Tidak Mau Disebut Binatang? Maka Menulislah! - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday 2 December 2017

Tidak Mau Disebut Binatang? Maka Menulislah!


YakusaBlogTidak dapat dibayangkan betapa hampanya dunia ini kalau tidak adanya budaya menulis. Betapa menyesalnya kita diciptkan jika tidak diberikan kelebihan ini: menulis, dibanding makhluk Tuhan yang lainnya. Betapa berdosanya Adan as. dan anak-cucunya jikalau tidak menulis. Tidak akan ada peradaban manusia kalau tidak ada aktivitas menulis. Coba diperiksa sejarah perjalanan kehidupan ummat manusia sepanjang masa.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada yang lebih kekal kecuali budaya menulis. Kejayaan peradaban secara sejarah dan geograsifis bisa terjadi di mana-mana. Dapat berganti-ganti. Kadang peradaban besar muncul dari Timur, kemudian muncul dari Barat. Kadang peradaban itu lahir dari orang-orang hebat, bangsa-bangsa yang kuat. Dari anak keturunan Dewa, dari orang-orang pilihan Tuhan dan macam lainnya. Tetap menulis adalah milik semua manusia. Baik yang lemah maupun yang kuat. Baik yang kaya maupun yang miskin. Baik yang orang kota maupun orang desa.

Kita tidak bisa mengetahui Tuhan menciptakan jagat raya ini. Kita tidak bisa mengetahui bagaimana adanya manusia pertama: Adam as. atau adanya manusia dari evolusi: seperti yang diyakini Charles Darwin dan pengikutnya. Kita tidak bisa mengetahui sejarah peradaban manusia sepanjang masa hingga abad-21 saat ini. Tanpa kita membaca tulisannya, tanpa ada yang menuliskannya kita tidak akan tahu itu semua.

Baik tulisan itu dahulu disimbolkan dengan sesuatu benda ataupun lewat huruf-huruf yang menjadi konsensus manusia setempat. Tidak ada yang bisa mengklaim teori mana yang paling benar tentang sejak kapan manusia mengenal atau membuat tulisan.  Baik masa pra-sejarah dan masa sejarah itu hanya konsensus atau kesepakatan beberapa sejarahwan. Yang jelasnya kedua teori itu, hanya bagian daripada kehidupan manusia.

Tentunya pada masa-masa itu sudah ada budaya menulis. Walaupun bukan dengan huruf yang sudah menurut kita modern saat ini. Buktinya adalah berbeda daerah dan bangsa berbeda pula simbol huruf yang disepakati, walaupun ada yang sama lintas daerah dan bangsa. Jelasnya, tulisan itu bisa menggambarkan sesuatu dan dimengerti oleh yang memerlukannya. Dimengerti oleh yang mempelajarinya.

Menulis adalah bagian daripada kehidupan manusia. Dengan menulis, manusia bisa merekam masa silam dan merencanakan sesuatu untu masa yang akan datang. Kemajuan manusia tidak bisa dipungkiri itu karena adanya rekaman (baca: tulisan) yang bisa “dipetik” pelajarannya, bisa diambil nilai dan manfaatnya. Kehancuran dan penghancuran pun dapat dilakukan lewat tulisan.

Misalnya menyimpangkan sejarah lewat tulisan, membuat manusia salah paham, saling membunuh dan macam efek negatif lainnya. Karena tulisan sifatnya ketergantunga. Tergantung siapa dan untuk apa seseorang menulis. Kemajuan disegala ilmu pengetahuan pun tidak lepas dari budaya tulis-menulis. Bahkan ada kata-kata bijak mengatakan: “Menulis adalah bagian daripada perlawanan dan perjuangan”. Saya setuju dengan kata-kata bijak tersebut.

Monyet, Panda, Kuda, Ikan dan hewan-hewan kecil akan mengalami kemajuan peradaban jika mereka bisa menulis. Dan terbukti mereka tidak mempunyai peradaban, karena mereka tidak bisa menulis. Dan betapa tertinggalnya manusia apabila tidak bisa menulis. Nah, menurut saya, hal ini atau kelebihan ini diberikan Tuhan kepada manusia karena sayangnya Dia kepada manusia. Dia memberikan hati dan akal supaya bisa menuliskan sesuatu. Supaya dapat mengerti dan dipahami. Bahkan dengan menulis, firman-firmannya pun dituliskan untuk supaya seluruh ummat manusia yang mempunyai keterbatasan bisa membaca, mempelajarinya, memahaminya dan mengaplikasikannya.

Budaya Menulis Masa Kini

Tinjauan historis yang saya sebutkan di atas adalah bagian terkecil bukti-bukti betapa pentingnya tulis-menulis. Telah banyak tokoh-tokoh menjelaskan tentang pentingnya menulis. Seperti Al-Ghazali pernah berkata: “Karena kamu bukan anak raja, maka menulislah”. Saya tidaklah membahas bagaimana teori-teori dalam tulis-menulis. Biarlah itu Anda dapatkan dilain tempat dan dilain waktu. Tulisan ini hanya bermaksud memotivasi kita untuk menguatkan bahwa budaya menulis bagian dari kehidupan kita. Menulis memang sudah menjadi naluri alamiah-Sunnatullah bagi manusia. Baik itu tulisan yang bersifat akademik (ilmiah) maupun non-akademik.

Banyak orang mengatakan di dunia yang pragmatis dan praktis saat ini manusia telah berkurang drastis intensitasnya untuk menulis. Saya katakan secara tegas: pendapat itu keliru dan salah besar. Data-data yang dipaparkan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Data-data tersebut sifatnya berdasarkan klasifikasi jenis tulisan. Sering yang masuk data itu tulisan yang bersifat akademik.

Padahal masih ada budaya menulis yang bukan hanya bersifat akademik-ilmiah. Saya yakin sekali di dunia ini, seluruh manusia sudah menulis-asal dia sudah berakal dan mengenal huruf. Sekali lagi saya katakan: menulis adalah naluri-komunikatif menusia lewat simbol. Manusia tidak akan menulis apabila dia tidak berakal lagi dan tidak hidup lagi. Tapi tulisan akan menemaninya, di atas kuburannya: batu nisan yang terukir dengan simbol huruf.


Masyarakat kita: rakyat Indonesia, sering disebut-sebut sangat minim menulis. Sasaran termbaknya adalah sering generasi bangsa ini. Saya katakan: tuduhan itu tidak tepat dan salah sasaran. Di zaman yang modern ini, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, intensitas masyarakat kita untuk menulis meningkatkan drastis. Selagi dia mengenal silmbol huruf, dia akan menulis.

Setiap harinya, rata-rata-dan saya yakin ini sudah pasti dan tidak perlu melakukan penelitian, masyarakat kita-terkhususnya pemuda-pemuda kita menulis lebih dari seribu kata perharinya. Apalagi dia memiliki akun media sosial daring. Yang ditulis memang percakapan sehari-hari, kan itu sudah sifatnya menulis: tulisan non-akademik atau sifatnya tidak ilmiah. Saudagar-saudagar sering menulis pemasukan dan pengeluaran setiap harinya. Pegawai kantoran apalagi. Jurnalis dan atau Wartawan jangan ditanya lagi. Petani juga menulis walau tidak seintens tokenya atau pemilik tanah yang ia garap. Tukang Becak pun menulis: mengisi TTS (Teka-Teki Silang). Seluruh lapisan masyarakat mayoritas pasti menulis. Terlepas dia ilmiah atau tidak. Jangan ditanya lagi dosen atau para akademisi, kalau dia tidak menulis, baik dia dibuang saja ke hutan atau ke Taman Margasatwa.

Nah, tinggal bagaimana aktivitas menulis kita. Untuk apa kita menulis? Untuk perbaikan atau menghancurkan. Untuk menzalimi-menindas atau untuk memperbaiki. Menulis uktuk ekploitasi manusia untuk keadilan dan kesejahteraan manusia. Apakah untuk kepuasan hedonis-kapitalistik atau untuk menyampaikan nilai-nilai moralis, nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai ketuhanan.

Motivasi Untuk Menulis

Bagi saya sendiri, sebagai motivasi: menulis adalah bagian dari kehidupan saya. Dalam keadaan tidak suka (sedih), saya menulis. Dalam keadaan suka (senang) tentu apalagi. Bagi yang tidak suka dengan apa yang saya tulis, terserah bagaimana Anda menanggapinya. Kalau timbul unsur tidak suka (benci), cukuplah membenci tulisan saya. Mohon jangan membenci saya. Bagi yang menyukai tulisan saya, terserah Anda pula bagaimana cara Anda menikmatnya. Tapi, saya memohon, nikmatilah tulisan saya. Jangan nikmati tubuh saya, karena sudah ada yang diciptakan Tuhan khusuh untuk itu. Karena menulis telah menjadi bagian dari hidup saya, saya pun harus terus menunaikannya. Sesegera mungkin. Dimanapun dan kapanpun.

Setiap orang pastinya ada yang sama dan ada pula yang berbeda motivasinya untuk menulis. Kalau tidak mau disebut seperti hewan atau sejenisnya. Kalau tidak mau ditempatkan di Taman Margasatwa (Kebun Binatang), maka menulislah. Allazi ‘Allama bilqolam.[]

Penulis : Ibnu Arsib
Mahasiswa Fakultas Hukum UISU-Medan

ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/

No comments:

Post a Comment