YakusaBlog- Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (PERPPU RI) Nomor 2 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan, yang kemudian disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) menjadi Undang-Undang (UU), memunculkan kembali pembahasan
hangat terkait penetapan PERPPU oleh Presiden, yang mana menurut UU No. 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, PERPPU sederajat
dengan UU.
Terkait apa dasar atau landasan PERPPU itu ditetapkan oleh Presiden Jokowi
tentunya banyak kalangan sudah mengetahuinya. Terlebih dahulu alangkah lebih baiknya
kita bicarakan hal tersebut secara singkat. Maksud penulis, kita bicarakan
terlebih dahulu terkait landsan yuridisnya, supaya kita lebih mudah menjawab
pertanyaan yang menjadi judul pada tulisan sederhana ini.
Di dalam Undang-Undangan Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum amandemen, pada
pasal 22 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Dalam hal ihkwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.” Demikian juga disebutkan di dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen. Tidak ada
perubahan bunyi pasal tersebut. Baik dalam UUD 1945 sebelum amandemen maupun
sesudah amandemen.
Nah. Muncul suatu pertanyaan, apakah maksud daripada pasal tersebut? Di
dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tepatnya pada penjelasan pasal 22 ayat (1)
tersebut, menjelaskan bahwa, “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu
diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam
keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.
Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang
kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.” Sedangkan di dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen tidak
ada lagi penjelasan setelah Batang Tubuh UUD 1945 (pasal-pasal).
Dalam bunyi penjelasan pasal 22 UUD 1945 sebelum amandemen, kita menemukan
kata “noodverordeningsrecht”. Apakah maksud
dari kata tersebut? Maria Farida (2013: 192) berpendapat, pasal 22 UUD 1945
hasil amandemen adalah mengenai “noodverordeningsrecht”,
artinya hak Presiden untuk mengatur negara lewat peraturan (hukum) dalam
kegentingan yang memaksa.
Selanjutnya, bagaimanakah yang dimaksud dengan “hal ihkwal kegentingan yang
memaksa” itu? Dan apa indikator atau syarat sebagai parameter adanya “hal
ikhwal kegentingan yang mamaksa” sehingga Presiden menetapkan PERPPU?
Baca juga: Apakah Pengertian Politik Hukum?
Akhirnya, sampailah kita pada inti pembahasan untuk menjawab pertanyaan
yang menjadi judul tulisan sederhana ini.
Bagaimanakah pengertian atau maksud “hal ihkwal kegentingan yang memaksa”
itu? Lebih lanjut Maria Farida menjelaskan “hal ihkwal kegentingan yang
memaksa” tersebut tidak selalu ada kaitannya dengan keadaan bahaya, tetapi
cukup kiranya apabila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan yang
mendesak, dan keadaan itu perlu segera diatur dengan peraturan yang mempunyai
derajat sama dengan UU.
Nah. Lantas banyak kalangan masyarakat yang bertanya, apa indikator atau
apa syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden
sehingga Presiden menetapkan PERPPU?
Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, terdapat tiga
syarat sebagai parameter “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden menetapkan
PERPPU, yaitu:
Pertama, adanya keadaan kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi
kekosongan bukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU
secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Menurut penulis, maksud dari “hal ihkwal kegentingan yang memaksa” dan
berdasarkan indikator yang ditetapkan oleh Mahka Konstitusi, sangat bersifat
subjektif. Maksud saya, bukan subjektivitas kepada diri pribadi Presiden atau
kelompok-kelompok penguasa negara, akan tetapi subjektivitas hukum.
Subjektivitas hukum sangat perlu asalkan mengarah kepada tujuan suatu negara
dan menjaga kesatuan persatuan bangsa. Dan Presiden sebagai kepala negara dan
juga sebagai kepala pemerintahan dalam sistem presidensil berhak menetapkan
PERPPU walau bersifat sementara dan harus disahkan menjadi UU oleh DPR RI.
Demikianlah tulisan sederhana ini yang menjawab maksud “hal ihkwal
kegentingan yang memaksa” dan apa saja indikatornya sehingga Presiden sebagai
kepala negara dan sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan Republik Indonesia
berhak menetapkan PERPPU.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Mahasiswa Fakultas Hukum UISU-Medan
Ket.gbr: Salinan PERPPU Ormas
Sumber gbr: https://www.infokubagus.net/
No comments:
Post a Comment