Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Wednesday, 12 April 2017

Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia


YakusaBlog- Bukanlah bermaksud hendak mengupas dalam-dalam keadaan dan kemungkinan kebudayaan Islam ini, tapi hanya sekedar menganalisis dan menunjukkan akan kenyataan-kenyataan tentang kedudukan kebudayaan Islam di Indonesia ini dan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya sekarang dan di kemudian hari. Mudahlah dapatlah ini menjadi sumbangan bahan-bahan tinjauan dalam Kongres Muslim Indonesia.

Manusia mempunyai bermacam-macam sifat asasi, antara lain sifat tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat, maka ia harus pula dapat menyeleraskan diri dengan masyarakatnya, atau mencoba mengubah masyarakatnya sesuai dengan kehendaknya. Seorang manusia tidaklah dapat hidup sendiri. Kalau orang hendak mencontoh, tidaklah mencontoh apa yang dianggapnya jelek dan tidak pula mencontoh kebiasaan-kebiasaan atau hal-hal yang dianggapnya lebih rendah daripadanya.

Karena tindasan dari pendidikan Belanda, umumnya bangsa kita merasa lebih rendah (minderwaarding) dari bangsa itu (Belanda-peny) dan bangsa Barat lainnya. Biar pun kita sudah merdeka, sudah mempunyai negara nasional, peninggalan akibat dari penindasan dan pendidikan Belanda itu tidaklah akan hilang lenyap begitu saja, terutama orang-orang yang melulu mengecap pelajaran dan pendidikan di sekolah Belanda. Dan itu mungkin baru hilang dengan pendidikan yang teratur dan keinsyafan, bahwa Belanda itu tidaklah lebih tinggi derajatnya dari bangsa kita (bangsa Indonesia-peny). Jadi tidaklah cukup dengan mulut saja, atau ditulis di atas kertas.

Kalau kita menyelediki agama Islam sedalam-dalamnya, dapatlah kita mengatakan, bahwa kalau agama ini dianut dan dipraktikkan oleh rakyat kita (Indonesia-peny) di segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya, maka tak mungkin Belanda menjajah dan mengekploitasi kita sebegitu lama. Karena Belanda mengerti pula hal ini, maka tentulah ia menetapkan sikapnya dan melakukan tindakan dengan cara yang teratur dari yang halus sampai kasar. Tak perlu ditunjukkan dalam karangan ini (tulisan ini-peny), bagaimana tindakan-tindakan dan usaha-usaha Belanda itu, tapi dapatlah kita melihat dalam masyarakat kita sekarang ini akan akibat-akibatnya.

Banyak orang, terutama kaum terpelajar, biar pun menganut agama Islam, malu mengakui terus terang bahwa ia beragama Islam dan ada pula yang mengatakan bahwa agama ini tidak sesuai lagi dengan zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama ini. Dan karena orang-orang Belanda dan bangsa Barat leinnya, dianggap mereka lebih tinggi derajatnya, menganut agama Kristen, dan juga berkat organisasi dan keuangannya sangat kuat maka golongan bangsa kita ini, biar pun tidak menganut agama tersebut, toh menganggap derajatnya lebih tinggi daripada derajat agamanya sendiri. Lain sekali pandangan mereka terhadap orang yang pergi ke masjid dan yang ke gereja, begitu pula terhadap orang yang memegang Al-Qur’an di tangan dan yang memegang Bibel.

Kalau kita meninjau masyarakat Islam di negeri ini, di samping bagian yang terbesar, yaitu yang mengamalkan agama Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan, umpamanya upacara kawin, mati, dan selamatan, kita melihat tiga golongan lagi:

Pertama, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mepraktikkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seperti tersebut di dalam hadits-hadits dan tiwayat.

Golongan ini tidak hanya mencontoh Nabi Muhammad sebagai Rasul, tetapi juga sifat dan kebiasaannya yang tidak bisa lepas dari masyarakat Arab yang mempunyai sifat-sifat dan adat yang khusus, yang berlainan dengan masyarakat Indonesia. Pendeknya, karena mereka menganggap bahwa bangsa Arab tinggi derajatnya, sampai sekarang masih banyak orang yang hidup seperti orang Arab, dan kalau hendak mendengar lagu hanya lagu gambus dan kasidahlah yang mereka anggap tidak haram.

Sesudah masuknya pengaruh kebudayaan Arab, hidup alim ulama ini sangat tertutup, hingga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perhubungan (aanraking) umpamanya dengan kebudayaan lain sangat sedikit sekali, maka perubahan-perubahan dalam cara hidup dan alam pikiran mereka, hampir tidak ada. Sampai-sampai masih ada orang yang beralam pikiran dan berjiwa seperti orang yang hidup pada masyarakat beberapa abad yang lalu. Dan golongan ini umumnya berpendapat supaya agama Islam itu dipraktikkan persis seperti yang dilakukan di negeri Arab 13 abad yang lalu, tidak memperhatikan faktor-faktor tempat dan waktu.

Kedua, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik, yang menyebabkan mereka ini menganggap bahwa hidup ini adalah untuk akhirat belaka. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan di dunia ini, apalagi untuk memperhatikan pengaruh perubahan dalam masyarakat Indonesia dan dunia sekarang ini. Mereka ini berpendirian bahwa kemiskinan dan penderitaan adalah salah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
Ketiga, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama ini (Islam-peny) benar-benar dapat dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Dari ketiga golongan di atas, golongan kesatu dan kedualah yang sekarang paling besar pengaruhnya dalam masyarakat Islam. Kalau orang yang belum mempelajari agama Islam dalam-dalam, tentulah menganggap bahwa Islam itu adalah seperti yang dianut dan dijalankan oleh kedua golongan tadi. Dan tentu berpendapat bahwa agama Islam itu tak dapat mengikuti dunia modern ini.

Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga hubungan antara manusia dengan manusia lain, satu masyarakat dengan masyarakat lain, dari yang paling kecil, yaitu masyarakat keluarga sampai ke masyarakat yang besar, seperti masyarakat negara. Juga ia (agama Islam-peny) berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala lapangan hidup.

Maka dapatlah disebut bahwa agama Islam itu berupa satu kebudayaan sempurna yang tidak muncul dari hasil pergaulan dalam masyarakat dan bukan hasil ciptaan manusia pada satu waktu, tapi adalah kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.

Dan menurut Al-Qur’an, agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menyelaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat mana pun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain; maka kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing. Dan dalam masyarakat segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia, dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product) yang satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat dan manusianya.

Stelsel prekonomian akan mempengaruhi stelsel hukumnya, teknik mempengaruhi cara produksi, dan ini mempengaruhi pula lapangan lain. Dan begitulah adanya perubahan-perubahan ini dalam masyarakat terus menerus yang pula mempengaruhi alam pikiran manusia. Kalau ada orang atau golongan yang tak mau tahu adanya perubahan-perubahan ini, maka orang yang begitu dapatlah disebut orang kolot. Dan begitu pula kalau satu ajaran (leer) tak mau memperhatikan ini dan masih menjalankan peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan yang tak sesuai dengan keadaan maka dapatlah dinamakan pula ajaran yang kolot.

Adat istiadat yang berlaku sekarang, belum tentu orang turuti beberapa tahun yang akan datang, dan begitu pula peraturan-peraturan yang diancam dengan hukuman (sanctie) sekarang, sebentar lagi mungkin tak tampak lagi, karena keperluan dan keadaan sudah berubah. Dan demikian juga terhadap mana yang baik dan mana yang tidak baik, tergantung pula pada tempat dan waktu.

Kalau kita perhatikan golangan kesatu dan kedua yang disebut di atas tadi, maka kelihatannya seakan-akan agama Islam itu sudah kolot, tak dapat selaras dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat lagi. Tapi menurut Qur’an dan penyelidikan, bukan agama ini yang kolot, tetapi penganut-penganutnyalah yang kolot atau belum benar-benar mengerti akan isi dari agama ini, atau belum mempraktikkannya.

Karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan kita jelang nanti adalah suatu negara demokrasi, maka perkembangan aliran-aliran kebudayaan nanti akan mendapat keleluasaan, karena kemerdekaan berpikir, bersidang, dan mengeluarkan pendapat akan dijamin oleh negara (pemerintah).

Biasanya dalam satu masyarakat di mana ada bermacam-macam aliran kebudayaan, maka muncullah perjuangan (struggle) antara yang satu dan yang lain, yang satu mempengaruhi yang lain dan masing-masing berlomba mencari penganut. Aliran kebudayaan yang lemah, tentu akan dikalahkan oleh yang kuat, atau yang lemah akan diisap oleh yang kuat. Dan pada umumnya manusia lebih senang memihak yang kuat dan menang, hingga yang menang mendapat lebih banyak penganut. Dan aliran yang kalah mungkin akan hilang lenyap dari muka bumi.

Demikianlah kebudayaan Islam akan menghadapi beberapa aliran kebudayaan dalam masyarakat yang harus ditandinginya kalau hendak hidup dengan sewajarnya dan sempurna, di antaranya yang terbesar: Pertama, aliran kebudayaan Barat yang diwakili oleh Amerika, Belanda, dan lain-lain. Kedua, aliran Komunisme dan Sosialisme. Ketiga, Agama Kristen, yang Katolik dan Protestan. Keempat, aliran kebudayaan Kebangsaan yang cenderung kepada sosialisme (Marxisme) dan dikembangi sedikit oleh kebatinan dan kesusilaan (Hindu-Jawa).

Aliran pertama, kedua dan ketiga , sangat kuat organisasinya dan juga mempunyai tenaga materi yang kuat seperti keuangan, alat-alat, dan lain-lain, sedangkan organisasi dan keuangan serta alat-alat kita sangat lemah sekali, karena umumnya umat Islam dan negara-negara Islam yang kita harapkan bantuannya ada yang baru saja merdeka dan ada yang masih setengah jajahan. Sedangkan orang-orang yang dijajah, umumnya miskin.

Tak perlu saya kupas isi dari aliran-aliran ini (aliran-aliran yang disebutkan di atas-peny). Pendek kata, kalau kebudayaan Islam tidak kuat untuk bertanding, derajat Islam akan lebih rendah lagi dianggap orang, dan dengan sendirinya derajat umatnya pun akan lebih merosot lagi, walaupun kita masih mendabik (menepu-peny) ada bahwa umat kita adalah umat yang besar.

Marilah kita mencari usaha supaya kita dapat menghadapi aliran-aliran ini, dan mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membantu dan melindungi kita. Aaminn!

Yogyakarta, 12 November 1949

Penulis : Prof. Drs. H. Lafran Pane
Pendiri HMI


Sumber tulisan: 4 Tulisan Lafran Pane. KAHMI Centre, Jakarta, 2015.

Sumber gambar ilustrasi: http://www.portalsejarah.com/

No comments:

Post a Comment