YakusaBlog- Ikatan
bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang
tumbuh dan tenggelam lepas dari soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia
(Ibnu Khaldun) mengakui bahwa banyak peradaban dan negara tumbuh dan berkembang
tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Ibnu Khaldun, adanya masyarakat,
negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama. Meski di lain pihak,
Ibnu Khaldun adalah seorang yang ditandai oleh ajaran-ajaran agama Islam,
terutama fikih dan tafsir. Ini memengaruhi sikapnya terhadap Tuhan, manusia dan
masyarakat.
Ibnu
Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan negara. Menurut pemikiran Yunani
kuno bahwa negara dan masyarakat adalah identic. Adapun Ibnu Khaldun, ia
berpendapat bahwa berhubungan dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu
memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara
semsamanya untuk dapat hidup; baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan
diri.
Sungguhpun
ada perbedaan antara Negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannya
disebut daulah merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda tidak
dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan negara dan
masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat yang menetap, yang
telah membentuk peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti
kehidupan nomaden di padang pasir.
Menurut
Ibnu Khaldun, kehidupan padang pasir itu belumlah disebut negara. Negara
mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap.
Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk
berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat.
Negara
menurut Ibnu Khaldun adalah suatu makhluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua
dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti makhluk hidup lainnya. Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa umur suatu negara adalah tiga generasi, yakni sekitar
120 tahun. Satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yaitu 40
tahun. Ketiga generasi tersebut ialah: Generasi pertama hidup dalam keadaan
primitive yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal
di pedesaan dan padang pasir.
Generasi
kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, sehingga generasi ini
beralih dari kehidupan primitive yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan
kemewahan. Generasi ketiga, negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini
tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan makna kehormatan, keperwiraan
dan keberanian.
Selanjutnya
negara dalam perkembangannya menurut Ibnu Khaldun ada lima tahap. Pertama, Tahap Pendirian Negara. Ini
merupakan tahap untuk mencapai tujuan, penaklukan, dan merebut kekuasaan.
Negara sendiri tidak akan tegak kecuali dengan ashabiyah (kesukuan). Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ashabiyah yang membuat orang menyatukan
upaya untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri dan menolak atau mengalahkan
musuh.
Kedua,
Tahap Pemusatan Kekuasaan. Pemusatan kekuasaan adalah kencenderungan yang
alamiah pada manusia. Pada waktu itu pemegang kekuasaan melihat bahwa
kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah, memenopoli kekuasaan dan
menjatuhkan anggota-anggota ashabiyah
dari roda pemerintahan.
Ketiga,
Tahap Kekosongan. Tahap ini untuk menikmati buah kekuasaan seiring dengan watak
manusia, seperti mengumpulkan kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan
dan meraih kemegahan. Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak
perkembangannya.
Keempat,
Tahap Ketundukan dan Kemalasan. Pada tahap ini, negara dalam keadaan statis,
tidak ada perubahan apapun yang terjadi, negara seakan-akan sedang menantikan
permulaan akhir kisahnya.
Kelima,
Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan. Pada tahap ini negara telah memasuki
masa ketuaan dan dirinya telah diliputi penyakit kronis yang hampir tidak dapat
dihindari dan terus menuju keruntuhan.
Perlu
dicatat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia
politik Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat keruntuhan dan kelemahan
yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, serta mengamati sendiri
kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol,
tidaklah mengherankan bilamana ia berpendapat bahwa segala sesuatu akan
hancur.[]
Catatan:
Tulisan di atas disadur dari buku Mukaddimah
karya Ibnu Khaldun, Kata Pengantar Penerbit, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar,
tahun 2001, hal: ix-xi.
No comments:
Post a Comment