YakusaBlog- Tepat
tanggal 09 Februari seluruh Rakyat Indonesia terutama para awak media massa akan
memperingati sebuah hari dan bukan sekedar peringatan yang bernuansa formalitas,
namun lebih menjadi sebuah momentum perubahan lebih baik yaitu Hari Pers
Nasional. Beragam acara diselenggarakan untuk turut serta memeriahkan agenda
tahunan ini. Pelatihan Jurnalistik, seminar tentang Pers, lomba menulis opini
ataupun essay dan beraneka event edukatif yang diselenggarakan di
berbagai daerah dan instansi. Selain untuk meramaikan, acara tersebut juga bertujuan
untuk memberikan nilai-nilai pembelajaran kepada mahasiswa dan lapisan pemuda
tentang keberadaan Pers dalam Negara Demokrasi.
Pers adalah
badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis,
kata Pers (Belanda), atau Press (Inggris), atau presse (Prancis),
berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang
berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa
cetak” atau “media cetak”. Dalam UU Pers No. 40. Tahun 1999 Tentang Pers
mengatakan, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis
saluran yang tersedia.
Sementara
itu, Darren Lilleker (2006: 148) mengklasifikasikan peran media massa dalam
iklan politik menjadi tiga kelompok: Pertama, berisi perjalanan
pemerintah sehari-hari baik peristiwa yang terjadi dan berkembang. Kedua, menyiarkan
berbagai kegiatan partai politik. Ketiga, kebijakan yang dibuat para elite;
peran media akan terlihat seperti memberi dukungan, bersikap netral, atau
melakukan perlawanan. Banyak sekali peran yang
dapat dilakukan oleh media massa pada suatu negara yang menjamin terhadap
kebebasan pers dalam menjalankan fungsinya.
Sisi
lain, begitu besarnya pengaruh tekanan pemerintah yang menganut system otoritarian terhadap media massa, sulit bagi media massa untuk menghindari
campur tangan kekuasaan
pemerintah, sebab dalam sistem politik apa pun media massa selalu mendapat kontrol dari pemerintah yang berkuasa,
guna mempertahankan kekuasaannya. Misal, kesalahan-kesalahan yang terjadi dan
yang dilakukan oleh pemerintahannya tidak ekpose diruang publik. Kebebasan media massa
saat ini telah menjadi kebablasan. Kebebasan bukan segala-galanya atau bukan tanpa batas,
sama halnya dengan demokrasi. Semestinya kebebasan hak-hak untuk berkomunikasi yang disampaikan oleh
media massa tetap menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan sistem politik.
Pengaruh kedua,
tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan teknologi informasi.
Keberadaannya telah menghilangkan garis-garis batas antar negara dalam hal flow
of information. Tidak ada negara yang mampu untuk mencegah mengalirnya
informasi dari atau ke luar negara lain, karena batasan antara negara tidak
dikenal dalam virtual world of computer, semakin hari semakin
merata dan membudaya di masyarakat. Terbukti, sangat sulit untuk menentukan
perangkat hukum yang sesuai dan terbukti efektif untuk menangkal segala hal
yang berhubungan dengan penciptaan dan aliran informasi. Pengaruh derasnya laju
teknologi informasi menjadi jalur media massa yang tidak bertanggungjawab dalam
dinamika demokrasi dan menghasilkan beragam effect dan menimbulkan benih
konflik.
Menurut
Sofyan Rambey dalam bukunya yang berjudul Go The Extra Mile; A Journey Into The Unknown, tahun
2017, mengatakan memang secara sengaja ada produsen pebisnis kata-kata yang
memproduksi issue negatif dan berita hoax yang kemudian
mengkapitalisasinya menjadi rupiah. Kesemua ini terpaksa kita terima melalui
penyampai pesan yang tidak bertanggungjawab di ranah lini massa media sosial (medsos).
Kebenaran semu yang disamarkan dan diproduksi berulang dapat mengganggu kerja prefrontal
cortex di otak kita. Dan tanpa kecerdasan memadai, ia dapat memerangkap
kita ke dalam fenomena Stockholm syndrome (kasus tersandera yang pada
akhirnya berpaling, memihak, dan mendukung satu pihak). Maka, dampak dari rendahnya
literasi adalah tumpul-setumpulnya daya intelektualitas kita dalam memfilter
kebenaran dari apa yang disamarkan secara semu sebagai kebenaran.
Pemahaman
demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme
menuju demokrasi seperti negara kita masih bersifat lemah (low). Demokrasi dimengerti hanya sebagai
Pemilihan Umum (Pemilu) saja yang berlangsung fair, jujur dan adil. Demokratisasi
adalah suatu proses dalam sistem suatu negara, dimana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat. Rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat dan
untuk rakyat. Abraham Lincoln pada tahun 1967, memberikan pengertian demokrasi sebagai
Governmens of the people, by the people, and for the people.
Media massa
dalam tatanan demokrasi, secara konstruktif bisa menjadi Subjek Pengontrol
ataupun sebaliknya akan menjadi destruktif jika menjadi objek yang
dikontrol. Pers memiliki posisi sangat penting dalam berjalan-tidaknya
pemerintahan demokrasi. Menurut Denis McQuail (1987:126),
kebebasan media massa atau pers harus diarahkan agar dapat memberikan manfaat nyata bagi
masyarakat dan khalayaknya, bukan hanya sekadar untuk membebaskan media massa dan pemiliknya dari kewajiban
harapan dan tuntutan masyarakat.
Demokrasi
sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara
di beberapa negara termasuk memberikan ruang bagi media massa yang bebas untuk menjalankan fungsi persnya. Salah
satu konsep dari system negara yang demokrasi menurut Huntington (2008), yaitu adanya
peran media massa yang bebas. Hal yang terkait erat dengan hak publik untuk tahu adalah
dengan media massa yang bebas, yaitu surat kabar, televisi, radio dan media baru yang
bisa menginvestigasikan jalannya pemerintahan dan melaporkannya tanpa takut adanya
penuntutan dan hukuman. Gambarannya adalah pemerintah tidak dapat mengontrol apa yang
ditulis atau disiarkan
oleh media massa, dan pemerintah tidak dapat menjebloskan orang ke dalam penjara karena pandangannya. Tanda
yang paling jelas dari suatu rezim yang tidak demokratis adalah pelanggaran akan hak-hak yang fundamental jika
gagasan-gagasan mengalir secara bebas, jika lapangan publik terbuka tetapi juga
kosong maka demokrasi dapat tergerus sebagaimana tentunya ia akan runtuh ketika hak-hak
fundamental dilarang.
Penulis
yakin dengan Hari Pers Nasional tahun ini, Pertama akan menjadi momentum bagi semua awak media massa
untuk turut serta memperkuat nilai-nilai demokrasi di Indonesia, karena begitu besarnya peran yang
dimainkan oleh media massa, sehingga media massa dapat kita tempatkan menjadi sebuah pilar
selain legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Kedua,
akan menjadi kesadaran
para kaum penikmat media massa untuk lebih meningkatkan daya literasinya, membuka pikiran, mata, dan hatinya
agar terhindar dari potensi sekedar menjadi tong sampah berita hoax.[]
Penulis: Yongky Danar Pramudita (Kader HMI
Cabang Jember)
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://www.hipwee.com/
No comments:
Post a Comment