Uang Logam HMI dan Masyarakat Indonesia - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday 8 April 2017

Uang Logam HMI dan Masyarakat Indonesia

     Gbr: Abdullah Batara

YakusaBlog- Sebelum penulis mengajak untuk membahas judul diatas ada baiknya kita merekonstruksi pemikiran dan ingatan kita mengenai organisasi yang sudah berumur tujuh puluh tahun ini. Saya secara pribadi berterima kasih kepada Allah SWT. yang masih membiarkan HMI tetap ada dalam bumi pertiwi Bhinneka Tungga Ika sampai sekarang. Terima kasih juga kepada Badko HMI Sumatera Utara yang memberikan lapangan sedekah Jariyah bagi kader HMI se-Sumatera Utara untuk menyampaikan gagasannya dalam bentuk tulisan.

Organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini sudah tidak lagi berusia muda dan terkesan sudah memasuki tahap peningkatan dan pengembangan yang lebih serius. Jangan sampai organisasi yang berdirinya diprakarsai oleh Lafran Pane tujuh puluh tahun silam mendapat julukan “The Sick Man of Indonesia” seperti kesultanan Utsmani (Ottoman Empire) dimasa silam, dengan melihat potensi besar yang dimiliki oleh HMI dan juga kekuatan yang dimiliki HMI, namun organisasi ini tidak memiliki pengaruh yang besar baik dihadapan stake holder Republik ini, ataupun di tengah masyarakat.

Paradigma yang kini berkembang di masyarakat adalah bahwa HMI tidak lain dan tidak bukan hanyalah organisasi yang tidak ada bedanya dengan organisasi lainnya, terlebih lagi dalam aktivitasnya, HMI tidak menonjolkan nilai keislaman. Apakah nilai keislaman tersebut hanya tertahan dalam kerangka organisasi ataukah akan menjadi ruh para kadernya? Zaman yang akan menjawabnya.

Babakan sejarah HMI kembali dibuka, terlihat dari banyaknya cobaan dan guncangan yang dihadapkan kepada HMI. Penulis membuat judul diatas dilandasi oleh nilai filosofi dari sebuah uang logam, pada kedua sisinya terdapat perbedaan. Itu merupakan gambaran terkecil dari perbedaan antara HMI dan Indonesia yang tetap terikat dan berdampingan bersifat interaksi abadi. Di satu sisi Indonesia berhutang budi kepada HMI, dikarenakan banyaknya tokoh-tokoh yang mengisi pembangunan dan di satu sisi HMI juga berhutang budi dikarenakan HMI masih dibiarkan menjalankan aktivitas organisasinya di Indonesia.

Tulisan ini bermaksud menggambarkan strategi dari tindakan preventif atas ancaman dan cobaan yang dihadapi oleh HMI. Tugas dan fungsi HMI dalam menjalankan baktinya pada Ummat sesuai dengan pasal 4 Anggaran Dasar HMI. Fitrahnya kader yang diisi oleh Mahasiswa sudah merupakan hal wajib menjalankan selogan yang di elu-elukan sebagai Agent of chanbge & Agent of control social,  dalam aktivitasnya harus berlandaskan ilmu pengetahuan[1] dan landasan yang kuat untuk melakukan perubahan, antara lain:

Menjaga Masyarakat Dari Penyimpangan Mitologi.
Banyaknya fenomena ditengah masyarakat yang menjadikan tugas HMI semakin berat dan menantang apalagi melihat masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh mereka yang masih terbelenggu oleh mitos-mitos sisa zaman dahulu. Melihat kultur pemikiran masyarakat Indonesia yang masih kental dengan mitologi dan hanya melihat Islam sekedar agama saja namun tidak melihat Islam sebagai sebuah gerakan perubahan sosial, HMI harus menjadi garda penggerak perubahan pola fikir masyarakat yang lebih maju. Tindakan tersebut direpresentasikan sebagai dakwah Islamiah untuk menarik simpati rakyat terhadap kehadiran HMI di tengah-tengah mereka[2]. Allah SWT juga berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl:125)

Untuk mencapai tugas tersebut harus dipastikan terlebih dahulu keadaan internal dari HMI sendiri agar tidak terjadi ancaman yang tidak diinginkan dari dalam organisasi ketika akan melakukan sebuah gerakan perubahan. Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembahnya, dan disebabkan berbagai latar belakang. Baik itu letak geografis, kultur budaya, maupun mata pencarian masyarakat, maka agama menjadi beraneka ragam dan kepercayaan pun demikian. Keanekaragaman itu terlihat lebih nyata akibat usaha manusia itu sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengkaitkannya dengan gejala yang terjadi disekitarnya[3]

Menciptakan Masyarakat Adil dan Makmur
Dalam hierarki sosial, mahasiswa menempati posisi middle of social structure (ditengah). Seyogyanya HMI yang diisi oleh mahasiswa dapat melihat dan mengamati problematika masyarakat yang sedang dialami. Ditengah posisinya pada struktur sosial HMI mempunyai peluang yang sangat banyak untuk mendobrak tingkat atasan (stake holder) jika dalam kebijakannya sangat bertentangan dengan masyarakat dan tidak memberikan rasa adil serta kemakmuran bagi masyarakat. Secara yuridis normatif, negara menjamin kelangsungan dan kesejahteraan masyarakat dalam skala yang uniersal, mengingat banyaknya ketimpangan sosial yang sering dihadapi oleh masyarakat kontemporer ataupun masyarakat lampau yang sangat sulit diatasi, seolah-olah terdapat kebocoran di segala lini. Kejahatan dibidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme.

Kapitalisme menggunakan sistem ekonomi gurita (long hand, true power) yang menguasai seluruh objek vital dalam suatu sistem ekonomi yang masih banyak peluang untuk mereka. Jika merujuk pada Pancasila, yaitu pada sila keempat, merupakan sistem ekonomi yang sesungguhnya untuk dijadikan nilai filosofi pembangunan ekonomi masyarakat. Bahwa Negara Indonesia menganut sistem ekonomi bersama non-terpimpin dalam artian negara memberikan sarana dan lapangan perekonomian bukan menguasai secara mutlak tak terbantahkan. Hal ini yang masih sering dipandang sebelah mata oleh oknum-oknum yang menjadikannya sebuah dinasti ekonomi tertutup yang hanya bisa dipartisipasikan oleh golongan internal mereka yang berkuasa.

Mewujudkan Peran Perempuan yang Bertaqwa, Tangguh dan Intelektual.
Lintasan sejarah perjuangan bangsa tidak lepas dari peran perempuan yang tangguh dan gigih mendampingi suaminya dan bahkan bukan hal yang biasa sewaktu-waktu mereka (perempuan-red) mengambil alih komando. Tidak hanya dalam lingkup perjuangan bangsa melainkan dalam skala global, bukan menjadi rahasia ketika Aisyah ra, memiliki kecerdasan dan ketaatan serta ketaqwaan yang tidak diragukan lagi. Perempuan seperti itu tidak dapat ditempa hanya dengan kenikmatan dan keterbatasan yang selama ini menjadi paradigma masyarakat Indonesia bahwa perempuan seperti barang simpanan yang tidak boleh mengenal dunia luar “positif”.

HMI hadir ditengah problematika tersebut menjawab persoalan dengan hadirnya KOHATI yang bertujuan untuk mewujudkan perempuan-perempuan (HMI-Wati) baik secara mental, taqwa dan wawasan intelektual. Tujuan untuk mereka ditempa tidak lain dan tidak bukan ialah demi menjalankan tugas mulia menjadi seorang ibu. Dari rahim suci merekalah kelak akan lahir para generasi baru dan juga sebagai perpanjangan tangan negara.

Seorang ibu dalam bingkainya sebagai pembentuk karakter generasi bangsa, maka perempuan (HMI-Wati) dituntut harus cerdas, baik secara spiritual maupun intelektual. Hal ini mengingatkan kita pada syair yang sangat terkenal: “Ibu adalah sekolah  dan guru pertama bagi anaknya”

Hal ini logis adanya karena sejak lahir hingga masa tumbuhnya seorang anak akan mendapat sentuhan pertama yang diberikan dari sang ibu, baik pengajaran secara verbal ataupun secara intelektual. Kemudian syair selanjutnya; “apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterberlakangan.

Lagi-lagi perempuan dituntut untuk memiliki pengetahuan karena merupakan tindakan preventif untuk menyelamatkan generasi yang akan datang. Landasan berdirinya KOHATI adalah untuk menawarkan misi dan pandangan HMI dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan masalah perempuan. Pembentukan KOHATI adalah sebagai wujud sikap tanggap dan kepedulian HMI terhadap permasalahan kemasyarakatan baik secara mikro ataupun secara makro[4].

Dakwah Islamiah Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki corak dan ragam yang sangat berbeda, tergantung dengan kerangka perguruan tinggi tersebut. Perguruan Tinggi (kampus) ada yang bercorak sekularisme kebangsaan, biasanya kampus yang seperti ini merupakan kampus negeri namun bukan universitas Islam. Dengan militansi yang sudah ditanamkan oleh HMI, diharapkan kader-kader HMI yang berproses di setiap kampus menumbuhkan nilai-nilai keislaman dan nilai keindonesiaan. Kader HMI memiliki tanggung jawab yang besar terkait dengan dakwah Islamiah di setiap perguruan tinggi. Namun dalam menjalankan misi dakwah Islamiah harus disertai kehati-hatian dikarenakan banyaknya tantangan. Maka pendekatannya berbagai macam cara, salah satunya pendekatan keilmuan.

Hal ini merupakan syiar yang sangat mendasar dengan menampilkan nilai keintelektualan dari diri seorang kader HMI. Kampus harus mampu “digerakkan” oleh kader HMI untuk mencapai misi dakwah Islamiah Perguruan Tinggi. Melalui kegiatan demi kegiatan yang menunjang semangat atau ruhul Islam dikalangan mahasiswa pada kampus yang berkerangka sekularis nasionalis.

Independensi HMI, Modal Kekuatan Masif
Sifat independensi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI, sebagai jati diri yang merdeka dan tidak terikat dalam pusaran arus kepentingan yang dapat memberikan pengaruh buruk kepada setiap anggota HMI. Implementasi dari independensi tersebut dalam pola fikir, pola sikap dan pola laku bagi setiap kader HMI[5]. Ini bertujuan untuk menjauhkan HMI dari cengkraman pola perilaku pragmatis. HMI dituntut untuk selalu ikhlas dalam menyuarakan kebenaran, oleh karena itu watak independensi menghindari HMI dari kebobrokan moral dan intelektual.

Penulis berpendapat bahwa sifat pragmatis dapat menggadaikan intelektual demi kepentingan tertentu. Sudah sejatinya HMI bukan organisasi yang menempah kadernya dalam lingkup individualistik melainkan dengan kebersamaan berjuang dalam organisasi. Kebersamaan itu digambarkan menjadi suatu kekuatan yang baku sehingga terlihat seperti bangunan yang kokoh[6]. Namun juga tidak dapat dipungkiri para aparat organisasi banyak yang terlibat kedalam arus yang menghilangkan sifat dan watak independensinya, memungkinkan untuk membawa kepentingan elit tertentu untuk mengorbankan kepentingan organisasi.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan organisasi ini (HMI) yang masih mempertahankan independensi sejak 5 Februari 1947. Melihat potensi kader yang sangat besar dari HMI, sering godaan datang untuk menjadikan HMI sebagai underbouw golongan tertentu, massa tersebut bukan tidak mungkin diarahkan kepada hal yang sifatnya menjerumuskan.

Contohnya dapat kita lihat bersama ketika aksi tandingan bertemakan kebhinekaan yang menampilkan atribut HMI banyak berserakan dan lebih menghebohkannya lagi atribut HMI tersebut dipergunakan oleh mereka yang bukan anggota/kader HMI.

Begitulah gambaran umumnya ketika independensi sudah tidak menjiwai dan menjadi ruh dalam diri setiap kader HMI. Mencoreng nama baik organisasi, kemudian pelemahan kepercayaan terhadap masyarakat dan berujung pada menimbulkan paradigma yang berbeda terhadap HMI. Bahkan yang lebih parahnya lagi masyarakat akan bersikap antipati kepada HMI.


Oleh: Abdullah Batara
Kader HMI Cabang Medan, Kabid P3A HMI Komisariat UISU periode 2016-2017.




[1] QS:Al-Isra:36
[2] Sitompul, Agussalim :HMI Mengayuh Di Antara Cita Dan Kritik.
[3] Nurcholish Madjid, ISLAM DOKTRIN DAN PERADABAN, Paramadina, Jakarta ,1999
[4] Denok Shinta Cahyaningrum: Quo Vadis KOHATI; HMI MENGAYUH DI ANTARA CITA DAN KRITIK
[5] Hasil-hasil Kongres HMI XXVIII (tafsir independensi)
[6] QS:Als-Shaaf:4



Catatan: Tulisan di atas adalah karya penulis ketika mengikuti lomba menulis esai dan mendapatkan juara 1 yang diadakan oleh HMI Badan Koordinasi (Badko) SUMUT dalam rangka memperingati Milad HMI ke-70 tahun.

No comments:

Post a Comment