Epistemologi, Metodologi dan Nalar Komunikatif Menurut Jurgen Habermas - Yakusa Blog

YakusaBlog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 9 May 2017

demo-image

Epistemologi, Metodologi dan Nalar Komunikatif Menurut Jurgen Habermas


habermas

YakusaBlog-Berangkat dari pada ancaman-ancaman polemik yang telah menggaungkan api asmara kecemburuan, dan kecemburuan yang terjadi di dalam ranah sosial cultural zaman kontemporer saat ini, mengisahkan keberagaman paradigmaisme pluralitas, kewaspadaan mungkin menjadi kunci akan suatu kemulusan jalan keluar dari apa yang kita kenal sebagai solusi, di mana solusi tersebut bukanlah jebakan aporia apologi tetapi adalah solusi konkrit yang menawarkan perubahan-perubahan pada misi revolusioner. Menyangkut kaitaannya dengan pembahasan ini telah hadir salah satu filsuf, tokoh kaliber, yakni; Jurgen Habermas, yang di lahirkan di jerman 18 juni 1929, ia merupakan penerus marxian yang sangat kritis dari generasi kedua Mazhab Franfrut.


Sandaran Epistimologi Jurgen Habermas

Teori kritis mengalami kemacetan dalam proyek progmatisnya, dan Habermas sendiri sebagai generasi kedua Mazhab Franfrut, maka menjadi keharusan atas persoalan tersebut. dengan pemikiran brilian yang di wariskan marx, habermas mengataakan teori kritis harus memiliki maksut atau dimensi praksis. Hal ini mengimplikasikan adanya sebuah pembeda antar kepentingan kerja dengan paradigma komunikasi, paradigma kerja erat kaitannya pada kepentingan-kepentingan teknis, sementara paradigma komunikasi lebih berkaitan dengan kepentingan praktis.

Dengan mendasarkan gerak pemahaman pada pemikiran Edmun Husrel tentang Fenomenologi, Habermas melancarkan kritik terhadap krisis yang di alami ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Kemudian Husrel melanjutkan kritik ilmu pengetahuan dalam tiga langkah. Pertama, bahwa ilmu pengetahuan jatuh pada objektivisme, yakni cara pandang yang melihat dunia sebagaai susunan fakta objektif dalam kaitannya niscaya; kedua, subjek di telan oleh tafsiran objektif monoton; dan yang ketiga, krisis ilmu pengetahuan di sebabkan oleh kesalah pahaman disiplin ilmiah mengenai konsep teori murni.

Habemas di sini mengandaikan sebuah frosa kalimat yakni; berfikir bersama Husrel melawan Husrel yang di anggapnya masih terburu-buru menempatkaan kesimpulan pada teori sejati. Diakui Habermas Fenomenologi Husrel memang berusaha menemukan teori terhadap dunia kehidupan yang di hayaati, akan tetapi Habemas tidak setuju pada hasil akhir Fenomenologi menghasilkan teori murni. Teori muurni hasil pendekatan Fenomenoloogi adalah tujuan ontologi. Husrel memaang berhasil mengkritik positivisme, tetapi, menurut Habermas, dia tidak melihat kaitan positivisme dengan ontologi dalam hal pemahaman tentang kaitannya dengan teori murni itu. Dalam kaitan pemahaman ini, maka, Habermas mengasalkan pendasaran Epistemologinya pada konsep asli mengenai’theorea’ yang berarti kontemplasi atas kosmos atau realitas. Kata ini berakar pada kosmologi tradisi relegius yunani purba. Dengan melakukan kontemplasi, sang filsuf berusaha menemuukan yang tetap dan yang berubah-ubah, dan sebuah usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos itulah seluruh realitas ontologi. dan Kemudian Habermas mencoba mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni dengan proses emansipasi[1].

Dalam karya sitematis Habermas yang berjudul knowledge and human interest, Habemas mncoba untuk menjelaskan cakupan persoalan pertautan antara pengetahuan dan kepentingan, kemudian membedakan dalam tiga cakupan ilmu: pertamailmu-ilmu empris analitis (ilmu-ilmu alam) yang berada pada kepentingan-kepentingan teknis, kedua ilmu-ilmu historis hermeneutis (ilmu-lmu sosial-kemanusiaan) yang berusaha memahami makna dan bukan menjelaskan fakta yang telah di observasi. Menyikapi terminologi ini maka tugas penafsir memegang peranan penting untuk mengkonfirmasikan makna dalam kata, danketiga, ilmu kritis, yang merupakan dasar penelitian-penelitian ilmu sosial menjelaskan tingkah laku. Dengan menempatkan refleksi-diri Habermas merujuk pada kritik-ideologi-Marx dan psikoanalisis Freud sebagai tata laksana metodenya. kemudian ilmuan kritis di arahkan pada sebuah pemaknaan kepentingan kognitif emansipatoris.

Untuk semata-mata memeperjelas penjabaran atas epistemologi Jurgen Habermas, demikian adalah penguraian berdasarkan skematisasinya.

Dimensi Kerja
Dimensi Komunikasi
Dimensi Kekuasaan
Kepentingan
Teknis
Praktis
Emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interprestasi
Analisis
Sifat ilmu
Empiris-analitis
Historis-hermeneutis
Refleksi diri
Jenis ilmu
Ilmu alam, ilmu sosial empiris
Ilmu humoniora, ilmu sosial simbolis
Ilmu kritis
Tindakan
Tindakan rasional bertujuan
Tindakan komunikatif
Tindakan revolusioner emansipatoris
Unkapan
Proposisi-proposisi deduktif nomologal
Bahasa linguistik sehari-hari, languagegame dialogal
Pembicaraan emansipatoris ungkapa-ungkapan
Metodologi
Empiris-analitis
Historis-hermeneutika
Refleksi diri
Sistematika metodis
Ilmu empiris-analitis
Ilmu historis hermeneutis
Ilmu kritis (kritik ideologi marxian dan psiko-analisis freudian)
Matriks.1
(Budi Hardiman, 1992: 193; Jurgen Habermas, 1971: 313; dan imam Samroni, 2002: 68)

Melalui refleksi-diri dengan menunjuk teori kritis Marx dan psikoanalisis freud adalah kerangka sebuah metode habermas yang ia sebutnya sendiri sebagai kepentingan-kognitif-emansipatoris, mencirikan pengandaian membebaskan belenggu-belenggu  yang membelenggu dari dalam[2].



Pelaku Tindakan
Tindakan
Orientasi pada sukses
Orientasi pada pencapaian pemahaman
Non-sosial
Tindakan instrumental

Sosial
Tindakan strategis
Tindakan komunikatif
Matriks.2

Dalam kaitannya dengan pembedaan pemakanaan antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif, menurut habermas hal ini terbentuk dari pada tindakan strategis-bertujuan menghasilkan atau berorientasi pada sukses ( dapat memanipulasi keadaan seperti apa yang di cita-citakan oleh keinginan ) sedangkan tindakan komunikatif bertujuan sebagai interaksi yang intersubyektif dengan kata lain menciptakan dimensi kesadaran saling pemahaman. 

Kendatipun penerimaan tindakan instrumen-bertujuan sennantiasa di dominasikan dalam proses pembentukan kesadaran-tindakan-sosial, karena persoalan ini seperti apa yang di nyatakan habermassebuah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis[3]


Psikoanalisis Freud Sebagai Metodologi Tentang Refleksi-Diri

Ketertarikan habermas mengenai tafsir mimpi yang telah di perlihatkan oleh seorang filsuf berkebangsaan jerman yakni; siegmund freud dalam hal ini, habermas sangat antusias memungkinkan metodologi bagi programatis teori kritisnya. Pada pendahuluan mengenai keterkaitan tafsir mimpi freud pada metodologi teori kritis habermas, kita memmulai perbincangan dengan menyepakati sub-pembahasan ini menjadi tafsir mimpi sebaagai hermenautika-dalam.persoalanini berimpikasi sebagai pertanyaan mengapa demikian menjadi hermeneutika dalam, bukan hermeneutika itu sendiri?, karena hal ini berhubungan dengan tafsir, kemudian di lanjutkan dengan kata penafsiran dan kata ini merujuk pada arti dari interpretasi yang berhubungan dekat dalam setiap jengkal pembahasaan pada hermeneutika. hermeneutik-dalam pada pengertian ini,yakni; tafsir mimpi yang di kembangkan oleh freud merujuk persoalan-persoaln psikis yang dalam arti freud pembedahan/penyingkapan ketidaksadaran dan di alami secara tidak normal, persoalan psiikoanaalisis di sini di hubungkan dengan persoalan teks dan membutuhkan hermeneutika-dalam agar dapat menyingkap ketidak jelasan teks-teks terselubung, berbeda dengan hermeneutika biasa yang menanggalkan hubungannya dengan teks normal dalam arti kata permasalahan filologi, tetapi psikoanalisis di sini berhadapan dengan teks yang pengarangnya sendiri tidak memahami tek yang ia ciptakan sendiri, sebab, menurut habermas adalah hasil distorsi dari bahasa simbol  yang tak sadar di lakukan pengarangnya akibat dari ganggun-ganggguan psikis, dan harus di maknai dengan sanggat penuh kehatti-hatian karenanya habermas menilik lebih dalam terhadap psikoanalisis ini pada penyelidikan unsur sensoris dan resistensi.

Relevansi antara sensor dan resistensi dalam psikoanalisis freud adalah patologis yakni; penipuan diri yang tidak di sadari dan di alami oleh keadaan-keadaan tertentu, habermas memaknai patologis dengan tiga pemaknaan atau struktur simbol. Penyebab penipiuan diri ialah neurosis, dan neuorosis sendiri dalam kaitannya dengan psikoanalisis adalah gejala penyakit yang menyebabkan penipuan diri itu dapat terjadi, kemudian struktur simbol termanifestasikan dalam dimensi; bahasa,tindakan dan ekspresi. Dan gejala bahwa orang yang bermimpi dan merasa asing dengan mimpinya dapat di sebut sebagai contoh keadaan patologis.

Kita akan lihat bagaimana habermas menugaskan hermenutika-dalam pada kasus-kasus teks yang di tulis secara terselubung ini dengan mengonsentrasikan kepada persoalan sensor dan resistensi secara berkala yang di curigai habermas sebagai menghasilkan ditorsi itu. Bahasa lambang yang tidak di kenali oleh pengarangnya sendiri ini di katakan oleh freud di sebabkan oleh resitensi. Kemudian resistensi ini tampil  dalam selubung simbolis, menurut habermas resistensi menunjukan adanya sebuah konflik; ada dua kekuatan yang menunjukan adanya saling bertegangan. Yang satu berusaha mengungkapkan dan yang saatuna lagi berusaha menutupi ungkapan, dan di lain waktu adanya kekuatan lain yang menggantikan keduanya dan berusaha meniadakan. sehingga tidak terungkapkan makna asli dari pada keduanya, begitupun untuk mengakurkan keduanya dengan diadakan sebuah kompromi yang di lengkapi atas penyesuaian sensor dan resistensi.

Habermas lalu menghubungkan sensor mimpi ke dalam sensor sosial, pendapatnya bahwa sensor mimpi memiliki kekuatan hubungan yang memungkinkan mendominasi induvidu selama tidurnya. Kekuatan mengontrol pecrcakapan dan tindaakan dari induvidu. Maka dengan hal ini sensor harus menghilangkan interpretasi yang berhubungan langsung dengan keadaan pengontrolan. Dalam hal ini habermas membedakan antara bahasa publik dan bahasa privasi. Keadaan yang bersemayam dalam diri induvidu juga berhubungan dengan kekuatan represi sosial. Sebuah tatanan masyarakat denngan perlengkapan institusi-institusinya itu hanya memperbolehkan interaksi yang lazim pada bahasa publik, hasrat terlarang di singkirkan dari bahasa publik atau represi publik, dengan ini hasrat kemudian menyampaikan pemaknaan dari hasil privatisasi publik pada pengukapannya yang tak sadar. Dari penjelasan itu habermas menyatakan dalam lanjutan penyelidikan atas sensor, tugas hermeneutika-dalam menguraikan penjelasan dari gejala-gejala atau prstiwa-pristiwa layaknaya arkeologi.


Komunikasi yang Di Dalamnya Komunikatif

Habemas dengan ini meyakini bahwa motor penggerak dalam perkembangan masyarakat adalah proses belajar masyarakat yang pada gilirannya sampai pada kodisi ideal dengan mensinyalir konsensus terjadi dalam perbincangan rasional dari pada induvidu perinduvidunya. Tidak seperti Karl Marx dengan secara tegas menunjuk masyarakat sosialis sebagai bentuk masyarkat yang di cita-citakan, habermas justru menunjukan ciri normatif dari masyarakat ideal itu, yang di harapkan oleh habermas yakni; suatu bentuk masyarakat yang bebas dari dominasi.

Bentuk masyarakat komunnikatif yang di bayangkan habermas ialah realitas rasional yang di jadikan paradigma tidak harus di tunjukan pada golongan lapisan masyarakat tertentu, melainkan rasio berkepentingan atau dengan kata lain keberpihakan rasio yang mencirikan kepentingan emansipatoris. Yang mencoba mendobrak kekuasaan dogmatisme dan sebagai alasan untuk memaklumkan refleksi-diri dapat terjadi pada kepentingan-kepentingan anggota kelompok-kelompok masyarakat. Habermas menyadari dalan teori itu, tercapailah dengan apa yang di sebut sebagai pencerahan yang adalah proses emansipasi dari kekangan-kekangan ideologi dan dogmatisme.

Dalam arti inilah perjungan kelas di ganti dengan perbincangan rassional. Perjuangan kelas bukanlah suatu praxis revolusioner yang berusaha mengalahkan kelas, dan di gantikan oleh kelas yang lain, melainkan menciptakan situasi-situasi argumentatif yang mendukung kebebasan induvidu dalam suatu keadaan diskursus atau perbincangan rasisional, agar dapat mengisyaratkan konsensus dapat terjadi. Sebagaimana seperti apa yang di jelaskan habermas bahwa, proses belajar masyarakat dapat secara evulusioner tergantung dari pada anggota induvidu-induvidu mengedepankan kompotensi. Kemudian habermas menjelaskan dengan tiga sketsa penahapan akan tercapinya kompotensi komunikatif.

Tahap pertama adalah interaksi melalui simbol-simbol, memungkinkan tuturan dan tindakan masi berelevansi dengan kerangka kerja sebuah bentuk komunikasi tunggal yang memerintah. Kedua tahap tuturan yang di defrensiasikan dengan pernyataan-pernyataan, yang melihat pertama kalinya antara tindakan dan tuturan terpisah. Setiap induvidu juga dapat menjadi pelaku sekaligus pengamat, di mana setiap tingkah laku induvidu memebentuk sebuah sistem motivasi timbal balik. Ketiga,tahap perbincangan (diskursus) argumentatif, komunikasi sudah menyangkut klaim-klaim kesahihan-tuturan.

Akan tetapi bukanlah yang ingin di jelaskan oleh habermas dari segi kognitif dari perkembangan komunikasi masyaraktat melainkan memungkinkan bagaimana kenyataan sosial tertentu dapat muncul tahap ke tahap. Pada tahap pertama, sebuah tatanan kenyataan yang sama. Tahap kedua, ada dua macam tatanan kenyataan yang terpisah yaitu; tataran kenyataan tindakan-tindakan dan tataran kenyataan yang bersembunyi dari motif-motif tatanan tindakan itu.

Begitupun norma dan tindakan di pisahkan satu sama lain. Paa tahap ketiga, prinsip-prinsip dan motif-motif di tempatkan pada tataran yang berbeda dari ttanan sistem tindakan. Habermas menyatakan dengan melalui penahapan tersebut memungkinkan masyarakat komunikatif itu dapat terjadi, melalui perbincangan rasional guna memaklumkan tercapainya konsensus, antara kelompok masyarakat secara dialogis, kemudian terangkup dalam kalimat habermas ialah proseddur-prosedur dan prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip ( legitimasi norma-norma yang di sepakati). Mungkin itu barangkali perkembangan masyarakat evolusi yang di kadang-kadangkan oleh habermas.


Catatan Sebagai Kesimpulan

Upaya habermas menciptakan masyarakat komunikatif yang memaklumkan  terjadinya konsensus sekaligus adalah proses perbincangan rasional (diskursus dialogal) memiliki tujuan tentang situasi-situasi atau keadaan-keadaan yang mendukung  kepentingan-kognitif-emansipasi.

Habermas juga tidak sekonyong-konyong menambatkan cita-cita rasionalitas pada point kognitif sebagai hasil akhir, akan tetapi ruang publik dan pembedaaan demokrasi liberalisme juga tidak hanya di lihat pada satu sudut pandang objektifisme semata, tetapi coba untuk mendeleberasikan mengenai prinsip-prinsip hukum kodrat-normatif dan hukum universal agar tercapainya demokrasi bebas dominasi kekuasaan absolud.[]

Kader HMI Cabang Yogyakarta Raya


Judul Tulisan: mengenai banyak hal tulisan ini merupakan sebuah refleksi pemikiran dari jurgen habermas yang di tulis F.Budi Hardiman,1993,Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta
[1]Budi hardiman, f., kritik ideologi; pertautan antara ppengetahuan dan kepentingan, yogyakarta, kanisius, 1990.

[3]Budi hardiman, f , krtikik ideologi; pertautan antara pengetahuan dan kepentingan, hlm, 99


Sumber gambar ilustrasi: https://www.marxists.org/

Comment Using!!

No comments:

Post a Comment