Gerakan Perempuan dan Spirit Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 27 August 2017

Gerakan Perempuan dan Spirit Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974


YakusaBlog-Sebagai alat analisis, Konsep Gender merupakan pencapaian terbesar Studi gerakan Perempuan. Dimana dalam konsep ini, Perempuan dan laki-laki ditinjau dari bangunan Budaya (gender) bukan deskripsi biologis. Gagasan karunia Biologis seperti melahirkan dan bertanggungjawab untuk merawat, mengawasi dan mengurus rumah tangga, hampir tidak pernah menjadi sorotan kritis gerakan perempuan Indonesia (1980-an). Melainkan hak, kewajiban dan peran sosial perempuan dan laki-laki yang tidak berimbanglah yang menjadi urgensi pembahasan organisasi perempuan. DiIndonesia ketika itu mempunyai definisi tersendiri terkait apa yang diharapkan dari perilaku perempuan. Norma ini yang kemudian dikonstruksi sebagai rumusan perempuan secara kodrati dengan  Agama sebagai simbolisasi keabsahan.

Kodrat Perempuan dideskripsikan sedemikian rupa dan  bersemayam dalam adat tradisional Priayi Jawa. Keberadaannya merenggut hak perempuan Indonesia kala itu. Perempuan Proletar lebih bebas menyampaikan aspirasi dilingkungannya ketimbang perempuan priyayi dalam struktur social dan ekonomi mereka sendiri. Hal ini diutarakan Oleh Sriati Mangoenkoesomo istri dari Pendiri Budi Utomo  pada ulangtahun Budi Utomo tahun 1918 . Ia melakukan perbandingan terkait pembagian tugas dan penilaian suami terhadap istrinya antara kalangan perempuan dan laki-laki tani dengan kaum bangsawan. Dalam pergaulan masyarakat tani, Istri masih diposisikan sebagai sosok kawan bertukar pikiran dan partner kerja. Namun dalam Struktur social masyarakat ningrat, istri hanyalah seorang penguasa ruang domestik yang hampir tak diperbolehkan melangkah ke ruang publik.

Eksistensi perempuan yang diramu sedemikian rupa sehingga menjadi “kodrat wanita” mendapat tantangan keras selama orde lama. Gerakan Perempuan Indonesia menyatakan perlawanan terhadap anggapan bahwa perempuan harus menjadi pelayan laki-laki dengan kepatuhan tanpa jeda. Jauh sebelum itu, Raden Ajeng kartini telah mempertanyakan haknya  atas pendidikan dan ketimpangan poligami yang menimpa perempuan jawa termasuk dirinya. Kaum perempuan priayi tidak punya hak kritik atas perlakuan sepihak tersebut. Hal itu dituliskan dalam suratnya tertanggal 14 juli 1903.

Gerakan Perempuan; Antara Harapan dan Kenyataan

Problematika perempuan baik dalam bidang pendidikan maupun perkawinan telah menjadi titik primer perjuangan gerakan perempuan Indonesia. Dimulai dari terbentuknya Organisasi perempuan Pertama Poetri Mardika pada tahun 1912, yang menjadikan permasalahan pendidikan, pemberdayaan dan upah buruh perempuan menjadi tujuan organisasi. Hal ini menjadi pemantik hadirnya Organisasi Perempuan Indonesia Lainnya. Spirit memperjuangkan hak-hak perempuan itulah, yang mempertemukan mereka dalam Kongres Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta tahun 1928. Mereka terajut dalam satu kesatuan organisasi bernama Persatuan Perempuan Istri Indonesia (PPII) . Masalah-masalah perempuan pada umumnya menjadi central pembahasan dalam kongres ini. Mulai dari pendidikan perempuan, nasib anak yatim dan janda, perkawinan dini, dan reformasi aturan perkawinan dalam agama islam. Walaupun terjadi ketegangan antara kelompok sekuler dan Kristen disatu pihak dengan kelompok Islam perihal reformasi aturan perkawinan, namun wacana ini tidak pernah luput dari pembahasan sampai Kongres ke empat PPII. Aturan perkawinan yang diusulkan kaum perempuan tak pernah mendapat respon baik dari pemerintahan kolonial Belanda. Hingga pada tahun 1937 pemerintah Kolonial mulai menyusun Rancangan Undang-undang Perkawinan modern sebagai pereda ketegangangan antara pemerintah dan Organisasi perempuan Indonesia. Namun hal itu hanya sebatas Rancangan yang tak berkelanjutan.

Perjuangan Perempuan Indonesia tidak berhenti sampai disitu. Didirikanlah Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP) yang diketuai oleh Maria Ulfa untuk mengawal terbitnya aturan tersebut. Tahun 1946, Pemerintah Republik Indonesia mengatur pendaftaran perkawinan serta larangan perkawinan anak-anak. Namun peraturan ini dianggap tidak memberikan sumbangsi signifikan terhadap kondisi yang ada, sehingga gerakan perempuan menuntut peraturan perkawinan yang lebih universal. Desakan itu dibuat oleh Front Perempuan di DPR.

Kedudukan Perempuan Dalam Hukum

Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki sebagai warga Negara diaminkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan dalam penggalan pasal 27 ayat (1), “segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan…………….” Dilanjutkan dengan hak atas pekerjaan yang layak (pasal 27 ayat 2), kemerdekaan memeluk agama (pasal 29 ayat 2), dsb. Legalitas persamaan Hak dan kedudukan ini, sedikit banyak menggugurkan dogma usang yang mengakar pada struktur masyarakat kita. Perempuan mempunyai hak untuk berperan dalam ruang public dan menjadi partner laki-laki. Hal itu menjadi batu Loncatan bagi perempuan Indonesia untuk melanjutkan perjuangan menuntut hak perlindungan dalam konteks perkawinan. Dan pada tahun 1974, hubungan Privat antara laki-laki dan perempuan  itu, mendapat angin segar pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perempuan; Kewajiban Sebagai Ibu, Istri dan Hak Untuk Terlindungi

Sinergi antara perempuan dan laki-laki dalam konteks keluarga, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam undang –undang ini dijelaskan hak dan kedudukan istri dalam rumahtangga dan pergaulan masyarakat adalah seimbang. Suami Wajib melindungi dan memberikan segala keperluan hidup sesuai dengan kemampuannya, diimbangi dengan kewajiban istri untuk mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya. Jika dalam mengemban amanah salahsatunya lalai, maka Negara memberikan hak untuk mengajukan gugatan dengan memenuhi syarat yang telah termaktub dalam undang-undang perkawinan.

Organisasi Perempuan; Untuk Ibu Indonesia

Hadirnya undang-undang ini, sedikit banyak memberikan ketenangan bagi kaum perempuan. Setidaknya suami-suami mereka tidak dengan gampangnya melakukan pergundikan, poligami tanpa syarat serta konflik lahir maupun batin lainnya. Perubahan status social dari pelayan menjadi teman hidup agaknya sedikit melegakan. Walau dalam Praksisnya perlakuan seperti ini masih ada disekitar kita.

Mengingat begitu banyaknya angka tahun yang harus dilewati oleh gerakan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak untuk terlindungi dalam konteks perkawinan, maka sudah sepantasnya Organisasi perempuan yang bergerak dibidang perlindungan perempuan turut ambil andil dalam mensosialisasikan amanat undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mulai meredup, serta melakukan advokasi pada kasus-kasus terkait yang kini marak terjadi.[]

Sumber: Hellwig, tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Penulis: Egarianti Nuh
KOHATI Cabang Makassar

____________________________________________________________________________________________________________
*Kirim tulisan teman-teman ke YakusaBlogAlamat email:yakusablog@gmail.com (tulisan dalam file Microsoft Word dengan maksimal 800 kata).

Pesan kami: Perbanyaklah membaca dan menulis. Serta pegang teguhlah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. (YakusaBlog)

No comments:

Post a Comment