Kader Penjilat dan Intelektual Pengemis - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Friday 25 October 2019

Kader Penjilat dan Intelektual Pengemis



YakusaBlog- Jokowi mengangkat Menteri dan Pejabat Tinggi, Kader HMI girang. Loh, apa urusannya? Mereka senang sebab lebih dari 5 Menteri dulunya berproses di HMI. Sederet tokoh dieluk-elukan, Mahfud MD, Muhadjir Effendy, Bahlil Lahadalia, Sofyan Djalil, Syahrul Limpo, Zainuddin Amali. Aku ikut bangga? Tidak! Tidak ada urusan HMI dengan Alumni.
Aku tak menyinggung soal pribadi Menteri. Bagiku dari HMI, PMII, GMNI, atau organisasi apapun, tak penting. Selama kebijakannya membawa manfaat bagi rakyat, aku akan membela. Sebaliknya, Menteri dari Alumni HMI sekalipun bila mencekik kepentingan rakyat, aku lawan!
Perilaku Kader HMI hari ini murahan. Saat Alumni dilantik jadi Menteri, Pejabat Tinggi, semua mengangkat-angkatnya setinggi langit. Seolah HMI hanya mencetak politisi. Di luar sana, jauh dari sorot kamera, tak pernah diberitakan, tak dibicarakan publik, banyak Alumni mengadvokasi kaum tertindas mencari keadilan, ada yang guru honorer mengajar di pedesaan. Orang baik seperti mereka dilupakan dan tak dicontoh para junior. Sungguh sangat disayangkan.
Seorang intelektual melihat orang bukan dari latar belakang atau identitas, tapi kualitas pribadi. Bila Kader memuji Menteri hanya karena senior, itu artinya mempraktikkan cara pandang politik Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA), itu mendengung-dengungkan ‘golongan.’ Padahal menteri jabatan publik, menteri itu pembantu presiden, milik rakyat, bekerja untuk rakyat, bukan HMI, bukan untuk organisasi asal.
Iya, kader Himpunan memang cerdas. Mereka tahu, saat senior jadi menteri, artinya terbuka luas lahan basah untuk diolah. Alumni jadi menteri berarti akan ada banyak program yang dikerjasamakan dengan adinda-adinda. Akan ada banyak proposal pengurus yang dikirim dan cair untuk penyerapan anggaran.
Dari dulu di sinilah letak menggiurkannya mengeluk-elukkan senior jadi menteri. Padahal secara organisasi, HMI dan alumninya atau KAHMI, tidak ada urusan langsung, hanya sebatas hubungan ‘historis’ dan ‘aspiratif.’ Harusnya sebagai kader, jangan berperilaku miskin dengan memuja senior yang jadi pejabat, sedangkan lupa bahwa yang jadi menteri bukan dirinya, tapi orang lain.
Kita kader HMI, menteri ya menteri. Yang dapat gaji, anggaran, kehormatan, pengaruh, ya menteri, bukan kita. Kita kok primitif, mengidap mental ‘kerumunan.’ Ada orang pernah di HMI, lalu jadi menteri, kita ikut bahagia setinggi langit, memujanya. Padahal orang itu bukan kita, dan dia tak mau menjadi kita. Dia adalah menteri, pejabat negara, kamu cuma anggota biasa HMI.
Ayo tahu diri! Berkacalah! Jangan terlalu bangga melihat orang lain jaya, sebab akan membuatmu lupa bahwa dirimu masih perlu belajar lagi. Hidup ini tentang diri sendiri, maka jangan lelah belajar untuk memajukan diri. Ku lihat, banyak kader sedang delusi. Alumni yang jadi menteri, dirinya yang merasa ikut jadi bagian dari kementerian, ini pola pikir ilusi.
Secara psikologis, orang yang punya idola adalah karena tak percaya diri. Sebab diri kurang, gagal, pengecut, maka meleburkan diri dengan orang sukses yang memiliki kesamaan identitas dengannya. Sama-sama pernah di HMI. Mental seperti ini mengobjekkan diri jadi korban simbol. Alumni jadi menteri disamakan seolah HMI yang menduduki kursi menteri, padahal sama sekali bukan.
Seorang intelektual harus yakin dirinya berbeda dari orang lain. Dengan percaya diri, orang tercerahkan mencoba mengubah dunianya, bukan malah mengandalkan orang lain. Kita harus jujur, kita sedari pikiran mengaku bahwa kita tak bisa jadi menteri. Maka satu-satunya cara untuk bangga adalah mengidentikkan diri dengan menteri, yaitu mengklaim sama-sama dari HMI.
Sayangnya kader kita juga naif. Selama tak menjabat apa-apa, alumni dicuekkin, tak diundang menjadi pembicara. Giliran diangkat jadi menteri, kepala lembaga, ramai-ramai memasang fotonya di semua lini masa. Undangan mengisi materi dikirim cepat-cepat, proposal dana dibikin banyak-banyak. Alumni dilihat bukan dari isi kepala, tapi karena jabatannya: menteri!
Apa kita tidak tahu malu? Sebelum senior menjabat, kita mencampakkanya. Eh, tiba-tiba diangkat jadi menteri, kita berubah jadi penjilat berharap kecipratan anggaran yang bisa dimainkan. Padahal, kalau alumni berkualitas, jadi pejabat atau tidak, harus diundang untuk berbagi ilmu. Apapun jabatannya, senior yang intelektual harus ditinggikan derajatnya.
Kita harus membiasakan adab. Jangan melihat orang dari jabatan, sebab orang bodoh tidak menjadi cerdas hanya karena diangkat jadi menteri. Sedangkan HMI ini wadah mencetak intelektualis, bukan kadal penjilat yang kemana-mana bawa proposal. Kalau yang dipuja hanya yang jadi menteri, pejabat, lalu bagaimana kita perlakukan alumni berilmu dan berbakti di pedesaan sana?
Di Training HMI, yang kita butuhkan pembicara cerdas dan bisa mencerahkan pikiran kader. Hanya karena diangkat jadi pejabat, alumni bodoh tidak serta merta jadi orang pintar. Maka, logika runut mengatakan: ‘Carilah pembicara yang mumpuni, cerdas otaknya, luas wawasannya. Menjabat sebagai apa, tidak penting. Sebab peserta Latihan Kader II (LK II) berdiskusi dengan kualitas pematerinya, bukan jabatannya.
Sebenarnya kita miskin ekonomi atau perilaku? Sudah tahu alumni dan HMI tidak ada hubungannya, kok masih saja delusi. Mau enam, sembilan, atau dua puluh alumni jadi menteri, tidak ada urusannya. Menteri harus dijauhkan dari golongan atau identitas asal, sebab dia digaji rakyat, maka harus merasa sebagai kulinya rakyat, nafasnya untuk kepentingan rakyat, bukan jadi mesin ATM-nya kader HMI.
Aku heran, kenapa kepercayaan diri kader digantungkan pada seberapa banyak alumni jadi menteri. Memangnya kita ini tak punya prinsip? Mana jati diri seorang independen? Kader, ya kader. Menteri, ya menteri. Titik. Lama-lama mental kita jadi seperti pengemis, senior jadi menteri kita ngiler. Siap-siap bikin proposal, berharap dana cair dan kita kecipratan rejeki penjilat.
HMI organisasi kader, tugas kita bukan menjilat-jilat menteri sambil bawa proposal. Kita berdiri di atas kaki sendiri, kita danai sendiri kegiatan kita. Agar independen, merdeka, kritis, dan selalu siap berteriak bila kebijakan pemerintah merenggut hak-hak masyarakat. Kader harus berpihak pada orang pinggiran, bukan tengak-tengok di pintu kantor bupati, gubernur, apalagi menteri.
Jadilah kader punya harga diri dan memihak bangsa, yang hobinya bukan memuji tindak-tanduk penguasa, tapi mengawasi kinerja pemerintah. Aneh bila aktivis kerjaannya mengangkat-angkat nama menteri hanya karena alumni. Kader semacam itu pasti punya niat untuk main proyek. Kalaupun demo, pasti malamnya sudah duduk di restoran, makan dengan yang didemo.
Aku tidak mengajak memusuhi alumni yang jadi menteri, tidak, sama sekali tidak. Hanya saja, ayok lah kita berpikir lebih jernih, rasional, objektif dan mengutamakan kepentingan bangsa ketimbang perut sendiri. Kamu tidak tahu, kan? Gaji dan fasilitas menteri itu didapat dari berapa juta keringat rakyat? Menteri diupah dari jutaan wajib pajak yang dikumpulkan dari seluruh golongan.
Alumni jadi menteri tidak usah digembar-gemborkan. Toh, yang dulu dulu, saat pelantikan dipuja puji, beberapa waktu kemudian dicokok KPK. Bikin malu saja. Mereka dulu ber-HMI, ya itu dulu, sudah lewat. Sekarang ya sekarang. Tidak usah dibesar-besarkan. Kita awasi mereka sebagai menteri, bukan sebagai alumni atau senior. Lagi pula, dalam politik tak mengenal senior junior, semua berjalan berdasarkan tarik ulur kepentingan.
Menteri, ya menteri. Kamu, ya kamu. Yang digaji puluhan juta, ya menteri. Kamu cuma kader komisariat, ngopi di kedai saja mikir-mikir. Sudahlah, realistis saja. Fokus kembangkan diri, baca buku yang banyak, kurangi mesum, jangan banyak mengigau di siang hari. Dari pada kamu ikut posting foto alumni yang jadi menteri, lebih baik kamu cari info LKK, LK II, atau SC, lalu berangkat! Dasar kader kemplo![]

Penulis: Mualimin Melawan (Pengurus BPL HMI)

5 comments:

  1. Hmi bangga dengan alumninya masuk mentri.
    Itu hal yang biasa.
    Kan, ngak perlu juga kita bersedih melihat alumni jadi menteri.

    Dan jika mereka bangga karena mereka menjilat, mereka adalah oknum, bukan hmi organnya.

    Saya pikir walaupun kita masih idealis, kita harus melihat dari beberapa sudut pandang yg berbeda.

    ReplyDelete
  2. Itulah istimewanya jokowi, ketika HMI berproses sering mengikuti alur oposisi, bahasa mahasiswa idealis.
    Tp sekarang karakter hmi yang idealis akan terbungkam secara otomatis oleh sistem.
    Yakin deh besok2 gak pada banyak yang demo jika kebijakannya nylentang dan lebih mencekik rakyat

    ReplyDelete
  3. Wah saya benar" baru sadar hahaha.

    ReplyDelete
  4. Pengurus HMI sekarang lebih tunduk pada politisi dari pada dengan penceramah/pemateri tingkat LK I-II, LKK dan training lainnya. Foto Pejabat politik lah yg di pajang pada panflet/brosure MAPERCA dan LK I. Alfatiha😑

    ReplyDelete