YakusaBlog-Pembicaraan tentang keadilan sebagai sunnatullah ini berkaitan dengan tulisan
tentang keadilan sebagai hukum kosmos. Dengan menggunakan istilah sunnatullah (sunnat Allah) dari Kitab
Suci (Al-Qur’an), tekanan pembicaraan kita ialah kaitan keadilan dengan hukum
Allah untuk sejarah. Dan sejarah itu tidak lain ialah perjalanan hidup kelompok
manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.
Kitab Suci menyebutkan bahwa sejarah itu
dikuasai oleh hukum Allah (sunnatullah)
yang tetap dan pasti, kemudian kita diperintahkan untuk menarik pelajaran dari
padanya dengan meneliti sejarah bangsa-bangsa masa lalu di muka bumi ini.
(lihat QS. Fathir:43).
Dalam jargon modern, ilmu pengetahuan tentang
manusia seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu sejarah, humaniora
dan lain-lain, sering disebut soft
secience (ilmu yang tidak begitu pasti). Ini semua sebenarnya hanyalah
kesan. Karena variabel tentang kehidupan menusia itu begitu banyaknya maka
sulit sekali atau mustahil kita kuasai seluruhnya. Maka setiap usaha membuat
kesimpulan selalu terancam tidak mencocoki kenyataan. Ini menimbulkan kesan
keliru, seakan-akan hukum sejarah itu tidak atau kurang pasti. Sedangkan variabel
tentang benda atau materi relatif terbatas, sehingga relatif lebih mudah
dikuasai, dan lebih mudah pula membuat kesimpulan yang mencekoki kenyataan,
sehingga mengesankan kepastian.
Mungkin disebabkan adanya kenyataan yang
berbeda tentang alam kesejarahan dan alam kebendaan itu maka Kitab Suci juga
menggunakan dua istilah yang berbeda untuk hukum yang menguasai masing-masing. Untuk
hukum sejarah telah kita sebutkan digunakan istilah takdir (yang maknanya cukup
berbeda dari perkataan “takdir” dalam ucapan sehari-hari kita).
Baca juga: Apa Yang Disebut Takdir?
Namun, sesungguhnya tidak berarti bahwa hukum
yang menguasai sejarah itu tidak atau kurang pasti. Firman Allah menegaskan: “Begitula sunnatullah bagi mereka (umat
manusia) yang telah lewat sebelumnya (dalam sejarah). Dan keputusan (hukum)
Allah itu adalah suatu kepastian yang sepasti-pastinya.” (QS. Al-Ahzab: 38)
Terkait dengan kepastian sunnatullah itu ialah bahwa dia obyektif dan tidak berubah (immutable). Disebut obyektif karena, dia
ada tanpa tergantung kepada pikiran atau kehendak manusia. Dan disebut tidak
akan berubah karena dia berlaku selama-lamanya tanpa interupsi atau koneksi
kepada seseorang. Maka siapapu yang memahami dan mengikutinya akan beruntung,
dan siapapun yang melanggarnya, meski karena tidak tahu akan merugi. Analoginya
ialah dengan hukum alam, seperti panasnya apa: dia berlaku tanpa peduli siapa
yang mengikuti atau melanggar.
Maka demikian pula dengan keadilan. Suatu keadilan
itu adalah sebagai sunnatullah yang
pasti, obyektif, dan tidak akan berubah, siapa saja yang menegakkan keadilan
akan jaya, dan siapa saja yang melanggarnya akan binasa. Inilah hakikat makna
ungkapan bijaksana dari Ali Ibn Abi Thalib, yang banyak dikutip para ulama
klasik: “Sesungguhnya Allah akan
menegakkan negeri yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negeri
yang zhalim meskipun Islam.” (Ibn Taymiyyah dalam risalahnya, al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an
al-Munkar, hal: 40).[]
Sumber:
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju
Tuhan, Paramadian, Jakarta Selatan, 2002, hal: 42-43.
Ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.tebyan.net/
No comments:
Post a Comment