memilih apa-apa yang
disebutkan tadi.Tapi, sikap yang saya pilih adalah membuat suatu kesimpulan
bahwa, kedua-duanya (iman dan ilmu) sangat penting sekali.Kedua-duanya sangat
penting sekali dalam kehidupan ini. Islam yang menjadi azas kita, yang menjadi
dasar kehidupan kita, yang menjadi dasar ideologi, dan harus menjadi dasar
negara kita, mengajarkan bahwa iman tanpa ilmu akan sia-sia atau lumpuh, dan
kemudian ilmu tanpa iman akan buta. Pendapat ini dapat dibaratkan dengan uang
logam, atau dapat pula diibaratkan dengan seorang buta dengan tongkatnya, atau
juga seorang yang lumpuh dengan tongkat dan kursi roda.
Dengan sikap
tersebut, saya pun dapat menenangkan diri. Bagaimana dengan teman-teman Kader
HMI yang lain, atau orang-orang yang aktif membahas tentang iman dan ilmu?
Belum lagi ketika saat membaca NDP HMI versi Ust.Anto (NDP HMI yang disahkan
pada Kongres HMI ke-25 di Makassar).Versi ini sangat mengabulkan dan
menyepakati persetujuan atau pendapat dari kelompok kedua yang kita sebutkan
tadi.Walau mungkin mereka belum membacanya secara penuh.Karena teks NDP HMI
versi Ust.Anto tidak banyak diedarkan dan juga tidak panjang usianya di HMI,
kemudian digantikan oleh NDP HMI lama (versi Cak Nur).Dan di dalam forum-forum
pelatihan HMI (LK I, LK II dan LK III) secara mayoritas lebih banyak membahas
NDP HMI yang disusun Caknur, ESA, dan Sakib Mahmud.
Secara
pribadi, saya belum juga puas akan sikap yang disebutkan tadi walau dapat
menenangkan diri. Saya pun terus melakukan proses penelaahan dan pencarian
argumentasi. Saya baca teks-teks NDP HMI versi Cak Nur dan NDP HMI versi
Ust.Anto kemudian membandingkannya. Proses perbandingan inipun juga belum
mendapat kesimpulan yang tetap dalam diri saya. Tidak puas dengan membaca
teks-teks NDP HMI, saya teruskan membaca tulisan-tulisan tentang HMI di
berbagai media dan buku.Kemudian berdiskusi ddengan Instruktur-Instruktur HMI
yang luas wawasannya dan berpengalaman dalam menyampaikan NDP HMI di training-training HMI, baik secara
formal maun non-formal, baik kepada Instruktur yang moderat dan Instrukur yang
fundamen. Saya berdiskusi dengan bang Azhari Akmal Tarigan, Pembicara NDP HMI tingkat Nasional Tidak puas dengan bang Akmal, saya pun terus berdiskusi
dengan Instrukur yang diatasnya (senior), bang AR Piliang ketika ada kesempatan
bertemu. Serta dengan para Instruktur-Instruktur yang lain.
Proses
pencarian itu membuat saya lebih “haus” lagi untuk membahas atau mempelajari
NDP HMI, walau saya sering juga menyampaikan materi NDP HMI di dalam training Latihan Kader I (LK I) atau Basic Training. Jiwa dan semangat saya
pun semakin tinggi untuk mengkaji NDP HMI.Keinginan dan juga semangat untuk
mempelajari NDP HMI lebih besar daripada semangat mempelajari materi-materi
mata kuliah di kampus.
Dengan
keinginan yang kuat untuk mempelajari NDP HMI, seperti ingin mengetahui mengapa
iman dijadikan lebih awal dalam Kesimpulan atau Inti NDP HMI yang digunakan
sekarang.Saya pun membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang ada di dalam NDP HMI.
Selanjutnya,
saya menyelami langsung dalamnya pemikiran Cak Nur lewat membaca buku-buku yang
ia tulis. Seperti bukunya yang berjudul: Islam
dan Doktrin Peradaban; Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan; Pintu-Pintu Menuju
Tuhan dan tulisan-tulisanya yang lain. Dari buku-buku tersebut, saya
menemukan adanya hubungan teks-teks dan juga pembahasan-pembahasan yang ada
dalam NDP HMI. Karena dia (Cak Nur) sebagai penyusun utamanya, tentu banyak
sekali kaitannya dengan pembahasan yang ia tuliskan sebelum dan sesudah NDP HMI
disahkan.
Di dalam
bukunya yang berjudul Pintu-Pintu Menuju
Tuhan.Cak Nur banyak melakukan kajian-kajian atau pembahasan tentang iman
dan ilmu. Di dalam buku tersebut ia mengungkapkan iman itu lebih dahulu
daripada ilmu dengan merujuk kepada Al-Qur’an surah Al-Mujadalah ayat 11,
yang mana dalam terjemahan Bahasa Indonesia berbunyi: “…Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang
diberi karunia ilmu-pengetahuan ke berbagai tingkatan (derajat).”
Menurutnya,
lewat firman Allah Swt. tersebut menegaskan bahwa, janji keunggulan atau
mengangkat derajat manusia diberikan Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman
pada-Nya dan berilmu. Iman akan mendorong manusia berbuat kebaikan yang tujuan
utamanya hanyalah mengharap ridha Allah Swt. dan ilmu akan melengkapi manusia
dengan kemampuan menemukan metode, metodologi ataupun cara yang paling efektif
dan tepat dalam pelaksanaan dorongan berbuat kebaikan. Dengan perkataan lain,
iman mendidik manusia untuk mempunyai komitmen kepada nilai-nilai luhur (baik),
sedangkan ilmu memberi manusia kepandaian teknis guna merealisasikan
kebikan-kebaikan dalam kehidupan umat manusia sehari-hari. Iman dan ilmu secara
bersama-sama akan membuat manusia menjadi baik dan sekaligus tahu cara yang
tepat mewujudkan kebaikan-kebaikan.
Secara
hierarki, Cak Nur menempatkan iman di posisi yang primer, yang utama, dan ilmu
itu dalam posisi sebagai sekunder atau pelengkap tanpa harus memisahkah
keduanya. Ia membuat analogi perbandingannya seperti ini: “Lebih baik seorang yang jujur meskipun bodoh daripada seorang yang
jahat meskipun berilmu” atau “Lebih
baik seorang yang bodoh tapi jujur daripada seorang yang pandai tapi jahat.”
Artinya, kepandaian di tangan orang jahat akan menunjang kejahatannya itu
sehingga berlipat gandalah kejahatannya dan semakin merusak. Ia mencontohkannya
seperti seperti kejahatan kaum NAZI Jerman. Dapat pula saya mencontohkannya
seperti kaum-kaum Komunis dan juga kelompok-kelompok yang “kuat” beragama tapi
menyimpangkan ajaran agama sesuai kehendaknya dan kelompok agamawan yang
meninggalkan tanggungjawab sosial.
Masih dalam
pendapatnya Cak Nur, untuk mencapai keberhasilan usaha kebaikan yang maksimal,
ia menegaskan bahwa iman dan ilmu sangat penting dan tidak dapat dipisahkan. Ia
pun mengutip seperti yang dikatakan Saidina Ali, dengan dictum terkenalnya: “al-bathil bi-nidham yaghlib al-haqq
bi-ghayr nidham” (Kejahatan yang tersusun rapi akan mengalahkan kebenaran
yang tidak tersusun rapi).
Terkait
dengan dictum yang terkenal itu, dapatlah kita gambarkan bahwa kekalahan orang
atau kelompok yang baik oleh orang atau kelompok yang jahat jelas bukan karena
faktor iman orang atau kelompok yang baik itu.Tetapi karena faktor ilmunya yang
kurang.Inilah salah satu peran penting ilmu itu bagi seseorang atau suatu
kelompok yang berbuat kebaikan dan menyusun langkah-langkah untuk berbuat
kebaikan yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Demikian
beberapa pandangan dari Cak Nur sendiri terkait hubungan iman dan ilmu.Jika
boleh merekomendasikan kepada teman-teman kader HMI, untuk memahami NDP HMI yang
disusun oleh Cak Nur, baiknya kita harus membaca buku-bukunya yang telah saya
sebutkan di atas tadi. Hal itu sangat membantu kita dan akan lebih mudah
memahami NDP HMI.
**
Jika kita
menyelidiki motivasi pemahaman awal Cak Nur terkait masalah pembahasan iman dan
ilmu, selain seperti yang kita sebutkan di atas tadi, tulisan-tulisan Cak Nur,
baik sebelum dan sesudah NDP itu tersusun rapi sangat berkaitan sekali. Walau
dalam sejarah perumusan nama NDP itu ia sebutkan terinspirasi dari judul buku
Willy Eicher, seorang ideologi Partai Sosial Demokrat Jerman, yaitu The Fundamental Values and Basic Demand of
Democratic Socialism (Nilai-Nilai Dasar dan Tuntutan-Tuntutan Asasi
Sosialisme Demokrat). Nah, inilah asal kalimat “Nilai-Nilai Dasar” dalam
singkatan NDP.
Selain dari
judul bukunya seorang ideolog Partai Sosialis Demokrat Jerman itu, kata
“Perjuangan” ia (Cak Nur) dapatkan dari judul bukunya Syahrir, yang banyak
membicarakan mengenai ideologi sosialisme Indonesia, yang termuat dalam
bukunya, Perjuangn Kita, walaupun
menurut Cak Nur, Syahrir tidak orisinal memberikan judul bukunya karena
mengambil dari judul bukunya Adolf Hitler,
Mein Kamf (Perjuanganku).
Dalam
kesempatan ini perlu saya beritahukan dan pertegas bahwa, Cak Nur hanya
mengambil judul buku dari kedua tokoh yang saya sebutkan tadi.Ia tidak mengutip
apa isi di dalam buku itu walau ia membacanya. Silahkan dilihat di dalam
teks-teks NDP yang ia susun itu. Terkadang ada orang yang tidak obyektif
menanggapi hal ini.Menuduh bahwa Cak Nur meniru atau memasukkan ide-ide
sosialisme Barat ke dalam teks NDP.Dalam kesempatan tulisan yang lalu, telah
saya menuliskan mengenai mengapa NDP HMI itu luar biasa.
Lantas
darimanakah motivasi awal pemahaman Cak Nur atau pemikiran Cak Nur terkait hal
ini? Darimanakah ia terinspirasi terkait pemikiran NDP HMI ini? Atau adakah
alur atau arus pemiran yang mengalir hingga sampai kepada Cak Nur?Mungkin
jawabannya sebagian dapat kita temukan dalam Latar Belakang Perumusan NDP HMI
yang dituliskannya dalam NDP itu sendiri.
Sebagaimana
kita ketahui sendiri, Cak Nur adalah orang yang sangat suka membaca, berdiskusi
dan menulis.Semasa di Pondok Pesantren dan kuliah, kemudian bergabung di HMI,
Cak Nur telah “menghabisi” ribuan buku.Ia tidak pernah lepas dari buku.
Hidupnya tidak pernah lepas dari kajian-kajian, tidak pernah lepas dari buku,
bahkan yang terpenting ia tidak pernah lepas dari kajian agama Islam, sehingga
rujukan utama adalah AL-Qur’an dan Al-Hadits. Hal-hal itu membuat dalam dan
luaslah ilmu pengetahuannya.
Jika
memperhatikan tulisan-tulisannya, saya melihat ada kesamaan gaya penulisan atau
gaya pembahasan terkait tema tema yang kita bicarakan dengan gaya penulisan dan
atau gaya pembahasan Buya Hamka. Yang menjadi perbedaannya ialah, Cak Nur dalam
setiap membicarakan atau menuliskan satu hal, ia sebutkan Surah Al-Qur’an di
dalamnya. Misalnya buku Pintu-Pintu
Menuju Tuhan menuliskan seperti ini: “Padahal
yang terjadi ialah bahwa Allah mengutuk mereka karena sikap mereka yang menolak
kebenaran itu, sehingga mereka pun memang sedikit sekali kemungkinan untuk
beriman (Lihat QS. Al-Baqarah/2:88).”
Sedangkan
Buya Hamka, walaupun pernah melakukan yang demikian, akan tetapi hanya
sekali-kali. Yang perlu diingat bahwa, ide materi pembahasan dan gaya
pembahasannya tipis sekali perbedaannya. Memang, tulisan-tulisan Cak Nur agak
berat dipahami karena banyak menggunakan bahasa ilmiah dan sedikit
normative.Sedangkan tulisan-tulisan Buya Hamka sangat ringan bahasanya dan
lebih mudah untuk dipahami.
Seorang ahli
ilmu berkata, apa yang kit abaca sangat mempengaruhi dalam praktik kehidupan
kita. Baik dalam perilaku, cara berbicara dan cara menulis. Perbedaannya hanya
sedikit saja, itupun jika seseorang tersebut membuat inovasi dan kreasi baru.
Artinya ada proses modifikasi, akan tetapi dasar dan bahannya sama. Inovasi dan
kreasi itulah yang memunculkan hal-hal baru, itu tidaklah menjadi masalah.Maka
dari itulah, ahli ilmu yang arif menyarankan supaya kita, terkhususnya generasi
muda, membaca buku-buku yang mengandung hikmat (kebenaran).
Hal demikian
juga dapat kita dapatkan di dalam diri Cak Nur.Ini dapat kita buktikan di dalam
teks Latar Belakang Perumusan NDP HMI yang ditulis langsung oleh Cak Nur
sendiri.Ia mengatakan seperti ini: “Pokoknya
dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi macam-macam. Dan konklusinya
begini: Saya kecewa terhadap tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur
Tengah saat itu. Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya
meminta izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar.Jawab
K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema Islam dahulu dan sebagainya,
“Malik, kalau kamu mau ke Mekkah atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan fasih
berbahasa Arab barangkali. Tapi paling-paling kamu akan jadi lebai, kalau
pulang. Tetapi sebaliknya kalau kamu ingin mengetahui Islam secara intelek,
lebih baik di sini.Belajar bersa saya.”Dan saya setuju dengan pendapat K.H.
Agus Salim.”
Kemudian di
paragraf lain, Cak Nur menyebutkan begini: “…Waktu
itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini, sehingga
ketika saya terlibat dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka rela
memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang melalui
surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka
Menjawab Masalah-Masalah Agama.”
Nah, jika
kita cermati ungkapan Nur di atas, dapatlah kita ketahui bahwa ia (Cak Nur)
sering membaca tentang Hamka atau membaca buku-buku yang ditulis oleh Hamka
sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, Hamka adalah orang yang sangat aktif
menulis dan luas ilmu pengetahuannya dalam bidang agama, sastra, sosial politik
dan filsafat bukan main, walau tak pernah mendapatkan gelar kesarjanaan secara
formal. Sungguh sangat berbeda sekali dengan saat ini, banyak orang bergelar
sarjana hingga professor, tapi karyanya tidak sebanding dengan gelarnya.Sungguh
ini sangat memalukan walau yang mempunyai gelar tak merasa malu.
Semasa
hidupnya, ia (Hamka) telah banyak menulis kitab, seperti menulis Tafsir
Al-Qur’an semaca dipenjara yang dikenal dengan Tafsir Al-Azhar. Ia menulis dalam bidang agama, sosial, politik dan
filsafat yang dapat dilihat dalam bukunya berjudul Mutiara Filsafat, yang terdiri dari rangkaian empat buku yang
masing-masing berjudul Tasauf Modern,
Falsafat Hidup, Lembaga Budi, dan Lembaga
Hidup. Ia juga aktif mengarang dalam dunia sastra sehingga menghasilkan
novel roman dan syair-syair. Dan banyak karya yang lain.
Buku-buku
Hamka yang kita sebutkan di atas sangat membantu agar lebih mudah memahami NDP
HMI.Selain tulisan-tulisan Hamka, tulisan-tulisan K.H. Agus Salim juga sangat
layak untuk dibaca ketika ingin memahami NDP HMI yang disusun oleh Cak
Nur.Karena memang, sejatinya perlu wawasan yang luas dalam mengkaji atau
memahami NDP HMI.Tidaklah sempurna jika hanya berpatokan pada teks NDP itu
saja.Pembahasan NDP HMI tersebut secara luas dapat kita baca dalam karya-karya
Hamka tadi.
***
Kembali
kepada focus pembicaraan kita sesuai dengan judul tulisan ini. Setelah kita
hubungkan antara gaya Cak Nur dengan gayanya Buya Hamka dalam menulis dan
membicarakan suatu hal, dapat pula kita temukan dalam tulisan-tulisan Buya
Hamka, manakah yang lebih dahulu iman atau ilmu? Dan apa pula alasannya?
Di dalam
bukunya Buya Hamka yang berjudul Falsafah
Hidup, yang mana Cak Nur sendiri masih berusia 17 bulan, buku ini sudah
ditulis dan terbit (1940) yang pembahasan mengenai iman dan ilmu tidak jauh
berbeda dengan pembahasan iman dan ilmu yang ditulis Cak Nur dalam bukunya.
Hamka berpendapat bahwa, iman atau kepercayaan lebih tua pula dari ilmu.Iman
menjadi dasar (Cak Nur menyebutnya primer) daripada ilmu.Itulah sebab menurut
Hamka, Nabi-nabi lebih dahulu menanamkan iman daripada menyiarkan ilmu.
Hamka
memberikan contoh dengan membuktikannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan Allah Swt. di Mekkah lebih banyak mengandung rasa iman, dan yang
diturunkan di Madinah lebih banyak mengandung ilmu.Setelah sempurna iman,
barulah disuruh membenarkan, setelah itu dikemukakan segala macam alasan dan
dalil.Seorang sahabat Rasulullah Saw.Bernama Juandab berkata bahwa sebelum
mereka dewasa, lebih dahulu mereka diajarkan iman dan setelah itu diajarkan
Qur’an dan berulah pelajaran itu bertambah-tambah.
Permulaan
iman itu didengarkan dengan telinga, setelah mafhum dari pendengaran, barulah diikrarkan dengan lidah.Apabila
telah diikhtiarkan dengan lidah, maka iman yang telah ada di dalam hati itu
bertambah teguhlah.Apabila iman telah teguh, iman pun bisa pula ditambah,
semakin lama semakin bertambah.
Menurut
Hamka, iman dan ilmu itu tidak pat dipisah, mungkin hal ini juga yang diukuti
oleh Cak Nur, akan tetapi pendapatnya ia (Cak Nur) perteguh dengan landasan
Al-Qur’an seperti di awal kita jelaskan. Ilmu meningkatkan derajat orang alim,
sehingga merekalah yang menjadi tokoh di dalam masyarakat.Yang tidak beriman dan
berilmu tidaklah dapat dijadikan sebenar-benarnya tokoh.Agama Islam sangat
memuliakan iman dan ilmu.
Ilmu yang
disertai iman akan menghargai kehidupan sesudah kehidupan yang sekarang, itulah
pangkal kebahagiaan. Ilmu yang bersemangat atau dibalut dengan iman harus teguh
dan tumbuh di dalam dada, hendaklah diiringi dengan amal, kerja dan usaha.Ilmu
yang tidak diikuti amal tidaklah ada gunanya. Ilmu itu harus membekas di dalam
diri, ke luar diri dan kepada orang lain.
Dapatlah
kita tarik suatu kesimpulan bahwa, iman dan ilmu sangat penting dalam kehidupan
di dunia dan di akhirat.Manakah yang lebih dahulu (awal), apakah iman atau
ilmu?Dari penjelasan-penjelasan kita dapatlah kita ketahui tanpa memisahkan di
antara keduanya.Kita harus menguatkan keduanya dengan amal.Iman dan ilmu haru
diamalkan, inilah yang terpenting. Kita jangan sampai menghabiskan waktu hanya
hanya mendebatkan antara iman dan ilmu, bahkan membentuk kelompok
pendukung yang menyatakan iman yang
lebih dahulu tapi menyampingkan ilmu, atau kelompok yang menyatakan ilmu yang
terlebih dahulu tapi menyampingkan iman. Agama Islam sangat melarang memisahkan
keduanya, bahkan sangat dilarang meniadakan salah satunya.
Akhir
pembicaraan dalam pembahasan kali ini, saya kutipkan kata-kata dari seorang
paling mulia sepanjang masa, yaitu Muhammad Rasulullah Saw.dengan sabdanya: “Iman itu masih bertelanjang, pakaiannya
ialah taqwa, perhiasannya ialah malu, hartanya ialah ‘iffah (pandai
mengendalikan diri-pen) dan buahnya ialah ilmu.”Semoga Allah
Swt. mempertebal keimanan kita, memberi ilmu yang berkah kepada kita, dan
meridhoi amal kita.Kepada-Nya-lah kita memomon ampun, memohon pertolongan dan
juga memohon perlindungan. Tiada ilah
yang pantas untuk disembah, kecuali Allah Swt.[]
Penulis:
Ibnu Arsib
Instruktur
HMI Cabang Medan
No comments:
Post a Comment