Nurcholish Madjid; Sang Pembaharu Indonesia - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 10 December 2017

Nurcholish Madjid; Sang Pembaharu Indonesia

YakusaBlog- Di antara para tokoh HMI atau KAHMI, ia termasuk yang sangat populer. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Sejak awal dia dikenal sebagai pemikir yang kritis, tidak saja dalam konteks gagasan pembaruan pemikiran Islam, tetapi juga dalam menyikapi perkembangan sosial-politik nasional.
Pria kelahiran Jombang, 17 Maret 939 ini juga dikenal sebaga tokoh reformasi dan berperan penting dalam detik-detik mundurnya Presiden Soeharto. Cak Nur, demikian panggilan akrabnya, wafat pada 29 Agustus 2005. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata.
Semasa hidupnya, Cak Nur banyak bergerak di ranah pemikiran yang kemudian menjadi referensi berbagai pihak. Di kalangan HMI, Cak Nur salah satu tokoh perumus Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. Di kalangan masyarakat luas, Cak Nur dikenal memiliki pandangan-pandangan yang kritis, sekaligus konsisten mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi yang universal. Ia berperan penting pada masa transisi Orde Baru ke Era Reformasi dan menjadi “guru bangsa”.
Dalam upaya mendorong proses demokratisasi di Indonesia, Cak Nur mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di penghujung Orde Baru. Wadah itu merupakan sebagai gerakan moril agar proses demokrasi di Indonesia berkualitas.
Mengawal Proses Reformasi
Dalam memperjuangkan visinya, Cak Nur tak silau jabatan. Ia menolak memimpin Komite Reformasi yang ditawarkan Presiden Soeharto, Mei 1998. Selain masalah etis, Cak Nur tak ingin keluar dari arus tuntunan reformasi yang menghendaki perubahan sistem politik secara mendasar. Penolakannya tersebut merupakan selah satu faktor penting yang membuat Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
Cak Nur menawarkan gagasan-gagasan politik yang bersandar pada realitas keindonesiaan yang majemuk yang harus dikelola melalui sisten yang demokratis. Cak Nur mengawal mengawal proses reformasi melalui keterlibatannya mengetuai Tim 11 yang bertugas menyeleksi partai-partai politik peserta Pemilu 1999. Tim 11 merupakan sebutan dari Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) selaku Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) melalui SK No. 06 Tahun 1999.
Cak Nur pernah menjajagi konvensi penjaringan calon presiden Partai Golkar menjelang Pilpres 2004. Tetapi niatnya urung. Ia merasakan tingginya gejala ketika visi misi tersingkir oleh “gizi”, eufimisme dari “politik uang”. Kritik Cak Nur tersebut, sekaligus pesan moral di tengah paradoks praktik demokrasi internal partai.
Cak Nur juga pernah menyitir, konsekuensi bahwa dalam demokrasi langsung, bahkan “setan gundul” pun bisa terpilih sebagai pemimpin. Hitler di Jerman pun, konon terpilih dalam sebuah proses pemilu sebagai sebuah demokrasi prosedural. Karenanya, kehadiran pemimpin yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasilah yang perlu dipersiakan dengan baik.
Pemikiran Keagamaan
Cak Nur dikenal sebagai cendekiawan Muslim. Pada tahun 1970, dia memaparkan kertas kerja “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang diselenggarakan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Jakarta. Gagasannya mendapat respon berbagai pihak.
Polemik pun terjadi, tertutama tentang sekularisasi. Baginya, sekularisasi bukanlah penerapan sekularisme, tetapi menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi yang melahirkan kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material ataupun historis.
Penjelasan lainnya dikaitkan dengan ajaran Islami ialah pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, dengan konsekuensi, melahirkan desakralisasi pandangan terhadap aliran selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.
Pandangannya tentang sekularisasi tak lepas dari wacana modernisasi yang marak pada 1970-an. Baginya, modernisasi adalah resionalisasi. Namun, ia menolak rasionalisme atau suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yang dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia kebenaran-kebenaran.
Hal tersebut bersifat kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia. Cak Nur menggarisbawahi, menurut Islam, yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain, yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama Tuhan, melalui nabi-nabi.
Karya dan Profesi Cak Nur
Semasa hidupnya, ia melahirkan berbagai karya tulis, antara lain: Khazanah Intelektual Islam (1982); Islam, Kemodrenan dan Keindonesiaan (1987); Islam, Doktrin dan Peradaban (1992); Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993); Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994); Islam, Agama Kemanusiaan (1995); Islam, Agama Peradaban (1995); Dialog Keterbukaan (1997), dan masih banyak lagi.
Cak Nur pernah menjadi Peneliti LEKNAS-LIPI (1978-1984); Peneliti Senior LIPI (1984-2005); Guru Besar IAIN (sekaran UIN) Syarif Hidayatullah (1985-2005); Rektor Universitas Paramadina (1998-2005). Ia juga pernah menjadi Anggota MPR-RI (1987-1992 dan 1992-1997); Anggota Dewan Pers Nasional (1990-1998); Anggota Komnas HAM (1993-2003); Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI (1990-1995). Pada tahun 1998, Cak Nur menerima Bintang Mahaputra. Ia juga menjadi salah satu pendiri LSM Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.[]


Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT. Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi, 2016.

Sumber gbr: http://www.madinaonline.id/

No comments:

Post a Comment