YakusaBlog-Sebagai
alat analisis, Konsep Gender merupakan pencapaian terbesar Studi gerakan
Perempuan. Dimana dalam konsep ini, Perempuan dan laki-laki ditinjau dari
bangunan Budaya (gender) bukan deskripsi biologis. Gagasan karunia Biologis
seperti melahirkan dan bertanggungjawab untuk merawat, mengawasi dan mengurus
rumah tangga, hampir tidak pernah menjadi sorotan kritis gerakan perempuan Indonesia
(1980-an). Melainkan hak, kewajiban dan peran sosial perempuan dan laki-laki yang
tidak berimbanglah yang menjadi urgensi pembahasan organisasi perempuan. DiIndonesia
ketika itu mempunyai definisi tersendiri terkait apa yang diharapkan dari
perilaku perempuan. Norma ini yang kemudian dikonstruksi sebagai rumusan
perempuan secara kodrati dengan Agama
sebagai simbolisasi keabsahan.
Kodrat
Perempuan dideskripsikan sedemikian rupa dan
bersemayam dalam adat tradisional Priayi Jawa. Keberadaannya merenggut
hak perempuan Indonesia kala itu. Perempuan Proletar lebih bebas menyampaikan
aspirasi dilingkungannya ketimbang perempuan priyayi dalam struktur social dan
ekonomi mereka sendiri. Hal ini diutarakan Oleh Sriati Mangoenkoesomo istri
dari Pendiri Budi Utomo pada ulangtahun
Budi Utomo tahun 1918 . Ia melakukan perbandingan terkait pembagian tugas dan
penilaian suami terhadap istrinya antara kalangan perempuan dan laki-laki tani
dengan kaum bangsawan. Dalam pergaulan masyarakat tani, Istri masih diposisikan
sebagai sosok kawan bertukar pikiran dan partner kerja. Namun dalam Struktur
social masyarakat ningrat, istri hanyalah seorang penguasa ruang domestik yang
hampir tak diperbolehkan melangkah ke ruang publik.
Eksistensi
perempuan yang diramu sedemikian rupa sehingga menjadi “kodrat wanita” mendapat
tantangan keras selama orde lama. Gerakan Perempuan Indonesia menyatakan
perlawanan terhadap anggapan bahwa perempuan harus menjadi pelayan laki-laki
dengan kepatuhan tanpa jeda. Jauh sebelum itu, Raden Ajeng kartini telah
mempertanyakan haknya atas pendidikan
dan ketimpangan poligami yang menimpa perempuan jawa termasuk dirinya. Kaum
perempuan priayi tidak punya hak kritik atas perlakuan sepihak tersebut. Hal
itu dituliskan dalam suratnya tertanggal 14 juli 1903.
Gerakan Perempuan; Antara Harapan dan
Kenyataan
Problematika
perempuan baik dalam bidang pendidikan maupun perkawinan telah menjadi titik
primer perjuangan gerakan perempuan Indonesia. Dimulai dari terbentuknya
Organisasi perempuan Pertama Poetri Mardika pada tahun 1912, yang menjadikan permasalahan
pendidikan, pemberdayaan dan upah buruh perempuan menjadi tujuan organisasi.
Hal ini menjadi pemantik hadirnya Organisasi Perempuan Indonesia Lainnya. Spirit
memperjuangkan hak-hak perempuan itulah, yang mempertemukan mereka dalam
Kongres Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta tahun 1928. Mereka terajut
dalam satu kesatuan organisasi bernama Persatuan Perempuan Istri Indonesia
(PPII) . Masalah-masalah perempuan pada umumnya menjadi central pembahasan
dalam kongres ini. Mulai dari pendidikan perempuan, nasib anak yatim dan janda,
perkawinan dini, dan reformasi aturan perkawinan dalam agama islam. Walaupun
terjadi ketegangan antara kelompok sekuler dan Kristen disatu pihak dengan
kelompok Islam perihal reformasi aturan perkawinan, namun wacana ini tidak
pernah luput dari pembahasan sampai Kongres ke empat PPII. Aturan perkawinan
yang diusulkan kaum perempuan tak pernah mendapat respon baik dari pemerintahan
kolonial Belanda. Hingga pada tahun 1937 pemerintah Kolonial mulai menyusun
Rancangan Undang-undang Perkawinan modern sebagai pereda ketegangangan antara
pemerintah dan Organisasi perempuan Indonesia. Namun hal itu hanya sebatas
Rancangan yang tak berkelanjutan.
Perjuangan
Perempuan Indonesia tidak berhenti sampai disitu. Didirikanlah Badan
Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP) yang diketuai oleh
Maria Ulfa untuk mengawal terbitnya aturan tersebut. Tahun 1946, Pemerintah
Republik Indonesia mengatur pendaftaran perkawinan serta larangan perkawinan
anak-anak. Namun peraturan ini dianggap tidak memberikan sumbangsi signifikan
terhadap kondisi yang ada, sehingga gerakan perempuan menuntut peraturan
perkawinan yang lebih universal. Desakan itu dibuat oleh Front Perempuan di
DPR.
Kedudukan Perempuan Dalam Hukum
Pasca
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Persamaan kedudukan perempuan dan
laki-laki sebagai warga Negara diaminkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal
itu ditegaskan dalam penggalan pasal 27 ayat (1), “segala warga Negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan…………….” Dilanjutkan dengan
hak atas pekerjaan yang layak (pasal 27 ayat 2), kemerdekaan memeluk agama
(pasal 29 ayat 2), dsb. Legalitas persamaan Hak dan kedudukan ini, sedikit
banyak menggugurkan dogma usang yang mengakar pada struktur masyarakat kita. Perempuan
mempunyai hak untuk berperan dalam ruang public dan menjadi partner laki-laki.
Hal itu menjadi batu Loncatan bagi perempuan Indonesia untuk melanjutkan
perjuangan menuntut hak perlindungan dalam konteks perkawinan. Dan pada tahun
1974, hubungan Privat antara laki-laki dan perempuan itu, mendapat angin segar pasca
diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perempuan; Kewajiban Sebagai Ibu, Istri
dan Hak Untuk Terlindungi
Sinergi
antara perempuan dan laki-laki dalam konteks keluarga, dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam undang –undang ini
dijelaskan hak dan kedudukan istri dalam rumahtangga dan pergaulan masyarakat
adalah seimbang. Suami Wajib melindungi
dan memberikan segala keperluan hidup sesuai dengan kemampuannya, diimbangi
dengan kewajiban istri untuk mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya. Jika
dalam mengemban amanah salahsatunya lalai, maka Negara memberikan hak untuk
mengajukan gugatan dengan memenuhi syarat yang telah termaktub dalam
undang-undang perkawinan.
Organisasi Perempuan; Untuk Ibu
Indonesia
Hadirnya
undang-undang ini, sedikit banyak memberikan ketenangan bagi kaum perempuan.
Setidaknya suami-suami mereka tidak dengan gampangnya melakukan pergundikan, poligami
tanpa syarat serta konflik lahir maupun batin lainnya. Perubahan status social
dari pelayan menjadi teman hidup agaknya sedikit melegakan. Walau dalam
Praksisnya perlakuan seperti ini masih ada disekitar kita.
Mengingat
begitu banyaknya angka tahun yang harus dilewati oleh gerakan perempuan
Indonesia dalam memperjuangkan hak untuk terlindungi dalam konteks perkawinan,
maka sudah sepantasnya Organisasi perempuan yang bergerak dibidang perlindungan
perempuan turut ambil andil dalam mensosialisasikan amanat undang-undang Nomor
1 tahun 1974 yang mulai meredup, serta melakukan advokasi pada kasus-kasus
terkait yang kini marak terjadi.[]
Sumber: Hellwig, tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Penulis: Egarianti Nuh
KOHATI Cabang Makassar
____________________________________________________________________________________________________________
*Kirim tulisan teman-teman ke YakusaBlog. Alamat email:yakusablog@gmail.com (tulisan dalam file Microsoft Word dengan maksimal 800 kata).
Pesan kami: Perbanyaklah membaca dan menulis. Serta pegang teguhlah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. (YakusaBlog)
No comments:
Post a Comment