YakusaBlog- Perlu saya jelaskan terlebih dahulu mengapa tulisan yang berjudul “Apakah Pancasila Itu Norma Dasar Tinggi Dalam Sistem Norma Hukum Indonesia?” ini saya bahas. Tulisan ini hasil daripada analisis saya ketika tidak mendapat kepuasaan jawaban dari hasil diskusi di ruang kuliah. Ketika itu saya pertanyakan judul tulisan ini kepada seorang yang menurut saya salah satu Pakar Tatatanegara Indonesia di Sumatera Utara, Dekan Fakultas Hukum UISU Medan, Dr. Marzuki Lubis. Maksud saya, bukan jawabannya yang salah. Jawaban yang diberikan menurut saya masih terlalu normatif, sedangkan saya menginginkan jawaban yang tajam dan mengena ke dalam logika berpikir saya.
Berbicara tentang pengertian norma, Jimly Asshiddiqie (2014:49)
menjelaskan, norma berasal dari bahasa Inggris: nomoi dan Yunani: nomoi
atau nomos yang berarti hukum.
Sedangkan dalam bahasa Arab disebut qoidah
(kaidah). Lebih lanjut ia berpendapat, norma atau kaidah itu merupakan
suatu pelembagaan nilai-nilai yang diidealkan sebagai kebaikan, keluhuran, dan
bahkan suatu kemuliaan.
Maria Farida (2013:18) berpendapat
tidak jauh berbeda dengan Jimly, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi
oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan
sekitarnya. Di dalam suatu masyarakat, banyak sekali macam-macam norma, seperti
norma adat, norma moral, norma agama dan norma hukum. Tentunya juga, berlakunya
suatu norma itu berdasarkan keadaan, kondisi dan daerahnya masing-masing. Di
Indonesia sendiri, norma-norma tersebut masih sangat dirasakan hingga saat ini.
Di Indonesia, tata susunan norma hukum secara berurutan mulai dari
Pancasila sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi
terbentuknya norma-norma hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 hingga sampai
kebawahnya. Demikan menurut tertulis dalam bukunya Maria Farida yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan dan dalam UU No.
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada pasal 2,
pasal 3 ayat (3) dan pasal pasal 7.
Landasan teori tersebut berdasarkan hasil buah pikir dari Hans Kelsen dan kemudian
banyak dikembangkan oleh muridnya, yaitu Hans Nawiasky. Dan teori-teori mereka
itulah yang hingga sampai saat ini banyak diadopsi di berbagai negara, tidak
terkecuali Indonesia.
Baca juga: Aristokrasi; Bentuk Negara Ideal Menurut Plato
Baca juga: Aristokrasi; Bentuk Negara Ideal Menurut Plato
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini,
alangkah lebih baiknya terlebih dahulu saya jelaskan tentang sistem norma
menurut Hans Kelsen, yang banyak saya kutip, baik secara langsung dan tidak
langsung, dari bukunya Maria Farida, muridnya Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi
(Bapak Ilmu Perundang-Undangan Indonesia). Buku Maria Farida dikembangkan dari
hasil kuliah gurunya ketika mengajar Ilmu Perundang-Undangan, yang buku
tersebut sampai hari ini masih relevan dan menjadi rujukan ketika membahasa
masalah IlmuPerundang-Undangan. Walaupun, menurut saya, perlu ada revisi di
berbagai pembahasan.
Sistem Norma
Menurut Hans Kelsen
Di dalam bukunya Hans Kelsen yang berjudul General Theory of Law And State, ia mengemukan adanya dua sistem
norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatics)
dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics).
Maria Farida (203: 20-21)
menjelaskan bahwa, sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sistem yang melihat pada isi suatu norma.
Menurut sistem norma ini, suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma
khusus, atau norma-norma khusus dapat ditarik dari suatu norma yang umum.
Sedangkan sistem norma yang dinamik (nomodynamics)
adalah merupakan sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau
dari cara pembentukannya dan juga penghapusannya.
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu susunan bentuk hierarki. Maksudnya, norma yang di bawah berlaku,
bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi
tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi.
Demikian seterusnya hingga sampai akhirnya regresus
ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi, yang kemudian disebut dengan grundnorm (Norma Dasar) yang tidak dapat
ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma Dasar ini
sering disebut dalam istilah asingnya adalah grundnorm, basic norm,
atau fundamental norm. Norma dasar
ini merupakan norma dasar yang tertinggi berlaku, bersumber dan dan tidak
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Norma dasar tertinggi ini berlaku
secara presupposed, maksudnya
ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Begitu juga dengan Norma Hukum menurut
Hans Kelsen, jika ditinjau dari dinamika norma hukum yang vertikal.
Lebih lanjutnya, Farida menjelaskan, dikatakan bahwa norma dasar itu
berlaku, tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi.
Alasannya, apabila norma dasar itu berlakunya masih bersumber dan berdasar pada
norma lain atau berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, maka norma tersebut
bukan merupakan norma dasar yang tertinggi.
Nah. Penjelasan singkat di atas jika dipahami secara mendalam dan mengakar,
kemudian mengkaitkannya sejarah mengapa Pancasila itu dijadikan Dasar Negara
dan dasar dari segala sumber hukum sebenarnya sudah dapat menjawab judul
tulisan ini.
Apakah
Pancasila Norma Dasar Tertinggi Dalam Sistem Norma Hukum Indonesia?
Jika kita perhatikan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, pada pasal 2 mengatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum. Dalam doktrin sarjana hukum Indonesia pun mengatakan
demikian, seperti yang dikatakan oleh Maria Farida yang telah kita jelaskan di
atas tadi. Dan selanjutnya dikatakan oleh Andryan (2017:30), Pancasila sebagai
dasar negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam
negara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum. Teori tersebut ia
katakan merujuk kepada sebagaimana yang tertuang dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966, jo. Tap MPR No. V/MPR/1973, jo. Tap MPR No. IX/MPR/1978.
Kembali kita kaitkan dengan teori norma dasar menurut Hans Kelsen, secara
singkatnya mengatakan ia bahwa norma dasar tertinggi itu tidak lagi ditemukan
dari mana sumber dan dasarnya, maka itulah yang norma dasar tertinggi.
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah Pancasila yang dikatakan
sebagai norma dasar tertinggi dalam sistem norma hukum di Indonesia tidak
bersumber dan berdasar lagi kepada norma dasar yang lebih tinggi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus kita ketahui sejarah
Pancasila itu ada dan ditetapkan sebagai dasar, sumber dan norma hukum
tertinggi di Indonesia. Jika kita lebih dalam masuk ke ranah historisnya,
penetapan Pancasila itu penuh dengan polemik atau perdebatan yang panjang oleh
para pendiri bangsa ini.
Tentunya kita mengetahui, sebelum adanya Pancasila, Piagam Jakarta (Jakarta Charter) lebih dahulu ada. Dan
kemudian terjadi perubahan isi pada poin pertama dengan menghapus tujuh kata; “Wajib menjalankan syari’at-syariat Islam
bagi pemeluknya.” Kemudian namanya berganti menjadi Pancasila. Pendapat dan
mungkin saya yang pertama adalah, bahwa Pancasila bersumber dari Piagam
Jakarta.
Yang kedua, jika kita kembali membaca pidatonya Soekarno terkait Pancasila,
karena ia menamainya dengan Pancasila dan mengambil namanya dari istilah bahasa
Hindu, tapi isinya dari Piagam Jakarta, lebih lanjut ia menyebutkan bahwa
Pancasila itu bersumber dari bangsa Indonesia.
Nah, di sini: “bersumber dari bangsa
Indonesia”, perlu maka dapat diketahui bahwa Pancasila itu masih berasal
dari sumber, yaitu bangsa Indonesia yang majemuk dan beragama ras, suku,
budaya, dan agama. Dari landasan berpikir ini, maka telah terbantahkan bahwa
Pancasila bukan norma dasar tertinggi dalam sistem hukum.
Baca juga: Bagaimana Cara Mencapai Kekuasaan Dalam Politik?
Baca juga: Bagaimana Cara Mencapai Kekuasaan Dalam Politik?
Selanjutnya, yang ketiga, jika Pancasila bersumber dari bangsa Indonesia,
seperti yang dikatakan oleh Soekarno, tentunya bangsa Indonesia sendiri
mempunyai ajaran, kepercayaan dan agama yang dipeluknya sehingga teraplikasi
dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Atau jika ditarik
lebih jauh lagi, ia sampai dan bersumber pada nilai-nilai kemasyarakatan pada
kerajaan-kerajaan terdahulu.
Kesimpulan
Maka dengan ketiga pendapat atau argumentasi saya tersebut. Maka, kita atau
mungkin lebih tepatnya saya, sampai pada titik kesimpulan bahwa Pancasila itu
bukan norma dasar tertinggi dalam sistem norma hukum di Indonesia, seperti
doktrin-doktrin yang kita terima saat ini.
Kiranya ada kajian yang lebih dalam lagi terkait hal ini. Menentukan norma
dasar tertinggi yang menjadi sumber dari segala hukum di Indonesia harus
betul-betul sesuai apa yang seharusnya menjadi kaedah yang betul-betul menuju
kepada kebenaran dan sumber hukum yang final. Karena apabila salah meletakkan
norma dasar tertinggi dalam suatu norma hukum, maka produk hukum yang
dihasilkan pun tidak akan mampu menjawab permasalahan yang ada. Perlu saya
tekankan bahwa, saya bukan tidak sepakat dengan Pancasila sebagai norma dasar,
akan tetapi ia hanya sebagian norma yang masih bersumber dan berdasar. Artinya
Pancasila bukan norma dasar tertinggi, dan Pancasila tidak dijadikan satu-satunya
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, seperti yang disebutkan dalam
pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dan juga seperti pendapat para sarjana hukum Indonesia.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan dan Mahasiswa Fakultas Hukum UISU Medan.
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment