YakusaBlog- Usailah kiranya kita tereuforia dengan kebesaran sejarah HMI. Rasanya
membangga-banggakan HMI (menepuk dada sendiri) secara berlebihan membuat
kedangkalan rasio kita dalam hal menciptakan sesuatu yang baru. Rasanya HMI
tidak inovatif lagi, sumbangan ide pemikiran HMI saat ini tidak lagi dapat
menembus langit. Sejarah bukan semata-mata hanya untuk kita ceritakan dengan
menyeruput secangkir kopi dan dengan hisapan-hisapan tembakau. Seharusnya
prestasi sejarah HMI dahulu menjadi bahan evaluasi diri untuk konsolidasi
(penguatan) supaya kita sebagai manusia umumnya dan kader HMI khususnya untuk
lebih bijaksana lagi pada masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Jutaan jumlah alumni, Kader HMI dan sejarah HMI itu sendiri terkadang
menjadi objek pembicaraan yang telah membesarkan nama HMI. Ide-ide pemikiran
kader HMI sekarang terkadang tidak relevan dan membuat kontroversial. Gerakan-gerakan
HMI saat ini tidak jelas orientasinya, dan itu menjadi bangga-banggaan kadernya
sendiri dalam bahasa lainnya terlalu sering menepuk dada sendiri. Ada yang
menamakan ini dengan sebutan “dinamika”.
Menurut penulis, pendapat yang demikian kurang tepat mengatakan itu
dinamika. Seharusnya dinamika itu mempunyai konsep dan misi. Konsep dan misinya
bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Dinamika HMI seharusnya sesuai
dengan azas, tujuan, usaha dan pedoman-pedoman lainnya, hal itu kita sebut sebagai
arah perjuangan kader HMI.
HMI dahulu begitu selektif dalam mengajak (rekrutmen) dan membina
kader-kadernya. Orientasinya bukanlah pada kuantitas semata, akan tetapi pada
pemenuhan kualitas insan cita. Maka dari itu landasan keimanannya dan
keilmuannya dapat duduk pada diri seorang kader atau anggota HMI (belum kader)
hingga menjadi alumni yang dapat direalisasikan dalam aplikasi kita sebutkan
sebagai amal shaleh.
Sungguh sangat disayangkan dengan keadaan HMI saat ini. Mengatasnamakan
organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua tapi tidak mencerminkan sebagai
contoh yang baik. Situasi lokal (HMI Cabang, Korkom, dan Komisariat) sampai
nasional (PB HMI) tidak jauh beda. Orientasinya hari ini cenderung kepada
pemenuhan kuantitas anggota, ketika orientasinya ke arah sana secara otomatis
ini menjadi orientasi politik, bukan lagi orientasi ilmu pengetahuan. Dari
pencapaian itu kita terasa dibingungkan mana “Anak HMI” dan “Aktivis HMI”
menuju kader HMI yang utuh (kaffah).
Anak HMI
Penamaan ini (Anak HMI) tidak jarang lagi kita dengar dalam kesehari-harian
kita sebagai kader dan anggota HMI, terkhususnya di lingkungan kampus. Penamaan
atau penyebutan “Anak HMI” adalah penyebutan nama yang ditujukan kepada orang
yang sudah masuk HMI. Perlu kita ingat penyebutan ini tidaklah penyebutan
formal. Bahasa ini sering digunakan oleh mereka yang kurang mengerti tentang
ke-HMI-an dan non-HMI.
Di dalam Anggaran Dasar HMI pasal 10 tentang keanggotaan disebutkan bahwa
keanggotaan HMI dibagi dalam tiga keanggotaan, yaitu Anggota Muda (setelah
Maperca), Anggota Biasa (sudah Basic)
dan Anggota Kehormatan (diangkat karena berjasa kepada HMI dengan ketentuan
tersendiri). Dalam hal ini tidak ada kita dengar penyebutan “Anak HMI”.
Selain kita berbicara tentang keanggotaan di tubuh HMI, kita sering juga
mendengar istilah kader (cadre). Apakah dan bagaimanakah sebetulnya
kader itu? Akankah layak “Anak HMI” dimasukkan ke dalam kategori kader? Sebelum
kita membahas kearah yang lebih jauh terlebih dahula kita bahas peristilahan
atau penyebutan “Anak HMI”.
Anak HMI yang kita maksudkan dalam diskusi kali ini adalah seorang
mahasiswa Islam yang masuk HMI (secara formalnya sudah Maperca). Seseorang
tersebut masuk HMI tidak jelas apa orientasinya (tujuan). Seseorang tersebut
bergabung bersama HMI karena beberapa faktor seperti, karena ingin terkenal
(orientasinya eksistensi) seperti kader-kader HMI lainnya, seseorang tersebut
diajak oleh pacarnya, ikut-ikutan saja, gaya-gayaan masuk organisasi, disuruh
oleh seniornya di kampus, ingin ikut menjadi panitia kegiatan di kampus karena
kader-kader HMI banyak menduduki posisi strategis organisasi kemahasiswaan
intra kampus, dan seseorang masuk karena faktor-faktor lainnya yang sifatnya
ingin menguntungkan pribadi secara pragmatis.
Anak HMI yang dimaksud di sini terus mengikuti pelatihan dari Masa
Perkenalan Calon Anggota (Maperca) sampai tranining
selanjutnya. Anak HMI juga ada yang hanya sampai pada status Anggota Biasa.
Maksud kita lebih lanjut, Anak HMI hanya aktif apabila ada kegiatan yang
menguntungkan diri pribadinya. Landasan perjuangannya tidak jelas, yang paling
lucunya adalah ketika berbicara tentang HMI kepada dibawah-bawahnya (juniornya)
seolah-olah dialah yang paling paham tentang HMI, padahal yang keluar dari
pembicaraannya dusta. Seharusnya landasannya harus jelas yaitu landasan atau
azas HMI (Islam) dan orientasinya untuk kepentingan umat.
Mereka terus mengaku sebagai “Anak HMI” sampai dia selesai bermahasiswa
atau sudah bekerja. Hal ini mereka lakukan demi mengamankan eksistensinya,
ditambah yang lebih mengherankan lagi mereka (baca: Anak HMI) yang masuk
(mengaku) setelah dia wisuda, ya...mungkin mereka ingin akrab dengan kader HMI
yang menjadi atasannya atau petnernya di dalam pekerjaan. Ini kita sebut “AHG
(Anak HMI Gede)”- mengaku-ngaku anak HMI. Selain dari pada itu, karakter “Anak
HMI” sering memburukkan sesama mereka, tidak akur, saling jatuh menjatuhkan,
terus berkata perjuangannya demi membangun HMI, mamajukan HMI, akan tetapi
pekerjaannya jauh dari harapan itu.
Aktivis HMI
Mohon kesabarannya, sebelum kita mendiskusikan sejatinya kader HMI (Kader
HMI yang kaffah), terlebih dahulu kita diskusikan apa dan bagaimana
“Aktivis HMI” itu ?
Kata aktivis ini menjadi sebutan atau panggilan kebanggaan mahasiswa atau
juga seseorang yang melakukan suatu gerekan. Kata ini sekaligus sangat disegani
dan dihormati. Tahukah kita sebelumnya, kata aktivis ini dahulu
sangat dibenci di Prancis. Dalam bukunya Jhon Burry “Kebebasan Berpikir”
mengatakan “ dulu aktivis mulanya dibenci dan dilarang, karena dianggap
orang-orang yang bergerak untuk menghancurkan negara/pemerintah atau raja (status
quo) di Prancis”. Saat ini aktivis mejadi kata terhormat (dahulu sebutan
itu negatif) yang dijuluki kepada seseorang.
Secara harfiah kata aktivis dalam kamus ilmiah populer yang disusun oleh
Burhani MS dan Hasbi Lawres mengatakan aktivis adalah orang yang aktif menjadi
anggota suatu organisasi (garis bawahi aktif menjadi anggota organisasi bukan
hanya aktif pada kegiatannya saja) dan penggerak suatu kegiatan organisasi
menuju tujuan murni organisasi. Dari pengertian ini aktivis adalah seseorang
yang anggota organisasi yang kegiatan-kegiatannya atau aktivitas-aktivitasnya
dilandaskan suatu orientasi ideologi organisasinya.
Seorang aktivis, di dalam dirinya sudah tertanam nilai-nilai perjuangannya,
hal itu untuk landasan berpijaknya di manapun dan kapanpun. Aktivis itu
mempunyai kekuatan dan penuh semangat optimis terhadap suatu pekerjaan atau
kegiatan yang menjadi amanah organisasi atau lembaganya. Aktivis-aktivis ini
menjadi penggerak untuk kepentingan umat dan dilandasi ideologi yang diyakini
secara sadar, dan ini disebut Ali Syari’ati sebagai Rausyanfikr.
Seorang aktivis sudah mempunyai ideologi yang menjadi alat perjuangannya.
Suatu ideologi yang benar dan dapat mengarahkan kehidupannya pada kehidupan
yang baik. Seorang aktivis harus mempunyai paham, ide, atau keyakinan karena
dengan itu maka akan menentukan bentuk-bentuk watak sosialnya, watak itu akan
memberi warna kepada tindakan-tindakan dan tingkah laku hidupnya, yang
selanjtunya akan memberikan arah kepada jalan nasib. (Nurcholish Madjid, 2008:
273).
Begitu jualah dengan “Aktivis HMI”, seorang anggota HMI yang mempunyai
landasan berpikir, berpola sikap dan mempunyai paham atau keyakinan yang benar.
Aktivis HMI Ini tidak pandang apakah dia Anggota Muda atau Anggota Biasa HMI.
Aktivis HMI dalam perspektif kita ini adalah seseorang yang mencurahkan atau
tepatnya mengabdikan dirinya di HMI untuk perbaikan dan pembelaan umat yang
tertindas (Mustadha’afin) dari para kaum penindas (Mustakbirin)
yang angkuh dan sombong.
Mereka mengabdikan dirinya karena HMI berasaskan Islam (pasal 3 AD HMI),
dengan tujuannya yang mulia dan menjadi arah perjuangan (pasal 4 AD HMI),
usahanya yang relevan hingga saat ini (pasal 5 AD HMI), sifatnya yang tidak
memihak kepada siapapun kecuali kepada kebenaran (pasal 6 AD HMI), HMI mengabdi
dengan kegigihannya kepada umat.
Dalam kesehari-hariannya, segala langkah-langkahnya dicurahkan kepada
perjuangan HMI, karena HMI berperan menjadi organisasi perjuangan (pasal 9 AD
HMI). 24 jam waktu sehari semalam penuh dengan HMI baik secara pembicaraannya
(berdiskusi atau memperkuat teori) maupun secara prakteknya (misalnya, kuliah
sebagai aplikasi insan akademis dan yang lainnya). Dengan HMI, dia meningkatkan
kecintaannya kepada Pencipta alam semesta, Allah SWT. dan juga cinta kepada
umat yang akan dibela (kaum mustadha’afin) bukan membela kaum elit yang
berkuasa yang menindas (kaum mustakbirin) walaupun dia dari
kalangan HMI dulunya. Dengan sering kita dengar HMI adalah anak kandung umat
bukan anak kandung pejabat.
Dari “Aktivis HMI” inilah yang akan membawa nama baik organisasi Himpunan.
Dengan hati dan pikirannya yang bersih, orientasinya yang jauh kedepan
(visioner) untuk pembelaan kaum tertindas, dengan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi oleh aktivis HMI, maka HMI menjadi organisasi yang terorganisir
dan organisasi yang dinamis bukan organisasi yang statis dan primordial. Maka
dari itu juga, setiap tahunnya harus ada evaluasi dan pergantian regenarasi
(kepengurusan disetiap tingkatan, baik per satu tahun dan per dua tahun masa
jabatan) untuk menyegarkan kembali kebekuan-kebekuan yang datang dari
kepentingan atau doktrin-doktrin yang berasal dari dalam ataupun dari luar
organisasi.
Tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno bahwa
organisasi HMI adalah tempat ditempahnya kader-kader bangsa. HMI adalah
dapur-dapur intelektual Indonesia. Realita apa yang dikatakan oleh Franz tadi,
hal itu dapat kita lihat kader-kader HMI yang sudah berproses di HMI dahulu
(sekarang sudah menjadi alumni HMI) banyak menempati posisi strategis di segala
bidang aspek masyarakat Indonesia. Akan tetapi bagi yang tidak setia dengan
perjuangan HMI akan mengalama spilit personaliti atau
kehilangan kendali sehingga tindakannya tidak mencerminkan kader HMI lagi.
Mereka yang konsisten pada perjuangan HMI, dan di dadanya masih ada HMI. Tanpa
panggilan HMI pun dia akan bergerak untuk umat.
Kader HMI Yang Kaffah
Sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya, kita akan mendiskusikan tentang
apa dan bagaimana itu kader HMI. Setelah kita membahas peristilahan sehari-hari
tentang “Anak HMI” dan “Aktivis HMI” timbulah suatu pertanyaan dalam
pembicaraan kita kesempatan ini, yaitu diantara peristilahan atau penyebutan untuk
Anggota HMI di atas, yang manakah kita sebut sebagai Kadar HMI yang kaffah “Anak
HMI” ataukah “Aktivis HMI” ataukah kedua-duanya dapat kita sebut kader?
Jikalau kita bahas defenisi kader (cadre), di dalam konstitusi HMI
(pada pedoman perkaderan), di sana disebutkan bahwa kader adalah sekelompok
orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung
bagi kelompok yang lebih besar. Sedangkan pengertian Kader HMI secara khusunya
disebutkan adalah anggota HMI yang telah melalaui proses perkaderan sehingga
menilik ciri kader memiliki integritas kepribadian yang utuh, beriman, berilmu
dan beramal shaleh sehingga siap mengemban tugas dan agamanah kehidupan
beragama, bermasyrakat, berbangsa dan bernegara. HMI yang menjadi organisasi
kader diperkuat dalam AD HMI pasal 8.
Pengertian di atas tidak dapat digangu gugat lagi, kader organisasi manapun
harus menjadi tulang punggung organisasinya, jikalau tidak maka robohlah
bangunan organisasi tersebut. Hal ini dapat kita analogikan misalnya dengan seorang
mahkluk hidup, katakanlah dia manusia (sebagai mahkluk dan khalifah di muka
bumi). Apabila dia tidak mempunyai tulang punggung pastilah dia lemah dan tidak
dapat menjalankan tugas-tugasnya sebagai manusia lagi.
Secara landasan filosofisnya, kader ini adalah kaum-kaum yang sudah
terlatih dan sudah tercandradimukakan, sudah tertempah dan juga mempunyai
landasan perjuangan, mempunyai landasan pemikiran atau landasan keyakinan yang
tidak mudah goyah. Dia mempunyai mentalitas dan semangat atau motivasi yang
kuat untuk melakukan sesuatu yang benar. Dengan singkat mempunyai landasan
keimanan, keilmuan yang direalisasikan dengan amal shaleh.
Lahirnya kader HMI bukanlah dengan proses yang mudah, instan dan tanpa
konsepsi yang matang. Lahirnya kader HMI yang meningkatkan kualitas dirinya
membutuhkan proses yang terus menerus, baik di dalam training-training formal
HMI (kita sebut sebagai perkaderan) dan informal, seperti up-grading, follow up
atau pelatihan-pelatihan kepemimpinan, kewirausahaan dan pelatihan-pelatihan
informal lainnya. Akan tetapi di dalam konstitusi anggota HMI yang sudah Basic
Training (Latihan Kader I) lah yang dapat dikatan sebagai kader.
Penulis sepakat dengan hal tersebut tapi tidak sepenuhnya (secara pikiran
bebas), menurut penulis anggota HMI yang tidak keluar dari sanapun (hanya
mengikuti Maperca) jikalau menyadari pentingnya perjuangan membela kaum
tertindas dia adalah kader HMI.
Sebagai kader HMI, dia harus mampu bersikap objektif, dinamis, dan
inovatif. Artinya perbedaan atau bahkan benturan pandangan yang terjadi harus
dipahami sebagai dinamika perubahan dan harus ditanggapi dengan memberikan
solusi-solusi untuk mengisi perubahan-perubahan dan layaklah kader HMI
mengawalnya. Mari kita lihat kembali sejarah di masa pemerintahan Orde Lama dan
Orde Baru. Kader-kader HMI mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia baik
secara ide pemikiran maupun sumbangsih tenaga, pembinaan menuju sumber daya
manusia yang berkualitas iman dan ilmu, hal ini sebagai bentuk pengabdian amal
shaleh.
Sangat kita sayangkan saat ini, “Anak HMI” lebih mendominasi di tubuh HMI
dari pada “Aktivis HMI”. Dari jumlah mayoritas ini sangat mempengaruhi kondisi
kader dan himpunan, sehingga ciri khas HMI yang terus meningkatkan tradisi
intelektual semakin terkikis. Tidak bisa kita pungkiri mari kita sadari bersama
sebagai yang merasa “Anak HMI” atau “Aktivis HMI” di lingkungan HMI (dari
Komisariat hingga sampai ke PB HMI) jarang dilakukan-diskusi rutin atau
kegiatan-kegiatan tradisi intelektual lainnya yang dilakukan secara rutin.
Tradisi intelektual HMI untuk peningkatan kualitas kader mengalami proses
pemiskinan menuju pemikiran satu arah, yaitu political oriented.
Komunitas epistemik atau kelompok diskusi-diskusi di masjid atau di luar masjid
yang melahirkan banyak intelektual-intelektual seperti Cak Nur, Ahmad Wahib,
Deliar Noer, Dawam Rahardjo, dan yang lainnya, tradisi itu sudah mulai hilang
karena digerus oleh komunitas-komunitas politik praktis di HMI.
Saat ini, jarang sekali ditemukan kelompok-kelompok diskusi yang dipelopori
anggota-anggota HMI, adapun tidak sebanding dengan jumlah anggota yang keluar
pertahun dari forum Basic Training atau training yang lebih tinggi,
seperti yang kita sebutkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Kondisi ini tentu
menyedihkan ketika dihadapkan bersamaan dengan lemahnya terobosan pemikiran
Islam yang kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia
yang modern. (Abu Yazid Bustami, 2014: 108).
Dari “Aktivis HMI” yang sebagai kader HMI sejati, harus mempunyai pemikiran
yang plural, cerdas dan strategis dengan mengakomodir semua keragaman pemikiran
menjadi satu cita-cita dan misi. Pengalaman pahit HMI di masa lalu (pada tahun
1986) kiranya sudah cukuplah. Kita tidak ingin lebih lagi dari itu, dahulunya
pisah menjadi dua, yang kita takutkan dengan menipisnya kualitas kader, HMI
akan hilang. Adapun dia seperti mati suri. Seperti apa yang dikatakan Alm.
Agussalim Sitompul-Sejarawan HMI yang banyak menulis buku-buku tentang HMI.
Solusinya adalah pengkaderan yang sebagai ujung tombak atau poros
organisasi kita ini harus dimanajemen sebaik-baiknya sesuai dengan tuntuan-tuntutan
kebutuhan masa sekarang dan yang akan datang. HMI harus lebih selektif dalam
menerima calon-calon kader. Maksudnya adalah betul-betul memimilih mereka yang
mempunyai kualitas diri yang baik, yang pencariannya sesuai dengan metode yang
dibutuhkan. Calon kader jangan dipilih karena kedekatan pengurusnya atau
kedekatan senior-senior di HMI dan bukan juga karena fakor iba dan juga
faktor-faktor lainnya yang tidak objektif.
Jelas kiranya ini semua tugas dari Aktivis HMI yang masih ada di dalam kepengurusan
sebagai refresentatif aktivis-aktivis HMI lainnya. Dan di luar kepengurusan
tetap harus menjalankan peran, fungsi dan tanggung jawabnya sebagai aktivis
HMI. Tugas ini sungguh sangat berat dibandingkan tugas anak HMI. Seharusnya
“Anak HMI” janganlah membuat malu HMI dengan sering mengatasnamakan HMI untuk
kepentingan pribadi, cukuplah tugasmu menjaga nama baik HMI.
Dapat kita tarik kesimpulan atau pelajaran dari pembahasan kita di atas
bahwa kita harus dapat membedakan “Anak HMI” dan “Aktivis HMI” dan siapakah
yang menjadi Kader HMI yang kaffah? Penulis singgung kembali, dalam hal ini
kader secara formal dan kader HMI sejati yang lahir dari proses pelatih formal
dan informal.
Kader HMI formal lahir dari pelatihan-pelatihan formal HMI, dan anggota ini
masih rentan menjadi “Anak HMI”, dia masih sesuai dengan musiman. Ya...dapat
kita katakan “Anak HMI Musiman” dan menurut penulis ini menjadi penambah 44
indikator kemunduran HMI yang di cetusknan Alm. Agussalim Sitompul menjadi 45
Indikator Kemunduran HMI. Boleh juga kita katan mereka adalah kader musiman
atau kader buah.
Kader HMI sejati (kaffah) sudah panjang lebar kita jelaskan di atas,
tinggal kita bagaimana memahaminya. Kader ini lahir dari pelatihan formal dan
informal, yang penting di dalam dirinya adalah HMI, dan mengabdikan dirinya,
ide pemikirannya dan tenaganya untuk umat, kaum yang tertindas bukan kepada
kaum-kaum elit yang hari ini banyak menanam saham kepentingan di tubuh HMI
sendiri.
Kader HMI sejati ini dihasilkan dari proses dan pelatihan yang luar biasa.
Pelatihan yang objektif dan selektif. Menanamkan pada dirinya nilai-nilai
keimanan, keilmuan sebagai fitrahnya manusia yang direalisasikan dengan
perbuatan yang kita namakan dengan perbuatan amal shaleh.
Ini menjadi tugas kita bersama yang masih tetap berdiri dibarisan
perjuangan HMI dan dibarisan meningkatkan tradisi-tradisi intelektual dan juga
menamkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan pada diriki yang menjadi kader
umat dan kader bangsa, yang menjadi anak kandung umat bukan anak kandung
pejabat.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan
Ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: http://hmiekonomiusu.blogspot.co.id/
Sumber gbr: http://hmiekonomiusu.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment