Narasi Sumpah Pemuda dan Fenomena Narsisme - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 19 November 2019

Narasi Sumpah Pemuda dan Fenomena Narsisme


“Pemuda sebagai tonggak dari peradaban bangsa, pemuda sebagai aset sebuah bangsa, pemuda sebagai kalangan yang menentukan arah kemajuan bangsa.”

YakusaBlog- Demikian pernyataan yang sering dikoar-koarkan oleh pendidik atau senior kita, pemuda dalam lingkup berbangsa telah dianggap berpotensi besar untuk bawa perubahan terhadap peradaban bangsa. Sebutan Agent of Change merupakan representasi dari pemuda-pemuda yang sekarang sedang nyaman dengan aktifitasnya.

Jika di tarik ke sejarah bangsa Indonesia, pemuda dianggap berperan penting dalam proses pengawalan dan pembelaan terhadap bangsa, sifat nasionalisme atau kecintaan terhadap tanah air besar kemungkinan ada pada jati diri pemuda, hal ini dilihat dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada bangsa ini tak lepas dari peran pemuda. Satu sampel, perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme, gerakan pemuda pribumi yang cinta tanah air berhasil mengancam ekploitasi penjajah yang menyiksa rakyat Indonesia waktu itu. Ini masih bicara sebelum kemerdekaan.

Meskipun demikian, perjuangan pemuda pada awalnya bersifat kultural dan fanatisme daerah. Tercatat pada tahun 1915-an berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamic Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Cilebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaum Betawi. Organisasi pemuda tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus.

Selanjutnya kemudian muncul Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah kongres pemuda I pada tahun 1926 memiliki perbedaan, organisasi meliputi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Tokoh-tokohnya adalah Sigit, Soegondo Djodjopoespito, Soewirjo, S. Reksodiputro, Muhammad yamin, A. K Gani, Soekarno, Soemanang, dan Amir Syarifudin. PPPI yang kmudian memprakarsai dilaksanakannya Kongres Pemuda II.

Setelah itu dilaksanakanlah Kongres Pemuda pada tanggal 27- 28 Oktober 1928, kongres ini dibagi menjadi dua rapat. Rapat pertama yang dilaksakana pada 27 Oktober di gedung Katholieke Jongenlingen Bone (KJB), lapangan Benteng.  Kemudian Rapat Kedua Minggu 28 Oktober di gedung Oost-Java Bioscop. Dalam kongres tersebut membahas mengenai sektor penting sebuah bangsa meliputi elemen pendidikan di Negara Indonesia, kondisi politik dan ekonomi bangsa dan lain sebagainya. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” yang dibawa oleh oleh Wage Ruloft Supratman. Lagu tersebut disambut dengan meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres.

Para pemuda-pemuda yang hadir dari berbagai organisasi kepemudaan menyatakan rumusan hasil kongres tersebut sebagai Sumpah Setia, yang berbunyi : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Setelah  mendengar  poetoesan  ini, kerapatan  mengeloearkan kejakinan  asas  ini  wadjib  dipakai oleh  segala  perkoempoelan perkoempoelan  kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan  kajakinan persatoean Indonesia  diperkoeat dengan  memperhatikan  dasar poetoesannja: Kemajoean Sedjarah, Bahasa, Hoekoem Adat, Pendidikan dan Kepandoean, Dan  mengeloearkan  penghargaan soepaja  ini  disiarkan  dalam  segala 
soerat  kabar  dan  dibatjakan dimoeka  rapat  perkoempoelanperkoempoelan. Djakarta, 28 Oktober 1928.

Hal ini telah membuktikan kekuatan pemuda dalam menjaga keutuhan dan tanah air bangsa Indonesia dari kolonialisme dan Imperalisme barat. Jelas  bahwa  Kongres  Pemuda  II yang  mengikrarkan  Sumpah  Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan bukan  hasil  usaha  dari beberapa  gelintir  orang  saja.  Hal  ini merupakan  perjuangan  panjang  sejak Kebangkitan  Nasional  20  Mei  1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A.  Rivai lulus ujian dokter  sebagai  Nederland  Arts  di  Utrecht Belanda,  pupus  sudahlah  anggapan  jelek bahwa  bangsa  Indonesia  itu  “laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas,  tidak  punya  kemauan  bekerja atau berbuat sesuatu.

Setelah  Indonesia  muda  terbentuk, berarti  pemuda  Indonesia  memiliki organisasi  kepemudaan  nasional  yang solid,  kuat  dan  bercita-cita  menuju kemerdekaan  yang  lebih  pasti.  Anggota IM  terdiri  dari  semua  pemuda  seperti anak-anak  SLP,  SLA,  sekolah  khusus, kejuruan  sederajat  dan  mahasiswa.  Sejak tahun  1931  kongres  demi  kongres diadakan  sehingga  lebih  menampakkan eksistensinya.

Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik. Dari  sekilas  terhadap  peristiwa bersejarah  tanggal  28  Oktober  1928  yang kemudian  dikenal  sebagai  “Sumpah Pemuda”  terjadi  berkat  kesepatan  yang muncul  diantara  pimpinan  organisasi kepemudaan  dan  kedaerahan.
Hingga saat ini sumpah pemuda istilah yang disepakati atas momen itu tetap eksis sebagai peringatan dan hari perenungan terhadap perjuangan pemuda. Sebab seiring perkembangan zaman, keadaan dan tantangan pemuda hari ini tentu sangat berbeda dengan zamannya pak Segondo Jojopuspito, Istilah yang sering di bahasakan oleh pemuda sekarang ialah “pemuda milenial”. Yaitu pemuda yang hidup di era perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Produk teknologi yang pesat tambah mempermudah kinerja manusia kesehariannya. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi pemuda sekarang, bagaimana kemudian pemuda tidak kehilangan jati diri dan idealismenya di tengah hiruk piruk persaingan global, bisa memahami dan membaca situasi yang potensi mengancam nasionalisme kita. Bukan berarti harus menolak budaya dan sektarianisme dengan sesuatu yang baru, jika begitu jelas pemuda ketinggalan kereta.

Proses kolonialisasi saat ini cenderung menyerang pada ranah ideologi pemuda, sehingga terwujud melalui prilaku. Salah satu bagian yang fenomenal ialah ilusinasi tontonan televisi, media online dan media sosial lainnya. Konten-konten yang termuat didalamnya secara tidak langsung bersifat persuasif, mengajak kita untuk berprilaku sebagaimana tertera dalam konten. Konten yang dimaksud yang potensi mengurangi sikap nasionalisme dan tumbuhnya sikap apatis terhadap keutuhan bangsa. Degradasi moral pemuda dan kerusakan mental. Dalam teori komunikasi itu merupakan bagian dari strategi untuk penanaman budaya baru agar diterima dalam kehidupan publik, dengan seringnya di tayangkan.

Berangkat dari sini, kemajuan teknologi tidak melulu mempermudah aktifitas kehidupan kita, perlunya dibudayakan analisa skeptis pada pemuda menghadapi fenomena begituan. Ini tantangannya.

Sejauh ini, kehidupan pemuda cenderung ingin diakui jati dirinya. Ingin diakui bahwa dirinya hebat dan berprestasi, eksistensi diri pemuda semakin dipercuat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa akun media sosialnya yang berisi konten tentang dirinya, foto-foto yang menunjukan kecantikannya secara garis besar ingin eksis di kehidupan ini. Didukung dengan aktifitas lain yang terorientasi terhadap eksistensi diri yang berlebihan. Dalam psikoloanalisis dikatakan Narcissistic Personality Disorder atau Super Self Confident, yang berarti cenderung eksis secara berlebihan, kerusakan mental pada diri seseorang. Implikasi dari sikap demikian sangat besar, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian, selain itu tertanam pada dirinya perasaan paling mampu, paling unik (beda sendiri) dan merasa khusus dibandingkan dengan orang lain.

Bila dilihat dari teorinya, ini disebut prilaku Narsisme, yaitu perhatian yang sangat berlebihan pada diri sendiri dan apabila kecenderungan ini semakin gawat maka muncul Imaginary Audience dalam pikirannya (Chaplin, 2003: 451). Kerusakan mental macam beginian telah membentuk mind set alam bawah sadar kita, sehingga secara otomatis sikap temperamen muncul dalam pikiran kita, ini merupakan indikasi degradasi moral sekaligus potensi mengingkari budaya perjuangan pemuda sebagaimana tercatat dalam sejarah. Karena persepsi yang tertanam ialah bagaimana kita hidup itu diakui secara prestasi, kecantikan, dan kelebihan-kelebihan lain yang ada pada diri kita. Tujuannya ialah untuk memproleh pujian dari orang lain.

Sentilan unik dari seorang tokoh, ketika ditanya “cara melihat masa depan bangsa”, dengan santainya dia menjawab “cara melihat masa depan bangsa ialah melihat pemuda-pemudanya sekarang ngapain aja”.

Lagi-lagi pemuda betul merupakan asset bangsa yang brillian. Fenomena Narsisme yang marak kalangan pemuda Indonesia sebagai manifestasi dari prilaku pemuda zaman milenial. Hal ini muncul pesat bersamaan dengan berkembangnya kemajuan teknologi, mempermudah setiap pengguna media sosial untuk memamerkan dirinya selain berbicara di publik. Ini menjadi tantangan baru bagi kita yang hidup di Era Milenial, untuk mengembalikan khittah perjuangan pemuda sebagai Agent of Iron Stock bangsa ini.

Tampak sudah problematika pemuda zaman milenal sekarang, cenderung sikap apatis terhadap kondisi kebangsaan, sikap masa bodoh terhadap penindasan yang terjadi pada rakyat dan menurunnya sikap kritis pemuda terhadap kondisi sosial sekitar. Karena kalau kita analisa kembali, hal itu merupakan kolonilisasi zaman milenial.

Mari mulai bangun kembali sikap kritis skeptis kita dan meningkatkan kesadaran kita melalui memikirkan sesuatu yang terjadi di lingkungan kehidupan kita, membaca dan memahami situasi keadaan bangsa saat ini, mengurangi prilaku yang kita anggap lumrah namun sejatinya berbahaya terhadap mental kita.

Mulailah dari kita sendiri kemudian memperingati orang lain di lingkungan kita, karena pasalnya pemuda adalah masa depan bangsa.


Penulis: Ahmad Ma’mun (Kader HMI Cabang Jember).


Ket.gbr: Ahmad Ma'mun.

No comments:

Post a Comment