Masyarakat dan Negara Menurut Ibnu Khaldun - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Monday 26 August 2019

Masyarakat dan Negara Menurut Ibnu Khaldun


YakusaBlog- Ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia (Ibnu Khaldun) mengakui bahwa banyak peradaban dan negara tumbuh dan berkembang tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Ibnu Khaldun, adanya masyarakat, negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meski di lain pihak, Ibnu Khaldun adalah seorang yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam, terutama fikih dan tafsir. Ini memengaruhi sikapnya terhadap Tuhan, manusia dan masyarakat.
Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan negara. Menurut pemikiran Yunani kuno bahwa negara dan masyarakat adalah identic. Adapun Ibnu Khaldun, ia berpendapat bahwa berhubungan dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara semsamanya untuk dapat hidup; baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan diri.
Sungguhpun ada perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannya disebut daulah merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan negara dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat yang menetap, yang telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti kehidupan nomaden di padang pasir.
Menurut Ibnu Khaldun, kehidupan padang pasir itu belumlah disebut negara. Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap. Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat.
Negara menurut Ibnu Khaldun adalah suatu makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti makhluk hidup lainnya. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa umur suatu negara adalah tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40 tahun. Ketiga generasi tersebut ialah: Generasi pertama hidup dalam keadaan primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal di pedesaan dan padang pasir.
Generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, sehingga generasi ini beralih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan. Generasi ketiga, negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan dan keberanian.
Selanjutnya negara dalam perkembangannya menurut Ibnu Khaldun ada lima tahap. Pertama, Tahap Pendirian Negara. Ini merupakan tahap untuk mencapai tujuan, penaklukan, dan merebut kekuasaan. Negara sendiri tidak akan tegak kecuali dengan ashabiyah (kesukuan). Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ashabiyah yang membuat orang menyatukan upaya untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri dan menolak atau mengalahkan musuh.
Kedua, Tahap Pemusatan Kekuasaan. Pemusatan kekuasaan adalah kencenderungan yang alamiah pada manusia. Pada waktu itu pemegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah, memenopoli kekuasaan dan menjatuhkan anggota-anggota ashabiyah dari roda pemerintahan.
Ketiga, Tahap Kekosongan. Tahap ini untuk menikmati buah kekuasaan seiring dengan watak manusia, seperti mengumpulkan kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak perkembangannya.
Keempat, Tahap Ketundukan dan Kemalasan. Pada tahap ini, negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun yang terjadi, negara seakan-akan sedang menantikan permulaan akhir kisahnya.
Kelima, Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan. Pada tahap ini negara telah memasuki masa ketuaan dan dirinya telah diliputi penyakit kronis yang hampir tidak dapat dihindari dan terus menuju keruntuhan.
Perlu dicatat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, serta mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bilamana ia berpendapat bahwa segala sesuatu akan hancur.[]

Catatan: Tulisan di atas disadur dari buku Mukaddimah karya Ibnu Khaldun, Kata Pengantar Penerbit, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar, tahun 2001, hal: ix-xi.

No comments:

Post a Comment