Ahmad Wahib; Yang Mencatat Pembaharuan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday 13 May 2017

Ahmad Wahib; Yang Mencatat Pembaharuan


YakusaBlog- Dia dikenal setelah meninggal. Justru oleh catatan hariannya yang dibukukan oleh penerbit LP3ES pada 1980-an: Pergolakan Pemikiran Islam. Ahmad Wahib meninggal diusia muda, pada usia 30 tahun. Di lahir di Sampang, 9 November 1942. Meninggal di Jakarta, 31 Maret 1973, karena kecelakaan di tabrak sepeda motor di dekat kantor Majalah Tempo, kawasan Senen, tempat dia bekerja. Lewat tulisan-tulisan Wahib lah, publik menjadi tahu, bagaimana “gerakan pembaharuan Islam” yang dilancarkan oleh Nurcholish Madjid dan yang lain bermula dan berkembang. Semua tak lepas dari HMI sebagai candradimukanya.

Buku Pergolakan Pemikiran Islam yang disunting oleh Djohan Effendy dan Ismet Natsir itu cukup kontroversial. Wahib muda menayakan banyak hal, terkait dengan Tuhan, ajaran Islam, masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Justru karena itu, Indonesianis Douglas E. Ramage misalnya, menyebut Wahib sebagai salah satu “pemikir baru Islam yang revolusioner”.

Pada 1971, Wahib meninggalkan Yogyakarta ke Jakarta. Dia diterima sebagai calon reporter majalah berita mingguan Tempo. Dia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, sebuah perguruan tinggi yang didirikan oleh seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, dia juga ambil bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi, hingga meninggalnya dalam usia muda.

Wahib yang lahir di Madura, tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya pemimpin pondok pesantren dan dikenal luas. Wahib bukan tipe pemikir keagamaan yang konservatif, melainkan terbuka. Dia misalnya, juga mendalami gagasan pembaharuan Muhammad Abduh, dan yang lain. Dia menolak objek-objek kultus seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon, yang disakralkan leluruhnya.

Pembahasan seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “ideologi Islam?” Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideologi politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di Indonesia? Di mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular?

Ketika kuliah di Yogyakarta, Wahib terlibat dalam diskusi-diskusi yang dipandu Mukti Ali (Limited Group), membahas banyak persolan. Wahib masuk HMI dan bergumul dengan para tokoh HMI semasa pergolakan 1960-an. Dia akrab dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Sularso, dan yang lain. Dia mencatat secara runtut, apa yang didapatnya dari persinggungannya dengan para aktivis HMI dan aktivis yang lainnya. Di HMI dia mencatat bagaimana Nurcholish Madjid, ketika itu yang tengah menggencarkan gerakan “pembaharuan pemikiran Islam”. Tapi, juga alasannya untuk pensiun dari HMI.
Wahib tampak merupakan pribadi yang independen. Dalam sati catatannya dia menulis (Catatan Harian 9 Oktober 1969): “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (obsolute entity) tanpa menghubung-hubungakan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”.


Wahib dan Bukunya



Buku Pergolakan Pemikiran Islam dibagi dalam beberapa bab. Pada Bab I disajikan berbagai catatan tentang masalah-masalah keagamaan, baik yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an, kemanusiaan, tata nilai dan alam.

Di sini Ahmad Wahib bergelut dengan berbagai konsep dasar kepercayaan, serta hakikat akan hubungan Tuhan, manusia dan alam, berikut tata nilai yang berkembang, serta pentingnya ke-Islam-an dalam konteks kekinian.

Pada Bab II, lebih banyak mengupas politik yang berkembang kala itu, serta kondisi sosial dan budaya yang dilihat, dirasakan dan dialami Ahmad Wahib. Sedangkan pada Bab III, banyak disajikan pokok-pokok pikirannya tentang peran mahasiswa, konsep perkaderan dan peran organisasi ekstra kampus, serta peran dan fungsi organisasi yang diikutinya, yakni Himpunan Mahasiswa Islam.

Di Bab ini, penyusun buku catatan harian Ahmad Wahib itu sempat menyatakan bahwa dirinya keluar dari HMI, karena banyak pemikirannya yang tidak tertampung, terutama dalam bidang ke-Islam-an, kendatipun akhirnya pria asal Sampang ini merasa puas, setelah HMI merumuskan landasan pemikiran ke-Islam-an yang disebut Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada Kongres HMI IX di Malang yang isinya sesuai dengan pokok-pokok yang selama itu menjadi kegelisahannya.

Sementara pada Bab IV, lebih banyak mengupas catatan pribadi Ahmad Wahib, baik dengan tetangga, kerabat dan keluarganya yang ada di Sampang, Madura.
Bagi Ahmad Wahib, Islam sebenarnya “statis”, akan tetapi pemahaman sosiologisnya dinamis. Karenanya, wajar apabila bayak corak pemikiran. Sumber pokok tentang rujukan Islam hanya dua, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Akal atau yang biasa disebut ijtihad bagi Wahib tidak termasuk di dalamnya. “Bila akal sebagai sumber, maka segala sesuatu yang menjadi produk akal yang kita rasa tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist lalu bernama Islam”, catatnya.

“Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Subki dan Islam menurt yang lain-lain, dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yakni Islam menurut Allah, pembuatnya”, catatnya lagi. Kita bisa memahami kalimat Wahib itu sebagai kegelisahan untuk mencari “Islam yang otentik”. Semangat untuk mencari yang otentik itulah yang menarik, yang memacu setiap Muslim untuk menjadi kaum beriman yang bersikap kritis dalam keberserahannya kepada Tuhan.

Buku Wahib bukan tanpa kritik, termasuk dari mantan Menteri Agama RI Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Meski demikian, tidak sedikit yang menganggap buku ini buah pemikiran segar, yang didadari pada fakta sosial tentang Islam yang terkesan jauh dari praktik nilai-nilai universal yang sebenarnya.

Bahkan, Mantan Ketua PBNU yang juga Presiden RI periode 1999-2002 KH Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa “pemberontakan” pemikiran dengan meragukan Tuhan itu, justru untuk mengukuhkan agama yang diyakininya itu.

Sejak tahun 2003, sebuah sayembara penulisan esai dalam rangka menganang pemikiran Ahmad Wahib diselenggarakan. Maksudnya untuk mendorong anak-anak muda menungkan gagasan kritisnya menganai agama, bangsa dan kemanusiaan melalui tulisan. Dia dipandang pemicu pemikiran kritis, bukan pemikiran untuk “anti-Islam” tetapi untuk “mendalami Islam”.[IAR]


Sumber bacaan: M Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka yang Mencipta dan Mengabdi;Jejak Langkah Alumni HMI, Bekasi: PT Penjuru Ilmu Sejati, 2016, hal: 167-172.

Sumber gambar Wahib: http://alfarabi.hol.es/tag/
Sumber gambar buku:  https://rakbukuonline.wordpress.com

No comments:

Post a Comment