YakusaBlog- Dikisahkan dalam bukunya Hariqo Wibawa Satria bahwa, Lafran Pane pernah ditawari untuk menduduki pimpinan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bukan hanya PPP, hal yang sama juga pernah ditawarkan Golkar untuk menjadi pengurus dan mewakili Golkar di lembaga legislatif.
Tawaran untuk menjadi pimpinan atau menjadi pengurus suatu lembaga tidak hanya datang dari partai politik. Tawaran serupa pernah juga datang dari organisasi umat Islam yang ada di Indonesia. Lafran Pane pernah diminta oleh Pengurus Besar Al Jamiatul Wasliyah (yang kita sebutkan Al-Wasliyah) agar bersedia menjadai Ketua Umum Al Jamiatul Wasliyah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bagaimankah sikap Lafran Pane saat tawaran-tawaran itu datang untuk menjadi pinpinan, pengurus dan menjadi wakil di lembaga legislatif? Tawaran-tawaran itu sangat luar biasa, tidak bisa kita pungkiri banyak sekali orang yang ingin menuju ke sana, menjadi pimpinan partai atau organisasi kemasyarakat dan duduk di kursi legislatif. Tidak jarang pula banyak orang untuk mencapai ke sana menghalalkan segala cara.
Subhanallah. Akan tetapi sangat berbeda dengan Lafran Pane. Seluruh jabatan yang ditawarkan itu ia tolak dengan lemah lembut dan tetap memegang prinsip independensinya dari sebelum ia mendirikan HMI hingga ia wafat. Ketika menolaknya dengan jawaban yang sopan, ia mengatakan: “Kalau saya masuk salah satu partai atau organisasi, saya sebagai pemrakarsa berdirinya HMI nanti akan timbul anggapan bahwa HMI tidak independen lagi.” Sungguh luar biasa, menolak semuanya demi mempertahankan independensi HMI.
Muncul suap pertanyaan, apakah maksud atau tujuan ia mengatakan seperti itu?
Masih dalam penuturan Hariqo, maksud atau tujuan Lafran Pane mengatakan demikian agar sifat independensi HMI yang barhasil ditanamkannya hingga saat ini dapat dipertahankan, maka semua jabatan yang ditawarkan itupun ditolak oleh Lafran Pane, walau dari segi materi sangat menjanjijakan.
Bukan hanya kisah itu saja, Lafran Pane pernah diajukan oleh beberapa petingga negara yang pernah berproses di HMI, untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dikisahkan, dia (Lafran Pane) diminta untuk mengisi formulir kesediaan menjadi anggota Golkar untuk mendapatkan Nomor Pokok Anggota Golkar (NPAG). Akbar Tandjung menugaskan Drs. Mahadi Sinambela, Ir. H. Senopati dan Drs. Syarif Husein Basnan (ketiganya pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta) untuk mengurusi hal itu. Mereka bertiga ternyata gagal meyakinkan Lafran Pane agar bersedia menjadi anggota Golkar sebagai syarat untuk menjadi anggota DPA.
Sungguh kuat sekali independensinya Lafran Pane. Ia tetap menolak menjadi anggota DPA jika menjadi anggota Golkar. Karena jika Lafran Pane resmi menjadi anggota DPA maka akan dimasukkan dalam fraksi Golkar.
Akbar Tandjung dan teman-temannya tidak putus semangat dan terus memohon kepada Lafran Pane agar bersedia menjadi anggota DPA. Permohonan itu diterima oleh Lafran Pane dengan catatan tidak bersedia menjadi anggota Golkar, atau dari fraksi Golkar. Lafran Pane tetap memegang teguh independensinya, dan tidak bersedia menjadi anggota DPA apabila disyaratkan menjadi anggota Golkar. Akhirnya Lafran Pane berhasil mempertahankan agar tidak menjadi anggota partai politik. Lafran Pane pun diangkat menjadi anggota DPA tahun 1990 tanpa harus masuk Golkar. Terlihat pemandangan yang sangat membanggakan di ruang gedung DPA. Lafran Pane tidak masuk dalam fraksi manapun. Papan nama Lafran Pane di DPA bertuliskan: Lafran Pane/Alumni HMI.
Terkait mengenai kisah ini, dapat kita simak potongan hasil wawancara Hariqo dengan Senopati. Demikian percakapannya:
“Hariqo: Tapikan dia (Lafran Pane-pen) mau jadi anggota DPA, Bang. Bisa diceritakan?
Senopati: "Waktu itu, alumni HMI di Jakarta, ada Sulastomo, Supri, Akbar Tandjung, Mahadi, dan banyak yang lainnya ingin menampilkan tokoh independen di DPA, lalu mereka sepakat Pak Lafran adalah orang yang cocok. Tapi mereka yakin kalau Pak Lafran didatangi khusus, pasti dia menolak. Maka aku yang di Yogya disuruh lobi, Bang Akbar telepon. Itupun susahnya minta ampun, foto saja suruh saya yang nyuci di jalan Sayyidan. Dia hanya punya klise. Kolom parta ia kosongkan.”
Selanjutnya, Sulastomo (Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1966) juga menceritakan dalam tulisannya yang didedikasikan untuk Lafran Pane. Ia menceritakan, “Suatu sore, di kantor koran Pelita, saya berbincang dengan Menpora Akbar Tandjung, yang waktu itu menjabat Pemimpin Redaksi Pelita. Seperti biasa, perbincangan seperti itu berwarna-warni sampai akhirnya tiba pada kemungkinan penyusunan anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Siapa di antara putra terbaik bangsa ini yang pantas diusulkan untuk menjadi anggota DPA? Di antara nama-nama yang keluar, kami berdua sepakat bahwa Mas Lafran layak untuk menerima tugas itu. Beliau kami anggap cukup senior, mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak, serta berwawasan luas. Keanggotaannya dalam DPA Insya Allah dapat memberi manfaat yang banyak bagi lembaga tersebut. Demikianlah proses itu berjalan, akhirnya Mas Lafran Pane mendapatkan kepercayaan dari Presiden untuk memangku tugas itu. Akbar Tandjung menceritakan, pada saat syukuran di rumahnya, bahwa proses pengangkatan Mas Lafran juga ada uniknya. Sebelum diangkat sudah tentu dimintakan riwayat hidup serta perjuangan Mas Lafran. Misalnya, ditanyakan apakah Mas Lafran anggota Golkar? Ternyata tidak, tetapi toh tidak ada masalah. Akhirnya Mas Lafran mendapatkan kepercayaan untuk memegang tugas itu.” (Hariqo Wibawa Satria, 2011:74).
Subhanallah, inilah bagian dari bukti kebenaran firman Allah Swt. yang mengatakan bahwasanya jabatan itu datangnya dari Allah Swt. dan Allah Swt. pulalah yang mencabutnya. Allah Swt. akan memberikan kekuasaan (jabatan) kepada orang yang Ia kehendaki dan mencabutnya dari orang yang Ia kehendaki. Independensi Lafran bergantung kepada kebenaran, Allah Swt. Tanpa dari partai, Lafran Pane dapat menjadi anggota DPA, tapi atas nama “Alumni HMI”. Sungguh Maha Benar Allah Swt. dengan segala yang difirmankan-Nya.
Sekali lagi kita akui, sungguh luar biasa keteguhan Lafran Pane memegang independensinya dan independensi HMI. adakah sosok atau alumni HMI saat ini kita dapatkan seperti beliau? Hanya Allah Swt. yang Maha Mengetahui.
Kemudian kembali muncul lagi suatu pertanyaan, apakah karena ia sebagai pemrakarsa pendiri HMI atau karena ia sudah tua sehingga keteguhannya memegang independensi itu kuat? Bagaimana kalau ia seorang pemuda atau sebagai seorang mahasiswa yang masih berproses di HMI, layaknya seperti kader-kader HMI masa kini? Apakah ia (baca: Lafran Pane) seteguh itu memegang independensinya?
Dapat kita jelaskan bahwa tidak mungkin kita memanen padi tanpa terlebih dahulu menanam benuhnya. Tidak mungkin kita mendapatkan buah yang berkualitas jika kita tidak menanam benih dan merawatnya. Ini sudah menjadi hukum alam (sunnatullah). Jika dari dasar ditanamkan nilai-nilai kebaikan dan komitmen untuk menjaga nilai-nilai yang baik itu maka sampai tua pun akan terlihat.
Sejak muda, sejak bermahasiswa dan ber-HMI, sifat independensi itu sudah tertanam dan terawat dengan baik pada diri Lafran Pane.
Ahmad Dahlan Ranuwihardjo (Kahmi Centre, 2015: 26), menjelaskan garis independensi yang dipegang teguh oleh Lafran Pane sejak bermahasiswa dan ber-HMI. berikut ia menuliskan:
“Tanpa ada perumusan tentang garis independen itu Mas Lafran langsung saja mempraktekkannya, malahan sebelum HMI-nya sendiri didirikan.”
Diceritakan latar belakang berdirinya HMI oleh Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, murni seratus persen gagasan, pemikiran atau lebih tepatnya dari suara hati Lafran Pane. Sebelum Lafran Pane mendirikan HMI, yang sudah ada di dalam pikiran dan suara hatinya, ia sempatkan berkonsultasi dengan Kahar Muzakkir.
Konsultasi ini dilakukan oleh Lafran Pane, kata Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, untuk menguji gagasan mendirikan HMI. menurut istilah sekarang feasible atau tidak. Ternyata feasible. Dan proses selanjutnya menurut naluri dan pertimbangan independen dari Lafran Pane itu sendiri.
Dalam sejarahnya, seperti yang sering diungkapkan Agussalim Sitompul (Sejarawan HMI) dalam berbagai bukunya tentang HMI, baru beberapa hari HMI didirikan Lafran Pane bersama 14 orang temannya sudah mendapatkan dan menghadapi ujian besar, baik itu secara organisatoris maupun independensinya Lafran Pane.
Sebagaimana yang diketahui, pada awal-awal bulan tahun 1947, semua potensi umat Islam praktis bernaung di bawah Partai Masyumi. Satu-satunya partai Islam pada waktu itu. Di dalamnya banyak bernaung organisasi-organisasi sosial Islam sebagai anggota partai seperti, bergabungnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, PUI, Al-Irsyad, Mathla’ul Anwar. Dari gerakan-gerakan pemuda Islam juga ada yang tergabung dalam struktur Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang merupakan bahwan (onderbouw) atau sayap partai Masyumi. Ada seksi pelajar, sehingga para pelajar Islam pun bernaung di bawah Partai Masyumi.
“Eee, mendadak sontak muncul si Lafran dengan “gang”-nya selusin orang membawa sebuah nama yang sebelumnya belum pernah kedengaran dan rasanya tidak mungkin akan muncul di muka bumi ini, yaitu nama: HMI. Ini terasa sebagai sebuah anakronisme (tidak sesuai dengan tuntutan zaman) pada waktu itu.” Demikian diungkapkan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo dalam tulisannya mengenal Lafran Pane.
Kembali kita pada pembicaraan sejarah ujian yang didapatkan juga dihadapi HMI serta ujian independensinya Lafran Pane. Beberapa hari setelah beridirinya HMI, Lafran Pane diminta puncak pimpinan GPII agar datang ke kantor Pengurus Pusat GPII.
Lafran Pane menghormati dan menghadiri panggilan itu. Sungguh luar biasa sikap diplomatiknya Lafran Pane. Di dalam pembicaraan pertemuan tersebut, Lafran Pane diminta untuk membatalkan atau membubarkan HMI yang telah didirikan dan Pimpinan Pusat GPII meminta supaya bergabung dengan GPII. PP GPII akan menampung para mahasiswa Islam dalam seksi khusus di dalam struktural GPII, yaitu seksi mahasiswa (disamping seksi pelajar yang sudah ada). Dengan demikian menurup PP GPII, para mahasiswa Islam tidak berada di luar Barisan Islam. sebenarnya kata terakhir ini merupakan sindiran atau tuduhan seolah-olah mahasiswa yang bergabung di HMI berada di luar Barisan Islam, padahal tidaklah demikian.
Melihat dari petemuan ini, Lafran Pane, sewakti bermahasiswa dan mendirikan HMI sudah ditawari jabatan-jabatan dengan posisi strategis. Akan tetapi, ia dapat menolaknya dengan diplomatik demi mempertahankan independensi yang telah gariskan di organisasi mahasiswa Islam yang ia prakarsai, HMI.
Permintaan PP GPII tersebut merupakan kejutan sekaligus ujian bagi Lafran Pane dan HMI. Dalam pertemuan waktu itu, ia pun hanya menjawab, “Itu akan saya pikirkan.” Selanjutnya ia tidak memberi kabar lagi kepada PP GPII sampai HMI saat ini menunjukkan kontribusinya pada agama, bangsa dan negara.
Tidak bersedianya Lafran Pane dan HMI berada di bawah PP GPII, dan yang lebih besar lagi dia tidak bersedia di Partai Masyumi, tidak berarti tidak mempunyai aspirasi ukhuwah Islamiyah atau solidaritas umat Islam. dengan cara HMI sendiri, aspirasi tersebut telah ditunjukkan dalam perjalanan HMI hingga saat ini.
Hal itu dapat kita dilihat tujuan awal berdirinya HMI (sebelum ada perubahan seperti perubahan terakhir ini yang berbunyi di dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI) yang disusun oleh Lafran Pane bersama teman-temannya, 14 orang mahasiswa Islam pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H atau bertepatan 5 Februari 1947 M. Tujuan pertama HMI berbunyi: (1) Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. (2) Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Seperti yang diterangkan Drs. Agussalim Sitompul, yang mengutip dari bukunya Victor Tanja (seorang Pendeta) mengungkapkan, “Dengan demikian HMI tidak bermaksud untuk menjadi senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau pendidikan Muslim lain apa pun.” Dalam ungkapan ini, HMI yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya Lafran Pane, menunjukkan sifat independensi. Lafran Pane dan HMI tidak ikut pihak manapun. (Drs. Agussalim Sitompul, 1984:45).
Kembali kita katakan independensi Lafran Pane, walau diiming-imingi dengan jabatan, materi, dan intervensi yang berat, dia tetap teguh menjaganya. Kisah Lafran Pane ini pernah juga terjadi dan hampir sama dengan kisah Rasulullah Saw. di berikan jabatan di Arab oleh pemimpin kafir Quraisy, apapun yang diminta Rasulullah Saw. akan diberikan dengan catatan menghentikan dakwah Islam yang diperintahkan Allah Swt. padanya. Akan tetapi, Rasulullah Saw. menolaknya, hingga ia wafat, Rasulullah Saw. terus mendakwahkan Islam. Mengirimkan para sahabt-sahabat yang telah mempelajari Islam secara langsung kepada beliau agar mendakwahkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia.
Rasulullah Saw. juga pernah diajak oleh kaum kafir Quraisy agar setahun saja menyembah bergala atau kepercayaan kafir Quraisy. Kemudian kafir Quraisy menyembah Tuhan yang disebah Rasulullah Saw. Dengan lemah lembut, Rasulullah Saw. menolaknya seraya mengucapkan firman Allah Swt. Lakum dinikum waliyadin (Bagimu agamamu, da bagiku agamaku).
Dengan perlakukan keraspun (secara fisik) dari kafir Quraisy pernah dialami Rasulullah Saw. agar dia berhenti mendakwahkan agama Islam yang diturunkan padanya dengan tujuan untuk seluruh umat manusia. Benar-benar mentauhidkan Allah Swt. dan membuang seluruh kepercayaan-kepercayaan yang menyesatkan manusia.
Dengan ancaman-ancaman itu, Rasulullah Saw. terus mempertahankan dan mendakwahkan ajaran agama Islam yang langsung dari Allah Swt. lewat perantaraan wahyu yang disampaikan Allah Swt. kepada malaikan Jibril as. kemudian Jibril as. menyampaikannya kepada Rasulullah Saw. selanjutnya dari Rasulullah Saw. untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Sehingga kita pun menikmati buah manis dari perjuangan Muhammad Saw.
Bukan maksud menyamakan antara Muhammad Saw. dengan Lafran Pane. Tentu kedua-duanya sangat jauh berbeda, walau sama-sama manusia dan hamba Allah Swt. Kemuliaan dan keteguhannya tentu tidak sama. Tidak mungkin ada yang bisa sama dengan Rasulullah Saw. tanpa ijin Allah Swt. Akan tetapi kita melihat Lafran Pane, dengan kecintaannya kepada Allah Swt., Muhammad Saw., dan agama Islam, semangat independensinya itu ia dapatkan dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kiranya memang kita harus seperti itu juga. Semoga Lafran Pane mendapatkan syafaat dari Rasulullah Saw. di yaumil akhir nanti.
Lantas bagaimanakah dengan kita yang majadi kader HMI masa kini? Bagaimanakah dengan alumni-alumni HMI saat ini dan atau kelak kita menjadi alumni HMI? Apakah kita mampu bersifat independen seperti yang ditunjukkan oleh Pendiri HMI, Lafran Pane? Adakah di antara kita yang telah menggadaikan HMI yang kita cintai ini demi untuk mencapai kepentingan kita? Atau apakah saat ini independensi kita, baik secara independensi etis (watak kader HMI atau alumni HMI) maupun secara independensi organisatoris? Hanya diri kita dan Allah Swt. yang lebih mengetahuinya.
Kiranya Rasulullah Saw., Lafran Pane dan orang-orang yang memegang teguh sifat independensi menjadi inspirator dan motivator kita dalam mempertahankan, menjaga, merawat dan mempertebal sifat-sifat independensi kita dalam ber-HMI serta dalam kehidupan kita sehari-hari.[]
Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa)
No comments:
Post a Comment