YakusaBlog- Jokowi
mengangkat Menteri
dan Pejabat Tinggi, Kader HMI girang. Loh,
apa urusannya? Mereka senang sebab lebih dari 5 Menteri dulunya berproses di HMI. Sederet tokoh
dieluk-elukan, Mahfud MD, Muhadjir Effendy, Bahlil Lahadalia, Sofyan Djalil,
Syahrul Limpo, Zainuddin Amali. Aku ikut bangga? Tidak! Tidak ada urusan HMI
dengan Alumni.
Aku
tak menyinggung soal pribadi Menteri.
Bagiku dari HMI, PMII, GMNI, atau organisasi apapun, tak penting. Selama
kebijakannya membawa manfaat bagi rakyat, aku akan membela. Sebaliknya, Menteri dari Alumni HMI sekalipun
bila mencekik kepentingan rakyat, aku lawan!
Perilaku
Kader HMI hari ini
murahan. Saat Alumni
dilantik jadi Menteri,
Pejabat Tinggi, semua
mengangkat-angkatnya setinggi langit. Seolah HMI hanya mencetak politisi. Di
luar sana, jauh dari sorot kamera, tak pernah diberitakan, tak dibicarakan
publik, banyak Alumni
mengadvokasi kaum tertindas mencari keadilan, ada yang guru honorer mengajar di
pedesaan. Orang baik seperti mereka dilupakan dan tak dicontoh para junior. Sungguh sangat disayangkan.
Seorang
intelektual melihat orang bukan dari latar belakang atau identitas, tapi
kualitas pribadi. Bila Kader
memuji Menteri hanya karena
senior, itu artinya mempraktikkan cara pandang politik Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA), itu
mendengung-dengungkan ‘golongan.’ Padahal menteri jabatan publik, menteri itu
pembantu presiden, milik rakyat, bekerja untuk rakyat, bukan HMI, bukan untuk
organisasi asal.
Iya,
kader Himpunan memang cerdas.
Mereka tahu, saat senior jadi menteri, artinya terbuka luas ‘lahan basah’ untuk diolah. Alumni
jadi menteri berarti akan ada banyak program yang dikerjasamakan dengan adinda-adinda.
Akan ada banyak proposal pengurus yang dikirim dan cair untuk penyerapan
anggaran.
Dari
dulu di sinilah letak menggiurkannya mengeluk-elukkan senior jadi menteri.
Padahal secara organisasi, HMI dan alumninya atau KAHMI, tidak ada urusan langsung,
hanya sebatas hubungan ‘historis’ dan ‘aspiratif.’ Harusnya sebagai kader,
jangan berperilaku miskin dengan memuja senior yang jadi pejabat, sedangkan
lupa bahwa yang jadi menteri bukan dirinya, tapi orang lain.
Kita
kader HMI, menteri ya menteri. Yang dapat gaji, anggaran, kehormatan, pengaruh,
ya menteri, bukan kita. Kita kok primitif, mengidap mental ‘kerumunan.’ Ada
orang pernah di HMI, lalu jadi menteri, kita ikut bahagia setinggi langit,
memujanya. Padahal orang itu bukan kita, dan dia tak mau menjadi kita. Dia
adalah menteri, pejabat negara, kamu cuma anggota biasa HMI.
Ayo
tahu diri! Berkacalah! Jangan terlalu bangga melihat orang lain jaya, sebab akan
membuatmu lupa bahwa dirimu masih perlu belajar lagi. Hidup ini tentang diri
sendiri, maka jangan lelah belajar untuk memajukan diri. Ku lihat, banyak kader
sedang delusi. Alumni yang jadi menteri, dirinya yang merasa ikut jadi bagian
dari kementerian, ini pola pikir ilusi.
Secara
psikologis, orang yang punya idola adalah karena tak percaya diri. Sebab diri
kurang, gagal, pengecut, maka meleburkan diri dengan orang sukses yang memiliki
kesamaan identitas dengannya. Sama-sama pernah di HMI. Mental seperti ini
mengobjekkan diri jadi korban simbol. Alumni jadi menteri disamakan seolah HMI
yang menduduki kursi menteri, padahal sama sekali bukan.
Seorang
intelektual harus yakin dirinya berbeda dari orang lain. Dengan percaya diri,
orang tercerahkan mencoba mengubah dunianya, bukan malah mengandalkan orang
lain. Kita harus jujur, kita sedari pikiran mengaku bahwa kita tak bisa jadi
menteri. Maka satu-satunya cara untuk bangga adalah mengidentikkan diri dengan
menteri, yaitu mengklaim sama-sama dari HMI.
Sayangnya
kader kita juga naif. Selama tak menjabat apa-apa, alumni dicuekkin, tak diundang menjadi pembicara. Giliran diangkat jadi
menteri, kepala lembaga, ramai-ramai memasang fotonya di semua lini masa.
Undangan mengisi materi dikirim cepat-cepat, proposal dana dibikin
banyak-banyak. Alumni dilihat bukan dari isi kepala, tapi karena jabatannya:
menteri!
Apa
kita tidak tahu malu? Sebelum senior menjabat, kita mencampakkanya. Eh, tiba-tiba
diangkat jadi menteri, kita berubah jadi penjilat berharap kecipratan anggaran
yang bisa dimainkan. Padahal, kalau alumni berkualitas, jadi pejabat atau
tidak, harus diundang untuk berbagi ilmu. Apapun jabatannya, senior yang
intelektual harus ditinggikan derajatnya.
Kita
harus membiasakan adab. Jangan melihat orang dari jabatan, sebab orang bodoh
tidak menjadi cerdas hanya karena diangkat jadi menteri. Sedangkan HMI ini wadah
mencetak intelektualis, bukan kadal penjilat yang kemana-mana bawa proposal.
Kalau yang dipuja hanya yang jadi menteri, pejabat, lalu bagaimana kita perlakukan
alumni berilmu dan berbakti di pedesaan sana?
Di
Training
HMI, yang kita butuhkan pembicara cerdas dan bisa mencerahkan pikiran kader.
Hanya karena diangkat jadi pejabat, alumni bodoh tidak serta merta jadi orang
pintar. Maka, logika runut mengatakan: ‘Carilah pembicara yang mumpuni, cerdas
otaknya, luas wawasannya. Menjabat sebagai apa, tidak penting. Sebab peserta Latihan Kader II (LK II) berdiskusi
dengan kualitas pematerinya, bukan jabatannya.
Sebenarnya
kita miskin ekonomi atau perilaku? Sudah tahu alumni dan HMI tidak ada
hubungannya, kok masih saja delusi. Mau enam, sembilan, atau dua puluh alumni
jadi menteri, tidak ada urusannya. Menteri harus dijauhkan dari golongan atau
identitas asal, sebab dia digaji rakyat, maka harus merasa sebagai kulinya
rakyat, nafasnya untuk kepentingan rakyat, bukan jadi mesin ATM-nya kader HMI.
Aku
heran, kenapa kepercayaan diri kader digantungkan pada seberapa banyak alumni
jadi menteri. Memangnya kita ini tak punya prinsip? Mana jati diri seorang
independen? Kader, ya kader. Menteri, ya menteri. Titik. Lama-lama mental kita
jadi seperti pengemis, senior jadi menteri kita ngiler. Siap-siap bikin proposal, berharap dana cair dan kita
kecipratan rejeki
penjilat.
HMI
organisasi kader, tugas kita bukan menjilat-jilat menteri sambil bawa proposal.
Kita berdiri di atas kaki sendiri, kita danai sendiri kegiatan kita. Agar
independen, merdeka, kritis, dan selalu siap berteriak bila kebijakan
pemerintah merenggut hak-hak masyarakat. Kader harus berpihak pada orang
pinggiran, bukan tengak-tengok di pintu kantor bupati, gubernur, apalagi
menteri.
Jadilah
kader punya harga diri dan memihak bangsa, yang hobinya bukan memuji
tindak-tanduk penguasa, tapi mengawasi kinerja pemerintah. Aneh bila aktivis
kerjaannya mengangkat-angkat nama menteri hanya karena alumni. Kader semacam
itu pasti punya niat untuk main proyek. Kalaupun demo, pasti malamnya sudah
duduk di restoran, makan dengan yang didemo.
Aku
tidak mengajak memusuhi alumni yang jadi menteri, tidak, sama sekali tidak.
Hanya saja, ayok lah kita berpikir lebih jernih, rasional, objektif dan
mengutamakan kepentingan bangsa ketimbang perut sendiri. Kamu tidak tahu, kan?
Gaji dan fasilitas menteri itu didapat dari berapa juta keringat rakyat?
Menteri diupah dari jutaan wajib pajak yang dikumpulkan dari seluruh golongan.
Alumni
jadi menteri tidak usah digembar-gemborkan. Toh, yang dulu dulu, saat
pelantikan dipuja puji, beberapa waktu kemudian dicokok KPK. Bikin malu saja.
Mereka dulu ber-HMI, ya itu dulu, sudah lewat. Sekarang ya sekarang. Tidak usah
dibesar-besarkan. Kita awasi mereka sebagai menteri, bukan sebagai alumni atau
senior. Lagi pula, dalam politik tak mengenal senior junior, semua berjalan
berdasarkan tarik ulur kepentingan.
Menteri,
ya menteri. Kamu, ya kamu. Yang digaji puluhan juta, ya menteri. Kamu cuma
kader komisariat, ngopi di kedai saja mikir-mikir. Sudahlah, realistis saja.
Fokus kembangkan diri, baca buku yang banyak, kurangi mesum, jangan banyak
mengigau di siang hari. Dari pada kamu ikut posting foto alumni yang jadi
menteri, lebih baik kamu cari info LKK, LK
II, atau SC, lalu berangkat! Dasar kader kemplo![]
Penulis: Mualimin Melawan (Pengurus BPL HMI)
Hmi bangga dengan alumninya masuk mentri.
ReplyDeleteItu hal yang biasa.
Kan, ngak perlu juga kita bersedih melihat alumni jadi menteri.
Dan jika mereka bangga karena mereka menjilat, mereka adalah oknum, bukan hmi organnya.
Saya pikir walaupun kita masih idealis, kita harus melihat dari beberapa sudut pandang yg berbeda.
waaooooooo
ReplyDeleteItulah istimewanya jokowi, ketika HMI berproses sering mengikuti alur oposisi, bahasa mahasiswa idealis.
ReplyDeleteTp sekarang karakter hmi yang idealis akan terbungkam secara otomatis oleh sistem.
Yakin deh besok2 gak pada banyak yang demo jika kebijakannya nylentang dan lebih mencekik rakyat
Wah saya benar" baru sadar hahaha.
ReplyDeletePengurus HMI sekarang lebih tunduk pada politisi dari pada dengan penceramah/pemateri tingkat LK I-II, LKK dan training lainnya. Foto Pejabat politik lah yg di pajang pada panflet/brosure MAPERCA dan LK I. Alfatiha😑
ReplyDelete