Gbr: Abdullah Batara
YakusaBlog- Sebelum
penulis mengajak untuk membahas judul diatas ada baiknya kita merekonstruksi
pemikiran dan ingatan kita mengenai organisasi yang sudah berumur tujuh puluh
tahun ini. Saya secara pribadi berterima kasih kepada Allah SWT. yang masih
membiarkan HMI tetap ada dalam bumi pertiwi Bhinneka Tungga Ika sampai
sekarang. Terima kasih juga kepada Badko HMI Sumatera Utara yang memberikan
lapangan sedekah Jariyah bagi kader
HMI se-Sumatera Utara untuk menyampaikan gagasannya dalam bentuk tulisan.
Organisasi
yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini sudah tidak lagi berusia muda
dan terkesan sudah memasuki tahap peningkatan dan pengembangan yang lebih
serius. Jangan sampai organisasi yang berdirinya diprakarsai oleh Lafran Pane
tujuh puluh tahun silam mendapat julukan “The
Sick Man of Indonesia” seperti kesultanan Utsmani (Ottoman Empire) dimasa silam, dengan melihat potensi besar yang
dimiliki oleh HMI dan juga kekuatan yang dimiliki HMI, namun organisasi ini
tidak memiliki pengaruh yang besar baik dihadapan stake holder Republik ini, ataupun di tengah masyarakat.
Paradigma
yang kini berkembang di masyarakat adalah bahwa HMI tidak lain dan tidak bukan
hanyalah organisasi yang tidak ada bedanya dengan organisasi lainnya, terlebih
lagi dalam aktivitasnya, HMI tidak menonjolkan nilai keislaman. Apakah nilai
keislaman tersebut hanya tertahan dalam kerangka organisasi ataukah akan
menjadi ruh para kadernya? Zaman yang akan menjawabnya.
Babakan
sejarah HMI kembali dibuka, terlihat dari banyaknya cobaan dan guncangan yang
dihadapkan kepada HMI. Penulis membuat judul diatas dilandasi oleh nilai
filosofi dari sebuah uang logam, pada kedua sisinya terdapat perbedaan. Itu
merupakan gambaran terkecil dari perbedaan antara HMI dan Indonesia yang tetap
terikat dan berdampingan bersifat interaksi abadi. Di satu sisi Indonesia
berhutang budi kepada HMI, dikarenakan banyaknya tokoh-tokoh yang mengisi
pembangunan dan di satu sisi HMI juga berhutang budi dikarenakan HMI masih
dibiarkan menjalankan aktivitas organisasinya di Indonesia.
Tulisan
ini bermaksud menggambarkan strategi dari tindakan preventif atas ancaman dan
cobaan yang dihadapi oleh HMI. Tugas dan fungsi HMI dalam menjalankan baktinya
pada Ummat sesuai dengan pasal 4 Anggaran Dasar HMI. Fitrahnya kader yang diisi
oleh Mahasiswa sudah merupakan hal wajib menjalankan selogan yang di elu-elukan
sebagai Agent of chanbge & Agent of control social, dalam aktivitasnya harus berlandaskan ilmu
pengetahuan[1]
dan landasan yang kuat untuk melakukan perubahan, antara lain:
Menjaga Masyarakat Dari Penyimpangan
Mitologi.
Banyaknya
fenomena ditengah masyarakat yang menjadikan tugas HMI semakin berat dan
menantang apalagi melihat masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh
mereka yang masih terbelenggu oleh mitos-mitos sisa zaman dahulu. Melihat
kultur pemikiran masyarakat Indonesia yang masih kental dengan mitologi dan
hanya melihat Islam sekedar agama saja namun tidak melihat Islam sebagai sebuah
gerakan perubahan sosial, HMI harus menjadi garda penggerak perubahan pola
fikir masyarakat yang lebih maju. Tindakan tersebut direpresentasikan sebagai
dakwah Islamiah untuk menarik simpati rakyat terhadap kehadiran HMI di
tengah-tengah mereka[2].
Allah SWT juga berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.” (An-Nahl:125)
Untuk
mencapai tugas tersebut harus dipastikan terlebih dahulu keadaan internal dari
HMI sendiri agar tidak terjadi ancaman yang tidak diinginkan dari dalam
organisasi ketika akan melakukan sebuah gerakan perubahan. Manusia pada
dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembahnya, dan
disebabkan berbagai latar belakang. Baik itu letak geografis, kultur budaya,
maupun mata pencarian masyarakat, maka agama menjadi beraneka ragam dan
kepercayaan pun demikian. Keanekaragaman itu terlihat lebih nyata akibat usaha
manusia itu sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan
sehari-hari, dengan mengkaitkannya dengan gejala yang terjadi disekitarnya[3]
Menciptakan Masyarakat Adil dan Makmur
Dalam
hierarki sosial, mahasiswa menempati posisi middle
of social structure (ditengah). Seyogyanya HMI yang diisi oleh mahasiswa dapat
melihat dan mengamati problematika masyarakat yang sedang dialami. Ditengah
posisinya pada struktur sosial HMI mempunyai peluang yang sangat banyak untuk
mendobrak tingkat atasan (stake holder)
jika dalam kebijakannya sangat bertentangan dengan masyarakat dan tidak
memberikan rasa adil serta kemakmuran bagi masyarakat. Secara yuridis normatif,
negara menjamin kelangsungan dan kesejahteraan masyarakat dalam skala yang
uniersal, mengingat banyaknya ketimpangan sosial yang sering dihadapi oleh
masyarakat kontemporer ataupun masyarakat lampau yang sangat sulit diatasi,
seolah-olah terdapat kebocoran di segala lini. Kejahatan dibidang ekonomi yang
menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme.
Kapitalisme
menggunakan sistem ekonomi gurita (long
hand, true power) yang menguasai seluruh objek vital dalam suatu sistem
ekonomi yang masih banyak peluang untuk mereka. Jika merujuk pada Pancasila,
yaitu pada sila keempat, merupakan sistem ekonomi yang sesungguhnya untuk
dijadikan nilai filosofi pembangunan ekonomi masyarakat. Bahwa Negara Indonesia
menganut sistem ekonomi bersama non-terpimpin dalam artian negara memberikan
sarana dan lapangan perekonomian bukan menguasai secara mutlak tak
terbantahkan. Hal ini yang masih sering dipandang sebelah mata oleh oknum-oknum
yang menjadikannya sebuah dinasti ekonomi tertutup yang hanya bisa
dipartisipasikan oleh golongan internal mereka yang berkuasa.
Mewujudkan Peran Perempuan yang Bertaqwa,
Tangguh dan Intelektual.
Lintasan
sejarah perjuangan bangsa tidak lepas dari peran perempuan yang tangguh dan
gigih mendampingi suaminya dan bahkan bukan hal yang biasa sewaktu-waktu mereka
(perempuan-red) mengambil alih
komando. Tidak hanya dalam lingkup perjuangan bangsa melainkan dalam skala
global, bukan menjadi rahasia ketika Aisyah ra, memiliki kecerdasan dan
ketaatan serta ketaqwaan yang tidak diragukan lagi. Perempuan seperti itu tidak
dapat ditempa hanya dengan kenikmatan dan keterbatasan yang selama ini menjadi
paradigma masyarakat Indonesia bahwa perempuan seperti barang simpanan yang tidak
boleh mengenal dunia luar “positif”.
HMI
hadir ditengah problematika tersebut menjawab persoalan dengan hadirnya KOHATI
yang bertujuan untuk mewujudkan perempuan-perempuan (HMI-Wati) baik secara
mental, taqwa dan wawasan intelektual. Tujuan untuk mereka ditempa tidak lain
dan tidak bukan ialah demi menjalankan tugas mulia menjadi seorang ibu. Dari
rahim suci merekalah kelak akan lahir para generasi baru dan juga sebagai
perpanjangan tangan negara.
Seorang
ibu dalam bingkainya sebagai pembentuk karakter generasi bangsa, maka perempuan
(HMI-Wati) dituntut harus cerdas, baik secara spiritual maupun intelektual. Hal
ini mengingatkan kita pada syair yang sangat terkenal: “Ibu adalah sekolah dan guru pertama bagi anaknya”
Hal
ini logis adanya karena sejak lahir hingga masa tumbuhnya seorang anak akan
mendapat sentuhan pertama yang diberikan dari sang ibu, baik pengajaran secara
verbal ataupun secara intelektual. Kemudian syair selanjutnya; “apabila para
ibu tumbuh dalam ketidaktahuan maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan
keterberlakangan.
Lagi-lagi
perempuan dituntut untuk memiliki pengetahuan karena merupakan tindakan
preventif untuk menyelamatkan generasi yang akan datang. Landasan berdirinya
KOHATI adalah untuk menawarkan misi dan pandangan HMI dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan yang berkaitan dengan masalah perempuan. Pembentukan KOHATI
adalah sebagai wujud sikap tanggap dan kepedulian HMI terhadap permasalahan
kemasyarakatan baik secara mikro ataupun secara makro[4].
Dakwah Islamiah Perguruan Tinggi
Perguruan
Tinggi di Indonesia memiliki corak dan ragam yang sangat berbeda, tergantung
dengan kerangka perguruan tinggi tersebut. Perguruan Tinggi (kampus) ada yang
bercorak sekularisme kebangsaan, biasanya kampus yang seperti ini merupakan
kampus negeri namun bukan universitas Islam. Dengan militansi yang sudah
ditanamkan oleh HMI, diharapkan kader-kader HMI yang berproses di setiap kampus
menumbuhkan nilai-nilai keislaman dan nilai keindonesiaan. Kader HMI memiliki
tanggung jawab yang besar terkait dengan dakwah Islamiah di setiap perguruan
tinggi. Namun dalam menjalankan misi dakwah Islamiah harus disertai
kehati-hatian dikarenakan banyaknya tantangan. Maka pendekatannya berbagai
macam cara, salah satunya pendekatan keilmuan.
Hal
ini merupakan syiar yang sangat
mendasar dengan menampilkan nilai keintelektualan dari diri seorang kader HMI.
Kampus harus mampu “digerakkan” oleh kader HMI untuk mencapai misi dakwah Islamiah Perguruan Tinggi.
Melalui kegiatan demi kegiatan yang menunjang semangat atau ruhul Islam dikalangan mahasiswa pada kampus
yang berkerangka sekularis nasionalis.
Independensi HMI, Modal Kekuatan
Masif
Sifat
independensi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI, sebagai
jati diri yang merdeka dan tidak terikat dalam pusaran arus kepentingan yang
dapat memberikan pengaruh buruk kepada setiap anggota HMI. Implementasi dari
independensi tersebut dalam pola fikir, pola sikap dan pola laku bagi setiap
kader HMI[5].
Ini bertujuan untuk menjauhkan HMI dari cengkraman pola perilaku pragmatis. HMI
dituntut untuk selalu ikhlas dalam menyuarakan kebenaran, oleh karena itu watak
independensi menghindari HMI dari kebobrokan moral dan intelektual.
Penulis
berpendapat bahwa sifat pragmatis dapat menggadaikan intelektual demi
kepentingan tertentu. Sudah sejatinya HMI bukan organisasi yang menempah
kadernya dalam lingkup individualistik melainkan dengan kebersamaan berjuang
dalam organisasi. Kebersamaan itu digambarkan menjadi suatu kekuatan yang baku
sehingga terlihat seperti bangunan yang kokoh[6].
Namun juga tidak dapat dipungkiri para aparat organisasi banyak yang terlibat
kedalam arus yang menghilangkan sifat dan watak independensinya, memungkinkan
untuk membawa kepentingan elit tertentu untuk mengorbankan kepentingan
organisasi.
Hal
tersebut sangat bertentangan dengan organisasi ini (HMI) yang masih mempertahankan
independensi sejak 5 Februari 1947. Melihat potensi kader yang sangat besar
dari HMI, sering godaan datang untuk menjadikan HMI sebagai underbouw golongan tertentu, massa
tersebut bukan tidak mungkin diarahkan kepada hal yang sifatnya menjerumuskan.
Contohnya dapat kita lihat bersama ketika aksi tandingan bertemakan kebhinekaan
yang menampilkan atribut HMI banyak berserakan dan lebih menghebohkannya lagi
atribut HMI tersebut dipergunakan oleh mereka yang bukan anggota/kader HMI.
Begitulah
gambaran umumnya ketika independensi sudah tidak menjiwai dan menjadi ruh dalam
diri setiap kader HMI. Mencoreng nama baik organisasi, kemudian pelemahan
kepercayaan terhadap masyarakat dan berujung pada menimbulkan paradigma yang
berbeda terhadap HMI. Bahkan yang lebih parahnya lagi masyarakat akan bersikap
antipati kepada HMI.
Oleh: Abdullah Batara
Kader HMI Cabang Medan, Kabid P3A HMI Komisariat UISU periode 2016-2017.
[1]
QS:Al-Isra:36
[2]
Sitompul, Agussalim :HMI Mengayuh Di Antara Cita Dan Kritik.
[3]
Nurcholish Madjid, ISLAM DOKTRIN DAN PERADABAN, Paramadina, Jakarta ,1999
[4] Denok
Shinta Cahyaningrum: Quo Vadis KOHATI; HMI MENGAYUH DI ANTARA CITA DAN KRITIK
[5]
Hasil-hasil Kongres HMI XXVIII (tafsir independensi)
[6]
QS:Als-Shaaf:4
Catatan: Tulisan di atas adalah karya penulis ketika mengikuti lomba menulis esai dan mendapatkan juara 1 yang diadakan oleh HMI Badan Koordinasi (Badko) SUMUT dalam rangka memperingati Milad HMI ke-70 tahun.
No comments:
Post a Comment