YakusaBlog- Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu
manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan
meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa
tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh
karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya,
namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan
sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila
demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang
terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan
tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada,
sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya
yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu
secara mutlak pula.
Baca Juga : Bab V : Individu dan Masyarakat
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut
kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab I,
Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30). Karena
kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60). Maka dia adalah
Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran
tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang
ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan
semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu kebenaran mutlak, guna
memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana
kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya
tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup
dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna
mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan
"karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan
(92:19-21).
Baca Juga : Bab VI : Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya
kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri
kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam.
Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa (3:19).
Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia
atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia
yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa
(33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan Yang Maha
Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan
kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan
terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang
kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah
keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh
dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan
dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar
kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah pemisahan antara
eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi
antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan
bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi:
manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan.
Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality)
yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan
kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja,
maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam
kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai
kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam
kehidupan seharihari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa
usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan,
keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah:
pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada
iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tidak kurang dari 50
kali pengulangan kombinasi kata).
Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam perikemanusiaan.
Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka
tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa. Perikemanusiaan tanpa
Ketuhanan adalah tidak sejati (24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan Yang
Maha Esa dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang
benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan
peradaban (9:109).
Baca Juga : BAB VII NDP : Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Syirik merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah
artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat
menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada
sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi,
syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya
segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (6:82). Sebab dalam
melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong
dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas
pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku
khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”.
Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu
sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi
karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
Musyrik adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang
menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut
musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan
Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan
tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri
setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap
kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu
sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil
(wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan
dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan).
Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90).
Sumber: Teks NDP HMI Bab IV, Hasil-Hasil
Kongres HMI XXIX. Hal: 148-150.
Baca Juga : BAB VIII NDP : Kesimpulan dan Penutup
No comments:
Post a Comment