Sejarah Perjuangan HMI - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Monday 29 May 2017

Sejarah Perjuangan HMI


A.  Latar Belakang Berdirinya HMI
I.  Kondisi Islam Di Dunia (Secara Internasional)
Kondisi umat Islam dunia pada saat menjelang kelahiran HMI dapat dikatakan ketinggalan dibandingkan masyarakat Eropa dengan Reinasance-nya. Hal ini dapat dilihat dari penguasaan teknologi maupun pengetahuan, bahkan sebagian besar umat Islam berada di bawah ketiak penindasan neokolim barat yang notabene dimotori oleh kelompok penguasa-penguasa di Barat yang tidak menginginkan perkembangan umat Islam. Pada saat ini, mayoritas umat Islam tidak memahami ajaran Islam secara komprehensif, umat Islam pada masa ini hanya berkutat seputar ubudiyah atau ritual semata tanpa memahami bahwa ajaran Islam adalah ajaran paripurna yang tidak hanya mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, namun lebih jauh daripada itu, menderivasikan hubungan transenden ke dalam seluruh aspek kehidupan.

Berangkat dari pemahaman ajaran Islam yang kurang, umat berada dalam keterbelakangan dan fenomena ini terjadi dapat dikatakan di seluruh dunia. Hal tersebut mengakibatkan terpuruknya umat Islam yang dijanjikan Allah untuk dipusakai alam semesta. Lebih ironis lagi ketika umat terbagi menjadi berbagai golongan yang hanya berangkat dari masalah Khilafiyah (pertentangan perebutan kekuasaan), yang berdampak melemahnya umat Islam.

Pada pendapat lain, barbagai argumentasi telah diungkapkan sebab-sebab kemunduruan umat Islam. Ada beberapa pendapat yang mengatakan salah satunya adalah umat Islam mengalami kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Sebab dari itu adalah umat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu Islam yang pernah menguasai dunia (history).
(Buku ini dapat Kawan-kawan miliki. Klik Disini)


Akibat dari keterbelakangan umat Islam, maka muncullah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut “Gerakan Pembaharuan”. Gerakan pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran agama Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana kelompok ini menyadari bahwa agama Islam bukan hanya sekedar ritual atau terbatas pada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran gerakan pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dengan timbulnya ide pembaharuan tersebut, maka gerakan pembaharuan di dunia Islam bermunculan, gerakan-gerakan pembaharuan seperti di negeri Turki pada tahun 1720, Mesir pada tahun 1807. Dalam gerakan-gerakan pembaharuan Islam lahirlah tokoh-tokoh pembaharu seperti Rifaah Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia pada tahun 1703-1787, Sayyin Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan masih banyak tokoh-tokoh pembaharu lainnya.


II.  Kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pada tahun 1596, Cornelis de Hotman mendarat di Banten, dari sejak itulah Inonesia dijajah oleh Belanda. Penjajahan Belanda terhadap Indonesia (dahulu Nusantara) selama ± 350 tahun atau sama dengan 3,5 abad. Dalam penjajahan yang dilakukan Belanda tersebut telah membawa perubahan atau misinya, yaitu : a). Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya, b). Misi memasukkan agama Kristiani, c). Merubah hukum yang ada dan menanamkan hukum Belanda, d). Menanamkan peradaban dan kebudayaan Barat dengan ciri sekularisme dan liberalisme.

Sedangkan kondisi keagamaannya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan kondisi umat Islam internasional. Di Indonesia, umat Islamnya berada dalam cengkraman neokolim Barat. Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan dengan tidak adil, pihak penjajah hanya menguntungkan diri mereka sendiri dan rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.

Akan tetapi masyarakat Indonesia (mayoritas umat Islam) tidak tinggal diam, setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT, maka rakyat Indonesia berhasil mengusir para penjajah dari Indonesia dan Ir. Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan itu rakyat dinyatakan merdeka dan berdaulat.

III.  Kondisi Mikrobiologis Umat Islam Di Indonesia

Kondisi umat Islam Indonesia sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
a).  Sebagian besar ada golongat umat Islam di Indonesia menjadikan ajaran agama Islam hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian dan serta kelahiran.
b).  Golongan Alim Ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran agama Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammaad saw. beserta adat-adat dari Arab itu sendiri. Terkadang adat Arab yang tidak sesuai dengan di Indonesia, dan menganggap derajat orang Arab lebih tinggi dari derajat bangsa lain.
c).  Golongan Alim Ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja, dan menganggap kemiskinan dan penderitaan adalah salah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
d).  Golongan Kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Golongan ini berusaha supaya ajaran agama Islam itu benar-benar dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.

IV.  Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam Di Indonesia

Perguruan Tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan menghasilkan para pemimpin untuk masa yang akan datang. Selain itu, Perguruan Tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan itu diharapkan menuju tatanan yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan tinggi maka banyak golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan golongan tersebut.

Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai perguruan tinggi dan dunia mahasiswa pada masa itu, antara lain : a). Sistem yang diterapkan khususnya di perguruan tinggi adalah sistem pendidikan Barat yang mengarah pada sekularisme dan dapat menyebabkan dangkalnya pemahaman agama atau aqidah dalam kehidupan mahasiswa, b). Adanya organisasi kemahasiswaan yang berhaluan  sekularisme dan sosialis-komunis, hal ini menyebabkan aspirasi Islam dan umat Islam kurang terakomodir. Seperi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta. Bergabungnya dua paham ini (sekularisme dan komunisme) melanda perguruan tinggi dan kemahasiswaan menyebabkan timbulnya “krisis keseimbangan” yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.

Faktor-faktor tersebut adalah suatu ancaman yang sangat serius karena menyebabkan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta keberadaan agama Islam pada umatnya. Mahasiswa Islam kurang memiliki ruang gerak karena berada dalam sistem yang sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, dan harus menghadapi tantangan dari mahasiswa komunis yang sangat bertentangan dengan fikrah manusia dan bertentangan pula dengan ajaran agama Islam. Jelas sudah bahwa mahasiswa Islam sangat sulit untuk bergerak memperjuangakan aspirasi/dakwah Islam.

B.  Beridirinya Himpunan Mahasiswa Islam

“Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mulabuka lahirnya HMI kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya.” (Media, No. 7. Th. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957 h. 32)

Dengan ungkapan ini jelaslah hubungan Lafran Pane dengan HMI tidak bisa dipisahkan. Latar belakang pemikiran Lafran Pane untuk mendirikan HMI, adalah juga identik dengan latar belakang muncul pemikiran HMI. Dengan demikian memahami pemikiran Lafran Pane, akan senantiasa terdapat proses komunikasi dan ekspresi dengan lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya.

Sesuai dengan konteksnya, latar belakang munculnya pemikiran HMI adalah :
1.    Penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan.
2.    Kesenjangan dan kejumudan umat Islam dalam pengetahuan, pemahaman dan penghayatan serta pengamalan ajaran-ajaran Islam.
3.    Kebutuhan akan pemahaman, penghayatan keagamaan.
4.    Munculnya polarisasi politik.
5.    Perkembangan paham dan ajaran komunisme dikalangan masyarakat dan Mahasiswa.
6.    Kedudukan Perguruan Tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis.
7.    Kemajemukan bangsa Indonesia.
8.    Tuntutan modernisasi dan tantangan masa depan.

Menanggapi realitas historis dan berbagai persoalan dan juga perkembangan yang mengikutinya, tampillah Lafran Pane seorang mahasiswa yang sejak menjadi mahasiswa aktif mengamati dan memikirkan secara seksama perkembangan sosial, politik, dan budaya di tanah air, mengangkat kedelapan faktor di atas menjadi semangat spiritual, idealisme ini diangkat menjadi suatu yang empiris dan pemikiran yang memiliki daya dukung konstruktif, guna merespon berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat itu.

Setelah berulang kali mencoba mengadakan pembicaraan/diskusi yang selalu gagal karena mendapatkan penentangan dari beberapa organisasi mahasiswa lain. Akhirnya pada hari Rabu Pon 1878 (tahun jepang), tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan pada tanggal 5 Februari 1947 M secara resmi didirikan dan dideklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, yaitu : Karnoto Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah  (isteri Dahlan Husein), Maisaroh Hilal (cucunya KH. Ahmad Dahlan), Soewali, Yusdi Gozali (pendiri PII), M. Anwar. Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Zulkarnaen dan Mansyur.

Pada awal pembentukan, Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai tujuan, yaitu :
1).  Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2).  Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

C.  Sekilas Sosok Lafran Pane
Berdasarkan penelusuran dan penelitian sejarah, maka Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsa berdirinya HMI, dan disebut pendiri HMI.

Lafran Pane adalah anak keenam dari Sutan Pangurabaan Pane. Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan 5 Februari 1922. Dua tahun setelah si anak bungsu lahir ibunya meninggal dunia. Dambaan belaian kasih sayang dari ibu tidak pernah diperoleh apalagi dari ibu kandung. Duka dan penderitaan selalu diperoleh menyertai sepanjang kehidupan Lafran Pane. Pendidikan Lafran Pane menunjukkan tidak ada garis lurus menjurus (normal). Hal ini dikarenakan situasi kondisi penjajahan, perpindahan tempat karena mengikuti orang tua saat bertugas/bekerja. Pendidikan Lafran Pane, diawali di Pesantren Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. A. Dahlan di kampung Setia dekat desa Parsorminan-Sipirok). Dari Pesantren masuk sekolah desa 3 tahun. Lantas ke HIS Muhammadiyah di Sibolga, kembali ke Sipirok.

Masuk Ibtidaiyah diteruskan ke Wusto. Tidak bertahan lama di Wusto, lalu pindah ke Taman Antara Taman Siswa Sipirok, kemudian pindah kesekolah yang sama di Medan. Di tanah Deli kehidupannya semakin merosot. Belum tamat dari Taman Antara Taman Siswa lantas dikeluarkan, dan meninggalkan rumah kakaknya Ny.dr. Tarip. Lafran menjadi petualang sepanjang jalanan di kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan. Tidur tidak menentu, kadang-kadang sudah menggeletak di kaki lima, emper-emper toko. Untuk menyambung hidup, Lafran Pane menjual karcis bioskop, main kartu dan menjual es lilin.

Pada tahun 1937, Lafran Pane dibawa abangnya ke Jakarta. Di bawah asuhan abangnya, Sanusi Pane dan Armen Pane, di Jakarta Lafran Pane memasuki HIS lantas ke MULO Muhammadiyah, seterusnya masuk ke AMS Muhammadiyah. Dari pendidikan Muhammadiyah pindah ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II tahun 1941. Di semua sekolah tersebut, Lafran Pane adalah murid cerdas, walau bandalnya luar biasa. Ketika sekolah di Taman Dewasa Raya Jakarta, Lafran Pane bertemu dengan Djakfar Nawasi (DN), kemudian berganti nama menjadi Dipo Nusantara (DN) Aidit, yang menjadi ketua CC PKI. Lima tahun kemudian tahun 1942 Lafran Pane pulang ketempat kelahirannya Kota Salak Padang Sidempuan sebagai pokrol.

Di Padang Sidempuan, Lafran Pane difitnah, dituduh, memberontak kepada Jepang dan dituntut hukuman mati. Berkat pengaruh dan wibawa ayahnya, Lafran tidak jadi dihukum mati. Kasus fitnah yang menerpa dirinya tidak membuatnya lemah dan menyerah. Perantauan kedua ke Batavia tahun 1943 terjadi. Sejak meninggalkan tanah kelahiran dan pengembaraan itu, Lafran Pane mengalami proses kejiwaan yang radikal. Insan kamilnya mulai tergugah, lalu mencari apa sebenarnya hakikat hidup ini. Lafran menyadari pentingnya kembali kedasar keyakinan. Untuk itu ia sering merenung dan tafakkur. Dasar pendidikan agama yang diperolehnya di Pesantren Muhammadiyah Sipirok, asuhan dan didikan agama serta jiwa nasionalisme dari ayahnya, serta realitas masyarakat Sipirok dan Padang Sidempuan yang taat melaksanakan agama Islam, menyebabkan Lafran Pane kembali menemukan jati dirinya menjadi seorang muslim yang teguh, senantiasa melandasi hidupnya.

Pada Bulan Desember 1945, Lafran Pane pindah ke Yogyakarta, tidak lama berselang, 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Presiden hijrah ke Yogyakarta, yang kemudian menjadi Ibukota Republik Indonesia. Ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) yang didirikan di Jakarta 8 Juli 1945 pindah ke Yogyakarta, Lafran Pane mendaftar sebagai mahasiswa STI (sekarang UII). Di Perguruan Tinggi ini pelajaran dan pendidikan agama Islam kini diperolehnya lebih intensif dari dosen STI seperti Abdul Kahar Muzakkir, Husein Yahya, H.M. Rasyidi dan guru-guru lainnya.

Selain menerima pelajaran agama Islam di bangku kuliah, juga diperolehnya secara otodidak. Apa yang direnungkannya menjelang masa kesadarannya, kini telah didapatkannya dengan pengamatan dan penyelidikannya sendiri. Keyakinan bertambah, memiliki pendirian semakin teguh. Islamlah satu-satunya pedoman hidup yang sempurna, karena Islam menjadikan manusia sejahtera dan selamat di dunia dan akhirat. Pada tahun 1948, Lafran Pane pindah studi ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan Fakultas Kedokteran di Klaten, serta AIP Yogyakarta dinegrikan pada tanggal 19 Desember 1949 menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), secara otomatis Lafran Pane termasuk mahasiswa pertama UGM. Setelah bergabung di UGM, AIP berubah menjadi fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik, dan Lafran Pane menjadi sarjana pertama dalam ilmu politik dari fakultas tersebut pada tanggal 26 Januari 1953.

Kepribadian Lafran Pane, yiatu :
1.        Lafran Pane adalah seorang yang jenius dan revolusioner.
2.        Lafran Pane sangat taat beragama.
3.        Memiliki akhlak kepemimpinan
4.        Rendah hati dan tidak mau menonjolkan diri.
5.        Seorang yang tawadhu.
6.        Berpendirian Independen seperti HMI.
7.        Tidak mau ditawari suatu jabatan.
8.        Hidup sederhana dan tidak matrialistik.
9.        Rajin belajar dan suskes studi.
10.    Sering disangka seorang intel.

Lafran Pane berpulang ke rahmatullah pada hari kamis di Yogyakart tahun 20 Januari 1991, ketika organisasi kemahasiswaan yang didirikannya pada 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sedang bersiap-siap merayakan ulang tahunnya ke 44 tahun. Biasanya pada saat-saat perayaan itu para aktivis dan alumni mengingat kembali perjalanan organisasi ini sejak kelahirannya, dan Lafran Pane senantiasa mendapat perhatian tersendiri dalam hati keluarga besar HMI. Karena dialah yang memprakarsai berdirinya organisasi kemahasiswaan ini, dan telah melahirkan lapisan besar cendikiawan muslim Indonesia.

D.  Fase – Fase Perjuangan HMI

Dalam perjalanan sejarah HMI setengah abad lebih, telah menjalani 11 fase.

1.    Fase Konsolidasi Spiritual dan Proses Berdirinya HMI (1946)

Bermula dari latar belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi obyektif yang mendorongnya, maka rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan November 1946. Permasalahan yang dapat diangkat dari latar belakang berdirinya HMI, merupakan suatu kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat dan konkrit dan menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Maka pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam bangsa Indonesia suatu keniscayaan.

2.  Fase Berdirinya dan Pengokohan (5 Februari – 30 November 1947)

Selama lebih kurang 9 bulan, reaksi-reaksi terhadap HMI barulah berakhir. Masa 9 bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan silih berganti, yang semuanya itu untuk mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegar dan kokoh. Maka diadakanlah berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah dan rekreasi malam-malam kesenian.

Di bidang organisasi, HMI mulai mendirikan cabang-cabang baru seperti Klaten, Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi PB HMI pertama dan merangkap menjadi Pengurus HMI Cabang Yogyakarta I. Ada kesan bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa STI. Untuk menghilangkan anggapan yang keliru itu, tanggal 22 Agustus 1947, PB HMI diresuffle. Ketua Lafran Pane digantikan oleh H.M. Mintaredja dari Fakultas Hukum BPT GM, sedankan Lafran Pane menjadi Wakil Ketua merangkap Ketua HMI Cabang Yogyakarta. Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi anggota HMI. Di Yogyakarta tanggal 30 November 1947 diadakan Kongres I HMI.

3.  Fase Perjuangan Bersenjata dan Perang Kemerdekaan; Menghadapi Penghianatan dan Pemberontakan PKI (1947-1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun ke gelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah baik langsung maupun memegang senjata bedil dan bambu runcing sebagai staf penerangan, penghubung dan lain-lain.

Untuk menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono, Wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu pemerintah menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun dengan menggerakkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam PKI terhadap HMI tertanam dan terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun 1964-1965 yaitu gerakan pengganyangan terhadap HMI menjelang meletusnya Gestapu/PKI 1965.

Pada fase ini berlangsung peringatan ulang tahun pertama HMI di Bangsal Kepatihan tanggal 6 Februari 1948. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman memberi sambutan pada peringatan tersebut atas nama pemerintah Republik Indonesia. Jenderal Sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan Mahasiswa Islam, HMI juga diartikannya sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, HMI juga diartikan sebagai Harapan Masyarakat Islam Indonesia.

Pada fase ini juga berlangsung Kongres Muslim Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20 sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim ulama dan intelegensia seluruh Indonesia. Di antara tujuh dari keputusannya dibidang organisasi salah satu keputusannya adalah memutuskan bahwa : Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.


4.  Fase Pembinaan dan Pengembangan Organisasi (1950-1963)

Selama anggota HMI banyak yang terjun ke gelanggang medan pertempuran membantu pemerintah mengusir penjajah, selama itu pula pembinaan organisasi HMI terabaikan. Namun hal itu dilaksanakan dengan sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan HMI sendiri, serta dwitugasnya yakni tugas agamanya dan tugas bangsanya. Maka dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta.

Sejak tahun 1950, dilaksanakan usaha-usaha konsolidasi organisasi sebagai masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Diantara usaha-usaha yang dilaksanakan selama 13 tahun itu antara lain :
a.       Pembentukan cabang-cabang baru.
b.      Menerbitkan majalah sejak 1 Agustus 1954.
Sebelumnya terbit Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media.
c.       Sudah 7 kali Kongres HMI.
d.      Pengesahan atribu HMI seperti lambang, bendera, muts, hymne HMI.
e.       Merumuskan tafsir asas HMI.
f.           Pengesahan kepribadian HMI.
g.      Pembentukan Badan Koordinasi (BADKO) HMI.
h.      Menentukan metode pelatihan (Training) HMI.
i.       Pembentukan lembaga-lembaga HMI di bidang ekstern.
j.           Pendayagunakan PPMI.
k.      Menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) I tahun 1955.
l.           Penegasan Independensi HMI.
m.    Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU PT, tuntutan agar pendidikan agama sejak dari Sekolah Rakyat (SR) sampai Perguruan Tinggi.
n.      Mengeluarkan konsep “peranan agama dalam pembangunan, dan lain-lainya.

Selain masa internal, muncul pula persoalan eksternal yang sangat menonjol. Justru karena keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi organisasi ada golongan yang iri dan tidak senang kepada HMI yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tidak dibubarkan dan dilarangnya PKI akibatnya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali. Tanggal 21 Februari tahun 1957, Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya supaya kabinet berkaki empat dengan unsur PNI, Masyum, NU dan PKI (sebagai 4 besar pemenang pemilu 1955). Berikutnya di Moscow tanggal 19 November 1957 dicetuskanlah Manfesto Moscow, yaitu satu program untuk mengkomunikasikan Indonesia. Akibat itu semua, PKI tampil sebagai partai pemerintah. Masyumi, akibat penentangan terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya, dengan Keputusan Presiden nomor 200: tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi dipaksa bubar. Untuk menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di Medan tanggal 24-31 Desember 1957 mengeluarkan dua sikap antara lain:

1.      Haram hukumnya menganut ajaran dan paham komunikasi karena bertentangan Islam.
2.      Menurut Islam sebagai dasar negara.


5.  Fase Tantangan I (1964-1965)

Dendam PKI terhadap HMI yang tertanam karena keikutsertaan HMI dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus bubar, karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Untuk itulah dilaksanakanlah berbagai usaha untuk membubarkan HMI.

Sesuai hasil Kongres II Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi underbow PKI di Salatiga, Juni 1961, untuk melekuidisi HMI. PKI, CGMI dan organisasi lainnya yang seideologi mulai melakukan gerakan pembubaran HMI disokong seluruh simpatisan dari tiga  partai besar yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Indonesia (PARTINDO) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga seluruh underbow ketiga partai tersebut yang semuanya berjumlah 42 partai. Untuk membubarkan HMI sekitar bulan Maret 1965, dibentuk Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta yang terdiri dari CGMI, GMNI, GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda Indonesia, PPI, dan APPI.

Menjawab tantangan ini, Generasi Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun1964 membentuk Panitia Solidaritas Pembebelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda, pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam, HMI merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumnya Masyumi dibubarkan. Kalau HMI sampai dibubarkan, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena sapu pembubaran.

Namun gerakan pembubaran HMI ini gagal justeru dipuncak usaha-usaha pembubarannya. Dalam acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan. Meski PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti diungkapkan DN. Aidit, “Kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih pakai kain sarung saja... kalau semua front (garis depan-peny) sudah minta, Presiden akan membubarkan HMI”. Namun ternyata HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan dalam pidatonya: “Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan”.

Karena gagal usaha untuk membubarkan HMI, maka PKI sudah siap bermain kekerasan. PKI takut didahului umat Islam untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, maka meletuslah Pemberontakan G 30 S/PKI 1965.

6.  Fase Kebangkitan HMI Sebagai Pejuang Orde Baru dan Pelopor Kebangkitan Angkatan ’66 (1966-1968)
a.       Tanggal 1 Oktober adalah tugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru.
b.      Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal membubarkan PKI, maka HMI akan tampil kedua kalinya menumpas pemberontakan PKI dan itu benar-benar terjadi.
c.       Wakil Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad, pada tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebagaimana yang dilakukan oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) untuk menghadapi pemberontakan PKI di Madiun.
d.      Tritura 10 Januari 1966: “Bubarkan PKI, Reatol Kabinet dan Turunkan Harga”.
e.       Surat Perintah Sebekas Maret 1966.
f.       Dibubarkan dan dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966.
g.      Kabinet Ampera terbentuk, HMI diajak hearing pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk dalam kabinet.

7.  Fase Partisipasi HMI dalam Pembangunan (1969-170)
Setelah Orde Baru mantap dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sudah dilaksankan secara murni dan konsekuen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah rencana pembangunan lima tahun (Repelita-peny) dan sudah menyelesaikan pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua. Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa (yang sangat sulit-peny) sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis-habisnya. Partisipasi segenap warga negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan : (a). Partisipasi dalam pembentukan suasan, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, (b). Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep di berbagai aspek pemikiran; (pertisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan).

8.  Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970-1998)
Selama kurun waktu Orde Lama (1959-1965) kebebasan mengeluarkan pendapat baik yang bersifat akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasana itu berubah tatkala Orde Baru muncul, walaupun kebebasan hakiki belum diperoleh sebagaimana mestinya. Sama halnya dipenghujung pemerintahan Soeharto dianggap sebagai suatu perbedaan yang tidak pada tempatnya (tidak ada keadilan-peny). Namun walaupun demikian, kebebasan datang, kondisi terbatas dapat dimanfaatkan, baik yang berkaitan dengan agama, akademik, dan politik. Kejumudan dan suasana tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam pembaharuan pemikiran Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Hal seperti itu muncul dikalangan HMI dan mencapai puncaknya pada tahun 1970. Tatkala Nurcholis Madjid (dikenal panggilan Cak Nur-peny) menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam Dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif.

Sebagai konsekuensinya muncul pergolakan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi. Hal itu tercuat dalam bentuk seperti persoalan negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1985 yang mengharuskan bahwa semua partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila. Kongres ke-16 HMI di Padang tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI membentuk MPO (Majelis Penyelamat Organisasi-peny), akibatnya HMI pecah menjadi dua  yaitu HMI DIPO (karena sekretriatnya di jln. Diponegoro dan sekarang sudah di Jl. Sultan Agung-peny) dan HMI MPO.

9.  Fase Reformasi (1998-2000)
Apabila dicermati dengan seksama secara secara historis HMI sudah mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda serta kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara langsung yang bersifat konstruktif.

Koreksi dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum PB  HMI Periode 1992-1995 ketika memberikan kata sambutan pada pembukaan Kongres HMI ke-20 HMI di Istana Negara Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu antara lain, bahwa menurut penilaian HMI, pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembanguna politik. Masih dirasakan tingkat perubahan pada sistem politik tidak sebanding dengan perubahan ekonomi. Dalam pembangunan politik istitusi-isntitusi politik atau badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi perannya. Akibatnya aspirasi masyarakat masih sering tersumbat (terhalang atau tidak sampai-peny). Kondisi inilah yang menuntut kita, pemerintah dan masyarakat untuk terus menggelindingkan (mewujudkan-peny) proses demokrasi dengan bingkai Pancasila tetapi ini harus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam suasana demikian, proses saling kontrol akan terbangun. Selain itu HMI melihat masih banyak distorsi dalam proses pembangunan. Gejala penyalah gunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN-peny) adalah cerminan tidak berfungsi sistem nilai yang menjadi kontrol dan landasan etika dan bekerjanya suatu sistem.

Suatu reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih tajam, lugas dihadapan Presiden Soeharto tatkala menghadiri dan memberikan sambutan pada peringatan Ulang Tahun Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal 20 Maret 1997 (satu tahun sebelum reformasi), dimana Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 menegaskan; sekaligus jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram, politik justeru mulia, apabila dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam meperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup dan menyeleweng. Inilah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis dan menegakkan Orde Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa yang mendatang. Kritik-kritik ini tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI untuk tetap melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Pemikiran dan reformasi selanjutnya disampaikan Ketua Umum PB HMI 1997-1998 Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Ulang Tahun HMI ke-51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari 1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat. Pidato itu disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan tuntutan reformasi telah dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disamapaikan Anas Urbaningrum pada peringatan ulang tahun ke-52 di Auditorium Sapta Pesona Departemen Parawisata Seni dan Budaya Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari HMI Untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Tuntutan reformasi juga disampaikan Ketua Umum PB HMI M. Fahruddin pada peringatan Ulangtahun HMI ke-53 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Februari 2000 dengan judul Merajut Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi, Membangun Peradaban Baru Indonesia.

10.  Fase Tantangan II (2000-sekarang)
Fase tantangan kedua ini muncul justru setelah Orde Reformasi berjalan dua tahun. Semestinya berdasarkan landasan-landasan atau sikap-sikap yang telah diambil PB HMI memasuki era reformasi semestinya HMI mengalami perkembangan yang signifikan menjawab berbagai tantangan sesuai dengan perannya sebagai organisasi perjuangan yang harus tampil sebagai pengambil inisiatif dalam memajukan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi justru sebaliknya HMI secara umum mengalami kemunduran, yang secara intensif disinyalir Agussalim Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduruan HMI.

Jika pada fase tantangan I (1964-1965) HMI dihadapkan pada tantangan eksternal yaitu menghadapi PKI, pada fase tantangan II ini HMI dihadapkan sekaligus pada dua tantangan besar secara internal dan eksternal sekaligus.
Pertama, tantangan internal. Kajian tentang HMI saat ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sekarang dan mendatang, HMI ditantang:
a.    Masalah eksistensi dan keberadaan HMI, seperti menurunnya jumlah mahasiswa baru masuk HMI, tidak terdapatnya HMI diberbagai perguruan tinggi, institut, fakultas, akademi, program studi, sebagai basis HMI.
b.    Masalah relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang mendasar terhadap berbagai masalah yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia.
c.    Masalah peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang sanggup tampil dalam barisan terdepan sebagai avent grade, kader pelopor bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat.
d.   Masalah efektifitas HMI untuk memecahkan masalah yang dihadapi bangsa, karena banyak organisasi yang sejenis maupun yang lain, yang dapat dapat tampil lebih efektif dan dapat mengambil inisiatif terdepan untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi bangsa Indonesia.

Sebagai jawabannya, menurut perpecahan yang bersifat teoritis dan praktis, akan tetapi semuanya bersifat konseptual, integratif, inklusif. Sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial dan ekslusif tidak akan melahirkan jawaban yang efektif. Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran dari anggota aktifitas kader, dan pengurus HMI di seluruh jenjang organisasi.

Kedua, tantangan eksternal. Berbagai tantangan eksternal juga dihadapkan kepada HMI yang tidak skala besar dan rumitnya dari tantangan internal, antara lain:
a.    Tantangan menghadapi perubahan jaman yang jauh berbeda dari abad ke-20 dan yang muncul pada abad ke-21 ini.
b.    Tantangan terhadap peralihan generasi yang hidup  dalam jaman dan situasi yang berada dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang dijalani generasi muda bangsa.
c.    Tantangan untuk mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI, yang akan menggantikan alumni-alumni HMI yang saat ini menduduki berbagai posisi strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena regenerasi atau pergantian pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau, pasti terus berlangsung.
d.   Tantangan menghadapi bahaya abadi komunis.
e.    Tantangan menghadapi golongan lain, yang mempunyai misi lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia.
f.     Tantangan tentang adanya kerawanan aqidah.
g.    Tantangan menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terus berkembang tanpa henti.
h.    Tantangan menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala aspek kehidupan manusia yang terus berlangsung sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat kompetitif.
i.      Tantangan menghadapi masa depan yang belum dapat diketahui bentuk dan coraknya.
j.      Kondisi umat Islam di Indonesia yang dalam kondisinya belum bersatu.
k.    Kondisi dan keadaan Perguruan Tinggi serta dunia kemahasiswaan, kepemudaan, yang penuh dengan berbagai persoalan dan problematika yang sangat kompleks.
l.      Tantangan HMI menuju Masyarakat Ekonomi Asean (peny).
m.  Tantangan menghadapi politik Indonesia yang tidak kondusif dan tidak membangun karakter kebangsaan Indonesia.

Pada fase tantangan II ini, nampaknya HMI semakin memudar dan mundur yang telah berlangsung 25 tahun sejenak, dari tahun 1980-2005. HMI tidak mampu bangkit secara signifikan, bahkan dalam dua periode terakhir PB HMI mengalami perpecahan. Karena itu, menghadapi tantangan tersebut, HMI dengan segenap aparatnya harus mampu menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi yang tinggi. Apakah HMI mampu menghadapi tantangan itu, sangat ditentukan oleh pemegang kendali organisasi sejak dari PB HMI, Pengurus Badko HMI, Cabang HMI, Korkom HMI, Komisariat, Lembaga-Lembaga Kekaryaan, serta segenap anggota HMI, maupun alumninya yang tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta penyempurna mission sacre HMI. Peralihan jaman, peralihan generasi, saat ini menentukan bagi eksistensi HMI di masa mendatang.

11.  Fase Kebangkitan Kembali
Gelombang kritik terhadap HMI tentang kemundurannya telah menghasilkan dua umpan balik. Pertama, telah muncul kesadaran individual dan kesadaran kolektif (bersama-peny) di kalangan anggota, aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurs dimulai dari Komisariat sampai PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran. Kedua, selanjutnya dari kesadaran itu muncul kesadaran baru, baik secara individual dan kesadaran bersama dikalangan anggota, aktivis, kader, alumni dan pengurus bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan pembaharuan supaya dapat bangkit kembali seperti masa jaya-jaya dulu.

Sampai sejauh mana kebenaran dan bukti adanya indikator-indikator kebangkitan kembali HMI, sejarahlah yang akan menentukan kelak. Kita semua berharap dengan penuh optimis sesuai dengan ajaran Islam supaya manusia bersikap optimis, agar HMI dapat mengakhiri masa kemundurannya dan memasuki masa kebangkitannya secara meyakinkan.


Di tangan generasi sekaranglah sebagai generasi penerus, pelanjut, dan penyempurna perjuangan organisasi mahasiswa Indonesia tertua ini (HMI). Yakinkan dengan Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal, Bahagia HMI, Jayalah Kohati, Yakin Usaha Sampai (peny).[IAR]

1 comment: