YakusaBlog- Dia dikenal setelah meninggal. Justru oleh catatan hariannya yang dibukukan oleh penerbit LP3ES pada 1980-an: Pergolakan Pemikiran Islam. Ahmad Wahib meninggal diusia muda, pada usia 30 tahun. Di lahir di Sampang, 9 November 1942. Meninggal di Jakarta, 31 Maret 1973, karena kecelakaan di tabrak sepeda motor di dekat kantor Majalah Tempo, kawasan Senen, tempat dia bekerja. Lewat tulisan-tulisan Wahib lah, publik menjadi tahu, bagaimana “gerakan pembaharuan Islam” yang dilancarkan oleh Nurcholish Madjid dan yang lain bermula dan berkembang. Semua tak lepas dari HMI sebagai candradimukanya.
Buku
Pergolakan Pemikiran Islam yang
disunting oleh Djohan Effendy dan Ismet Natsir itu cukup kontroversial. Wahib
muda menayakan banyak hal, terkait dengan Tuhan, ajaran Islam, masyarakat
Muslim, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Justru karena itu, Indonesianis
Douglas E. Ramage misalnya, menyebut Wahib sebagai salah satu “pemikir baru
Islam yang revolusioner”.
Pada
1971, Wahib meninggalkan Yogyakarta ke Jakarta. Dia diterima sebagai calon
reporter majalah berita mingguan Tempo.
Dia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, sebuah
perguruan tinggi yang didirikan oleh seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat
yang sama, dia juga ambil bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi,
hingga meninggalnya dalam usia muda.
Wahib
yang lahir di Madura, tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan
keagamaannya sangat kuat. Ayahnya pemimpin pondok pesantren dan dikenal luas. Wahib
bukan tipe pemikir keagamaan yang konservatif, melainkan terbuka. Dia misalnya,
juga mendalami gagasan pembaharuan Muhammad Abduh, dan yang lain. Dia menolak
objek-objek kultus seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon, yang
disakralkan leluruhnya.
Pembahasan
seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada
persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan “ideologi Islam?” Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah
sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideologi politik dapat dirumuskan demi
kepentingan umat Islam di Indonesia? Di mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular?
Ketika
kuliah di Yogyakarta, Wahib terlibat dalam diskusi-diskusi yang dipandu Mukti
Ali (Limited Group), membahas banyak
persolan. Wahib masuk HMI dan bergumul dengan para tokoh HMI semasa pergolakan
1960-an. Dia akrab dengan Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Sularso, dan yang
lain. Dia mencatat secara runtut, apa yang didapatnya dari persinggungannya
dengan para aktivis HMI dan aktivis yang lainnya. Di HMI dia mencatat bagaimana
Nurcholish Madjid, ketika itu yang tengah menggencarkan gerakan “pembaharuan
pemikiran Islam”. Tapi, juga alasannya untuk pensiun dari HMI.
Wahib
tampak merupakan pribadi yang independen. Dalam sati catatannya dia menulis
(Catatan Harian 9 Oktober 1969): “Aku
bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan
protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah
semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan
memandangku sebagai suatu kemutlakan (obsolute entity) tanpa
menghubung-hubungakan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa
saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”.
Wahib dan Bukunya
Buku
Pergolakan Pemikiran Islam dibagi
dalam beberapa bab. Pada Bab I disajikan berbagai catatan tentang
masalah-masalah keagamaan, baik yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an, kemanusiaan,
tata nilai dan alam.
Di
sini Ahmad Wahib bergelut dengan berbagai konsep dasar kepercayaan, serta
hakikat akan hubungan Tuhan, manusia dan alam, berikut tata nilai yang
berkembang, serta pentingnya ke-Islam-an dalam konteks kekinian.
Pada
Bab II, lebih banyak mengupas politik yang berkembang kala itu, serta kondisi
sosial dan budaya yang dilihat, dirasakan dan dialami Ahmad Wahib. Sedangkan pada
Bab III, banyak disajikan pokok-pokok pikirannya tentang peran mahasiswa,
konsep perkaderan dan peran organisasi ekstra kampus, serta peran dan fungsi
organisasi yang diikutinya, yakni Himpunan Mahasiswa Islam.
Di
Bab ini, penyusun buku catatan harian Ahmad Wahib itu sempat menyatakan bahwa
dirinya keluar dari HMI, karena banyak pemikirannya yang tidak tertampung,
terutama dalam bidang ke-Islam-an, kendatipun akhirnya pria asal Sampang ini
merasa puas, setelah HMI merumuskan landasan pemikiran ke-Islam-an yang disebut
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada Kongres HMI IX di Malang yang isinya
sesuai dengan pokok-pokok yang selama itu menjadi kegelisahannya.
Sementara
pada Bab IV, lebih banyak mengupas catatan pribadi Ahmad Wahib, baik dengan
tetangga, kerabat dan keluarganya yang ada di Sampang, Madura.
Bagi
Ahmad Wahib, Islam sebenarnya “statis”, akan tetapi pemahaman sosiologisnya
dinamis. Karenanya, wajar apabila bayak corak pemikiran. Sumber pokok tentang
rujukan Islam hanya dua, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Akal atau yang biasa
disebut ijtihad bagi Wahib tidak termasuk di dalamnya. “Bila akal sebagai
sumber, maka segala sesuatu yang menjadi produk akal yang kita rasa tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist lalu bernama Islam”, catatnya.
“Aku
baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam
menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Subki dan Islam menurt yang lain-lain, dan
terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yakni
Islam menurut Allah, pembuatnya”, catatnya lagi. Kita bisa memahami kalimat
Wahib itu sebagai kegelisahan untuk mencari “Islam yang otentik”. Semangat untuk
mencari yang otentik itulah yang menarik, yang memacu setiap Muslim untuk
menjadi kaum beriman yang bersikap kritis dalam keberserahannya kepada Tuhan.
Buku
Wahib bukan tanpa kritik, termasuk dari mantan Menteri Agama RI Prof. Dr. H.M.
Rasjidi. Meski demikian, tidak sedikit yang menganggap buku ini buah pemikiran
segar, yang didadari pada fakta sosial tentang Islam yang terkesan jauh dari
praktik nilai-nilai universal yang sebenarnya.
Bahkan,
Mantan Ketua PBNU yang juga Presiden RI periode 1999-2002 KH Abdurrahman Wahid
menyebutkan bahwa “pemberontakan” pemikiran dengan meragukan Tuhan itu, justru
untuk mengukuhkan agama yang diyakininya itu.
Sejak
tahun 2003, sebuah sayembara penulisan esai dalam rangka menganang pemikiran
Ahmad Wahib diselenggarakan. Maksudnya untuk mendorong anak-anak muda menungkan
gagasan kritisnya menganai agama, bangsa dan kemanusiaan melalui tulisan. Dia
dipandang pemicu pemikiran kritis, bukan pemikiran untuk “anti-Islam” tetapi
untuk “mendalami Islam”.[IAR]
Sumber bacaan: M Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka yang Mencipta dan Mengabdi;Jejak Langkah Alumni HMI, Bekasi: PT Penjuru Ilmu Sejati, 2016, hal: 167-172.
Sumber gambar Wahib: http://alfarabi.hol.es/tag/
Sumber gambar buku: https://rakbukuonline.wordpress.com
Sumber bacaan: M Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka yang Mencipta dan Mengabdi;Jejak Langkah Alumni HMI, Bekasi: PT Penjuru Ilmu Sejati, 2016, hal: 167-172.
Sumber gambar Wahib: http://alfarabi.hol.es/tag/
Sumber gambar buku: https://rakbukuonline.wordpress.com
No comments:
Post a Comment