Sumbangan Islam Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 26 December 2017

Sumbangan Islam Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern


YakusaBlog- Apa ilmu pengetahuan modern itu? Meskipun kata “modern” bisa diartikan dengan banyak makna, untuk memudahkan pembahasan, kita batasi pengertian kata itu sebagai definisi untuk tingkat-mutakhir perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan yang, karena berbagai hal, kebetulan, dimulai oleh bangsa-bangsa dari kawasan Eropa Barat Laut.
Ciri peradaban mutakhir itu ialah teknologi. Teknologi ini, pada gilirannya, ditopang oleh suatu sistem kognitif yang dilandasi oleh empirisisme, dan inilah yang kita maksudkan dengan ilmu pengetahuan modern. Selain empirisisme yang amat menonjol, ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang ke depan, sehingga ilmu pengetahuan menjadi tidak berhenti pada suatu tapal batas (frontier). Karena itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan bagian mutlak ilmu pengetahuan modern.
Meskipun abad modern, kebetulan, dimulai oleh Eropa Barat Laut, sesungguhnya bahan-bahan pembentuk kemodernan itu berasal dari pengalaman hampir seluruh umat manusia, dari Cina di timur sampai Spanyol di barat. Karena rentang daerah peradaban umat manusia pra-modern itu berpusat di kawasan Timur Tengah dengan budaya Islamnya, yang paling banyak memberi sumbangan bahan klasik bagi timbulnya abad modem itu ialah peradaban Islam.
Dalam kosakata ilmu pengetahuan modern, dapat kita temukan berbagai “jejak kaki” yang menunjukkan bahwa sumbangan Islam itu terutama berwujud berbagai bahan yang merupakan high culture umat manusia saat itu. dan sampai batas tertentu, juga saat sekarang, sebagaimana tecermin pada istilah-istilah ilmiah, seperti aljabar (al-jabr), alkohol (al-kuhul), asimut (al-sumt), logaritma (al-khawārizmiyah), dan cipher (al-sifr).
Tidak seluruh bahan peradaban Islam itu dihasilkan oleh kreasi umat Islam sendiri. Selain berkreasi, umat Islam klasik juga berfungsi sebagai “penengah” (wasīth) dan “saksi” (syahīd) keseluruhan umat manusia. Fungsi itu dijalankan dengan menerapkan sikap terbuka terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan umat-umat lain. Sikap ini melahirkan sikap-sikap lebih lanjut yang amat mendorong perkembangan ilmu dan peradaban, seperti sikap tidak segan mengambil sesuatu yang baik dan bermanfaat dari umat lain.
Dalam perspektif inilah, bisa dipahami sabda-sabda Nabi bahwa “hikmah (ilmu pengetahuan dan atau wisdom) adalah barang hilang kaum beriman, sehingga siapa pun dari mereka menemukannya, hendaknya ia mengambilnya,” dan hendaknya kita menuntut ilmu pengetahuan, meskipun harus “ke negeri Cina”.
Karena itu, sejarah mencatat bahwa umat Islam adalah kelompok umat manusia yang pertama menginternasionalkan ilmu pengetahuan. Jika sebelumnya suatu cabang ilmu pengetahuan hanya merupakan kekayaan nasional bangsa tertentu, seperti Yunani, Persia, India, dan Cina, sejak Islam dan dalam peradaban Islam, ilmu-ilmu itu tumbuh menjadi kekayaan bersama umat manusia. Penjelasan mendasar atas kenyataan-kenyataan itu terdapat dalam weltanschaung Islam, yang memandang bahwa umat manusia (anak cucu Adam) adalah makhluk Tuhan, yang ditunjuk untuk menjadi khalifah (wali pengganti) bagi-Nya di bumi.
Dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa kelebihan nabi Adam atas para malaikat, sehingga ia berhak dijadikan khalifah, ialah bahwa Tuhan memberinya ilmu pengetahuan dan kemampuan mengenali lingkungannya. Dan lingkungan itu ialah seluruh jagat raya (langit dan bumi) yang ditegaskan sebagai diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan umat manusia.
Jadi, memahami lingkungan hidup, baik yang fisik maupun yang sosiokultural, dapat dipandang sebagai pemenuhan fungsi kekhalifahan manusia. Hal itu juga berarti usaha memahami sunnatullah (hukum-hukum Tuhan) yang telah ditetapkan-Nya untuk alam ciptaan-Nya. Semua ini melahirkan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan modern. Maka bertindak dengan berpedoman pada hasil-hasil penemuan ilmiah adalah bertindak sesuai dengan sunnatullah.
Dengan kata lain, hal itu merupakan suatu bentuk ketundukan kepada Allah, dan berarti pula suatu bentuk keislaman. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyebutkan bahwa dosa terbesar manusia yang tak terampuni ialah syirik. Sebab syirik, yang sebenarnya merupakan takhayul (superstition) itu, menghalangi manusia dari kemungkinan memahami alam dan masyarakat lingkungannya secara obyektif. Jadi juga menghalangi ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan itu sendiri tidak lain ialah usaha manusia memahami sunnatullah.
Jadi jelas, bahwa sumber sumbangan Islam bagi ilmu pengetahuan ialah paham tauhid: monoteisme yang tegas dan tidak mengenal kompromi. Tauhid juga bisa disebut paham Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ajaran yang menegaskan bahwa Tuhan adalah asal-usul dan tujuan hidup manusia, termasuk peradaban dan ilmu pengetahuannya.
Kini muncul banyak kritik kepada peradaban modern dengan teknologi dan ilmu pengetahuannya itu. Dari sudut pandang Islam, hanya segi metode dan empirisisme ilmu pengetahuan modernlah yang tampaknya absah (valid). Sedangkan dalam hal moral dan etika, ilmu pengetahuan modern amat miskin. Hal ini bisa menjadi sumber ancaman lebih lanjut umat manusia. Di sinilah letak inti sumbangan Islam dengan sistem keimanan berdasarkan tauhid itu, kaum Muslim diharapkan mampu menawarkan penyelesaian atas masalah moral dan etika ilmu pengetahuan modern.
Manusia harus disadarkan kembali akan fungsinya sebagai ciptaan Tuhan, yang dipilih untuk menjadi khalifah-Nya, dan harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya di muka bumi ini kepada-Nya. Ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan, dan harus digunakan dalam semangat mengabdi kepada-Nya.[]


Sumber: Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2008, hal: 319-322.
Ket.gbr: net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/

No comments:

Post a Comment