YakusaBlog- Tiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari
Hak Azasi Manusia (HAM) sedunia. Momentum peringatan hari HAM sedunia mengingatkan
saya pada seorang sosok pejuang dan korban HAM dari Indonesia. Sosok itu siapa lagi
kalau bukan Munir Said Thalib, seorang laki-laki pemberani asal Kota Batu, Jawa
Timur. Lewat lembaga yang didirikannya seperti komisi untuk orang hilang dan korban
tindak kekerasan (Kontras) dan Imparsial. Munir berjuang untuk penegakan kasus-kasus
HAM yang belum dan takkan terselesaikan di negeri ini. Karena kasusnya sengaja
disembunyikan oleh oknum-oknum tertentu.
Membahas persoalan HAM yang tiada tuntasnya memang
tidak bisa terlepas dari pembahasan nama Munir. Hal itu disebabkan karena keberaniannya
dalam perjuangan penegakan HAM dan karena suatu tragedi pembunuhan atas dirinya
yang sangat tragis. Niatnya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu hukum di
negeri Belanda harus terhenti karena niat jahat dan kekkejaman dari orang-orang
yang sangat membenci dan menginginkan kematian terhadap Munir.
Lewat racun arsenik yang dicampurkan pada minuman Munir saat dalam penerbangan menuju
Belanda menjadi suatu petaka yang tak terucapkan kepedihannya. Bagaimana mungkin
seorang pejuang HAM yang ingin membongkar dan menuntaskan kasus-kasus HAM di
Indonesia harus pergi meninggalkan semua orang yang mencintai dan punya pengharapan
besar terhadap seorang Munir.
Kematian Munir bukan berarti harus mematikan semangat
pewaris-pewarisnya untuk terus berjuang terhadap penegakan HAM. Munir telah memberikan
kita contoh keberanian untuk terus komitmen dan setia dalam memperjuangkan kebenaran
dan keadilan. Meskipun telah diancam dan diteror berjuta-juta kali, Munir tetap
tidak gentar untuk terus memperjuangkan apa yang dicita-citakannya, yakni membongkar
kasus-kasus HAM di Indonesia.
Perjuangan Munir yang sampai berujung pada kematian
adalah sebuah pesan penting dari Munir tentang arti dar isebuah kehidupan. Munir
telah mengajarkan kita untuk tidak berhenti dalam berpengharapan. Hal inilah
yang semestinya terus diingat oleh pewaris-pewaris Munir agar tetap bersemangat
dalam menajalankan tugas-tugas kemanusiaannya.
Menagih Komitmen
Pemerintah
Komitmen Pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus
HAM termasuk kasus Munir harus terus ditagih. Menuntaskan sejumlah kasus-kasus
HAM di negeri ini adalah salah satu janji Politik Jokowi-JK saat berkampanye.
Namun, untuk bisa melepaskan diri dari janji berat tersebut pemerintah membuat alasan
yang mengada-ngada dan tidak masuk akal. Pemerintah beralasan bahwa hasil dokumen
Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir telah hilang dan melemparkannya ke era
pemerintahan sebelumnya (era Presiden SBY) dengan mengatakan hasil TPF hilang saat
masa pemerintahan presiden SBY. Tudingan ini tentu menimbulkan reaksi keras dari
pihak Cikeas. Bagaimana mungkin negara yang punya wewenang dan otoritas penuh serta
sumber daya, bisa tidak tahu dimana dokumen itu berada.
Alasan hilangnya dokumen TPF Munir semakin memperkuat
dugaan kita bahwa pemerintah dari era ke era belum ada yang berani untuk menuntaskan
kasus Munir dan kasus-kasus HAM lainnya di Indonesia. Perlu keberanian politik dari
pemerintah kalau memang serius untuk menuntaskan sejumlah kasus HAM di negeri ini.
Kasus Munir dan kasus-kasus HAM lainnya tidak terlepas dari keterlibatan elit-elit
politik negeri ini. Oleh sebab itu, belum ada pemerintah yang berani membongkar
dan menuntaskan kasus-kasus HAM termasuk kasus Munir karena aktor-aktor intelektualnya
masih terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik saat ini. Hal ini sesuai dengan
yang dikatakan Kordinator Kontras, Yati Andriyani dalam acara dialog bertema
“Mengingat MunirMenyalakan Kemanusiaan” di Museum Omah, Batu, Jawa Timur, Jumat
(8/12). Pemerintah tidak mau mengumumkan hasil TPF lantaran konsekuensinya sangat
banyak. Isi dokumen menyebut sejumlah nama terkait dengan pembunuhan Munir.
Rasa takut memang sangat sulit untuk
dikalahkan. Benar bahwa manusia tidak bisa terlepas dari sebuah ketakutan. Tapi
demi kebenaran dan keadilan rasa takut itu mesti harus ditaklukkan. Itulah yang
dinamakan keberanian. Dan Munir telah menunjukkan itu kepada kita semua. Munir juga
seorang manusia biasa yang memiliki rasa takut. Tapi Munir telah membuktikkan bagaimana
selayaknya seorang manusia mampu menaklukkan rasa takut yang ada dalam dirinya.
Contoh yang diajarkan Munir ini semestinya menjadi
pelajaran bagi kita semua termasuk pemerintah kalau memangpunya keseriusan dalam
menuntaskan kasus Munirdan kasus-kasus HAM lainnya.
Setiap tindakan dan keputusan pasti ada konsekuensinya.
Apakah pemerintah mau menuntaskan kasus Munir dan kasus HAM lainnya atau ingin mendiamkan
dan menutup nutupinya sama-sama punya konsekuensi. Kalau dibuka dan dituntaskan
maka akan lahir konflik-konflik baru sesama elit-elit politik. Karena diduga kuat
banyak elit-elit politik yang terlibat dalam sejumlah kasus HAM. Tentu perlu keberanian
dalam soal ini. Dan kalau didiamkan dan ditutup-tutupi tentu harapan rakyat
agar kasus-kasus HAM diselesaikan semakin mengecil. Rasa kepercayaan (trust) rakyat terhadap pemerintah sudah pastime
nurun karena selalu diiming-imingi janji yang jarang ditepati. Momentum hari
HAM sedunia semestinya menjadi momen untuk merenung bagi pemerintah apakah mau mengikuti
kehendak elit politik atau kehendak rakyat.
Pelajaran
Dari Kasus Munir
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pelajaran terpenting
dari sejarah adalah: Manusia tak pernah belajar dari sejarah. Pendapat ini kelihatannya
sesuai dengan realita penegakan hukum yang terjadi saat ini. KasusMunir yang
tidak tertuntaskan ternya tadi ikuti oleh kasus-kasus HAM paska kasus Munir
yang juga belum dan mungkin tidak akan tertuntaskan. Kasus-kasus baru pelanggaran
HAM masih terus muncul. Lihat kasus pembunuhan aktivis Lingkungan Salim Kancil
di Lumajang. Hingga penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan
Korupsi, Novel Baswedan. Kedua kasus ini juga belum tertuntaskan secara total
sampai sekarang.
Pada akhirnya, sejarah hanya dokumen yang
tersimpan dalam rak perpustakaan. Sejarah tidak dijadikan cermin untuk menilik kesalahan
di masalalu. Dengan melihat kasus Munir penegak hukum di negeri ini semestinya belajar
untuk tidak mengulangi kasus yang sama, yakni tidak menuntaskan sebuah kasus secara
adil danbenar. Dan ternyata kasus Munir masih terulang kembali dan mungkin akan
terus berulang kalau negara tidak belajar dari sejarah yang terjadi.
Keberanian kerap kali mendekatkan pada kematian.
Lantas apakah itu membuat kita untuk berhenti memperjuangkan kebenaran dan keadilan?
Kehidupan hanyalah satu kali. Untu kitu, janganlah kehidupan yang hanya sekali ini
membuat kita takut akan kebenaran dan keadilan. Dan membuat hidup kita menjadi sia-sia.
Pesan penting dari apa yang dilakukan Munir adalah dia telah menunjukkan kepada kita
tentang arti dari sebuah perjuangan serta komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.
Tidak berhenti untuk terus berpengharapan telah dilakukan Munir. Harapanlah
yang semestinya terus hidup dalam diri setiap pewaris-pewaris Munir. Seperti
kata penyair Emily Dickinson: “Pengharapan adalah sesuatu yang bersayap yang
hinggap pada jiwa. Dan bersenandung tanpa kata. Dan tidak pernah berhenti sama sekali.[]
Penulis:
Ikhwan Kurnia Hutasuhut
Ketua Bidang
Kajian dan Keilmuan HMI Cabang Medan Periode 2017-2018
Ket.gbr: Animasi Munir saat berorasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment