Secangkir Kopi Tentang Komunisme - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 26 December 2017

Secangkir Kopi Tentang Komunisme


YakusaBlog- Tulisan ini merupakan ulasan kembali (rivew) diskusi ringan bersama beberapa kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Sekretariat HMI Cabang Medan, Jln. Adinegoro No. 15 Medan, atau yang sering disebut Alimbas. Diskusi beberapa malam yang lewat sungguh sangat menarik. Awalnya hanya sebatas ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati secangkir kopi.
Seseorang di antara kami, sebutlah itu namanya akrabnya Bako (kalaupun ada nama itu, artinya saya ingin berdiskusi dengannya), mulai mengarahkan pembicaraan yang lebih serius, dengan bertanya padaku.
“Bang, aku mau nanya lah ini sedikit. Mengapa kita harus menolak komunisme, padahal jelas komunisme itu melarang kapitalisme, sama seperti agama kita melarangnya. Bukankah sebaiknya antara Islam dan komunisme berjalan sama untuk menumbangkan kapitalisme?” Dengan seriusnya ia bertanya sambil menyerupu secangkir kopi dan menghembuskan hisapan sebatang rokok.
Aku pun sedikit terkejut dengan munculnya pertanyaan itu. Maksudku, bukan pada pertanyaannya, kalau pertanyaan yang demikian sudah biasa terdengar dan aku baca dalam beberapa literatur. Tapi, kami yang duduk santi dan membicarakan hal-hal ringan, ia mulai membawa ke arah yang lebih serius.
Kembali saya menyeruput kopi, membiarkan pertanyaannya itu termakan terlebih dahulu oleh waktu dan senyam-senyumnya teman-teman yang lain. Aku tidak ingin suasana berubah menjadi formal dan tidak nyantai lagi.
“Komunisme dan Islam memang sama-sama tidak sepakat dengan dengan tumbuhnya kapitalisme. Karena dengan kapitalisme, jurang pemisah antara rakyat yang miskin, dalam bahasa aktivis komunis yaitu buruh atau proletar, dengan kaum pemodal, semakin lebar dan jauh.” Kembali aku menyeruput kopi, dan menghidupkan sebatang rokok. Membiarkan suasana diam sejenak.
“Jadi bang, kenapa harus kita tolak komunisme itu, kenapa tidak sama-sama berdampingan saja?” Ia mengulangi pertanyaannya kembali.
“Banyak orang, bahkan aktivis-aktivis HMI yang tersesat karena salah memahaminya. Mereka melihat persamaannya dan tidak melihat perbedaannya yang tipis itu, antara Islam dan Komunisme. Maka mereka mencoba mengawinkan antara keduanya, Islam dan Komunisme sebagai landasan berpikir dan berjuang. Ya akhirnya tidak pernah berhasil, dan malah mengalami kesulitan sendiri.” Aku diam sejenak memperhatikan teman-teman yang lain sambil tersenyum.
“Maksudnya bang....?” Teman-teman yang lain tidak sabar ingin memahami pendapatku.
“Begini saja, aku akan menganalogikakannya seperti dua cangkir kopi ini.” Aku menuangkan kopi ke dalam dua cangkir.
“Baik, aku mau nanya ke teman-teman semuanya. Satu cangkir kopi kuberi racun dan satu cangkir lagi tidak kuberi apa-apa. Nah, sekarang kutanya, maukah kalian meminum kedua cangkir yang berisi kopi ini?” Mereka pun saling tatap-tatapan.
“Bagaimana, mau...?” Pertanyaan kupertegas.
“Mau bang, tapi kopi yang tidak diberi racun.” Salah satu teman menjawab.
Gimana Bako, mau minum keduanya?” Sekarang ku alihkan pertanyaan kepada orang yang mengawali diskusi yang serius malam itu.
“Sudah paham maksudku terkait Islam dan Komunisme sama-sama menentang kapitalisme, tapi kenapa kita harus menolak komunisme sebagai orang yang beragama Islam?” Sebagian ada yang menjawab paham, dan Bako nampaknya ingin jawaban yang lebih serius dan sedikit ilmiah.
“Nah, begini maksudku. Komunisme mengapa harus kita tolak, karena di dalamnya ada racun. Walaupun mempunyai kesamaan ide dengan ajaran Islam, tapi di sana ada racun yang sangat membahayakan manusia. Sama seperti kopi tadi. Ada satu cangkir yang dapat mematikan kita, walaupun rasanya sama-sama manis. Tapi kandungan racunnya berbahaya kalau kita minum. Jadi, komunis itu tidak sehat untuk “dikonsumsi”, berbeda dengan Islam yang sudah sempurna, dan Islam itu tidak ditemukan sedikitpun zat racunnya.” Aku menjelaskan sedikit lebih serius tapi dengan nada santai.
“Di mana zat racunnya pada komunisme bang...?” Bako bertanya menghembuskan asap hisapan rokok.
“Semuanya pasti sudah mengetahui bahwa komunisme itu tidak percaya dengan agama dan tidak pula percaya dengan Tuhan. Bagi mereka yang paham komunisme, agama dan Tuhan hanyalah alat untuk memperkuat kaum-kaum pemodal dan atau orang-orang kaya (kapital). Dan kepemilikan pribadi atas sesuatu, seperti tanah, tidaklah ada. Seluruhnya harus dikuasai oleh negara, dan negara yang mengaturnya. Tidak ada yang lebih berkuasa kecuali Negara, dan negara itu dikuasai oleh mereka-mereka yang menjadi petinggi di Partai Komunis, walaupun mereka berasal dari kaum proletar. Sehingga muncul diktator proletariat. Nah, hal-hal ini sungguh sangat bertentangan dengan fitrah manusia, apalagi terkait masalah kepercayaan kepada Tuhan yang tidak mereka yakini. Demikian kenapa aku mengatakan ada racunnya, dan komunis sangat haram untuk “dikonsumsi”. Sebagai kader HMI yang menjadikan Al-qur’an dan Hadist sebagai rujukan utama ajaran agama kita, kiranya ajaran Islam, baik dalam hal ibadah dan muamalah, menjadi dasar berpikir dan bergerak kita.”
“Nah, untuk itu, kopi yang satu ini (komunis) kita tumpahkan, dan yang satu lagi (ajaran Islam) kita nikmati dan kita syukuri.” Aku pun menumpahkan secangkir kopi, dan secangkir lagi kuseruput.
“ooohh...gitu ya bang...?” Bako memahami maksudku.
Yaps....” Aku pun mengacungkan jempol sambil menyeruput kopi dan menikmati hisapan-hisapan sebatang rokok.[]

Penulis: Ibnu Arsib

Instruktur HMI Cabang Medan

Ket.gbr: net/ilustrasi

No comments:

Post a Comment