Islam dan Politik [Catatan Deliar Noer] - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday, 8 June 2019

Islam dan Politik [Catatan Deliar Noer]

YakusaBlog- Tulisan ini didorong dua perkembangan, yang sebenarnya berkaitan era sesamanya. Pertama, gencarnya pembahasan tentang apa yang disebut “Islam Kultural” dan “Islam Politik” di pihak lain. Kedua, penilaian sebagian kalangan bahwa penggunaan kata Islam (umpamanya dalam partai politik) lebih dimotivasi oleh simbol, bukan isi; atau pun penilaian bahwa Islam merupakan akhlak, tercermin dalam sikap dan perbuatan, sehingga tidak diperlukan kata Islam ini dikaitkan dengan kehidupan politik (mungkin juga dalam pikiran yang bersangkutan dalam ekonomi, sosial, budaya); atau pun “Islam Politik” itu mencerminkan perasaan “emosional” saja; atau, berkaitan dengan ini, partai Islam didirikan karena “alasan-alasan emosional semata.”
Gencarnya pembagian yang (dikesankan sebagai pemisahan) “Islam Kultural” dan “Islam Politik” sudah agak lama dimulai, dengan disertai sikap seakan-akan yang “Islam Politik” kurang atau tidak cocok dengan masa sekarang (dan ini sudah diperdengarkan sejak awal Orde Baru). Yang “Islam Kultural” itulah yang dinilai akan menyampaikan umat Islam pada kejayaannya.
Secara Teori. Pembagian ini perlu dipertanyakan, baik secara teori maupun historis. Apalagi kalau pembagian ini diartikan sebagai pemisah. Dalam teori, yang disebutkan budaya (kultur) mencakup politik – jadi budaya mencakup bidang-bidang yang dibahas dalam humaniora, ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu politik) dan ilmu alamiah. Jadi, bidang politik dibahas juga, umpamanya, oleh Antropologi (yang kadang dimasukkan dalam humaniora, kadang dalam ilmu sosial). Sifat dan tingkahlaku manusia bisa dikaji dalam humaniora, tetapi juga – bila berkaitan dengan politik – dalam ilmu politik. Pendekatan tingkah laku (behavioural approach) merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu politik. Demikian juga niali-nilai.
Malah dalam soal nilai-nilai, ajaran tak bisa dilepaskan. Secara muda bisa kita katakan bahwa nilai-nilai yang ditegakkan oleh Islam – amanah, ikhlas, jujur, adil, satu kata dengan perbuatan, dan sebagainya – harus juga ditegakkan dalam kehidupan masyarakat dan negara. Masalah moral memang menurut Islam harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia. Sebagai contoh, masa yang kita hadapi sekarang ini dengan segalam macam krisis yang melanda negeri ini. secara mudah dapat kita katakana bahwa penyebab utamanya adalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) – hal yang berlawanan dengan nilai dan moral tadi. Oleh karena itu, nilai moral, termasuk agama, perlu dibawakan ke dalam politik dan dalam kehidupan dunia umumnya.
Perlu juga diperhatikan bahwa Islam mengandung hukum, yang isinya bukan sekedar suruhan dan larangan, melainkan juga pembiaran (mubah), “yang dipujikan” atau anjuran (sunnah), dan “yang tidak disukai” walau boleh (makruh). Maka, dari tiap sikap dan perbuatan dalam Islam bisa termasuk ke dalam salah satu kategori yang lima ini. ini berbeda daru hukum pada umumnya yang berlaku dalam jaman modern yang dipengaruhi oleh barat, yang pada umumnya membatasi pada masalah “boleh” dan “tidak boleh”. Yang pertama bisa dibiarkan, yang kedua dilarang dan oleh karenanya bisa dihukum.
Oleh sebab itu, secara teori dan paham, tiap bidang termasuk hal yang sangat diperlukan oleh Islam, disertai dengan akibat-akibat hukumnya. Pemahaman seperti inilah yang ingin ditegakkan oleh seorang Muslim, secara pribadi, masyarakat, maupun negara – dalam prinsip yang diharapkan bisa terwujud dalam kenyataan.
Historis. Secara historis dapat dikatakan bahwa pelopor pergerakan nasional adalah Syarikat Islam (1912) yang berasal dari Sjarikat Dagang Islam. Benar bahwa Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908, tetapi ketika itu, malah setelah tahun belasan juga, pahamnya lebih untuk menegakkan Groot Java (Jawa Raya), seperti yang memang disebut dalam anggaran dasarnya. Yang dimaksudkan dengan Jawa Raya adalah pulau Jawa, Madura, dan Bali, sehingga orang-orang yang berasal dari luar ketiga pulau itu baru jauh kemudian (sekitar tahun 1930-an) bisa menjadi anggota Boedi Oetomo. Pada tahun 1916, pada saat Sjarikat Islam sudah mulai bicara tentang nasionalisme Indonesia, beberapa tokoh Boedi Oetomo masih mempertahankan Javaansch nationalism (nasionalisme Jawa).
Perasaan kebangsaan seperti ini terus dipegang oleh organisasi sosial dan partai-partai Islam kemudian, juga sesudah kita merdeka. Pertanyaan memang bisa dikemukan tentang Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Tetapi seperti yang dikatakan oleh H. Agus Salim (dalam kuliahnya di Universitas Cornell pada 1953), persoalan Darul Islam dan NII di Jawa Barat ini disebabkan oleh pendekatan yang kurang memperhatikan segi psikologis mereka yang tergabung dalam Hisbullah dan Sabilillah di daerah ini.
Ketika TNI Angkatan Darat pada akhir tahun 1948 kembali berhijrah dari Yogyakarta ke Jawa Barat – sebagai akibat persetujuan Rencille; Hasbullah dan Sabilillah tidak ikut pindah ke Yogyakarta karena ingin terus mempertahankan Jawa Barat dari pihak Belanda – saling pengertian menghadapi Belanda kurang terbina. Juga kemudian setelah kebinet Natsir pada tahun 1950 menjalankan pendekatan persuasive terhadap Kartosuwiryo agar kembali ke pangkuan RI, pertimbangan psikologis tidak atau sangat kurang diperhatikan pihak Angkatan Darat. Padahal, sudah terdapat tanda-tanda bahwa Kartosuwiryo akan kembali ke pangkuan RI.
Pada umumnya kebangsaan yang ikut kuat pada MasJumi, NU, dan partai Islam yang ingin, juga setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Malah kerja sama dengan pihak lain, termasuk Katolik, Protestan, nasionalis, dan sosialis, bisa dijalin terus. Tetapi, kerja sama ini tidak dilakukan pekerjaannya, sudah jelas lembaga undang-undang dasar yang baru ini akan berhasil.
Masalah PRRI bukanlah soal yang berkaitan dengan masalah agama. Dalam PRRI tersebut ikut juga, malah ada kalanya di depan, orang-orang yang beragama Kristen, atau pun panglima daerah (di antaranya ada yang beragama Kristen juga). Pada pergolakan tahun 1965 dan belakangan tahun 1998, umat Islam turut memberikan sahamnya (seperti juga umat beragama lain). Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa dalam lintasan sejarah di negara kita, ajaran dan nilai-nilai Islam bukan merupakan masalah dalam menegakkan negara dan bangsa Indonesia.
Contoh dari Nabi. Lebih-lebih lagi kalau kita perhatikan sejarah Nabi Muhammad SAW. moral bagianya harus benar-benar ditegakkan. Hukum Islam ditegakkan dengan toleransi terhadap berlakunya hukum agama lain, termasuk Kristen dan Yahudi. Dalam pengertian di masa modern ini, moral ini terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan juga dalam menghadapi agama-agama lain. Nabi Muhammad SAW juga menghormati orang-orang Nasrani yang datang dari Najran di Madinah dan menerapkan hukum agama Yahudi bila ada orang Yahudi yang melanggar ketentuan yang tertera dalam Piagam Madinah (Piagam Madinah ini bisa disamakan dengan konstitusi dalam negara modern). Ia sengaja pergi mengunjungi pendeta Yahudi untuk keperluan tersebut.
Dan selama masa khalifah yang ratusan tahun itu (berakhir Khalifah Usmaniah di Turki pada tahun 1920-an), pengadilan terbagi atas hukum agama: Islam untuk umat Islam, Kristen untuk orang Katolik dan Protestan serta Ortodoks Ynani (dengan ketentuan masing-masing); Yahudi untuk orang Yahudi; juga orang Kopt (agama tua di Mesir), punya pengadilan sendiri.
Sebagai catatan, perlu juga disebutkan bahwa kalangan Islam di Konstituante merelakan berlakunya hukum agama yang berbeda-beda di Indonesia (Islam, Protestan, dan Katolik) bagi penganut masing-masing.
Tetapi kalau kita bicara secara historis, maka pemisahan antara “Islam Kultural” dan “Islam Politik” mengingatkan kita pada kebijaksanaan yang dianjurkan oleh pakar Islam C. Snouck Hurgronje kepada pemerintahan Hindia Belanda sekitar permulaan abad ini. Yaitu, agar pemerintahan Hindia Belanda membiarkan “Islam Ibadah”, tetapi menghalangi, malah melarang, “Islam Politik”. Dalam rangka ibadah itu, pemerintah Belanda malah turut membantu orang-orang Islam, antara lain dengan membantu mendirikan beberapa masjid di Kota Raja, Palembang, dan sebagainya. Mereka malah melarang gereja didirkan di Aceh dan di Banten. Juga perjalanan ibadah haji, yang pada abad lalu dipersulit, dengan nasihat Snouck Hurgronje dipermudah oleh pemerintah Belanda.
Perlu Kesatuan. Akan tetapi, dan ini berkaitan dengan penilaian “Islam sebagai moral, sikap dan perbuatan” di atas, dan tidak mengenai kehidupan masyarakat dan bernegara, baik juga kita perhatikan bahwa moral dan nilai agama itu bisa putus dari kehidupan masyarakat dan negara. Akibatnya, seperti dikatakan di atas, KKN pun merajalela.
Baik juga diingat bahwa dalam jaman pergerakan dahulu hubungan tokoh-tokoh organisasi sosial Islam dengan organisasi partai politik Islam, juga sesudah merdeka tetap di masa sebelum demokrasi terpimpin, sangat intim, sekurang-kurangnya tidak mengandung kecurigaan, apalagi secara terbuka. Umpamanya, pada tahun 1938 terbentuk Majelis Islam A’laa Indonesia yang mencakup organisasi sosial Islam (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) dan juga partai politik (PSII).
Di masa revolusi, partai politik Masjumi mulanya praktis mencakup organisasi-oraganisasi sosial Islam (Kecuali Perti, dan mulai 1947 PSII kembali menjadi partai). Tetapi yang sangat menggembirakan adalah tokoh-tokoh organisasi sosial tersbeut (termasuk tokoh-tokoh pendidikan, baik di pesantren maupun di sekolah yang sudah modern) tidak hanya membiarkan atau menonton saja dalam mengikuti perkembangan organisasi politik Islam, melainkan banyak membantunya: dengan buah pikiran, dan kalau mungkin dengan dukungan atau cegahan. Amar ma’ruf nahi munkar memegang ciri khas dalam sikap dan perbuatan Muslim dan Muslimah.
Hal seperti ini perlu dibangkitkan kembali pada masa sekarang dan masa depan. Agaknya, disinilah terletak Ukhuwah Islamiyah itu, persaudaraan yang diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam rangka inilah, baik emosi (yang tidak berlebihan tentunya) maupun rasio (akal pikiran), menurut kita bersikap demikian. Emosi saja atau pun rasio saja, akan membuat kita lepas dari keseimbangan. Kita memang seharusnya merupakan ummatan wasathan, umat menengah, dalam sikap dan perbuatan. Oleh sebab itu, kesatuan berbagai bidang kehidupan, sosial, ekonomi, politik, (semua termasuk dalam budaya, atau pun budaya tercermin dalam bidang itu), merupakanhal yang biasa. Demikian juga hubungan sosial perasaan (emosi) dengan rasio (akal). Dalam hubungan dengan Islam, tentu Islam itu mencakup semuanya; dan ini, seperti dikemukan di atas, dicerminkan dalam pengertian hukum dalam Islam.
Mudah-mudahan pencakupan yang demikian yang ditegakkan oleh partai-partai Islam, dan didukung oleh organisasi masyarakat Islam dalam berbagai bidang, juga oleh Muslim dan Muslimah yang berada umpamanya diluar organisasi Islam; sesuai pula dengan ajaran Islam itu “rahmat bagi sekalian alam”. Dengan demikian, memang partai politik Islam diperlukan. Semoga Allah SWT memberikan kita taufik dan hidayah-Nya. Amin.[]

Penulis: Deliar Noer (Seorang dosen, pemikir dan politisi Indonesia dan Pernah menjadi Ketua Umum PB HMI periode 1953-1955).

Sumber tulisan: Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Ed), Mengapa Partai Islam Kalah?, Alvabet, Jakarta Selatan, 1999. Hal. 8-12.
Ket.gbr: Foto Deliar Noer
Sbr.gbr: https://id.wikipedia.org/

No comments:

Post a Comment