YakusaBlog- Tidak
semua alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi pejabat, itu pasti.
Mengingat, mereka pasti punya latar belakang masing-masing dalam berkiprah di
dunia nyata. Dan Munir, pastinya bukan pejabat. Dia, bahkan bergerak di ranah
yang beresiko dituduh sebagai pihak yang “melawan negara” ketika bergerak dalam
isu dan perjuangan hak-hak asasi menusia di Indonesia, pada era transisi
politik pasaca Orde Baru.
Alumni
HMI Cabang Malang (dia ketika itu kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang) ini memilih jalur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sebelum
mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) pada 16
April 1996, Munir aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mula-mula di Malang,
kemudian di Surabaya, dan pindah ke Jakarta.
Semua
yang pernah sezaman dengan Munir ketika aktif di HMI merasakan, dia tidak
setengah-setengah. Dia demikian aktif, bahkan ketika sudah alumni sekalipun dia
masih rajin mengisi latihan-latihan kepemimpinan. Ny. Suciwati, istri almarhum
Munir pernah berkisah: bahkan ketika masa-masa pengantin baru pun, Munir sering
meninggalkannya, demi mengisi acara di HMI. “Dia sangat cinta sama HMI. Kalau
sudah janji mengisi acara HMI, apapun dia tinggalkan, termasuk dengan
keluarganya.” Kata Suciwati suatu ketika.
Sebagai
aktivis yang berlatar belakang Fakultas Hukum, Munir mengajarkan pada para
kader HMI untuk peka terhadap ketidakadilan. Berpijak pada Nilai-nilai Dasar
Perjuangan (NDP) HMI, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan. Islam
mengajarkan umatnya untuk membela kaum mustadh’afin
yang teraniaya, tertindas, terdzalimi, di mana penyebab semua itu bisa bersifat
struktural. Munir selalu menekankan agar idealisme para aktivis mahasiswa
selalu dijaga.
Banyak
hal yang membuat para mahasiswa tergoda pada segi-segi pragmatisme yang gampang
mengugurkan idealisme mereka. Untuk menjaga agar idealisme tak luntur, maka
sikap kritis dalam membela yang teraniaya, menegakkan keadilan (sekecil apapun
yang diperbuat untuk itu) harus terus dipegang. Karena Islam adalah agama
keadilan. Keadilan harus diikhtiarkan terus-menerus oleh umatnya.
Kini
Munir telah almarhum. Dia meninggal pada 7 September 2004 (Munir lahir di
Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965) dalam pesawat di perjalanan menuju
Amsterdam, Belanda. Di atas langit Rumania, atau dua jam sebelum mendarat di
Bandara Schipol Amsterdam, Munir menghembuskan nafas terakhir, setalah
berjam-jam lamanya dalam penerbangan tersebut dia buang-buang air. Hanya
beralaskan selimut di lantai pesawat bernomor penerbangan GA 974 tujuan
Amsterdam, Munir menemui takdirnya, meninggal di negeri jauh tanpa didampingi
keluarga atau orang-orang terdekatnya.
Aktivis
HAM ini lantas diotopsi pemerintah Belanda. Hasilnya, tubuhnya kedapatan zat
arsenik dalam jumlah banyak. Racun itulah penyebab meninggalnya pria berambut
pirang asal Batu, Jawa Timur ini. Itu semua dikaitkan dengan aktivitasnya
sebagai pegiat HAM yang berani. Munir berada di barisan paling depan dalam isu-isu
HAM, yang berani mengungkap kasus-kasus penculikan aktivis di era senjakala
Orde Baru. Kegiatannya tentu penuh resiko. Dan resiko itu telah ditempuhnya,
ada yang tak suka, Munir pun diracuninya. Dia pun dikenang sebagai pejuang HAM
yang selalu dikenang.
Di
KontraS, nama Munir mulai bersinar. Perjuangan Munir menjadi inspirasi banyak
pihak, terutama generasi penerusnya. Munir sendiri, usai kepengurusannya di KontraS, ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia
Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Saat
menjabat Koordinator KontraS, dia membela para aktivis yang menjadi korban
penculikan Tim Mawar dari Kopassus.
Atas
perjuangannya, dia memperoleh The Right
Livelihood Award di Swedia (2000), suatu penghargaan prestisius yang
disebut sebagai Nobel alternatif dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedeia di
bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia.
Sebelumnya, majalah Asiaweek (Oktober
1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia
pada milenium baru dan Man of The Year
versi majalah ummat (1998).[IAR]
Sumber
tulisan: M Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka
yang Mencipta dan Mengabdi;Jejak Langkah Alumni HMI, Bekasi: PT Penjuru
Ilmu Sejati, 2016, hal: 211-214.
No comments:
Post a Comment