A. Latar Belakang
Berdirinya HMI
I. Kondisi Islam Di Dunia (Secara Internasional)
Kondisi umat Islam
dunia pada saat menjelang kelahiran HMI dapat dikatakan ketinggalan
dibandingkan masyarakat Eropa dengan Reinasance-nya. Hal ini dapat
dilihat dari penguasaan teknologi maupun pengetahuan, bahkan sebagian besar
umat Islam berada di bawah ketiak penindasan neokolim barat yang notabene
dimotori oleh kelompok penguasa-penguasa di Barat yang tidak menginginkan
perkembangan umat Islam. Pada saat ini, mayoritas umat Islam tidak memahami
ajaran Islam secara komprehensif, umat Islam pada masa ini hanya berkutat
seputar ubudiyah atau ritual semata tanpa memahami bahwa ajaran Islam
adalah ajaran paripurna yang tidak hanya mengajarkan hubungan manusia dengan
Tuhan, namun lebih jauh daripada itu, menderivasikan hubungan transenden ke
dalam seluruh aspek kehidupan.
Berangkat dari pemahaman ajaran Islam yang kurang, umat berada
dalam keterbelakangan dan fenomena ini terjadi dapat dikatakan di seluruh
dunia. Hal tersebut mengakibatkan terpuruknya umat Islam yang dijanjikan Allah
untuk dipusakai alam semesta. Lebih ironis lagi ketika umat terbagi menjadi
berbagai golongan yang hanya berangkat dari masalah Khilafiyah (pertentangan
perebutan kekuasaan), yang berdampak melemahnya umat Islam.
Pada pendapat lain, barbagai argumentasi telah diungkapkan
sebab-sebab kemunduruan umat Islam. Ada beberapa pendapat yang mengatakan salah
satunya adalah umat Islam mengalami kemunduran berpikir, bahkan sama sekali
menutup kesempatan untuk berpikir. Sebab dari itu adalah umat Islam terlena
dengan kebesaran dan keagungan masa lalu Islam yang pernah menguasai dunia (history).
(Buku ini dapat Kawan-kawan miliki. Klik Disini)
Akibat dari keterbelakangan umat Islam, maka muncullah gerakan
untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar
dan utuh. Gerakan ini disebut “Gerakan Pembaharuan”. Gerakan pembaharuan ini
ingin mengembalikan ajaran agama Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana
kelompok ini menyadari bahwa agama Islam bukan hanya sekedar ritual atau
terbatas pada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan
manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran gerakan pembaharuan atau
reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada proporsi yang
sebenarnya yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan timbulnya ide pembaharuan tersebut, maka gerakan
pembaharuan di dunia Islam bermunculan, gerakan-gerakan pembaharuan seperti di negeri
Turki pada tahun 1720, Mesir pada tahun 1807. Dalam gerakan-gerakan pembaharuan
Islam lahirlah tokoh-tokoh pembaharu seperti Rifaah Ath Tahtawi (1801-1873),
Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi
Arabia pada tahun 1703-1787, Sayyin Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad
Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan masih banyak tokoh-tokoh pembaharu lainnya.
II. Kondisi Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Pada tahun 1596, Cornelis de Hotman mendarat di Banten, dari
sejak itulah Inonesia dijajah oleh Belanda. Penjajahan Belanda terhadap
Indonesia (dahulu Nusantara) selama ± 350 tahun atau sama dengan 3,5 abad. Dalam penjajahan yang
dilakukan Belanda tersebut telah membawa perubahan atau misinya, yaitu : a).
Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya, b). Misi memasukkan
agama Kristiani, c). Merubah hukum yang ada dan menanamkan hukum Belanda, d).
Menanamkan peradaban dan kebudayaan Barat dengan ciri sekularisme dan
liberalisme.
Sedangkan kondisi keagamaannya tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi dengan kondisi umat Islam internasional. Di Indonesia, umat
Islamnya berada dalam cengkraman neokolim Barat. Penjajah memperlakukan umat
Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan diperlakukan dengan tidak adil, pihak penjajah
hanya menguntungkan diri mereka sendiri dan rakyat yang sudah seideologi dengan
mereka.
Akan tetapi masyarakat Indonesia (mayoritas umat Islam) tidak
tinggal diam, setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat
Allah SWT, maka rakyat Indonesia berhasil mengusir para penjajah dari Indonesia
dan Ir. Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, dengan itu rakyat dinyatakan merdeka dan berdaulat.
III. Kondisi
Mikrobiologis Umat Islam Di Indonesia
Kondisi umat Islam Indonesia sebelum berdirinya HMI dapat
dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
a). Sebagian besar ada
golongat umat Islam di Indonesia menjadikan ajaran agama Islam hanya sebagai
kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian dan serta
kelahiran.
b). Golongan Alim Ulama
dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran agama Islam
sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammaad saw. beserta adat-adat dari Arab itu
sendiri. Terkadang adat Arab yang tidak sesuai dengan di Indonesia, dan
menganggap derajat orang Arab lebih tinggi dari derajat bangsa lain.
c). Golongan Alim Ulama
dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik yang menyebabkan mereka
berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja, dan
menganggap kemiskinan dan penderitaan adalah salah satu jalan untuk bersatu
dengan Tuhan.
d). Golongan Kecil yang
mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman selaras dengan wujud dan
hakikat agama Islam. Golongan ini berusaha supaya ajaran agama Islam itu
benar-benar dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.
IV. Kondisi Perguruan
Tinggi Dan Mahasiswa Islam Di Indonesia
Perguruan Tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan
menghasilkan para pemimpin untuk masa yang akan datang. Selain itu, Perguruan
Tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan itu diharapkan menuju
tatanan yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan tinggi maka banyak
golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan golongan tersebut.
Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang
strategis tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai
perguruan tinggi dan dunia mahasiswa pada masa itu, antara lain : a). Sistem
yang diterapkan khususnya di perguruan tinggi adalah sistem pendidikan Barat
yang mengarah pada sekularisme dan dapat menyebabkan dangkalnya pemahaman agama
atau aqidah dalam kehidupan mahasiswa, b). Adanya organisasi
kemahasiswaan yang berhaluan sekularisme
dan sosialis-komunis, hal ini menyebabkan aspirasi Islam dan umat Islam kurang
terakomodir. Seperi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat
Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta. Bergabungnya dua paham ini (sekularisme
dan komunisme) melanda perguruan tinggi dan kemahasiswaan menyebabkan timbulnya
“krisis keseimbangan” yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara
akal dan kalbu, jasmani dan rohani serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan
akhirat.
Faktor-faktor tersebut adalah suatu ancaman yang sangat serius
karena menyebabkan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta
keberadaan agama Islam pada umatnya. Mahasiswa Islam kurang memiliki ruang
gerak karena berada dalam sistem yang sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran
agama Islam, dan harus menghadapi tantangan dari mahasiswa komunis yang sangat
bertentangan dengan fikrah manusia dan bertentangan pula dengan ajaran
agama Islam. Jelas sudah bahwa mahasiswa Islam sangat sulit untuk bergerak
memperjuangakan aspirasi/dakwah Islam.
B. Beridirinya Himpunan
Mahasiswa Islam
“Sesungguhnya,
tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan kehidupan Lafran
Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mulabuka lahirnya
HMI kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya.” (Media, No. 7. Th. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957 h. 32)
Dengan ungkapan ini jelaslah hubungan Lafran Pane dengan HMI
tidak bisa dipisahkan. Latar belakang pemikiran Lafran Pane untuk mendirikan
HMI, adalah juga identik dengan latar belakang muncul pemikiran HMI. Dengan
demikian memahami pemikiran Lafran Pane, akan senantiasa terdapat proses
komunikasi dan ekspresi dengan lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang
berpenduduk mayoritas beragama Islam dengan segala realitas dan totalitasnya.
Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu
proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya.
Sesuai dengan konteksnya, latar belakang munculnya pemikiran HMI
adalah :
1.
Penjajahan
Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan.
2.
Kesenjangan
dan kejumudan umat Islam dalam pengetahuan, pemahaman dan penghayatan serta
pengamalan ajaran-ajaran Islam.
3.
Kebutuhan
akan pemahaman, penghayatan keagamaan.
4.
Munculnya
polarisasi politik.
5.
Perkembangan
paham dan ajaran komunisme dikalangan masyarakat dan Mahasiswa.
6.
Kedudukan
Perguruan Tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis.
7.
Kemajemukan
bangsa Indonesia.
8.
Tuntutan
modernisasi dan tantangan masa depan.
Menanggapi
realitas historis dan berbagai persoalan dan juga perkembangan yang
mengikutinya, tampillah Lafran Pane seorang mahasiswa yang sejak menjadi
mahasiswa aktif mengamati dan memikirkan secara seksama perkembangan sosial,
politik, dan budaya di tanah air, mengangkat kedelapan faktor di atas menjadi
semangat spiritual, idealisme ini diangkat menjadi suatu yang empiris dan
pemikiran yang memiliki daya dukung konstruktif, guna merespon berbagai
persoalan yang dihadapi bangsa saat itu.
Setelah
berulang kali mencoba mengadakan pembicaraan/diskusi yang selalu gagal karena
mendapatkan penentangan dari beberapa organisasi mahasiswa lain. Akhirnya pada
hari Rabu Pon 1878 (tahun jepang), tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H,
bertepatan pada tanggal 5 Februari 1947 M secara resmi didirikan dan
dideklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh Lafran Pane bersama
14 mahasiswa lainnya, yaitu : Karnoto Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah (isteri Dahlan Husein), Maisaroh Hilal (cucunya
KH. Ahmad Dahlan), Soewali, Yusdi Gozali (pendiri PII), M. Anwar.
Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Zulkarnaen dan
Mansyur.
Pada awal
pembentukan, Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai tujuan, yaitu :
1). Mempertahankan dan mempertinggi derajat
rakyat Indonesia.
2). Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama
Islam.
C. Sekilas Sosok Lafran
Pane
Berdasarkan
penelusuran dan penelitian sejarah, maka Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor
menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsa berdirinya HMI, dan disebut pendiri
HMI.
Lafran Pane adalah anak keenam dari Sutan Pangurabaan Pane.
Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan 5 Februari 1922. Dua tahun setelah si
anak bungsu lahir ibunya meninggal dunia. Dambaan belaian kasih sayang dari ibu
tidak pernah diperoleh apalagi dari ibu kandung. Duka dan penderitaan selalu
diperoleh menyertai sepanjang kehidupan Lafran Pane. Pendidikan Lafran Pane
menunjukkan tidak ada garis lurus menjurus (normal). Hal ini dikarenakan
situasi kondisi penjajahan, perpindahan tempat karena mengikuti orang tua saat
bertugas/bekerja. Pendidikan Lafran Pane, diawali di Pesantren Muhammadiyah
Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. A. Dahlan di kampung Setia dekat
desa Parsorminan-Sipirok). Dari Pesantren masuk sekolah desa 3 tahun. Lantas ke
HIS Muhammadiyah di Sibolga, kembali ke Sipirok.
Masuk Ibtidaiyah diteruskan ke Wusto. Tidak bertahan lama
di Wusto, lalu pindah ke Taman Antara Taman Siswa Sipirok, kemudian pindah
kesekolah yang sama di Medan. Di tanah Deli kehidupannya semakin merosot. Belum
tamat dari Taman Antara Taman Siswa lantas dikeluarkan, dan meninggalkan rumah
kakaknya Ny.dr. Tarip. Lafran menjadi petualang sepanjang jalanan di kota
Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan. Tidur tidak menentu, kadang-kadang
sudah menggeletak di kaki lima, emper-emper toko. Untuk menyambung hidup,
Lafran Pane menjual karcis bioskop, main kartu dan menjual es lilin.
Pada tahun 1937, Lafran Pane dibawa abangnya ke Jakarta. Di
bawah asuhan abangnya, Sanusi Pane dan Armen Pane, di Jakarta Lafran Pane
memasuki HIS lantas ke MULO Muhammadiyah, seterusnya masuk ke AMS Muhammadiyah.
Dari pendidikan Muhammadiyah pindah ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah
Perang Dunia II tahun 1941. Di semua sekolah tersebut, Lafran Pane adalah murid
cerdas, walau bandalnya luar biasa. Ketika sekolah di Taman Dewasa Raya
Jakarta, Lafran Pane bertemu dengan Djakfar Nawasi (DN), kemudian berganti nama
menjadi Dipo Nusantara (DN) Aidit, yang menjadi ketua CC PKI. Lima tahun
kemudian tahun 1942 Lafran Pane pulang ketempat kelahirannya Kota Salak Padang
Sidempuan sebagai pokrol.
Di Padang Sidempuan, Lafran Pane difitnah, dituduh, memberontak
kepada Jepang dan dituntut hukuman mati. Berkat pengaruh dan wibawa ayahnya,
Lafran tidak jadi dihukum mati. Kasus fitnah yang menerpa dirinya tidak
membuatnya lemah dan menyerah. Perantauan kedua ke Batavia tahun 1943 terjadi.
Sejak meninggalkan tanah kelahiran dan pengembaraan itu, Lafran Pane mengalami
proses kejiwaan yang radikal. Insan kamilnya mulai tergugah, lalu mencari apa
sebenarnya hakikat hidup ini. Lafran menyadari pentingnya kembali kedasar
keyakinan. Untuk itu ia sering merenung dan tafakkur. Dasar pendidikan agama
yang diperolehnya di Pesantren Muhammadiyah Sipirok, asuhan dan didikan agama
serta jiwa nasionalisme dari ayahnya, serta realitas masyarakat Sipirok dan
Padang Sidempuan yang taat melaksanakan agama Islam, menyebabkan Lafran Pane
kembali menemukan jati dirinya menjadi seorang muslim yang teguh, senantiasa
melandasi hidupnya.
Pada Bulan Desember 1945, Lafran Pane pindah ke Yogyakarta,
tidak lama berselang, 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Presiden hijrah ke
Yogyakarta, yang kemudian menjadi Ibukota Republik Indonesia. Ketika Sekolah
Tinggi Islam (STI) yang didirikan di Jakarta 8 Juli 1945 pindah ke Yogyakarta,
Lafran Pane mendaftar sebagai mahasiswa STI (sekarang UII). Di Perguruan Tinggi
ini pelajaran dan pendidikan agama Islam kini diperolehnya lebih intensif dari
dosen STI seperti Abdul Kahar Muzakkir, Husein Yahya, H.M. Rasyidi dan
guru-guru lainnya.
Selain menerima pelajaran agama Islam di bangku kuliah, juga
diperolehnya secara otodidak. Apa yang direnungkannya menjelang masa
kesadarannya, kini telah didapatkannya dengan pengamatan dan penyelidikannya
sendiri. Keyakinan bertambah, memiliki pendirian semakin teguh. Islamlah
satu-satunya pedoman hidup yang sempurna, karena Islam menjadikan manusia
sejahtera dan selamat di dunia dan akhirat. Pada tahun 1948, Lafran Pane pindah
studi ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada
dan Fakultas Kedokteran di Klaten, serta AIP Yogyakarta dinegrikan pada tanggal
19 Desember 1949 menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), secara otomatis Lafran
Pane termasuk mahasiswa pertama UGM. Setelah bergabung di UGM, AIP berubah
menjadi fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik, dan Lafran Pane menjadi sarjana
pertama dalam ilmu politik dari fakultas tersebut pada tanggal 26 Januari 1953.
Kepribadian Lafran Pane, yiatu :
1.
Lafran Pane adalah
seorang yang jenius dan revolusioner.
2.
Lafran Pane sangat taat
beragama.
3.
Memiliki akhlak
kepemimpinan
4.
Rendah hati dan tidak
mau menonjolkan diri.
5.
Seorang yang tawadhu.
6.
Berpendirian Independen
seperti HMI.
7.
Tidak mau ditawari
suatu jabatan.
8.
Hidup sederhana dan
tidak matrialistik.
9.
Rajin belajar dan
suskes studi.
10. Sering
disangka seorang intel.
Lafran
Pane berpulang ke rahmatullah pada hari kamis di Yogyakart tahun 20 Januari
1991, ketika organisasi kemahasiswaan yang didirikannya pada 5 Februari 1947,
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sedang bersiap-siap merayakan ulang tahunnya ke
44 tahun. Biasanya pada saat-saat perayaan itu para aktivis dan alumni
mengingat kembali perjalanan organisasi ini sejak kelahirannya, dan Lafran Pane
senantiasa mendapat perhatian tersendiri dalam hati keluarga besar HMI. Karena
dialah yang memprakarsai berdirinya organisasi kemahasiswaan ini, dan telah
melahirkan lapisan besar cendikiawan muslim Indonesia.
D. Fase – Fase Perjuangan HMI
Dalam
perjalanan sejarah HMI setengah abad lebih, telah menjalani 11 fase.
1.
Fase Konsolidasi
Spiritual dan Proses Berdirinya HMI (1946)
Bermula
dari latar belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi
obyektif yang mendorongnya, maka rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan
November 1946. Permasalahan yang dapat diangkat dari latar belakang berdirinya
HMI, merupakan suatu kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat
dan konkrit dan menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Maka pembaharuan
pemikiran di kalangan umat Islam bangsa Indonesia suatu keniscayaan.
2. Fase Berdirinya dan Pengokohan (5 Februari
– 30 November 1947)
Selama
lebih kurang 9 bulan, reaksi-reaksi terhadap HMI barulah berakhir. Masa 9 bulan
itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan silih berganti,
yang semuanya itu untuk mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegar
dan kokoh. Maka diadakanlah berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi
dengan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah dan rekreasi malam-malam kesenian.
Di
bidang organisasi, HMI mulai mendirikan cabang-cabang baru seperti Klaten,
Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi PB
HMI pertama dan merangkap menjadi Pengurus HMI Cabang Yogyakarta I. Ada kesan
bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa STI. Untuk menghilangkan anggapan
yang keliru itu, tanggal 22 Agustus 1947, PB HMI diresuffle. Ketua Lafran Pane
digantikan oleh H.M. Mintaredja dari Fakultas Hukum BPT GM, sedankan Lafran
Pane menjadi Wakil Ketua merangkap Ketua HMI Cabang Yogyakarta. Sejak itu
mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi anggota HMI.
Di Yogyakarta tanggal 30 November 1947 diadakan Kongres I HMI.
3. Fase Perjuangan Bersenjata dan Perang
Kemerdekaan; Menghadapi Penghianatan dan Pemberontakan PKI (1947-1949)
Seiring
dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya
dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun ke gelanggang medan pertempuran
melawan Belanda, membantu pemerintah baik langsung maupun memegang senjata
bedil dan bambu runcing sebagai staf penerangan, penghubung dan lain-lain.
Untuk
menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI
Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono,
Wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu pemerintah menumpas
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun dengan menggerakkan
anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam
PKI terhadap HMI tertanam dan terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun
1964-1965 yaitu gerakan pengganyangan terhadap HMI menjelang meletusnya
Gestapu/PKI 1965.
Pada
fase ini berlangsung peringatan ulang tahun pertama HMI di Bangsal Kepatihan
tanggal 6 Februari 1948. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal
Sudirman memberi sambutan pada peringatan tersebut atas nama pemerintah
Republik Indonesia. Jenderal Sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan
Mahasiswa Islam, HMI juga diartikannya sebagai Harapan Masyarakat Indonesia.
Karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, HMI juga diartikan sebagai
Harapan Masyarakat Islam Indonesia.
Pada
fase ini juga berlangsung Kongres Muslim Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20
sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim
ulama dan intelegensia seluruh Indonesia. Di antara tujuh dari keputusannya
dibidang organisasi salah satu keputusannya adalah memutuskan bahwa : Hanya
satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.
4. Fase Pembinaan dan Pengembangan Organisasi
(1950-1963)
Selama
anggota HMI banyak yang terjun ke gelanggang medan pertempuran membantu
pemerintah mengusir penjajah, selama itu pula pembinaan organisasi HMI
terabaikan. Namun hal itu dilaksanakan dengan sadar, karena itu semua untuk
merealisir tujuan HMI sendiri, serta dwitugasnya yakni tugas agamanya dan tugas
bangsanya. Maka dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember
1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta.
Sejak
tahun 1950, dilaksanakan usaha-usaha konsolidasi organisasi sebagai masalah
besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Diantara usaha-usaha yang dilaksanakan selama 13 tahun itu antara lain :
a. Pembentukan
cabang-cabang baru.
b. Menerbitkan
majalah sejak 1 Agustus 1954.
Sebelumnya
terbit Criterium, Cerdas dan tahun
1959 menerbitkan majalah Media.
c. Sudah
7 kali Kongres HMI.
d. Pengesahan
atribu HMI seperti lambang, bendera, muts, hymne HMI.
e. Merumuskan
tafsir asas HMI.
f. Pengesahan kepribadian HMI.
g. Pembentukan
Badan Koordinasi (BADKO) HMI.
h. Menentukan
metode pelatihan (Training) HMI.
i.
Pembentukan lembaga-lembaga HMI di bidang
ekstern.
j.
Pendayagunakan PPMI.
k. Menghadapi
Pemilihan Umum (Pemilu) I tahun 1955.
l.
Penegasan Independensi HMI.
m. Mendesak
pemerintah supaya mengeluarkan UU PT, tuntutan agar pendidikan agama sejak dari
Sekolah Rakyat (SR) sampai Perguruan Tinggi.
n. Mengeluarkan
konsep “peranan agama dalam pembangunan, dan lain-lainya.
Selain masa internal,
muncul pula persoalan eksternal yang sangat menonjol. Justru karena
keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi organisasi ada golongan yang iri dan
tidak senang kepada HMI yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidak dibubarkan dan
dilarangnya PKI akibatnya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, PKI otomatis
mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali. Tanggal 21 Februari tahun 1957,
Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya supaya kabinet berkaki empat dengan
unsur PNI, Masyum, NU dan PKI (sebagai 4 besar pemenang pemilu 1955).
Berikutnya di Moscow tanggal 19
November 1957 dicetuskanlah Manfesto
Moscow, yaitu satu program untuk mengkomunikasikan Indonesia. Akibat itu
semua, PKI tampil sebagai partai pemerintah. Masyumi, akibat penentangan
terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya, dengan
Keputusan Presiden nomor 200: tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi dipaksa
bubar. Untuk menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di Medan tanggal
24-31 Desember 1957 mengeluarkan dua sikap antara lain:
1. Haram
hukumnya menganut ajaran dan paham komunikasi karena bertentangan Islam.
2. Menurut
Islam sebagai dasar negara.
5. Fase
Tantangan I (1964-1965)
Dendam PKI terhadap HMI
yang tertanam karena keikutsertaan HMI dalam menumpas pemberontakan PKI di
Madiun tahun 1948, menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus bubar, karena
dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Untuk itulah
dilaksanakanlah berbagai usaha untuk membubarkan HMI.
Sesuai hasil Kongres II
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi underbow PKI di Salatiga, Juni 1961, untuk melekuidisi HMI. PKI,
CGMI dan organisasi lainnya yang seideologi mulai melakukan gerakan pembubaran
HMI disokong seluruh simpatisan dari tiga
partai besar yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Indonesia
(PARTINDO) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga seluruh underbow ketiga partai tersebut yang
semuanya berjumlah 42 partai. Untuk membubarkan HMI sekitar bulan Maret 1965,
dibentuk Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta yang terdiri dari CGMI, GMNI,
GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda Indonesia, PPI, dan
APPI.
Menjawab tantangan ini,
Generasi Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun1964 membentuk Panitia
Solidaritas Pembebelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda, pelajar,
mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam, HMI merupakan taruhan
terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumnya Masyumi dibubarkan. Kalau
HMI sampai dibubarkan, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena
sapu pembubaran.
Namun gerakan
pembubaran HMI ini gagal justeru dipuncak usaha-usaha pembubarannya. Dalam
acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan. Meski
PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti diungkapkan DN.
Aidit, “Kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang
laki-laki lebih pakai kain sarung saja... kalau semua front (garis depan-peny) sudah
minta, Presiden akan membubarkan HMI”. Namun ternyata HMI tidak dibubarkan,
bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan dalam pidatonya:
“Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi
mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku
sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi
kontra revolusi juga akan kububarkan”.
Karena gagal usaha
untuk membubarkan HMI, maka PKI sudah siap bermain kekerasan. PKI takut
didahului umat Islam untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, maka
meletuslah Pemberontakan G 30 S/PKI 1965.
6. Fase Kebangkitan HMI Sebagai Pejuang Orde
Baru dan Pelopor Kebangkitan Angkatan ’66 (1966-1968)
a. Tanggal
1 Oktober adalah tugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru.
b. Apa
yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal membubarkan PKI, maka HMI akan tampil
kedua kalinya menumpas pemberontakan PKI dan itu benar-benar terjadi.
c. Wakil
Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad, pada tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif
mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebagaimana yang dilakukan
oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) untuk
menghadapi pemberontakan PKI di Madiun.
d. Tritura
10 Januari 1966: “Bubarkan PKI, Reatol Kabinet dan Turunkan Harga”.
e. Surat
Perintah Sebekas Maret 1966.
f. Dibubarkan
dan dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966.
g. Kabinet
Ampera terbentuk, HMI diajak hearing
pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk dalam kabinet.
7. Fase Partisipasi HMI dalam Pembangunan
(1969-170)
Setelah
Orde Baru mantap dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sudah dilaksankan
secara murni dan konsekuen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah rencana
pembangunan lima tahun (Repelita-peny) dan sudah menyelesaikan
pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua.
Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur bukanlah pekerjaan
mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa (yang sangat sulit-peny)
sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis-habisnya. Partisipasi segenap warga
negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah
memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan : (a). Partisipasi
dalam pembentukan suasan, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan, (b). Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep di berbagai aspek
pemikiran; (pertisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan).
8.
Fase Pergolakan dan Pembaharuan
Pemikiran (1970-1998)
Selama
kurun waktu Orde Lama (1959-1965) kebebasan mengeluarkan pendapat baik yang
bersifat akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasana itu
berubah tatkala Orde Baru muncul, walaupun kebebasan hakiki belum diperoleh
sebagaimana mestinya. Sama halnya dipenghujung pemerintahan Soeharto dianggap
sebagai suatu perbedaan yang tidak pada tempatnya (tidak ada keadilan-peny).
Namun walaupun demikian, kebebasan datang, kondisi terbatas dapat dimanfaatkan,
baik yang berkaitan dengan agama, akademik, dan politik. Kejumudan dan suasana
tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam pembaharuan pemikiran
Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai
masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Hal seperti itu muncul dikalangan
HMI dan mencapai puncaknya pada tahun 1970. Tatkala Nurcholis Madjid (dikenal
panggilan Cak Nur-peny) menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam Dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu
diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan
umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif.
Sebagai
konsekuensinya muncul pergolakan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai
substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi.
Hal itu tercuat dalam bentuk seperti persoalan negara Islam, Islam Kaffah,
sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1985 yang mengharuskan bahwa semua
partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila. Kongres ke-16 HMI di Padang
tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila.
Akibat penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI membentuk MPO (Majelis
Penyelamat Organisasi-peny), akibatnya HMI pecah menjadi dua yaitu HMI DIPO (karena sekretriatnya di jln.
Diponegoro dan sekarang sudah di Jl. Sultan Agung-peny) dan HMI MPO.
9. Fase Reformasi (1998-2000)
Apabila
dicermati dengan seksama secara secara historis HMI sudah mulai melaksanakan
gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda serta
kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI,
bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan
konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara
langsung yang bersifat konstruktif.
Koreksi
dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum
PB HMI Periode 1992-1995 ketika
memberikan kata sambutan pada pembukaan Kongres HMI ke-20 HMI di Istana Negara
Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu antara lain, bahwa menurut
penilaian HMI, pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembanguna politik.
Masih dirasakan tingkat perubahan pada sistem politik tidak sebanding dengan
perubahan ekonomi. Dalam pembangunan politik istitusi-isntitusi politik atau
badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi perannya. Akibatnya
aspirasi masyarakat masih sering tersumbat (terhalang atau tidak sampai-peny).
Kondisi inilah yang menuntut kita, pemerintah dan masyarakat untuk terus
menggelindingkan (mewujudkan-peny) proses demokrasi dengan bingkai
Pancasila tetapi ini harus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam
suasana demikian, proses saling kontrol akan terbangun. Selain itu HMI melihat
masih banyak distorsi dalam proses pembangunan. Gejala penyalah gunaan kekuasaan,
kesewenang-wenangan, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN-peny)
adalah cerminan tidak berfungsi sistem nilai yang menjadi kontrol dan landasan
etika dan bekerjanya suatu sistem.
Suatu
reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih tajam, lugas dihadapan Presiden
Soeharto tatkala menghadiri dan memberikan sambutan pada peringatan Ulang Tahun
Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal 20 Maret 1997 (satu tahun sebelum
reformasi), dimana Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 menegaskan;
sekaligus jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan
kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram,
politik justeru mulia, apabila dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk
menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung
kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam meperjuangkan kebenaran dan
keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup
dan menyeleweng. Inilah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis dan
menegakkan Orde Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa yang
mendatang. Kritik-kritik ini tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI untuk
tetap melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Pemikiran
dan reformasi selanjutnya disampaikan Ketua Umum PB HMI 1997-1998 Anas
Urbaningrum pada waktu peringatan Ulang Tahun HMI ke-51 di Graha Insan Cita
Depok tanggal 22 Februari 1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi
Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat. Pidato itu disampaikan 3 bulan sebelum
lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan tuntutan reformasi telah
dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disamapaikan Anas Urbaningrum
pada peringatan ulang tahun ke-52 di Auditorium Sapta Pesona Departemen
Parawisata Seni dan Budaya Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari HMI
Untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Tuntutan reformasi juga
disampaikan Ketua Umum PB HMI M. Fahruddin pada peringatan Ulangtahun HMI ke-53
di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Februari 2000 dengan judul Merajut
Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi, Membangun Peradaban Baru Indonesia.
10. Fase Tantangan II (2000-sekarang)
Fase
tantangan kedua ini muncul justru setelah Orde Reformasi berjalan dua tahun.
Semestinya berdasarkan landasan-landasan atau sikap-sikap yang telah diambil PB
HMI memasuki era reformasi semestinya HMI mengalami perkembangan yang
signifikan menjawab berbagai tantangan sesuai dengan perannya sebagai
organisasi perjuangan yang harus tampil sebagai pengambil inisiatif dalam memajukan
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi justru sebaliknya
HMI secara umum mengalami kemunduran, yang secara intensif disinyalir Agussalim
Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduruan HMI.
Jika
pada fase tantangan I (1964-1965) HMI dihadapkan pada tantangan eksternal yaitu
menghadapi PKI, pada fase tantangan II ini HMI dihadapkan sekaligus pada dua
tantangan besar secara internal dan eksternal sekaligus.
Pertama,
tantangan internal. Kajian tentang HMI saat ini menunjukkan bahwa dalam
kehidupan sekarang dan mendatang, HMI ditantang:
a.
Masalah eksistensi dan
keberadaan HMI, seperti menurunnya jumlah mahasiswa baru masuk HMI, tidak
terdapatnya HMI diberbagai perguruan tinggi, institut, fakultas, akademi,
program studi, sebagai basis HMI.
b.
Masalah relevansi
pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang mendasar
terhadap berbagai masalah yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia.
c.
Masalah peran HMI
sebagai organisasi perjuangan yang sanggup tampil dalam barisan terdepan
sebagai avent grade, kader pelopor bangsa dalam mengambil inisiatif
untuk melakukan berbagai perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat.
d.
Masalah efektifitas HMI
untuk memecahkan masalah yang dihadapi bangsa, karena banyak organisasi yang
sejenis maupun yang lain, yang dapat dapat tampil lebih efektif dan dapat
mengambil inisiatif terdepan untuk memberi solusi terhadap problem yang
dihadapi bangsa Indonesia.
Sebagai
jawabannya, menurut perpecahan yang bersifat teoritis dan praktis, akan tetapi
semuanya bersifat konseptual, integratif, inklusif. Sebab pendekatan yang tidak
konseptual, parsial dan ekslusif tidak akan melahirkan jawaban yang efektif.
Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran dari anggota aktifitas kader, dan
pengurus HMI di seluruh jenjang organisasi.
Kedua,
tantangan eksternal. Berbagai tantangan eksternal juga
dihadapkan kepada HMI yang tidak skala besar dan rumitnya dari tantangan
internal, antara lain:
a.
Tantangan menghadapi
perubahan jaman yang jauh berbeda dari abad ke-20 dan yang muncul pada abad
ke-21 ini.
b.
Tantangan terhadap
peralihan generasi yang hidup dalam
jaman dan situasi yang berada dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang
dijalani generasi muda bangsa.
c.
Tantangan untuk
mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI, yang akan menggantikan alumni-alumni
HMI yang saat ini menduduki berbagai posisi strategis dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena regenerasi atau pergantian
pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau, pasti terus berlangsung.
d.
Tantangan menghadapi
bahaya abadi komunis.
e.
Tantangan menghadapi
golongan lain, yang mempunyai misi lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia.
f.
Tantangan tentang
adanya kerawanan aqidah.
g.
Tantangan menghadapi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terus berkembang tanpa henti.
h.
Tantangan menghadapi
perubahan dan pembaharuan di segala aspek kehidupan manusia yang terus
berlangsung sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat kompetitif.
i.
Tantangan menghadapi
masa depan yang belum dapat diketahui bentuk dan coraknya.
j.
Kondisi umat Islam di
Indonesia yang dalam kondisinya belum bersatu.
k.
Kondisi dan keadaan
Perguruan Tinggi serta dunia kemahasiswaan, kepemudaan, yang penuh dengan
berbagai persoalan dan problematika yang sangat kompleks.
l.
Tantangan HMI menuju
Masyarakat Ekonomi Asean (peny).
m. Tantangan
menghadapi politik Indonesia yang tidak kondusif dan tidak membangun karakter
kebangsaan Indonesia.
Pada fase tantangan II
ini, nampaknya HMI semakin memudar dan mundur yang telah berlangsung 25 tahun
sejenak, dari tahun 1980-2005. HMI tidak mampu bangkit secara signifikan,
bahkan dalam dua periode terakhir PB HMI mengalami perpecahan. Karena itu,
menghadapi tantangan tersebut, HMI dengan segenap aparatnya harus mampu
menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi yang tinggi. Apakah HMI mampu
menghadapi tantangan itu, sangat ditentukan oleh pemegang kendali organisasi
sejak dari PB HMI, Pengurus Badko HMI, Cabang HMI, Korkom HMI, Komisariat,
Lembaga-Lembaga Kekaryaan, serta segenap anggota HMI, maupun alumninya yang
tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta penyempurna mission
sacre HMI. Peralihan jaman, peralihan generasi, saat ini menentukan bagi
eksistensi HMI di masa mendatang.
11. Fase Kebangkitan Kembali
Gelombang kritik
terhadap HMI tentang kemundurannya telah menghasilkan dua umpan balik. Pertama,
telah muncul kesadaran individual dan kesadaran kolektif (bersama-peny)
di kalangan anggota, aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurs dimulai
dari Komisariat sampai PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran. Kedua,
selanjutnya dari kesadaran itu muncul kesadaran baru, baik secara individual
dan kesadaran bersama dikalangan anggota, aktivis, kader, alumni dan pengurus
bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan pembaharuan supaya dapat
bangkit kembali seperti masa jaya-jaya dulu.
Sampai sejauh mana
kebenaran dan bukti adanya indikator-indikator kebangkitan kembali HMI,
sejarahlah yang akan menentukan kelak. Kita semua berharap dengan penuh optimis
sesuai dengan ajaran Islam supaya manusia bersikap optimis, agar HMI dapat
mengakhiri masa kemundurannya dan memasuki masa kebangkitannya secara
meyakinkan.
Di tangan generasi
sekaranglah sebagai generasi penerus, pelanjut, dan penyempurna perjuangan
organisasi mahasiswa Indonesia tertua ini (HMI). Yakinkan dengan Iman, Usahakan
dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal, Bahagia HMI, Jayalah Kohati, Yakin Usaha
Sampai (peny).[IAR]
Terima Kasih, artikelnya sangat bagus..
ReplyDelete