YakusaBlog- Tulisan
ini didorong dua perkembangan, yang sebenarnya berkaitan era sesamanya. Pertama, gencarnya pembahasan tentang
apa yang disebut “Islam Kultural” dan “Islam Politik” di pihak lain. Kedua, penilaian sebagian kalangan bahwa
penggunaan kata Islam (umpamanya dalam partai politik) lebih dimotivasi oleh simbol,
bukan isi; atau pun penilaian bahwa Islam merupakan akhlak, tercermin dalam
sikap dan perbuatan, sehingga tidak diperlukan kata Islam ini dikaitkan dengan
kehidupan politik (mungkin juga dalam pikiran yang bersangkutan dalam ekonomi,
sosial, budaya); atau pun “Islam Politik” itu mencerminkan perasaan “emosional”
saja; atau, berkaitan dengan ini, partai Islam didirikan karena “alasan-alasan
emosional semata.”
Gencarnya
pembagian yang (dikesankan sebagai pemisahan) “Islam Kultural” dan “Islam
Politik” sudah agak lama dimulai, dengan disertai sikap seakan-akan yang “Islam
Politik” kurang atau tidak cocok dengan masa sekarang (dan ini sudah diperdengarkan
sejak awal Orde Baru). Yang “Islam Kultural” itulah yang dinilai akan
menyampaikan umat Islam pada kejayaannya.
Secara Teori.
Pembagian ini perlu dipertanyakan, baik secara teori maupun historis. Apalagi kalau
pembagian ini diartikan sebagai pemisah. Dalam teori, yang disebutkan budaya
(kultur) mencakup politik – jadi budaya mencakup bidang-bidang yang dibahas
dalam humaniora, ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu politik) dan ilmu alamiah. Jadi,
bidang politik dibahas juga, umpamanya, oleh Antropologi (yang kadang
dimasukkan dalam humaniora, kadang dalam ilmu sosial). Sifat dan tingkahlaku
manusia bisa dikaji dalam humaniora, tetapi juga – bila berkaitan dengan
politik – dalam ilmu politik. Pendekatan tingkah laku (behavioural approach)
merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu politik. Demikian juga niali-nilai.
Malah
dalam soal nilai-nilai, ajaran tak bisa dilepaskan. Secara muda bisa kita katakan
bahwa nilai-nilai yang ditegakkan oleh Islam – amanah, ikhlas, jujur, adil,
satu kata dengan perbuatan, dan sebagainya – harus juga ditegakkan dalam
kehidupan masyarakat dan negara. Masalah moral memang menurut Islam harus
ditegakkan dalam kehidupan di dunia. Sebagai contoh, masa yang kita hadapi
sekarang ini dengan segalam macam krisis yang melanda negeri ini. secara mudah
dapat kita katakana bahwa penyebab utamanya adalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) – hal yang berlawanan dengan nilai dan moral tadi. Oleh karena itu,
nilai moral, termasuk agama, perlu dibawakan ke dalam politik dan dalam
kehidupan dunia umumnya.
Perlu
juga diperhatikan bahwa Islam mengandung hukum, yang isinya bukan sekedar
suruhan dan larangan, melainkan juga pembiaran (mubah), “yang dipujikan” atau
anjuran (sunnah), dan “yang tidak disukai” walau boleh (makruh). Maka, dari
tiap sikap dan perbuatan dalam Islam bisa termasuk ke dalam salah satu kategori
yang lima ini. ini berbeda daru hukum pada umumnya yang berlaku dalam jaman
modern yang dipengaruhi oleh barat, yang pada umumnya membatasi pada masalah “boleh”
dan “tidak boleh”. Yang pertama bisa dibiarkan, yang kedua dilarang dan oleh
karenanya bisa dihukum.
Oleh
sebab itu, secara teori dan paham, tiap bidang termasuk hal yang sangat
diperlukan oleh Islam, disertai dengan akibat-akibat hukumnya. Pemahaman seperti
inilah yang ingin ditegakkan oleh seorang Muslim, secara pribadi, masyarakat,
maupun negara – dalam prinsip yang diharapkan bisa terwujud dalam kenyataan.
Historis.
Secara historis dapat dikatakan bahwa pelopor pergerakan nasional adalah
Syarikat Islam (1912) yang berasal dari Sjarikat Dagang Islam. Benar bahwa
Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908, tetapi ketika itu, malah setelah tahun
belasan juga, pahamnya lebih untuk menegakkan Groot Java (Jawa Raya), seperti yang memang disebut dalam anggaran
dasarnya. Yang dimaksudkan dengan Jawa Raya adalah pulau Jawa, Madura, dan
Bali, sehingga orang-orang yang berasal dari luar ketiga pulau itu baru jauh
kemudian (sekitar tahun 1930-an) bisa menjadi anggota Boedi Oetomo. Pada tahun
1916, pada saat Sjarikat Islam sudah mulai bicara tentang nasionalisme
Indonesia, beberapa tokoh Boedi Oetomo masih mempertahankan Javaansch nationalism (nasionalisme
Jawa).
Perasaan
kebangsaan seperti ini terus dipegang oleh organisasi sosial dan partai-partai
Islam kemudian, juga sesudah kita merdeka. Pertanyaan memang bisa dikemukan
tentang Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Tetapi seperti yang dikatakan
oleh H. Agus Salim (dalam kuliahnya di Universitas Cornell pada 1953),
persoalan Darul Islam dan NII di Jawa Barat ini disebabkan oleh pendekatan yang
kurang memperhatikan segi psikologis mereka yang tergabung dalam Hisbullah dan
Sabilillah di daerah ini.
Ketika
TNI Angkatan Darat pada akhir tahun 1948 kembali berhijrah dari Yogyakarta ke
Jawa Barat – sebagai akibat persetujuan Rencille; Hasbullah dan Sabilillah
tidak ikut pindah ke Yogyakarta karena ingin terus mempertahankan Jawa Barat
dari pihak Belanda – saling pengertian menghadapi Belanda kurang terbina. Juga kemudian
setelah kebinet Natsir pada tahun 1950 menjalankan pendekatan persuasive terhadap
Kartosuwiryo agar kembali ke pangkuan RI, pertimbangan psikologis tidak atau
sangat kurang diperhatikan pihak Angkatan Darat. Padahal, sudah terdapat
tanda-tanda bahwa Kartosuwiryo akan kembali ke pangkuan RI.
Pada
umumnya kebangsaan yang ikut kuat pada MasJumi, NU, dan partai Islam yang
ingin, juga setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Malah kerja sama
dengan pihak lain, termasuk Katolik, Protestan, nasionalis, dan sosialis, bisa
dijalin terus. Tetapi, kerja sama ini tidak dilakukan pekerjaannya, sudah jelas
lembaga undang-undang dasar yang baru ini akan berhasil.
Masalah
PRRI bukanlah soal yang berkaitan dengan masalah agama. Dalam PRRI tersebut
ikut juga, malah ada kalanya di depan, orang-orang yang beragama Kristen, atau
pun panglima daerah (di antaranya ada yang beragama Kristen juga). Pada pergolakan
tahun 1965 dan belakangan tahun 1998, umat Islam turut memberikan sahamnya (seperti
juga umat beragama lain). Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa dalam lintasan
sejarah di negara kita, ajaran dan nilai-nilai Islam bukan merupakan masalah
dalam menegakkan negara dan bangsa Indonesia.
Contoh dari Nabi.
Lebih-lebih lagi kalau kita perhatikan sejarah Nabi Muhammad SAW. moral
bagianya harus benar-benar ditegakkan. Hukum Islam ditegakkan dengan toleransi
terhadap berlakunya hukum agama lain, termasuk Kristen dan Yahudi. Dalam pengertian
di masa modern ini, moral ini terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan juga dalam menghadapi agama-agama lain. Nabi Muhammad SAW juga
menghormati orang-orang Nasrani yang datang dari Najran di Madinah dan
menerapkan hukum agama Yahudi bila ada orang Yahudi yang melanggar ketentuan
yang tertera dalam Piagam Madinah (Piagam Madinah ini bisa disamakan dengan
konstitusi dalam negara modern). Ia sengaja pergi mengunjungi pendeta Yahudi
untuk keperluan tersebut.
Dan
selama masa khalifah yang ratusan tahun itu (berakhir Khalifah Usmaniah di Turki
pada tahun 1920-an), pengadilan terbagi atas hukum agama: Islam untuk umat
Islam, Kristen untuk orang Katolik dan Protestan serta Ortodoks Ynani (dengan
ketentuan masing-masing); Yahudi untuk orang Yahudi; juga orang Kopt (agama tua
di Mesir), punya pengadilan sendiri.
Sebagai
catatan, perlu juga disebutkan bahwa kalangan Islam di Konstituante merelakan
berlakunya hukum agama yang berbeda-beda di Indonesia (Islam, Protestan, dan
Katolik) bagi penganut masing-masing.
Tetapi
kalau kita bicara secara historis, maka pemisahan antara “Islam Kultural” dan “Islam
Politik” mengingatkan kita pada kebijaksanaan yang dianjurkan oleh pakar Islam
C. Snouck Hurgronje kepada pemerintahan Hindia Belanda sekitar permulaan abad
ini. Yaitu, agar pemerintahan Hindia Belanda membiarkan “Islam Ibadah”, tetapi
menghalangi, malah melarang, “Islam Politik”. Dalam rangka ibadah itu,
pemerintah Belanda malah turut membantu orang-orang Islam, antara lain dengan
membantu mendirikan beberapa masjid di Kota Raja, Palembang, dan sebagainya. Mereka
malah melarang gereja didirkan di Aceh dan di Banten. Juga perjalanan ibadah
haji, yang pada abad lalu dipersulit, dengan nasihat Snouck Hurgronje
dipermudah oleh pemerintah Belanda.
Perlu Kesatuan. Akan
tetapi, dan ini berkaitan dengan penilaian “Islam sebagai moral, sikap dan
perbuatan” di atas, dan tidak mengenai kehidupan masyarakat dan bernegara, baik
juga kita perhatikan bahwa moral dan nilai agama itu bisa putus dari kehidupan
masyarakat dan negara. Akibatnya, seperti dikatakan di atas, KKN pun
merajalela.
Baik
juga diingat bahwa dalam jaman pergerakan dahulu hubungan tokoh-tokoh
organisasi sosial Islam dengan organisasi partai politik Islam, juga sesudah
merdeka tetap di masa sebelum demokrasi terpimpin, sangat intim,
sekurang-kurangnya tidak mengandung kecurigaan, apalagi secara terbuka. Umpamanya,
pada tahun 1938 terbentuk Majelis Islam A’laa Indonesia yang mencakup
organisasi sosial Islam (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) dan juga partai
politik (PSII).
Di
masa revolusi, partai politik Masjumi mulanya praktis mencakup
organisasi-oraganisasi sosial Islam (Kecuali Perti, dan mulai 1947 PSII kembali
menjadi partai). Tetapi yang sangat menggembirakan adalah tokoh-tokoh
organisasi sosial tersbeut (termasuk tokoh-tokoh pendidikan, baik di pesantren
maupun di sekolah yang sudah modern) tidak hanya membiarkan atau menonton saja
dalam mengikuti perkembangan organisasi politik Islam, melainkan banyak
membantunya: dengan buah pikiran, dan kalau mungkin dengan dukungan atau
cegahan. Amar ma’ruf nahi munkar
memegang ciri khas dalam sikap dan perbuatan Muslim dan Muslimah.
Hal
seperti ini perlu dibangkitkan kembali pada masa sekarang dan masa depan. Agaknya,
disinilah terletak Ukhuwah Islamiyah
itu, persaudaraan yang diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Dalam rangka inilah, baik emosi (yang tidak berlebihan tentunya) maupun rasio
(akal pikiran), menurut kita bersikap demikian. Emosi saja atau pun rasio saja,
akan membuat kita lepas dari keseimbangan. Kita memang seharusnya merupakan ummatan wasathan, umat menengah, dalam
sikap dan perbuatan. Oleh sebab itu, kesatuan berbagai bidang kehidupan,
sosial, ekonomi, politik, (semua termasuk dalam budaya, atau pun budaya
tercermin dalam bidang itu), merupakanhal yang biasa. Demikian juga hubungan
sosial perasaan (emosi) dengan rasio (akal). Dalam hubungan dengan Islam, tentu
Islam itu mencakup semuanya; dan ini, seperti dikemukan di atas, dicerminkan
dalam pengertian hukum dalam Islam.
Mudah-mudahan
pencakupan yang demikian yang ditegakkan oleh partai-partai Islam, dan didukung
oleh organisasi masyarakat Islam dalam berbagai bidang, juga oleh Muslim dan
Muslimah yang berada umpamanya diluar organisasi Islam; sesuai pula dengan
ajaran Islam itu “rahmat bagi sekalian alam”. Dengan demikian, memang partai
politik Islam diperlukan. Semoga Allah SWT memberikan kita taufik dan
hidayah-Nya. Amin.[]
Penulis:
Deliar Noer (Seorang dosen, pemikir dan politisi Indonesia dan Pernah menjadi
Ketua Umum PB HMI periode 1953-1955).
Sumber
tulisan: Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Ed), Mengapa Partai Islam Kalah?, Alvabet, Jakarta Selatan, 1999. Hal.
8-12.
Ket.gbr: Foto Deliar NoerSbr.gbr: https://id.wikipedia.org/
No comments:
Post a Comment