YakusaBlog- Dokumen Aelia adalah naskah perjanjian yang
dibuat oleh Khalifah Umar ibn al Khaththab dengan penduduk kota Aelia, nama
lain untuk kota Yerusalem, pada waktu kota itu jatuh ke tangan kaum beriman.
Yerusalem adalah kota suci tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena
pentingnya kota itu bagi kaum Muslim, patriak yang menguasainya tidak
menyerahkannya kepada mereka kecuali jika pimpinan tertinggi mereka sendiri,
yaitu Khalifah Umar, datang menerimanya secara pribadi.
Bagi kaum Muslim, Yerusalem adalah al-Quds atau al-Bayt al-Maqdis, artinya Kota Suci. Pandangan serupa itu juga
sudah dipunyai orang Arab sebelum Islam. Tetapi ada nama lain untuk kota suci
itu, yaitu Aelia Capitolina, disingkat Aelia. Dan pada waktu ditaklukkan oleh
tentara Islam, nama Aelia itu sangat melekat. Maka perjanjian yang dibuat untuk
penduduk kota itu pun disebut “Dokumen Aelia” (Mītsāq Ailiyā).
Riwayat nama Aelia itu sendiri cukup menarik.
Ketika Yerusalem dihancurkan oleh Kaisar Titus dari Roma pada tahun 70 Masehi, maka
saking bencinya kepada kaum Yahudi dia putuskan untuk menghapus segala sisa
keyahudian dari kota itu. Lalu, di atas Masjid Aqsha yang telah diruntuhkannya
dia dirikan bangunan guna memuja dewa Aelia, lengkap dengan patung berhala
Romawi itu.
Memang ketika Yerusalem kemudian berada di
bawah kekuasaan kaum Kristen dari Bizantium, bangunan untuk memuja dewi Aelia
itu sudah runtuh. Namun tidak berarti kebencian kepada kaum Yahudi juga
berakhir. Justru kaum Kristen menunjukkan kebenciannya itu dengan menjadikan
puncak bukit Moria, letak bekas bangunan suci Masjid Aqsha, dijadikan pelbak (tempat pembuangan sampah).
Para ahli sejarah Islam, seperti Ibn
Taimiyah, menuturkan bagaimana sampah menggunung di atas kiblat Yahudi (dan
kiblat Islam juga, untuk beberapa lama), sebagai penghinaan kaum Kristen kepada
kaum Yahudi. Inilah yang membuat Umar sangat marah, kemudian memerintahkan
patriak Kristen itu untuk menyingsingkan lengan bajunya, ikut membersihkan
tempat suci itu bersama kaum Muslim.
Dari peristiwa sejarah itu dapat dilihat
bagaimana sikap Islam kepada agama-agama lain, khususnya agama Ahl al-Kitāb
seperti Yahudi dan Kristen, yaitu sikap menenggang dan menghargai. Ini lebih-lebih
lagi tercermin dalam Dokumen Aelia sendiri, yang di dalamnya termuat jaminan
Islam untuk kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan kaum Kristen beserta
lembaga-lembaga keagamaan mereka. Bahkan, berbeda dengan penguasa Kristen
sebelumnya, penguasa Islam justru mengizinkan kaum Yahudi ikut menghuni kembali
Yerusalem. Namun karena kaum Kristen keberatan jika mereka dicampur dengan kaum
Yahudi, maka Umar pun menempuh jalan membagi Yerusalem menjadi sektor-sektor
Islam, Yahudi, dan Kristen.
Karena politik Umar yang amat “liberal” itu,
maka kaum Kristen Yerusalem sangat senang di bawah kekuasaan Islam. Sebab
selama ini, di bawah kekuasaan Bizantium, sebagian mereka mengalami penindasan
keagamaan karena, sekte mereka tidak diakui oleh Gereja Ortodoks di
Konstantinopel. Begitu pula kaum Yahudi, mereka sangat senang karena setelah
ratusan tahun mulai diperbolehkan kembali ke tanah leluhur mereka.
Mengapa Umar menempuh politik yang begitu
“liberal’? Umar hanyalah mencontoh Sunnah Nabi saw yang telah membuat “Konstitusi
Madinah” yang amat terkenal itu.[]
Sumber:
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju
Tuhan, Paramadina, Jakarta Selatan, 2002, hal: 86-87.
Ket.gbr: Animasi masjid Al-Aqsa
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
assalamu 'alaikum. tulisan yang menarik dan bersejarah.
ReplyDelete