YakusaBlog- Awal-awal berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 5 Februari 1947, di Yogyakarta, HMI (secara organisasi) dan pendiri-pendirinya banyak menghadapi reaksi-reaksi atau tantangan berat dari organisasi mahasiswa, pemuda dan pelajar yang ada di Yogyakarta atau di daerah lain, seperti di Solo dan Malang.
Bagi para pendiri HMI, menghadapi berbagai reaksi yang datang silih berganti, selalu diterima dengan jiwa besar, sabar dan dengan kepala dingin. Mereka mempunyai prinsip: “Bukan suatu perjuangan namanya apabila tidak menghadapi kesulitan.” Adanya reaksi-reaksi tersebut bukan untuk dihindari, akan tetapi justru untuk diatasi. (Agussalim Sitompul, 1984: 141)
Gelombang pasang surut reaksi-reaksi yang dialami HMI (secara organisasional) dan para pendiri-pendirinya dari organisasi-organisasi mahasiswa, pemuda dan pelajar lainnya, sebagaimana yang dituliskan Agussalim Sitompul, yaitu sebagai berikut:
Pertama, reaksi-reaksi dari organisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY). Sebelum adanya HMI sebagai wadah atau organisasi mahasiswa, di Yogyakarta sudah ada organisisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY). PMY yang dipimpin oleh Milino Ahmad, menganggap bahwa HMI merupakan saingan dalam dunia kemahasiswaan. Pengurus-pengurus PMY takut kehilangan atau kekurangan anggota dan pengaruh. Tidak mengherankan lagi jika mereka tidak setuju terhadap kelahiran HMI, dan menghendaki supaya HMI membubarkan diri.
Di mana-mana, PMY selalu mempropagandakan bahwa HMI akan segera mati. HMI dituduh memecah-belah mahasiswa. Selain reaksi dalam mempropagandakan, PMY juga melakukan reaksi ideologis, karena PMY jelas tidak menyenangi agama, sedankan HMI dengan tegas dan komitmen menjunjung tinggi agama Islam. akhirnya sejarah membuktikan, dalam perkembangan situasi yang tidak terlalu lama, ternyata bukan HMI yang bubar atau mati. Karena eksistensinya PMY mulai redup, maka PMY bergabung, mungkin menyusun kekuatan, dengan Perserikatan Mahasiswa Malang (PMM) pada bulan April 1948, kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Entah kenapa, tanggal 19 Desember 1948, PMI hilang lenyap tertelan zaman hingga sekarang ini.
Kedua, reaksi dari organisasi Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) yang berfusi dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), yang berdiri pada tanggal 27 September 1945, kemudian berganti nama menjada Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).
Serikat Mahasiswa Islam (SMI) secara ideologis menentang dan terus mencoba menggagalkan langkah-langkah HMI. SMI ini berideologi sosialis-komunis, sehingga sangat bertentangan dengan HMI.
Ketiga, reaksi dari organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Reaksi GPII tidak sama dengan reaksi PMY dan SMI. Jika reaksi PMY dan SMI bersifat ideologis, akan tetapi reaksi dari GPII terhadap awal-awal didirikannya HMI adalah kurang pengertiannya serta kurang memahami tuntutan sejarah. Anggota-anggota GPII pada masa itu menganggap bahwa belum masanya mendirikan HMI.
Di tubuh GPII sendiri terdapat GPII Seksi Pelajar. Dengan berdirinya HMI, anggota-anggota GPII merasa dirugikan. Mereka mengajukan argumentasi dengan mengatakan: “Mahasiswa juga adalah Pemuda dan Pelajar.” Dan wadanya adalah GPII. GPII menganggap tidak perlu mendirikan wadah tersendiri dengan mendirikan organisasi mahasiswa Islam secara khusus.
Isu bahwa HMI memecah belah mahasiswa yang dipropagandakan PMY berhasil mempengaruhi GPII. GPII menuding bahwa HMI adalah pemecah belah Pemuda dan ummat Islam. Pada mulanya berhasil juga dipropagandakan, terbukti tidak semuanya mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) khususnya dan mahasiswa Islam di luar STI umumnya tidak jadi masuk HMI.
Argumentasi-argumentasi yang dilontarkan terhadap kelahiran HMI, dikatakan berdirinya HMI identik dengan pisahnya Pakistan dari India, kemudian menjadi negara Islam. Hal demikian sangat dirasakan para pembina dan anggota HMI pada masa itu. Sebab, setiap kelompok besar atau kecil, ketika ada tokoh HMI yang sedang lewat atau datang, maka spontan disambut dengan kata-kata yang bernada mengejek: “Hidup Pakistan”.
Pertentangan-pertentangan yang timbul dan hampir meluas itu tidak cukup dengan mulut dan batin saja, bahkan suatu ketika terjadi pergulatan fisik antara para “penegak HMI” dengan pihak yang belum memahami kelahiran HMI. Demikian Agussalim Sitompul berpendapat.
Keempat, reaksi dari organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). PII berdiri setelah tiga bulan HMI berdiri. Dalam organisasi ini terdapat juga anggota GPII, baik ia sebagai anggota maupun sebagai pengurus. Maka dari itu, secara otomatis, reaksi GPII terhadap kelahiran HMI terdengar juga dari anggota-anggota maupun pengurus PII dengan motif yang hampir sama.
Walau PII berdiri setelah HMI, yang jaraknya hanya hitungan bulan, sikap dan reaksi anggota PII terhadap HMI dapat disaksikan sewaktu berlangsungnya Kongres I PII di Sala, tanggal 14-16 Juli 1947. Waktu itu, dalam forum Kongres PII ada kebiasaan siapa-siapa yang ingin menyambut atau berbiacara di antara hadirin. Lafran Pane, yang sebagai Ketua PB HMI, tidak mendapat undangan tapi hadir, tidak diberi kesempatan berbicara, karena anggota-anggota PII menganggap bahwa HMI tidak ada dan statusnya HMI di kalangan umat Islam masih disangsikan.
Keadaan yang sangat tragis itu berjalan selama sepuluh bulan, antara bulan Februari sampai bulan November 1947. Hingga akhirnya, pada Konferensi Besar I PII di Ponorogo, pada tanggal 4-6 November 1947.
Demikianlah beratnya reaksi yang datang kepada HMI. Dengan jiwa besar dan kepala dingin, Lafran Pane, Asmin Nasution, Maisaroh Hilal, Karnoto dan teman-temanya yang lain menyaksikan kenyataan itu. Setiap waktu mereka sanggup menghadapi dengan tenang reaksi-reaksi pedas dari organisasi lain, baik reaksi yang datang silih berganti dari internal umat Islam maupun luar umat Islam. Belum lagi jika kita lihat tantangan HMI ketika agresi militer Belanda II dan tantangan mengahadpi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, di mana banyak-kadernya turun langsung ke medan juang.
Baca juga: Menjaga dan Merawat Independensi HMI
Lafran Pane dan teman-temannya pada masa itu yakin, bahwa di satu masa kelak, kelahiran HMI akan bisa diterima oleh semua pihak, bahkan akan merasakan kelahairan HMI dibutuhkan oleh sejarah. Hal demikian terbukti hingga saat ini, bahwa HMI sangat besar jasanya kepada negara baik dalam mempertahankan kemerdekaan negara, menjaga persatuan bangsa, memperjuangkan ummat Islam, mengisi kemerdekaan, menciptakan kader-kader bangsa yang berkualitas dan meberikan kontribusi positif lainnya.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan.
Sumber gbr: http://hmiteknikum.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment