Apakah Pancasila Norma Dasar Tertinggi Dalam Sistem Norma Hukum Indonesia? - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 28 November 2017

Apakah Pancasila Norma Dasar Tertinggi Dalam Sistem Norma Hukum Indonesia?


YakusaBlog- Perlu saya jelaskan terlebih dahulu mengapa tulisan yang berjudul “Apakah Pancasila Itu Norma Dasar Tinggi Dalam Sistem Norma Hukum Indonesia?” ini saya bahas. Tulisan ini hasil daripada analisis saya ketika tidak mendapat kepuasaan jawaban dari hasil diskusi di ruang kuliah. Ketika itu saya pertanyakan judul tulisan ini kepada seorang yang menurut saya salah satu Pakar Tatatanegara Indonesia di Sumatera Utara, Dekan Fakultas Hukum UISU Medan, Dr. Marzuki Lubis. Maksud saya, bukan jawabannya yang salah. Jawaban yang diberikan menurut saya masih terlalu normatif, sedangkan saya menginginkan jawaban yang tajam dan mengena ke dalam logika berpikir saya.
Berbicara tentang pengertian norma, Jimly Asshiddiqie (2014:49) menjelaskan, norma berasal dari bahasa Inggris: nomoi dan Yunani: nomoi atau nomos yang berarti hukum. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut qoidah (kaidah). Lebih lanjut ia berpendapat, norma atau kaidah itu merupakan suatu pelembagaan nilai-nilai yang diidealkan sebagai kebaikan, keluhuran, dan bahkan suatu kemuliaan.
 Maria Farida (2013:18) berpendapat tidak jauh berbeda dengan Jimly, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan sekitarnya. Di dalam suatu masyarakat, banyak sekali macam-macam norma, seperti norma adat, norma moral, norma agama dan norma hukum. Tentunya juga, berlakunya suatu norma itu berdasarkan keadaan, kondisi dan daerahnya masing-masing. Di Indonesia sendiri, norma-norma tersebut masih sangat dirasakan hingga saat ini.
Di Indonesia, tata susunan norma hukum secara berurutan mulai dari Pancasila sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 hingga sampai kebawahnya. Demikan menurut tertulis dalam bukunya Maria Farida yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan dan dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada pasal 2, pasal 3 ayat (3) dan pasal pasal 7.
Landasan teori tersebut berdasarkan hasil buah pikir dari Hans Kelsen dan kemudian banyak dikembangkan oleh muridnya, yaitu Hans Nawiasky. Dan teori-teori mereka itulah yang hingga sampai saat ini banyak diadopsi di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia.

Baca juga: Aristokrasi; Bentuk Negara Ideal Menurut Plato
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, alangkah lebih baiknya terlebih dahulu saya jelaskan tentang sistem norma menurut Hans Kelsen, yang banyak saya kutip, baik secara langsung dan tidak langsung, dari bukunya Maria Farida, muridnya Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi (Bapak Ilmu Perundang-Undangan Indonesia). Buku Maria Farida dikembangkan dari hasil kuliah gurunya ketika mengajar Ilmu Perundang-Undangan, yang buku tersebut sampai hari ini masih relevan dan menjadi rujukan ketika membahasa masalah IlmuPerundang-Undangan. Walaupun, menurut saya, perlu ada revisi di berbagai pembahasan.
Sistem Norma Menurut Hans Kelsen
Di dalam bukunya Hans Kelsen yang berjudul General Theory of Law And State, ia mengemukan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics).
 Maria Farida (203: 20-21) menjelaskan bahwa, sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sistem yang melihat pada isi suatu norma. Menurut sistem norma ini, suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Sedangkan sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah merupakan sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukannya dan juga penghapusannya.
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan bentuk hierarki. Maksudnya, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga sampai akhirnya regresus ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi, yang kemudian disebut dengan grundnorm (Norma Dasar) yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma Dasar ini sering disebut dalam istilah asingnya adalah grundnorm, basic norm, atau fundamental norm. Norma dasar ini merupakan norma dasar yang tertinggi berlaku, bersumber dan dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Norma dasar tertinggi ini berlaku secara presupposed, maksudnya ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Begitu juga dengan Norma Hukum menurut Hans Kelsen, jika ditinjau dari dinamika norma hukum yang vertikal.
Lebih lanjutnya, Farida menjelaskan, dikatakan bahwa norma dasar itu berlaku, tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Alasannya, apabila norma dasar itu berlakunya masih bersumber dan berdasar pada norma lain atau berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, maka norma tersebut bukan merupakan norma dasar yang tertinggi.
Nah. Penjelasan singkat di atas jika dipahami secara mendalam dan mengakar, kemudian mengkaitkannya sejarah mengapa Pancasila itu dijadikan Dasar Negara dan dasar dari segala sumber hukum sebenarnya sudah dapat menjawab judul tulisan ini.
Apakah Pancasila Norma Dasar Tertinggi Dalam Sistem Norma Hukum Indonesia?
Jika kita perhatikan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada pasal 2 mengatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Dalam doktrin sarjana hukum Indonesia pun mengatakan demikian, seperti yang dikatakan oleh Maria Farida yang telah kita jelaskan di atas tadi. Dan selanjutnya dikatakan oleh Andryan (2017:30), Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam negara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum. Teori tersebut ia katakan merujuk kepada sebagaimana yang tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, jo. Tap MPR No. V/MPR/1973, jo. Tap MPR No. IX/MPR/1978.
Kembali kita kaitkan dengan teori norma dasar menurut Hans Kelsen, secara singkatnya mengatakan ia bahwa norma dasar tertinggi itu tidak lagi ditemukan dari mana sumber dan dasarnya, maka itulah yang norma dasar tertinggi.
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah Pancasila yang dikatakan sebagai norma dasar tertinggi dalam sistem norma hukum di Indonesia tidak bersumber dan berdasar lagi kepada norma dasar yang lebih tinggi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus kita ketahui sejarah Pancasila itu ada dan ditetapkan sebagai dasar, sumber dan norma hukum tertinggi di Indonesia. Jika kita lebih dalam masuk ke ranah historisnya, penetapan Pancasila itu penuh dengan polemik atau perdebatan yang panjang oleh para pendiri bangsa ini.
Tentunya kita mengetahui, sebelum adanya Pancasila, Piagam Jakarta (Jakarta Charter) lebih dahulu ada. Dan kemudian terjadi perubahan isi pada poin pertama dengan menghapus tujuh kata; “Wajib menjalankan syari’at-syariat Islam bagi pemeluknya.” Kemudian namanya berganti menjadi Pancasila. Pendapat dan mungkin saya yang pertama adalah, bahwa Pancasila bersumber dari Piagam Jakarta.
Yang kedua, jika kita kembali membaca pidatonya Soekarno terkait Pancasila, karena ia menamainya dengan Pancasila dan mengambil namanya dari istilah bahasa Hindu, tapi isinya dari Piagam Jakarta, lebih lanjut ia menyebutkan bahwa Pancasila itu bersumber dari bangsa Indonesia.
Nah, di sini: “bersumber dari bangsa Indonesia”, perlu maka dapat diketahui bahwa Pancasila itu masih berasal dari sumber, yaitu bangsa Indonesia yang majemuk dan beragama ras, suku, budaya, dan agama. Dari landasan berpikir ini, maka telah terbantahkan bahwa Pancasila bukan norma dasar tertinggi dalam sistem hukum.

Baca juga: Bagaimana Cara Mencapai Kekuasaan Dalam Politik?
Selanjutnya, yang ketiga, jika Pancasila bersumber dari bangsa Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Soekarno, tentunya bangsa Indonesia sendiri mempunyai ajaran, kepercayaan dan agama yang dipeluknya sehingga teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Atau jika ditarik lebih jauh lagi, ia sampai dan bersumber pada nilai-nilai kemasyarakatan pada kerajaan-kerajaan terdahulu.
Kesimpulan
Maka dengan ketiga pendapat atau argumentasi saya tersebut. Maka, kita atau mungkin lebih tepatnya saya, sampai pada titik kesimpulan bahwa Pancasila itu bukan norma dasar tertinggi dalam sistem norma hukum di Indonesia, seperti doktrin-doktrin yang kita terima saat ini.
Kiranya ada kajian yang lebih dalam lagi terkait hal ini. Menentukan norma dasar tertinggi yang menjadi sumber dari segala hukum di Indonesia harus betul-betul sesuai apa yang seharusnya menjadi kaedah yang betul-betul menuju kepada kebenaran dan sumber hukum yang final. Karena apabila salah meletakkan norma dasar tertinggi dalam suatu norma hukum, maka produk hukum yang dihasilkan pun tidak akan mampu menjawab permasalahan yang ada. Perlu saya tekankan bahwa, saya bukan tidak sepakat dengan Pancasila sebagai norma dasar, akan tetapi ia hanya sebagian norma yang masih bersumber dan berdasar. Artinya Pancasila bukan norma dasar tertinggi, dan Pancasila tidak dijadikan satu-satunya sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, seperti yang disebutkan dalam pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan juga seperti pendapat para sarjana hukum Indonesia.[]

Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan dan Mahasiswa Fakultas Hukum UISU Medan.

Sumber gbr: https://www.deviantart.com/

No comments:

Post a Comment