Iman atau Ilmu, Manakah Lebih Dahulu? - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday, 3 February 2018

Iman atau Ilmu, Manakah Lebih Dahulu?


YakusaBlog- Dalam kegiatan diskusi Kader-Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), baik dalam diskusi formal maupun dalam diskusi non-formal, ketika membahas tentang Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI) sering muncul pertanyaan bahkah menjadi bahan perdebatan yang konstruktif, mengapa dalam Kesimpulan atau Inti NDP HMI yang disusun oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Endang Saifuddin Anshari (ESA) dan Sakib Mahmud, itu iman yang pertama disebutkan kemudian barulah ilmu? Mengapa bukan ilmu dahulu baru iman? Tidak memungkinkah juga, kedua term ini (iman dan ilmu) menjadi bahan diskusi yang sangat alot di dalam organisasi-organisasi lain, atau bahan kajian dalam forum-forum diskusi di suatu kampus.
Terkait mengenai hal ini, saya melihat muncul dua kelompok yang bertentangan, baik di forum HMI maupun di wadah lain. Kelompok yang pertama menyepakati bahwa imanlah yang lebih dahulu barulah kemudian ilmu.Dan kelompok yang kedua sepakat bahwa ilmulah yang lebih dahulu baru kemudian iman. Masing-masing kelompok mempunyai dasar argumentasinya.
Saya sendiri pun terkadang di lain kesempatan memilih iman lebih dahulu, di lain kesempatan lagi saya memilih ilmu yang lebih dahulu. Kemudian, saya menempatkan diri saya dalam posisi netral, artinya menerima kedua-duanya dan memposisikan diri berada di tengah-tengah.Tetapi saya tidak dapat bertahan lama.Saya pun bingung lagi, yang mana harus saya letakkan di kanan dan di kiri. Saya masih bingung term mana yang harus diletakkan di atas dan di bawah, serta mana yang harus diletakkan di depan dan di belakang.
Selanjutnya, supaya tidak terjebak terlalu lama dalam kebingungan dengan penuh pertanyaan, saya pun menentukan sikap terkait hal ini.Sikap saya bukan memilih apa-apa yang disebutkan tadi.Tapi, sikap yang saya pilih adalah membuat suatu kesimpulan bahwa, kedua-duanya (iman dan ilmu) sangat penting sekali.Kedua-duanya sangat penting sekali dalam kehidupan ini. Islam yang menjadi azas kita, yang menjadi dasar kehidupan kita, yang menjadi dasar ideologi, dan harus menjadi dasar negara kita, mengajarkan bahwa iman tanpa ilmu akan sia-sia atau lumpuh, dan kemudian ilmu tanpa iman akan buta. Pendapat ini dapat dibaratkan dengan uang logam, atau dapat pula diibaratkan dengan seorang buta dengan tongkatnya, atau juga seorang yang lumpuh dengan tongkat dan kursi roda.
Dengan sikap tersebut, saya pun dapat menenangkan diri. Bagaimana dengan teman-teman Kader HMI yang lain, atau orang-orang yang aktif membahas tentang iman dan ilmu? Belum lagi ketika saat membaca NDP HMI versi Ust.Anto (NDP HMI yang disahkan pada Kongres HMI ke-25 di Makassar).Versi ini sangat mengabulkan dan menyepakati persetujuan atau pendapat dari kelompok kedua yang kita sebutkan tadi.Walau mungkin mereka belum membacanya secara penuh.Karena teks NDP HMI versi Ust.Anto tidak banyak diedarkan dan juga tidak panjang usianya di HMI, kemudian digantikan oleh NDP HMI lama (versi Cak Nur).Dan di dalam forum-forum pelatihan HMI (LK I, LK II dan LK III) secara mayoritas lebih banyak membahas NDP HMI yang disusun Caknur, ESA, dan Sakib Mahmud.
Secara pribadi, saya belum juga puas akan sikap yang disebutkan tadi walau dapat menenangkan diri. Saya pun terus melakukan proses penelaahan dan pencarian argumentasi. Saya baca teks-teks NDP HMI versi Cak Nur dan NDP HMI versi Ust.Anto kemudian membandingkannya. Proses perbandingan inipun juga belum mendapat kesimpulan yang tetap dalam diri saya. Tidak puas dengan membaca teks-teks NDP HMI, saya teruskan membaca tulisan-tulisan tentang HMI di berbagai media dan buku.Kemudian berdiskusi ddengan Instruktur-Instruktur HMI yang luas wawasannya dan berpengalaman dalam menyampaikan NDP HMI di training-training HMI, baik secara formal maun non-formal, baik kepada Instruktur yang moderat dan Instrukur yang fundamen. Saya berdiskusi dengan bang Azhari Akmal Tarigan, Pembicara NDP HMI tingkat Nasional Tidak puas dengan bang Akmal, saya pun terus berdiskusi dengan Instrukur yang diatasnya (senior), bang AR Piliang ketika ada kesempatan bertemu. Serta dengan para Instruktur-Instruktur yang lain.
Proses pencarian itu membuat saya lebih “haus” lagi untuk membahas atau mempelajari NDP HMI, walau saya sering juga menyampaikan materi NDP HMI di dalam training Latihan Kader I (LK I) atau Basic Training. Jiwa dan semangat saya pun semakin tinggi untuk mengkaji NDP HMI.Keinginan dan juga semangat untuk mempelajari NDP HMI lebih besar daripada semangat mempelajari materi-materi mata kuliah di kampus.
Dengan keinginan yang kuat untuk mempelajari NDP HMI, seperti ingin mengetahui mengapa iman dijadikan lebih awal dalam Kesimpulan atau Inti NDP HMI yang digunakan sekarang.Saya pun membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang ada di dalam NDP HMI.
Selanjutnya, saya menyelami langsung dalamnya pemikiran Cak Nur lewat membaca buku-buku yang ia tulis. Seperti bukunya yang berjudul: Islam dan Doktrin Peradaban; Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan; Pintu-Pintu Menuju Tuhan dan tulisan-tulisanya yang lain. Dari buku-buku tersebut, saya menemukan adanya hubungan teks-teks dan juga pembahasan-pembahasan yang ada dalam NDP HMI. Karena dia (Cak Nur) sebagai penyusun utamanya, tentu banyak sekali kaitannya dengan pembahasan yang ia tuliskan sebelum dan sesudah NDP HMI disahkan.
Di dalam bukunya yang berjudul Pintu-Pintu Menuju Tuhan.Cak Nur banyak melakukan kajian-kajian atau pembahasan tentang iman dan ilmu. Di dalam buku tersebut ia mengungkapkan iman itu lebih dahulu daripada ilmu dengan merujuk kepada Al-Qur’an surah Al-Mujadalah ayat 11, yang mana dalam terjemahan Bahasa Indonesia berbunyi: “…Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu-pengetahuan ke berbagai tingkatan (derajat).”
Menurutnya, lewat firman Allah Swt. tersebut menegaskan bahwa, janji keunggulan atau mengangkat derajat manusia diberikan Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman pada-Nya dan berilmu. Iman akan mendorong manusia berbuat kebaikan yang tujuan utamanya hanyalah mengharap ridha Allah Swt. dan ilmu akan melengkapi manusia dengan kemampuan menemukan metode, metodologi ataupun cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan dorongan berbuat kebaikan. Dengan perkataan lain, iman mendidik manusia untuk mempunyai komitmen kepada nilai-nilai luhur (baik), sedangkan ilmu memberi manusia kepandaian teknis guna merealisasikan kebikan-kebaikan dalam kehidupan umat manusia sehari-hari. Iman dan ilmu secara bersama-sama akan membuat manusia menjadi baik dan sekaligus tahu cara yang tepat mewujudkan kebaikan-kebaikan.
Secara hierarki, Cak Nur menempatkan iman di posisi yang primer, yang utama, dan ilmu itu dalam posisi sebagai sekunder atau pelengkap tanpa harus memisahkah keduanya. Ia membuat analogi perbandingannya seperti ini: “Lebih baik seorang yang jujur meskipun bodoh daripada seorang yang jahat meskipun berilmu” atau “Lebih baik seorang yang bodoh tapi jujur daripada seorang yang pandai tapi jahat.” Artinya, kepandaian di tangan orang jahat akan menunjang kejahatannya itu sehingga berlipat gandalah kejahatannya dan semakin merusak. Ia mencontohkannya seperti seperti kejahatan kaum NAZI Jerman. Dapat pula saya mencontohkannya seperti kaum-kaum Komunis dan juga kelompok-kelompok yang “kuat” beragama tapi menyimpangkan ajaran agama sesuai kehendaknya dan kelompok agamawan yang meninggalkan tanggungjawab sosial.
Masih dalam pendapatnya Cak Nur, untuk mencapai keberhasilan usaha kebaikan yang maksimal, ia menegaskan bahwa iman dan ilmu sangat penting dan tidak dapat dipisahkan. Ia pun mengutip seperti yang dikatakan Saidina Ali, dengan dictum terkenalnya: “al-bathil bi-nidham yaghlib al-haqq bi-ghayr nidham” (Kejahatan yang tersusun rapi akan mengalahkan kebenaran yang tidak tersusun rapi).
Terkait dengan dictum yang terkenal itu, dapatlah kita gambarkan bahwa kekalahan orang atau kelompok yang baik oleh orang atau kelompok yang jahat jelas bukan karena faktor iman orang atau kelompok yang baik itu.Tetapi karena faktor ilmunya yang kurang.Inilah salah satu peran penting ilmu itu bagi seseorang atau suatu kelompok yang berbuat kebaikan dan menyusun langkah-langkah untuk berbuat kebaikan yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Demikian beberapa pandangan dari Cak Nur sendiri terkait hubungan iman dan ilmu.Jika boleh merekomendasikan kepada teman-teman kader HMI, untuk memahami NDP HMI yang disusun oleh Cak Nur, baiknya kita harus membaca buku-bukunya yang telah saya sebutkan di atas tadi. Hal itu sangat membantu kita dan akan lebih mudah memahami NDP HMI.
**
Jika kita menyelidiki motivasi pemahaman awal Cak Nur terkait masalah pembahasan iman dan ilmu, selain seperti yang kita sebutkan di atas tadi, tulisan-tulisan Cak Nur, baik sebelum dan sesudah NDP itu tersusun rapi sangat berkaitan sekali. Walau dalam sejarah perumusan nama NDP itu ia sebutkan terinspirasi dari judul buku Willy Eicher, seorang ideologi Partai Sosial Demokrat Jerman, yaitu The Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism (Nilai-Nilai Dasar dan Tuntutan-Tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat). Nah, inilah asal kalimat “Nilai-Nilai Dasar” dalam singkatan NDP.
Selain dari judul bukunya seorang ideolog Partai Sosialis Demokrat Jerman itu, kata “Perjuangan” ia (Cak Nur) dapatkan dari judul bukunya Syahrir, yang banyak membicarakan mengenai ideologi sosialisme Indonesia, yang termuat dalam bukunya, Perjuangn Kita, walaupun menurut Cak Nur, Syahrir tidak orisinal memberikan judul bukunya karena mengambil dari judul bukunya Adolf Hitler, Mein Kamf (Perjuanganku).
Dalam kesempatan ini perlu saya beritahukan dan pertegas bahwa, Cak Nur hanya mengambil judul buku dari kedua tokoh yang saya sebutkan tadi.Ia tidak mengutip apa isi di dalam buku itu walau ia membacanya. Silahkan dilihat di dalam teks-teks NDP yang ia susun itu. Terkadang ada orang yang tidak obyektif menanggapi hal ini.Menuduh bahwa Cak Nur meniru atau memasukkan ide-ide sosialisme Barat ke dalam teks NDP.Dalam kesempatan tulisan yang lalu, telah saya menuliskan mengenai mengapa NDP HMI itu luar biasa.
Lantas darimanakah motivasi awal pemahaman Cak Nur atau pemikiran Cak Nur terkait hal ini? Darimanakah ia terinspirasi terkait pemikiran NDP HMI ini? Atau adakah alur atau arus pemiran yang mengalir hingga sampai kepada Cak Nur?Mungkin jawabannya sebagian dapat kita temukan dalam Latar Belakang Perumusan NDP HMI yang dituliskannya dalam NDP itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui sendiri, Cak Nur adalah orang yang sangat suka membaca, berdiskusi dan menulis.Semasa di Pondok Pesantren dan kuliah, kemudian bergabung di HMI, Cak Nur telah “menghabisi” ribuan buku.Ia tidak pernah lepas dari buku. Hidupnya tidak pernah lepas dari kajian-kajian, tidak pernah lepas dari buku, bahkan yang terpenting ia tidak pernah lepas dari kajian agama Islam, sehingga rujukan utama adalah AL-Qur’an dan Al-Hadits. Hal-hal itu membuat dalam dan luaslah ilmu pengetahuannya.
Jika memperhatikan tulisan-tulisannya, saya melihat ada kesamaan gaya penulisan atau gaya pembahasan terkait tema tema yang kita bicarakan dengan gaya penulisan dan atau gaya pembahasan Buya Hamka. Yang menjadi perbedaannya ialah, Cak Nur dalam setiap membicarakan atau menuliskan satu hal, ia sebutkan Surah Al-Qur’an di dalamnya. Misalnya buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan menuliskan seperti ini: “Padahal yang terjadi ialah bahwa Allah mengutuk mereka karena sikap mereka yang menolak kebenaran itu, sehingga mereka pun memang sedikit sekali kemungkinan untuk beriman (Lihat QS. Al-Baqarah/2:88).”
Sedangkan Buya Hamka, walaupun pernah melakukan yang demikian, akan tetapi hanya sekali-kali. Yang perlu diingat bahwa, ide materi pembahasan dan gaya pembahasannya tipis sekali perbedaannya. Memang, tulisan-tulisan Cak Nur agak berat dipahami karena banyak menggunakan bahasa ilmiah dan sedikit normative.Sedangkan tulisan-tulisan Buya Hamka sangat ringan bahasanya dan lebih mudah untuk dipahami.
Seorang ahli ilmu berkata, apa yang kit abaca sangat mempengaruhi dalam praktik kehidupan kita. Baik dalam perilaku, cara berbicara dan cara menulis. Perbedaannya hanya sedikit saja, itupun jika seseorang tersebut membuat inovasi dan kreasi baru. Artinya ada proses modifikasi, akan tetapi dasar dan bahannya sama. Inovasi dan kreasi itulah yang memunculkan hal-hal baru, itu tidaklah menjadi masalah.Maka dari itulah, ahli ilmu yang arif menyarankan supaya kita, terkhususnya generasi muda, membaca buku-buku yang mengandung hikmat (kebenaran).
Hal demikian juga dapat kita dapatkan di dalam diri Cak Nur.Ini dapat kita buktikan di dalam teks Latar Belakang Perumusan NDP HMI yang ditulis langsung oleh Cak Nur sendiri.Ia mengatakan seperti ini: “Pokoknya dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi macam-macam. Dan konklusinya begini: Saya kecewa terhadap tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur Tengah saat itu. Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya meminta izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar.Jawab K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema Islam dahulu dan sebagainya, “Malik, kalau kamu mau ke Mekkah atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan fasih berbahasa Arab barangkali. Tapi paling-paling kamu akan jadi lebai, kalau pulang. Tetapi sebaliknya kalau kamu ingin mengetahui Islam secara intelek, lebih baik di sini.Belajar bersa saya.”Dan saya setuju dengan pendapat K.H. Agus Salim.”
Kemudian di paragraf lain, Cak Nur menyebutkan begini: “…Waktu itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini, sehingga ketika saya terlibat dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka rela memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang melalui surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka Menjawab Masalah-Masalah Agama.”
Nah, jika kita cermati ungkapan Nur di atas, dapatlah kita ketahui bahwa ia (Cak Nur) sering membaca tentang Hamka atau membaca buku-buku yang ditulis oleh Hamka sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, Hamka adalah orang yang sangat aktif menulis dan luas ilmu pengetahuannya dalam bidang agama, sastra, sosial politik dan filsafat bukan main, walau tak pernah mendapatkan gelar kesarjanaan secara formal. Sungguh sangat berbeda sekali dengan saat ini, banyak orang bergelar sarjana hingga professor, tapi karyanya tidak sebanding dengan gelarnya.Sungguh ini sangat memalukan walau yang mempunyai gelar tak merasa malu.
Semasa hidupnya, ia (Hamka) telah banyak menulis kitab, seperti menulis Tafsir Al-Qur’an semaca dipenjara yang dikenal dengan Tafsir Al-Azhar. Ia menulis dalam bidang agama, sosial, politik dan filsafat yang dapat dilihat dalam bukunya berjudul Mutiara Filsafat, yang terdiri dari rangkaian empat buku yang masing-masing berjudul Tasauf Modern, Falsafat Hidup, Lembaga Budi, dan Lembaga Hidup. Ia juga aktif mengarang dalam dunia sastra sehingga menghasilkan novel roman dan syair-syair. Dan banyak karya yang lain.
Buku-buku Hamka yang kita sebutkan di atas sangat membantu agar lebih mudah memahami NDP HMI.Selain tulisan-tulisan Hamka, tulisan-tulisan K.H. Agus Salim juga sangat layak untuk dibaca ketika ingin memahami NDP HMI yang disusun oleh Cak Nur.Karena memang, sejatinya perlu wawasan yang luas dalam mengkaji atau memahami NDP HMI.Tidaklah sempurna jika hanya berpatokan pada teks NDP itu saja.Pembahasan NDP HMI tersebut secara luas dapat kita baca dalam karya-karya Hamka tadi.
***
Kembali kepada focus pembicaraan kita sesuai dengan judul tulisan ini. Setelah kita hubungkan antara gaya Cak Nur dengan gayanya Buya Hamka dalam menulis dan membicarakan suatu hal, dapat pula kita temukan dalam tulisan-tulisan Buya Hamka, manakah yang lebih dahulu iman atau ilmu? Dan apa pula alasannya?
Di dalam bukunya Buya Hamka yang berjudul Falsafah Hidup, yang mana Cak Nur sendiri masih berusia 17 bulan, buku ini sudah ditulis dan terbit (1940) yang pembahasan mengenai iman dan ilmu tidak jauh berbeda dengan pembahasan iman dan ilmu yang ditulis Cak Nur dalam bukunya. Hamka berpendapat bahwa, iman atau kepercayaan lebih tua pula dari ilmu.Iman menjadi dasar (Cak Nur menyebutnya primer) daripada ilmu.Itulah sebab menurut Hamka, Nabi-nabi lebih dahulu menanamkan iman daripada menyiarkan ilmu.
Hamka memberikan contoh dengan membuktikannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt. di Mekkah lebih banyak mengandung rasa iman, dan yang diturunkan di Madinah lebih banyak mengandung ilmu.Setelah sempurna iman, barulah disuruh membenarkan, setelah itu dikemukakan segala macam alasan dan dalil.Seorang sahabat Rasulullah Saw.Bernama Juandab berkata bahwa sebelum mereka dewasa, lebih dahulu mereka diajarkan iman dan setelah itu diajarkan Qur’an dan berulah pelajaran itu bertambah-tambah.
Permulaan iman itu didengarkan dengan telinga, setelah mafhum dari pendengaran, barulah diikrarkan dengan lidah.Apabila telah diikhtiarkan dengan lidah, maka iman yang telah ada di dalam hati itu bertambah teguhlah.Apabila iman telah teguh, iman pun bisa pula ditambah, semakin lama semakin bertambah.
Menurut Hamka, iman dan ilmu itu tidak pat dipisah, mungkin hal ini juga yang diukuti oleh Cak Nur, akan tetapi pendapatnya ia (Cak Nur) perteguh dengan landasan Al-Qur’an seperti di awal kita jelaskan. Ilmu meningkatkan derajat orang alim, sehingga merekalah yang menjadi tokoh di dalam masyarakat.Yang tidak beriman dan berilmu tidaklah dapat dijadikan sebenar-benarnya tokoh.Agama Islam sangat memuliakan iman dan ilmu.
Ilmu yang disertai iman akan menghargai kehidupan sesudah kehidupan yang sekarang, itulah pangkal kebahagiaan. Ilmu yang bersemangat atau dibalut dengan iman harus teguh dan tumbuh di dalam dada, hendaklah diiringi dengan amal, kerja dan usaha.Ilmu yang tidak diikuti amal tidaklah ada gunanya. Ilmu itu harus membekas di dalam diri, ke luar diri dan kepada orang lain.
Dapatlah kita tarik suatu kesimpulan bahwa, iman dan ilmu sangat penting dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.Manakah yang lebih dahulu (awal), apakah iman atau ilmu?Dari penjelasan-penjelasan kita dapatlah kita ketahui tanpa memisahkan di antara keduanya.Kita harus menguatkan keduanya dengan amal.Iman dan ilmu haru diamalkan, inilah yang terpenting. Kita jangan sampai menghabiskan waktu hanya hanya mendebatkan antara iman dan ilmu, bahkan membentuk kelompok pendukung  yang menyatakan iman yang lebih dahulu tapi menyampingkan ilmu, atau kelompok yang menyatakan ilmu yang terlebih dahulu tapi menyampingkan iman. Agama Islam sangat melarang memisahkan keduanya, bahkan sangat dilarang meniadakan salah satunya.
Akhir pembicaraan dalam pembahasan kali ini, saya kutipkan kata-kata dari seorang paling mulia sepanjang masa, yaitu Muhammad Rasulullah Saw.dengan sabdanya: “Iman itu masih bertelanjang, pakaiannya ialah taqwa, perhiasannya ialah malu, hartanya ialah ‘iffah (pandai mengendalikan diri-pen) dan buahnya ialah ilmu.”Semoga Allah Swt. mempertebal keimanan kita, memberi ilmu yang berkah kepada kita, dan meridhoi amal kita.Kepada-Nya-lah kita memomon ampun, memohon pertolongan dan juga memohon perlindungan. Tiada ilah yang pantas untuk disembah, kecuali Allah Swt.[]

Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan

No comments:

Post a Comment