YakusaBlog-Berangkat dari pada ancaman-ancaman polemik yang telah menggaungkan api
asmara kecemburuan, dan kecemburuan yang terjadi di dalam ranah sosial cultural
zaman kontemporer saat ini, mengisahkan keberagaman paradigmaisme pluralitas,
kewaspadaan mungkin menjadi kunci akan suatu kemulusan jalan keluar dari apa
yang kita kenal sebagai solusi, di mana solusi tersebut bukanlah jebakan aporia
apologi tetapi adalah solusi konkrit yang menawarkan perubahan-perubahan pada
misi revolusioner. Menyangkut kaitaannya dengan pembahasan ini telah hadir
salah satu filsuf, tokoh kaliber, yakni; Jurgen Habermas, yang di lahirkan di
jerman 18 juni 1929, ia merupakan penerus marxian yang sangat kritis dari
generasi kedua Mazhab Franfrut.
Sandaran Epistimologi Jurgen Habermas
Teori kritis mengalami kemacetan dalam proyek progmatisnya, dan Habermas
sendiri sebagai generasi kedua Mazhab Franfrut, maka menjadi keharusan atas
persoalan tersebut. dengan pemikiran brilian yang di wariskan marx, habermas
mengataakan teori kritis harus memiliki maksut atau dimensi praksis. Hal ini
mengimplikasikan adanya sebuah pembeda antar kepentingan kerja dengan paradigma
komunikasi, paradigma kerja erat kaitannya pada kepentingan-kepentingan teknis,
sementara paradigma komunikasi lebih berkaitan dengan kepentingan praktis.
Dengan mendasarkan gerak pemahaman pada pemikiran Edmun Husrel tentang
Fenomenologi, Habermas melancarkan kritik terhadap krisis yang di alami ilmu
pengetahuan yang berkembang dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Kemudian Husrel
melanjutkan kritik ilmu pengetahuan dalam tiga langkah. Pertama,
bahwa ilmu pengetahuan jatuh pada objektivisme, yakni cara pandang yang melihat
dunia sebagaai susunan fakta objektif dalam kaitannya niscaya; kedua,
subjek di telan oleh tafsiran objektif monoton; dan yang ketiga,
krisis ilmu pengetahuan di sebabkan oleh kesalah pahaman disiplin ilmiah
mengenai konsep teori murni.
Habemas di sini mengandaikan sebuah frosa kalimat yakni; berfikir bersama
Husrel melawan Husrel yang di anggapnya masih terburu-buru menempatkaan
kesimpulan pada teori sejati. Diakui Habermas Fenomenologi Husrel memang
berusaha menemukan teori terhadap dunia kehidupan yang di hayaati, akan tetapi
Habemas tidak setuju pada hasil akhir Fenomenologi menghasilkan teori murni.
Teori muurni hasil pendekatan Fenomenoloogi adalah tujuan ontologi. Husrel
memaang berhasil mengkritik positivisme, tetapi, menurut Habermas, dia tidak
melihat kaitan positivisme dengan ontologi dalam hal pemahaman tentang
kaitannya dengan teori murni itu. Dalam kaitan pemahaman ini, maka, Habermas
mengasalkan pendasaran Epistemologinya pada konsep asli mengenai’theorea’ yang
berarti kontemplasi atas kosmos atau realitas. Kata ini berakar pada kosmologi
tradisi relegius yunani purba. Dengan melakukan kontemplasi, sang filsuf
berusaha menemuukan yang tetap dan yang berubah-ubah, dan sebuah usaha untuk
menemukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos itulah seluruh realitas
ontologi. dan Kemudian Habermas mencoba mengaitkan usaha untuk memperoleh teori
murni dengan proses emansipasi[1].
Dalam karya sitematis Habermas yang berjudul knowledge and human
interest, Habemas mncoba untuk menjelaskan cakupan persoalan pertautan
antara pengetahuan dan kepentingan, kemudian membedakan dalam tiga cakupan
ilmu: pertamailmu-ilmu empris analitis (ilmu-ilmu alam) yang berada
pada kepentingan-kepentingan teknis, kedua ilmu-ilmu historis
hermeneutis (ilmu-lmu sosial-kemanusiaan) yang berusaha memahami makna dan
bukan menjelaskan fakta yang telah di observasi. Menyikapi terminologi ini maka
tugas penafsir memegang peranan penting untuk mengkonfirmasikan makna dalam
kata, danketiga, ilmu kritis, yang merupakan dasar
penelitian-penelitian ilmu sosial menjelaskan tingkah laku. Dengan menempatkan
refleksi-diri Habermas merujuk pada kritik-ideologi-Marx dan psikoanalisis
Freud sebagai tata laksana metodenya. kemudian ilmuan kritis di arahkan pada
sebuah pemaknaan kepentingan kognitif emansipatoris.
Untuk semata-mata memeperjelas penjabaran atas epistemologi Jurgen
Habermas, demikian adalah penguraian berdasarkan skematisasinya.
|
Dimensi Kerja
Dimensi Komunikasi
Dimensi Kekuasaan
Kepentingan
Teknis
Praktis
Emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interprestasi
Analisis
Sifat ilmu
Empiris-analitis
Historis-hermeneutis
Refleksi diri
Jenis ilmu
Ilmu alam, ilmu sosial empiris
Ilmu humoniora, ilmu sosial simbolis
Ilmu kritis
Tindakan
Tindakan rasional bertujuan
Tindakan komunikatif
Tindakan revolusioner emansipatoris
Unkapan
Proposisi-proposisi deduktif nomologal
Bahasa linguistik sehari-hari, languagegame dialogal
Pembicaraan emansipatoris ungkapa-ungkapan
Metodologi
Empiris-analitis
Historis-hermeneutika
Refleksi diri
Sistematika metodis
Ilmu empiris-analitis
Ilmu historis hermeneutis
Ilmu kritis (kritik ideologi marxian dan psiko-analisis freudian)
Matriks.1
(Budi Hardiman, 1992: 193; Jurgen Habermas, 1971: 313; dan imam Samroni,
2002: 68)
Melalui refleksi-diri dengan menunjuk teori kritis Marx dan psikoanalisis
freud adalah kerangka sebuah metode habermas yang ia sebutnya sendiri
sebagai kepentingan-kognitif-emansipatoris, mencirikan pengandaian
membebaskan belenggu-belenggu yang membelenggu dari dalam[2].
Pelaku Tindakan
|
||
Tindakan
|
Orientasi pada sukses
|
Orientasi pada pencapaian pemahaman
|
Non-sosial
|
Tindakan instrumental
|
|
Sosial
|
Tindakan strategis
|
Tindakan komunikatif
|
Matriks.2
Dalam kaitannya dengan pembedaan pemakanaan antara tindakan strategis dan
tindakan komunikatif, menurut habermas hal ini terbentuk dari pada tindakan strategis-bertujuan
menghasilkan atau berorientasi pada sukses ( dapat memanipulasi keadaan seperti
apa yang di cita-citakan oleh keinginan ) sedangkan tindakan komunikatif
bertujuan sebagai interaksi yang intersubyektif dengan kata lain menciptakan
dimensi kesadaran saling pemahaman.
Kendatipun penerimaan tindakan
instrumen-bertujuan sennantiasa di dominasikan dalam proses pembentukan
kesadaran-tindakan-sosial, karena persoalan ini seperti apa yang di nyatakan
habermassebuah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis[3]
Psikoanalisis Freud Sebagai Metodologi Tentang Refleksi-Diri
Ketertarikan habermas mengenai tafsir mimpi yang telah di perlihatkan oleh
seorang filsuf berkebangsaan jerman yakni; siegmund freud dalam hal ini,
habermas sangat antusias memungkinkan metodologi bagi programatis teori
kritisnya. Pada pendahuluan mengenai keterkaitan tafsir mimpi freud pada
metodologi teori kritis habermas, kita memmulai perbincangan dengan menyepakati
sub-pembahasan ini menjadi tafsir mimpi sebaagai
hermenautika-dalam.persoalanini berimpikasi sebagai pertanyaan mengapa demikian
menjadi hermeneutika dalam, bukan hermeneutika itu sendiri?, karena hal ini
berhubungan dengan tafsir, kemudian di lanjutkan dengan kata penafsiran dan
kata ini merujuk pada arti dari interpretasi yang berhubungan dekat dalam
setiap jengkal pembahasaan pada hermeneutika. hermeneutik-dalam pada pengertian
ini,yakni; tafsir mimpi yang di kembangkan oleh freud merujuk
persoalan-persoaln psikis yang dalam arti freud pembedahan/penyingkapan
ketidaksadaran dan di alami secara tidak normal, persoalan psiikoanaalisis di
sini di hubungkan dengan persoalan teks dan membutuhkan hermeneutika-dalam agar
dapat menyingkap ketidak jelasan teks-teks terselubung, berbeda
dengan hermeneutika biasa yang menanggalkan hubungannya dengan teks normal
dalam arti kata permasalahan filologi, tetapi psikoanalisis di sini berhadapan
dengan teks yang pengarangnya sendiri tidak memahami tek yang ia ciptakan
sendiri, sebab, menurut habermas adalah hasil distorsi dari bahasa
simbol yang tak sadar di lakukan pengarangnya akibat dari
ganggun-ganggguan psikis, dan harus di maknai dengan sanggat penuh
kehatti-hatian karenanya habermas menilik lebih dalam terhadap psikoanalisis ini
pada penyelidikan unsur sensoris dan resistensi.
Relevansi antara sensor dan resistensi dalam psikoanalisis freud adalah
patologis yakni; penipuan diri yang tidak di sadari dan di alami oleh
keadaan-keadaan tertentu, habermas memaknai patologis dengan tiga pemaknaan
atau struktur simbol. Penyebab penipiuan diri ialah neurosis, dan neuorosis
sendiri dalam kaitannya dengan psikoanalisis adalah gejala penyakit yang
menyebabkan penipuan diri itu dapat terjadi, kemudian struktur simbol termanifestasikan
dalam dimensi; bahasa,tindakan dan ekspresi. Dan gejala bahwa orang yang
bermimpi dan merasa asing dengan mimpinya dapat di sebut sebagai contoh keadaan
patologis.
Kita akan lihat bagaimana habermas menugaskan hermenutika-dalam pada kasus-kasus
teks yang di tulis secara terselubung ini dengan mengonsentrasikan kepada
persoalan sensor dan resistensi secara berkala yang di curigai habermas sebagai
menghasilkan ditorsi itu. Bahasa lambang yang tidak di kenali oleh pengarangnya
sendiri ini di katakan oleh freud di sebabkan oleh resitensi. Kemudian
resistensi ini tampil dalam selubung simbolis, menurut habermas
resistensi menunjukan adanya sebuah konflik; ada dua kekuatan yang menunjukan
adanya saling bertegangan. Yang satu berusaha mengungkapkan dan yang saatuna
lagi berusaha menutupi ungkapan, dan di lain waktu adanya kekuatan lain yang
menggantikan keduanya dan berusaha meniadakan. sehingga tidak terungkapkan
makna asli dari pada keduanya, begitupun untuk mengakurkan keduanya dengan
diadakan sebuah kompromi yang di lengkapi atas penyesuaian sensor dan
resistensi.
Habermas lalu menghubungkan sensor mimpi ke dalam sensor sosial,
pendapatnya bahwa sensor mimpi memiliki kekuatan hubungan yang memungkinkan
mendominasi induvidu selama tidurnya. Kekuatan mengontrol pecrcakapan dan
tindaakan dari induvidu. Maka dengan hal ini sensor harus menghilangkan
interpretasi yang berhubungan langsung dengan keadaan pengontrolan. Dalam hal
ini habermas membedakan antara bahasa publik dan bahasa privasi.
Keadaan yang bersemayam dalam diri induvidu juga berhubungan dengan kekuatan
represi sosial. Sebuah tatanan masyarakat denngan perlengkapan
institusi-institusinya itu hanya memperbolehkan interaksi yang lazim pada
bahasa publik, hasrat terlarang di singkirkan dari bahasa publik atau represi
publik, dengan ini hasrat kemudian menyampaikan pemaknaan dari hasil
privatisasi publik pada pengukapannya yang tak sadar. Dari penjelasan itu
habermas menyatakan dalam lanjutan penyelidikan atas sensor, tugas hermeneutika-dalam
menguraikan penjelasan dari gejala-gejala atau prstiwa-pristiwa layaknaya
arkeologi.
Komunikasi yang Di Dalamnya Komunikatif
Habemas dengan ini meyakini bahwa motor penggerak dalam perkembangan
masyarakat adalah proses belajar masyarakat yang pada gilirannya sampai pada
kodisi ideal dengan mensinyalir konsensus terjadi dalam perbincangan rasional
dari pada induvidu perinduvidunya. Tidak seperti Karl Marx dengan secara tegas
menunjuk masyarakat sosialis sebagai bentuk masyarkat yang di cita-citakan,
habermas justru menunjukan ciri normatif dari masyarakat ideal itu, yang di
harapkan oleh habermas yakni; suatu bentuk masyarakat yang bebas dari dominasi.
Bentuk masyarakat komunnikatif yang di bayangkan habermas ialah realitas
rasional yang di jadikan paradigma tidak harus di tunjukan pada golongan
lapisan masyarakat tertentu, melainkan rasio berkepentingan atau dengan kata
lain keberpihakan rasio yang mencirikan kepentingan emansipatoris. Yang
mencoba mendobrak kekuasaan dogmatisme dan sebagai alasan untuk memaklumkan
refleksi-diri dapat terjadi pada kepentingan-kepentingan anggota
kelompok-kelompok masyarakat. Habermas menyadari dalan teori itu, tercapailah
dengan apa yang di sebut sebagai pencerahan yang adalah proses emansipasi dari
kekangan-kekangan ideologi dan dogmatisme.
Dalam arti inilah perjungan kelas di ganti dengan perbincangan rassional.
Perjuangan kelas bukanlah suatu praxis revolusioner yang berusaha mengalahkan
kelas, dan di gantikan oleh kelas yang lain, melainkan menciptakan
situasi-situasi argumentatif yang mendukung kebebasan induvidu dalam suatu
keadaan diskursus atau perbincangan rasisional, agar dapat mengisyaratkan
konsensus dapat terjadi. Sebagaimana seperti apa yang di jelaskan habermas bahwa,
proses belajar masyarakat dapat secara evulusioner tergantung dari pada anggota
induvidu-induvidu mengedepankan kompotensi. Kemudian habermas menjelaskan
dengan tiga sketsa penahapan akan tercapinya kompotensi
komunikatif.
Tahap pertama adalah interaksi melalui
simbol-simbol, memungkinkan tuturan dan tindakan masi berelevansi dengan
kerangka kerja sebuah bentuk komunikasi tunggal yang memerintah. Kedua tahap
tuturan yang di defrensiasikan dengan pernyataan-pernyataan, yang melihat
pertama kalinya antara tindakan dan tuturan terpisah. Setiap induvidu juga
dapat menjadi pelaku sekaligus pengamat, di mana setiap tingkah laku induvidu
memebentuk sebuah sistem motivasi timbal balik. Ketiga,tahap perbincangan
(diskursus) argumentatif, komunikasi sudah menyangkut klaim-klaim
kesahihan-tuturan.
Akan tetapi bukanlah yang ingin di jelaskan oleh habermas
dari segi kognitif dari perkembangan komunikasi masyaraktat melainkan
memungkinkan bagaimana kenyataan sosial tertentu dapat muncul tahap ke tahap.
Pada tahap pertama, sebuah tatanan kenyataan yang sama. Tahap kedua, ada dua
macam tatanan kenyataan yang terpisah yaitu; tataran kenyataan
tindakan-tindakan dan tataran kenyataan yang bersembunyi dari motif-motif
tatanan tindakan itu.
Begitupun norma dan tindakan di pisahkan satu sama lain.
Paa tahap ketiga, prinsip-prinsip dan motif-motif di tempatkan pada tataran
yang berbeda dari ttanan sistem tindakan. Habermas menyatakan dengan melalui
penahapan tersebut memungkinkan masyarakat komunikatif itu dapat terjadi, melalui
perbincangan rasional guna memaklumkan tercapainya konsensus, antara kelompok
masyarakat secara dialogis, kemudian terangkup dalam kalimat habermas ialah
proseddur-prosedur dan prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional
sendiri menjadi prinsip ( legitimasi norma-norma yang di sepakati). Mungkin itu
barangkali perkembangan masyarakat evolusi yang di kadang-kadangkan oleh
habermas.
Catatan Sebagai Kesimpulan
Upaya habermas menciptakan masyarakat komunikatif yang
memaklumkan terjadinya konsensus sekaligus adalah proses
perbincangan rasional (diskursus dialogal) memiliki tujuan tentang
situasi-situasi atau keadaan-keadaan yang
mendukung kepentingan-kognitif-emansipasi.
Habermas juga tidak
sekonyong-konyong menambatkan cita-cita rasionalitas pada point kognitif
sebagai hasil akhir, akan tetapi ruang publik dan pembedaaan demokrasi
liberalisme juga tidak hanya di lihat pada satu sudut pandang objektifisme
semata, tetapi coba untuk mendeleberasikan mengenai prinsip-prinsip hukum
kodrat-normatif dan hukum universal agar tercapainya demokrasi bebas dominasi
kekuasaan absolud.[]
Penulis: Muhammad Eko Rasiyanto
Kader HMI Cabang Yogyakarta Raya
Judul Tulisan: mengenai banyak hal tulisan ini merupakan sebuah refleksi pemikiran dari
jurgen habermas yang di tulis F.Budi Hardiman,1993,Menuju Masyarakat
Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta
[1]Budi hardiman, f., kritik ideologi; pertautan antara ppengetahuan
dan kepentingan, yogyakarta, kanisius, 1990.
[3]Budi hardiman, f , krtikik ideologi; pertautan antara pengetahuan
dan kepentingan, hlm, 99
Sumber gambar ilustrasi: https://www.marxists.org/
No comments:
Post a Comment