YakusaBlog- Dalam Pemilihan Umum Kepalada Daerah (Pemilukada) atau dalam bahasa masyarakat sehar-hari sering dikatakan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada), tentunya setiap pasangan
calon mempersiapkan dan mengerahkan seluruh kekuatan baik sifatnya yang materil
maupun non-materil untuk dapat menjadi pemenang (memperoleh suara terbanyak)
dalam Pemilukada. Dari seluruh modal kekuatan yang telah dipersiapkan tidak
menutup kemungkinan sering kita temukan kecurangan dalam Pemilukada, terkadang
ada hal yang dianggap lumrah, kalau pun itu tidak lumrah sangat susah untuk
membuktikan atau sangat susah prosesnya ketika sampai ke ranah hukum
(persidangan peradilan).
Dari sekian banyak strategi untuk mendapat suara terbanyak, unsur-unsur
pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif sering kita temukan dilakukan
oleh para calon kepala daerah. Jika ia melakukan dengan cara yang bersih, maka dia
akan kalah saing dengan pasangan yang lain. Misalnya money politic (politik uang), sudah menjadi hal lumrah dimasyarakat
ketika ada pemilihan kelapa daerah atau pemilihan legisltif. Demikianlah salah
satu potret dalam berdemokrasi kita. Politik uang memang sangat dilarang oleh
hukum, akan tetapi politik uang masih terus dipraktekkan dan masyarakat
(sebagai pengawas partisipatif) secara mayoritas membiarkan praktik-praktik
tersebut.
Sebelum jauh pembahasan ini, maksud dari pada penulis terkait judul tulisan
ini adalah, bahwa politisasi birokrasi ini merupakan suatu pelanggaran seperti
politik uang. Akan tetapi, walaupu sebagai pelanggaran yang sistematis,
terstruktur dan masif dalam Pemilukada, praktik ini sering kita temukan pada
Pemilukada yang telah berlalu di berbagai daerah.
Mengapa praktik-praktik itu masih terus dilakukan? Ya, jawabannya tidak
berbeda dengan seperti mengapa politik uang masih terus dipraktikkan. Kedua
cara ini memang sudah menjadi rahasia umum. Praktik politik uang (walau
melanggar hukum) dapat menjadi kunci kemenangan, karena dapat menarik suara
masyarakat dengan transaksi (jual beli) suara dari pemilih. Kekurangan dari
strategi politik uang ini dapat dilakukan oleh setiap pasangan calon, akan
tetapi politisasi birokrasi tidak dapat dilakukan oleh setiap pasangan calon.
Baca juga: Politisi Tanpa Visi Ujung-Ujungnya KKN
Baca juga: Politisi Tanpa Visi Ujung-Ujungnya KKN
Nah. Lantas bagaimanakah yang dimaksud politisasi birokrasi itu?
Secara singkatnya, politisasi birokrasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan pasangan calon kepala
daerah, terutama pasangan calon petahana (incumbent)
yang masih memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk menggerakan birokrasi
pemerintahan agar memilihnya, karena pasangan calon itu masih menjadi kepala
daerah. Unsur birokrat yang terlibat biasanya tersistematis dari struktur atas
hingga struktur bawah dalam pemerintahan. (M. Mahrus Ali dkk, 2011:8-9)
Hal demikian jelas menjadi kekuatan pasangan calon petahana (incumbent) saja karena dialah yang dapat
menggerakannya. Sedangkan pasangan calon lain tidak dapat melakukannya. Dengan
strategi ini juga, pasangan calon tidak perlu susah payah untuk mengorganisir
massa, tinggal ia menggerakkan atau mengkoordinir para pejabat-pejabat di
bawahnya dan dapat mendistribusikan secara gratis bahan-bahan pokok yang
dibutuhkan masyarakat. Hal demikian pula menjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Maka dari itu, supaya pertarungan merebut hati rakyat untuk memilih lebih
adil dan bijak, seluruh perangkat penyelenggara pemilihan, pengawas pemilihan,
setiap pasangan calon dan masyarakat harus betul-betul memperhatikan dan juga
mengawasinya. Dan bagi setiap pasangan calon incumbent yang posisinya sebagai kepala daerah, kiranya tidak menyelewengkan atau melakukan
politisasi birokrasi.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Mahasiswa Fakultas Hukum UISU-Medan
Ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.99.co/
Sumber gbr: https://www.99.co/
No comments:
Post a Comment