YakusaBlog- Tidak dapat dibayangkan betapa hampanya dunia ini kalau
tidak adanya budaya menulis. Betapa menyesalnya kita diciptkan jika tidak
diberikan kelebihan ini: menulis, dibanding makhluk Tuhan yang lainnya. Betapa
berdosanya Adan as. dan anak-cucunya jikalau tidak menulis. Tidak akan ada
peradaban manusia kalau tidak ada aktivitas menulis. Coba diperiksa sejarah
perjalanan kehidupan ummat manusia sepanjang masa.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada yang lebih
kekal kecuali budaya menulis. Kejayaan peradaban secara sejarah dan geograsifis
bisa terjadi di mana-mana. Dapat berganti-ganti. Kadang peradaban besar muncul
dari Timur, kemudian muncul dari Barat. Kadang peradaban itu lahir dari
orang-orang hebat, bangsa-bangsa yang kuat. Dari anak keturunan Dewa, dari
orang-orang pilihan Tuhan dan macam lainnya. Tetap menulis adalah milik semua
manusia. Baik yang lemah maupun yang kuat. Baik yang kaya maupun yang miskin.
Baik yang orang kota maupun orang desa.
Kita tidak bisa mengetahui Tuhan menciptakan jagat raya
ini. Kita tidak bisa mengetahui bagaimana adanya manusia pertama: Adam as. atau
adanya manusia dari evolusi: seperti yang diyakini Charles Darwin dan
pengikutnya. Kita tidak bisa mengetahui sejarah peradaban manusia sepanjang
masa hingga abad-21 saat ini. Tanpa kita membaca tulisannya, tanpa ada yang
menuliskannya kita tidak akan tahu itu semua.
Baik tulisan itu dahulu disimbolkan dengan sesuatu benda
ataupun lewat huruf-huruf yang menjadi konsensus manusia setempat. Tidak ada
yang bisa mengklaim teori mana yang paling benar tentang sejak kapan manusia
mengenal atau membuat tulisan. Baik masa
pra-sejarah dan masa sejarah itu hanya konsensus atau kesepakatan beberapa
sejarahwan. Yang jelasnya kedua teori itu, hanya bagian daripada kehidupan
manusia.
Tentunya pada masa-masa itu sudah ada budaya menulis.
Walaupun bukan dengan huruf yang sudah menurut kita modern saat ini. Buktinya
adalah berbeda daerah dan bangsa berbeda pula simbol huruf yang disepakati,
walaupun ada yang sama lintas daerah dan bangsa. Jelasnya, tulisan itu bisa
menggambarkan sesuatu dan dimengerti oleh yang memerlukannya. Dimengerti oleh
yang mempelajarinya.
Menulis adalah bagian daripada kehidupan manusia. Dengan
menulis, manusia bisa merekam masa silam dan merencanakan sesuatu untu masa
yang akan datang. Kemajuan manusia tidak bisa dipungkiri itu karena adanya
rekaman (baca: tulisan) yang bisa “dipetik” pelajarannya, bisa diambil nilai
dan manfaatnya. Kehancuran dan penghancuran pun dapat dilakukan lewat tulisan.
Misalnya menyimpangkan sejarah lewat tulisan, membuat manusia salah paham,
saling membunuh dan macam efek negatif lainnya. Karena tulisan sifatnya
ketergantunga. Tergantung siapa dan untuk apa seseorang menulis. Kemajuan disegala
ilmu pengetahuan pun tidak lepas dari budaya tulis-menulis. Bahkan ada
kata-kata bijak mengatakan: “Menulis adalah bagian daripada perlawanan dan
perjuangan”. Saya setuju dengan kata-kata bijak tersebut.
Monyet, Panda, Kuda, Ikan dan hewan-hewan kecil akan
mengalami kemajuan peradaban jika mereka bisa menulis. Dan terbukti mereka
tidak mempunyai peradaban, karena mereka tidak bisa menulis. Dan betapa
tertinggalnya manusia apabila tidak bisa menulis. Nah, menurut saya, hal ini
atau kelebihan ini diberikan Tuhan kepada manusia karena sayangnya Dia kepada
manusia. Dia memberikan hati dan akal supaya bisa menuliskan sesuatu. Supaya
dapat mengerti dan dipahami. Bahkan dengan menulis, firman-firmannya pun
dituliskan untuk supaya seluruh ummat manusia yang mempunyai keterbatasan bisa
membaca, mempelajarinya, memahaminya dan mengaplikasikannya.
Budaya
Menulis Masa Kini
Tinjauan historis yang saya sebutkan di atas adalah
bagian terkecil bukti-bukti betapa pentingnya tulis-menulis. Telah banyak
tokoh-tokoh menjelaskan tentang pentingnya menulis. Seperti Al-Ghazali pernah
berkata: “Karena kamu bukan anak raja, maka menulislah”. Saya tidaklah membahas
bagaimana teori-teori dalam tulis-menulis. Biarlah itu Anda dapatkan dilain
tempat dan dilain waktu. Tulisan ini hanya bermaksud memotivasi kita untuk
menguatkan bahwa budaya menulis bagian dari kehidupan kita. Menulis memang
sudah menjadi naluri alamiah-Sunnatullah
bagi manusia. Baik itu tulisan yang bersifat akademik (ilmiah) maupun
non-akademik.
Banyak orang mengatakan di dunia yang pragmatis dan
praktis saat ini manusia telah berkurang drastis intensitasnya untuk menulis.
Saya katakan secara tegas: pendapat itu keliru dan salah besar. Data-data yang
dipaparkan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Data-data tersebut sifatnya
berdasarkan klasifikasi jenis tulisan. Sering yang masuk data itu tulisan yang
bersifat akademik.
Padahal masih ada budaya menulis yang bukan hanya bersifat
akademik-ilmiah. Saya yakin sekali di dunia ini, seluruh manusia sudah menulis-asal
dia sudah berakal dan mengenal huruf. Sekali lagi saya katakan: menulis adalah
naluri-komunikatif menusia lewat simbol. Manusia tidak akan menulis apabila dia
tidak berakal lagi dan tidak hidup lagi. Tapi tulisan akan menemaninya, di atas
kuburannya: batu nisan yang terukir dengan simbol huruf.
Masyarakat kita: rakyat Indonesia, sering disebut-sebut
sangat minim menulis. Sasaran termbaknya adalah sering generasi bangsa ini.
Saya katakan: tuduhan itu tidak tepat dan salah sasaran. Di zaman yang modern
ini, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, intensitas
masyarakat kita untuk menulis meningkatkan drastis. Selagi dia mengenal silmbol
huruf, dia akan menulis.
Setiap harinya, rata-rata-dan saya yakin ini sudah pasti
dan tidak perlu melakukan penelitian, masyarakat kita-terkhususnya
pemuda-pemuda kita menulis lebih dari seribu kata perharinya. Apalagi dia
memiliki akun media sosial daring. Yang ditulis memang percakapan sehari-hari,
kan itu sudah sifatnya menulis: tulisan non-akademik atau sifatnya tidak
ilmiah. Saudagar-saudagar sering menulis pemasukan dan pengeluaran setiap
harinya. Pegawai kantoran apalagi. Jurnalis dan atau Wartawan jangan ditanya
lagi. Petani juga menulis walau tidak seintens tokenya atau pemilik tanah yang ia garap. Tukang Becak pun menulis:
mengisi TTS (Teka-Teki Silang). Seluruh lapisan masyarakat mayoritas pasti
menulis. Terlepas dia ilmiah atau tidak. Jangan ditanya lagi dosen atau para
akademisi, kalau dia tidak menulis, baik dia dibuang saja ke hutan atau ke Taman
Margasatwa.
Nah, tinggal bagaimana aktivitas menulis kita. Untuk apa
kita menulis? Untuk perbaikan atau menghancurkan. Untuk menzalimi-menindas atau
untuk memperbaiki. Menulis uktuk ekploitasi manusia untuk keadilan dan
kesejahteraan manusia. Apakah untuk kepuasan hedonis-kapitalistik atau untuk
menyampaikan nilai-nilai moralis, nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai
ketuhanan.
Motivasi
Untuk Menulis
Bagi saya sendiri, sebagai motivasi: menulis adalah
bagian dari kehidupan saya. Dalam keadaan tidak suka (sedih), saya menulis.
Dalam keadaan suka (senang) tentu apalagi. Bagi yang tidak suka dengan apa yang
saya tulis, terserah bagaimana Anda menanggapinya. Kalau timbul unsur tidak
suka (benci), cukuplah membenci tulisan saya. Mohon jangan membenci saya. Bagi
yang menyukai tulisan saya, terserah Anda pula bagaimana cara Anda menikmatnya.
Tapi, saya memohon, nikmatilah tulisan saya. Jangan nikmati tubuh saya, karena
sudah ada yang diciptakan Tuhan khusuh untuk itu. Karena menulis telah menjadi
bagian dari hidup saya, saya pun harus terus menunaikannya. Sesegera mungkin.
Dimanapun dan kapanpun.
Setiap orang pastinya ada yang sama dan ada pula yang
berbeda motivasinya untuk menulis. Kalau tidak mau disebut seperti hewan atau
sejenisnya. Kalau tidak mau ditempatkan di Taman Margasatwa (Kebun Binatang),
maka menulislah. Allazi ‘Allama bilqolam.[]
Penulis : Ibnu Arsib
Mahasiswa Fakultas Hukum UISU-Medan
ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment