YakusaBlog- Jika kita bertanya kepada seorang mahasiswa
Muslim yang baru bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), “mengapa Anda
bergabung di HMI dan apa tujuan Anda ber-HMI?” Banyak sekali di antara mereka
menjawab, “Saya ingin berorganisasi”, “Saya ingin mencari pengalaman di HMI”, “Saya
ingin mencari teman di HMI”, “Saya ingin belajar di HMI”, dan “Saya ingin
menambah wawasan di HMI”. Demikianlah berbagai jawaban yang penulis dapatkan
dari mereka, ketika saya mewawancarai mereka pada saat test interview mengikuti Latihan Kader I (Basic Training) di HMI Cabang Medan. Tidak menutup kemungkinan,
jawaban itu juga banyak kita dapatkan di HMI Cabang se-Indonesia.
Tentunya kita sendiri pun pernah mengatakan salah
satu jawaban-jawaban yang kita sebutkan tadi. Tujuan-tujuan yang privat
tersebut tidaklah salah. Setiap mahasiswa Islam yang bergabung dengan HMI
berhak untuk mengatakan demikian. Di HMI itu sendiri ada dua tujuan, yang
pertama tujuan pribadi seorang kader HMI dan tujuan HMI itu sendiri. Tujuan itu
juga bagian daripada motivasi untuk ber-HMI.
Nah, setelah dinyatakan sah menjadi anggota HMI,
baik sebagai anggota muda (pasca Maperca) dan sebagai anggota biasa (pasca LK
I), dalam praktiknya pun tujuan pribadi tersebut mulai menurun. Motivasi ingin
belajar dan mencari wawasan di HMI mulai menurun, bahkan tidak jarang banyak kader-kader
HMI “melarikan diri” setelah menjadi pengurus HMI di setiap tingkatan. Demikianlah
merupakan kita sebut sebagai masalah, di mana antara das sollen (apa yang diharapkan) dengan das sein (apa yang terjadi) tidak berbanding lurus.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut penulis hal
ini terjadi karena penyampaian orientasi
ber-HMI belum maksimal dan situasi kondisi (budaya) organisasi HMI itu sendiri.
Maksud penyampaian orientasi ber-HMI
yang kurang maksimal maksud, tidak bisa memadukan tujuan HMI dengan tujuan
privat tersebut, sehingga terjadi tujuan yang tidak berbanding lurus. Artinya,
muncul tujuan-tujuan “gelap” di HMI, hal itu tercerminkan dalam watak, pola pikir
dan pola laku seorang anggota HMI.
Sedangkan, situasi kondisi (budaya) di HMI
sendiri maksudnya, kultur yang dibangun dalam lingkungan HMI tidak lagi seperti
awal berdirinya HMI, atau kultur pada saat masa-masa kejayaan HMI. Kultur intelektual
dan solidaritas di HMI mulai berkurang saat ini. Hal ini dibuktikan dengan
terbentuknya kelompok-kelompok dekonsturktif di dalam tubuh HMI itu sendiri. HMI
terkesan hanya seperti organisasi komunitas, hanya tempat berkumpul biasa saja.
Budaya intelektual di HMI mulai terkikis ditelan budaya hedonis dan budaya
apatis.
Perlu kita sadari bahwa, HMI didirikan oleh
Lafran Pane dan kawan-kawan (1947) merupakan perjalanan historis yang sangat
panjang hingga terbentuknya. Tujuan-tujuan pun demikian. HMI ada bukan sekedar
organisasi biasa saja, bukan wadah berkumpul para mahasiswa Islam tanpa tujuan
yang jelas. HMI dibentuk bukan untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan
golongan. Tapi, HMI didirikan merupakan suatu wadah perjuangan dalam membentuk
karakter mahasiswa Islam di Indonesia sehingga mampu menjawab tantangan zaman
dalam rangka mewujudkan masyarakat madani, semata-mata mengharap ridho dari
Allah Swt.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
dari HMI sangat diharapkan oleh bangsa dan negara Republik Indonesia. Demikian yang
sudah dibuktikan oleh kader-kader HMI angkatan pertama hingga awal-awal
reformasi, di mana mereka dapat mengisi segala lini masyarakat Indonesia. Kita pun
masih merasakan peran mereka hingga saat ini.
Nah, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana
dengan kader-kader HMI saat ini? Mampukah kita mengikuti jejak mulia yang
mereka (alumni HMI) lakukan? Apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi
tantangan zaman yang akan datang ketika sudah terjun langsung di dunia nyata
(masyarakat)? Sudahkah kita mempersiapkan kualitas intelektual kita? Sudah kita
mempertebal benteng keimanan kita, di mana saat ini kita berada dalam lingkaran
sekularisme, liberalisme, materialisme, komunisme dan kapitalisme?
Maka dari itu, untuk setiap anggota HMI harus
meningkatkan kesadarannya. Meningkatkan kualitas intelektual (keilmuan) dan
keimanannya (tauhid). Setiap anggota harus meningkatkan akhlakul karimah dan ukhuwah
islamiyah (amal shaleh). Bergabung dengan suatu organisasi, bukan sekedar
berorganisasi. Bukan sekedar ngumpul-ngumpul tanpa tujuan yang jelas dan tanpa
tujuan yang membangun (konstruktif). Begitu pula di HMI, bergabung dengan HMI
bukan sekedar ber-HMI.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan
Baca juga:
No comments:
Post a Comment