YakusaBlog- Bukanlah
bermaksud hendak mengupas dalam-dalam keadaan dan kemungkinan kebudayaan Islam
ini, tapi hanya sekedar menganalisis dan menunjukkan akan kenyataan-kenyataan
tentang kedudukan kebudayaan Islam di Indonesia ini dan kenyataan-kenyataan
yang dihadapinya sekarang dan di kemudian hari. Mudahlah dapatlah ini menjadi
sumbangan bahan-bahan tinjauan dalam Kongres Muslim Indonesia.
Manusia
mempunyai bermacam-macam sifat asasi, antara lain sifat tidak dapat melepaskan
diri dari masyarakat, maka ia harus pula dapat menyeleraskan diri dengan
masyarakatnya, atau mencoba mengubah masyarakatnya sesuai dengan kehendaknya. Seorang
manusia tidaklah dapat hidup sendiri. Kalau orang hendak mencontoh, tidaklah
mencontoh apa yang dianggapnya jelek dan tidak pula mencontoh
kebiasaan-kebiasaan atau hal-hal yang dianggapnya lebih rendah daripadanya.
Karena
tindasan dari pendidikan Belanda, umumnya bangsa kita merasa lebih rendah (minderwaarding) dari bangsa itu
(Belanda-peny) dan bangsa Barat
lainnya. Biar pun kita sudah merdeka, sudah mempunyai negara nasional,
peninggalan akibat dari penindasan dan pendidikan Belanda itu tidaklah akan
hilang lenyap begitu saja, terutama orang-orang yang melulu mengecap pelajaran
dan pendidikan di sekolah Belanda. Dan itu mungkin baru hilang dengan
pendidikan yang teratur dan keinsyafan, bahwa Belanda itu tidaklah lebih tinggi
derajatnya dari bangsa kita (bangsa Indonesia-peny). Jadi tidaklah cukup dengan mulut saja, atau ditulis di atas
kertas.
Kalau
kita menyelediki agama Islam sedalam-dalamnya, dapatlah kita mengatakan, bahwa
kalau agama ini dianut dan dipraktikkan oleh rakyat kita (Indonesia-peny) di segala lapangan hidup dengan
sebaik-baiknya, maka tak mungkin Belanda menjajah dan mengekploitasi kita
sebegitu lama. Karena Belanda mengerti pula hal ini, maka tentulah ia
menetapkan sikapnya dan melakukan tindakan dengan cara yang teratur dari yang
halus sampai kasar. Tak perlu ditunjukkan dalam karangan ini (tulisan ini-peny), bagaimana tindakan-tindakan dan
usaha-usaha Belanda itu, tapi dapatlah kita melihat dalam masyarakat kita
sekarang ini akan akibat-akibatnya.
Banyak
orang, terutama kaum terpelajar, biar pun menganut agama Islam, malu mengakui
terus terang bahwa ia beragama Islam dan ada pula yang mengatakan bahwa agama
ini tidak sesuai lagi dengan zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama
ini. Dan karena orang-orang Belanda dan bangsa Barat leinnya, dianggap mereka
lebih tinggi derajatnya, menganut agama Kristen, dan juga berkat organisasi dan
keuangannya sangat kuat maka golongan bangsa kita ini, biar pun tidak menganut
agama tersebut, toh menganggap derajatnya lebih tinggi daripada derajat
agamanya sendiri. Lain sekali pandangan mereka terhadap orang yang pergi ke
masjid dan yang ke gereja, begitu pula terhadap orang yang memegang Al-Qur’an
di tangan dan yang memegang Bibel.
Kalau
kita meninjau masyarakat Islam di negeri ini, di samping bagian yang terbesar,
yaitu yang mengamalkan agama Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan,
umpamanya upacara kawin, mati, dan selamatan, kita melihat tiga golongan lagi:
Pertama,
golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mepraktikkan
agama Islam sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seperti
tersebut di dalam hadits-hadits dan tiwayat.
Golongan
ini tidak hanya mencontoh Nabi Muhammad sebagai Rasul, tetapi juga sifat dan
kebiasaannya yang tidak bisa lepas dari masyarakat Arab yang mempunyai
sifat-sifat dan adat yang khusus, yang berlainan dengan masyarakat Indonesia.
Pendeknya, karena mereka menganggap bahwa bangsa Arab tinggi derajatnya, sampai
sekarang masih banyak orang yang hidup seperti orang Arab, dan kalau hendak
mendengar lagu hanya lagu gambus dan kasidahlah yang mereka anggap tidak haram.
Sesudah
masuknya pengaruh kebudayaan Arab, hidup alim ulama ini sangat tertutup, hingga
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perhubungan (aanraking) umpamanya dengan kebudayaan lain sangat sedikit sekali,
maka perubahan-perubahan dalam cara hidup dan alam pikiran mereka, hampir tidak
ada. Sampai-sampai masih ada orang yang beralam pikiran dan berjiwa seperti
orang yang hidup pada masyarakat beberapa abad yang lalu. Dan golongan ini
umumnya berpendapat supaya agama Islam itu dipraktikkan persis seperti yang
dilakukan di negeri Arab 13 abad yang lalu, tidak memperhatikan faktor-faktor
tempat dan waktu.
Kedua,
golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik, yang
menyebabkan mereka ini menganggap bahwa hidup ini adalah untuk akhirat belaka. Mereka
tidak begitu memikirkan lagi kehidupan di dunia ini, apalagi untuk
memperhatikan pengaruh perubahan dalam masyarakat Indonesia dan dunia sekarang
ini. Mereka ini berpendirian bahwa kemiskinan dan penderitaan adalah salah satu
jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
Ketiga,
golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman selaras
dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama ini (Islam-peny) benar-benar dapat dipraktikkan
dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dari
ketiga golongan di atas, golongan kesatu dan kedualah yang sekarang paling
besar pengaruhnya dalam masyarakat Islam. Kalau orang yang belum mempelajari
agama Islam dalam-dalam, tentulah menganggap bahwa Islam itu adalah seperti
yang dianut dan dijalankan oleh kedua golongan tadi. Dan tentu berpendapat
bahwa agama Islam itu tak dapat mengikuti dunia modern ini.
Agama
Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga
hubungan antara manusia dengan manusia lain, satu masyarakat dengan masyarakat
lain, dari yang paling kecil, yaitu masyarakat keluarga sampai ke masyarakat
yang besar, seperti masyarakat negara. Juga ia (agama Islam-peny) berisi
peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala lapangan hidup.
Maka
dapatlah disebut bahwa agama Islam itu berupa satu kebudayaan sempurna yang tidak
muncul dari hasil pergaulan dalam masyarakat dan bukan hasil ciptaan manusia
pada satu waktu, tapi adalah kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada
masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.
Dan
menurut Al-Qur’an, agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada
segala waktu dan tempat, artinya dapat menyelaraskan diri dengan keadaan dan
keperluan masyarakat mana pun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang
berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan,
dan lain-lain; maka kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan
masyarakat masing-masing. Dan dalam masyarakat segala sesuatu saling
mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh
manusia, dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product) yang satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya
mempengaruhi masyarakat dan manusianya.
Stelsel
prekonomian akan mempengaruhi stelsel
hukumnya, teknik mempengaruhi cara produksi, dan ini mempengaruhi pula lapangan
lain. Dan begitulah adanya perubahan-perubahan ini dalam masyarakat terus
menerus yang pula mempengaruhi alam pikiran manusia. Kalau ada orang atau
golongan yang tak mau tahu adanya perubahan-perubahan ini, maka orang yang
begitu dapatlah disebut orang kolot. Dan begitu pula kalau satu ajaran (leer) tak mau memperhatikan ini dan
masih menjalankan peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan yang tak sesuai
dengan keadaan maka dapatlah dinamakan pula ajaran yang kolot.
Adat
istiadat yang berlaku sekarang, belum tentu orang turuti beberapa tahun yang
akan datang, dan begitu pula peraturan-peraturan yang diancam dengan hukuman (sanctie) sekarang, sebentar lagi mungkin
tak tampak lagi, karena keperluan dan keadaan sudah berubah. Dan demikian juga
terhadap mana yang baik dan mana yang tidak baik, tergantung pula pada tempat
dan waktu.
Kalau
kita perhatikan golangan kesatu dan kedua yang disebut di atas tadi, maka
kelihatannya seakan-akan agama Islam itu sudah kolot, tak dapat selaras dengan
keadaan dan kebutuhan masyarakat lagi. Tapi menurut Qur’an dan penyelidikan,
bukan agama ini yang kolot, tetapi penganut-penganutnyalah yang kolot atau
belum benar-benar mengerti akan isi dari agama ini, atau belum
mempraktikkannya.
Karena
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan kita jelang nanti adalah suatu
negara demokrasi, maka perkembangan aliran-aliran kebudayaan nanti akan
mendapat keleluasaan, karena kemerdekaan berpikir, bersidang, dan mengeluarkan
pendapat akan dijamin oleh negara (pemerintah).
Biasanya
dalam satu masyarakat di mana ada bermacam-macam aliran kebudayaan, maka
muncullah perjuangan (struggle)
antara yang satu dan yang lain, yang satu mempengaruhi yang lain dan
masing-masing berlomba mencari penganut. Aliran kebudayaan yang lemah, tentu
akan dikalahkan oleh yang kuat, atau yang lemah akan diisap oleh yang kuat. Dan
pada umumnya manusia lebih senang memihak yang kuat dan menang, hingga yang
menang mendapat lebih banyak penganut. Dan aliran yang kalah mungkin akan
hilang lenyap dari muka bumi.
Demikianlah
kebudayaan Islam akan menghadapi beberapa aliran kebudayaan dalam masyarakat
yang harus ditandinginya kalau hendak hidup dengan sewajarnya dan sempurna, di
antaranya yang terbesar: Pertama,
aliran kebudayaan Barat yang diwakili oleh Amerika, Belanda, dan lain-lain. Kedua, aliran Komunisme dan Sosialisme. Ketiga, Agama Kristen, yang Katolik dan
Protestan. Keempat, aliran kebudayaan
Kebangsaan yang cenderung kepada sosialisme (Marxisme) dan dikembangi sedikit
oleh kebatinan dan kesusilaan (Hindu-Jawa).
Aliran
pertama, kedua dan ketiga , sangat kuat organisasinya dan juga mempunyai tenaga
materi yang kuat seperti keuangan, alat-alat, dan lain-lain, sedangkan
organisasi dan keuangan serta alat-alat kita sangat lemah sekali, karena
umumnya umat Islam dan negara-negara Islam yang kita harapkan bantuannya ada
yang baru saja merdeka dan ada yang masih setengah jajahan. Sedangkan orang-orang
yang dijajah, umumnya miskin.
Tak
perlu saya kupas isi dari aliran-aliran ini (aliran-aliran yang disebutkan di
atas-peny). Pendek kata, kalau
kebudayaan Islam tidak kuat untuk bertanding, derajat Islam akan lebih rendah
lagi dianggap orang, dan dengan sendirinya derajat umatnya pun akan lebih
merosot lagi, walaupun kita masih mendabik
(menepu-peny) ada bahwa umat kita
adalah umat yang besar.
Marilah
kita mencari usaha supaya kita dapat menghadapi aliran-aliran ini, dan
mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala
membantu dan melindungi kita. Aaminn!
Yogyakarta,
12 November 1949
Penulis
: Prof. Drs. H. Lafran Pane
Pendiri
HMI
Sumber
tulisan: 4 Tulisan Lafran Pane. KAHMI Centre, Jakarta, 2015.
Sumber gambar ilustrasi: http://www.portalsejarah.com/
No comments:
Post a Comment