YakusaBlog- Tulisan ini merupakan ulasan kembali (rivew)
diskusi ringan bersama beberapa kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di
Sekretariat HMI Cabang Medan, Jln. Adinegoro No. 15 Medan, atau yang sering
disebut Alimbas. Diskusi beberapa
malam yang lewat sungguh sangat menarik. Awalnya hanya sebatas ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati
secangkir kopi.
Seseorang di antara kami, sebutlah itu namanya akrabnya Bako (kalaupun ada
nama itu, artinya saya ingin berdiskusi dengannya), mulai mengarahkan
pembicaraan yang lebih serius, dengan bertanya padaku.
“Bang, aku mau nanya lah ini
sedikit. Mengapa kita harus menolak komunisme, padahal jelas komunisme itu
melarang kapitalisme, sama seperti agama kita melarangnya. Bukankah sebaiknya
antara Islam dan komunisme berjalan sama untuk menumbangkan kapitalisme?”
Dengan seriusnya ia bertanya sambil menyerupu secangkir kopi dan menghembuskan
hisapan sebatang rokok.
Aku pun sedikit terkejut dengan munculnya pertanyaan itu. Maksudku, bukan
pada pertanyaannya, kalau pertanyaan yang demikian sudah biasa terdengar dan
aku baca dalam beberapa literatur. Tapi, kami yang duduk santi dan membicarakan
hal-hal ringan, ia mulai membawa ke arah yang lebih serius.
Kembali saya menyeruput kopi, membiarkan pertanyaannya itu termakan
terlebih dahulu oleh waktu dan senyam-senyumnya teman-teman yang lain. Aku
tidak ingin suasana berubah menjadi formal dan tidak nyantai lagi.
“Komunisme dan Islam memang sama-sama tidak sepakat dengan dengan tumbuhnya
kapitalisme. Karena dengan kapitalisme, jurang pemisah antara rakyat yang
miskin, dalam bahasa aktivis komunis yaitu buruh atau proletar, dengan kaum
pemodal, semakin lebar dan jauh.” Kembali aku menyeruput kopi, dan menghidupkan
sebatang rokok. Membiarkan suasana diam sejenak.
“Jadi bang, kenapa harus kita tolak komunisme itu, kenapa tidak sama-sama
berdampingan saja?” Ia mengulangi pertanyaannya kembali.
“Banyak orang, bahkan aktivis-aktivis HMI yang tersesat karena salah
memahaminya. Mereka melihat persamaannya dan tidak melihat perbedaannya yang
tipis itu, antara Islam dan Komunisme. Maka mereka mencoba mengawinkan antara
keduanya, Islam dan Komunisme sebagai landasan berpikir dan berjuang. Ya
akhirnya tidak pernah berhasil, dan malah mengalami kesulitan sendiri.” Aku
diam sejenak memperhatikan teman-teman yang lain sambil tersenyum.
Baca juga: Menjaga Kader HMI Dari Paham Sesat
“Maksudnya bang....?” Teman-teman yang lain tidak sabar ingin memahami pendapatku.
“Begini saja, aku akan menganalogikakannya seperti dua cangkir kopi ini.”
Aku menuangkan kopi ke dalam dua cangkir.
“Baik, aku mau nanya ke teman-teman semuanya. Satu cangkir kopi kuberi
racun dan satu cangkir lagi tidak kuberi apa-apa. Nah, sekarang kutanya, maukah
kalian meminum kedua cangkir yang berisi kopi ini?” Mereka pun saling
tatap-tatapan.
“Bagaimana, mau...?” Pertanyaan kupertegas.
“Mau bang, tapi kopi yang tidak diberi racun.” Salah satu teman menjawab.
“Gimana Bako, mau minum
keduanya?” Sekarang ku alihkan pertanyaan kepada orang yang mengawali diskusi
yang serius malam itu.
“Sudah paham maksudku terkait Islam dan Komunisme sama-sama menentang
kapitalisme, tapi kenapa kita harus menolak komunisme sebagai orang yang
beragama Islam?” Sebagian ada yang menjawab paham, dan Bako nampaknya ingin jawaban yang lebih
serius dan sedikit ilmiah.
Baca juga: Islam Menggantikan Komunisme dan Kapitalisme
“Nah, begini maksudku. Komunisme mengapa harus kita tolak, karena di
dalamnya ada racun. Walaupun mempunyai kesamaan ide dengan ajaran Islam, tapi
di sana ada racun yang sangat membahayakan manusia. Sama seperti kopi tadi. Ada
satu cangkir yang dapat mematikan kita, walaupun rasanya sama-sama manis. Tapi
kandungan racunnya berbahaya kalau kita minum. Jadi, komunis itu tidak sehat
untuk “dikonsumsi”, berbeda dengan Islam yang sudah sempurna, dan Islam itu
tidak ditemukan sedikitpun zat racunnya.” Aku menjelaskan sedikit lebih serius
tapi dengan nada santai.
“Di mana zat racunnya pada komunisme bang...?” Bako bertanya menghembuskan
asap hisapan rokok.
“Semuanya pasti sudah mengetahui bahwa komunisme itu tidak percaya dengan
agama dan tidak pula percaya dengan Tuhan. Bagi mereka yang paham komunisme,
agama dan Tuhan hanyalah alat untuk memperkuat kaum-kaum pemodal dan atau
orang-orang kaya (kapital). Dan kepemilikan pribadi atas sesuatu, seperti
tanah, tidaklah ada. Seluruhnya harus dikuasai oleh negara, dan negara yang
mengaturnya. Tidak ada yang lebih berkuasa kecuali Negara, dan negara itu
dikuasai oleh mereka-mereka yang menjadi petinggi di Partai Komunis, walaupun
mereka berasal dari kaum proletar. Sehingga muncul diktator proletariat. Nah,
hal-hal ini sungguh sangat bertentangan dengan fitrah manusia, apalagi terkait
masalah kepercayaan kepada Tuhan yang tidak mereka yakini. Demikian kenapa aku
mengatakan ada racunnya, dan komunis sangat haram untuk “dikonsumsi”. Sebagai
kader HMI yang menjadikan Al-qur’an dan Hadist sebagai rujukan utama ajaran
agama kita, kiranya ajaran Islam, baik dalam hal ibadah dan muamalah, menjadi
dasar berpikir dan bergerak kita.”
“Nah, untuk itu, kopi yang satu ini (komunis) kita tumpahkan, dan yang satu
lagi (ajaran Islam) kita nikmati dan kita syukuri.” Aku pun menumpahkan
secangkir kopi, dan secangkir lagi kuseruput.
Baca juga: Jangan Menjadi Kader Semangka !!!
“ooohh...gitu ya bang...?” Bako memahami maksudku.
“Yaps....” Aku pun mengacungkan
jempol sambil menyeruput kopi dan menikmati hisapan-hisapan sebatang rokok.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan
Ket.gbr: net/ilustrasi
No comments:
Post a Comment