YakusaBlog- Mahbub Djunaidi dikenal sebagai
kolomnis hebat semasa hidupnya. Kolom-kolomnya (tulisan-red) yang mendalam dan jenaka mengulas apa saja, masalah-masalah
sosial, politik, hingga hal-hal remeh sehari-hari. Dia memang sudah dikenal
sebagai aktivis mahasiswa yang tekun menulis, sehingga dia mudah dikenal. Dia adalah
seorang wartawan dan sastrawan. Dia salah satu pengurus yang aktif di Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) pada periode Ismail Hasan Metareum. Namun demikian, pada
17 April 1960, Mahbub dan para mahasiswa kader Nahdlatul Ulama (NU)
membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Mahbub Djunaidi terpilih sebagai Ketua
Umum PMII selama tiga periode (1960-1961, 1961-1963, dan 1963-1967). Sebagai pemimpin
PMII, Mahbub pernah berdialog langsung dengan Presiden Soekarno di Istana
Bogor, meminta agar supaya HMI jangan dibubarkan.
Mahbub lahir pada 27 Juli 1933. Ayahnya
bernama K.H. Muhammad Djanaidi, tokoh NU yang pernah menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilhan Umum (Pemilu) tahun 1955. Ketika keluarganya
mengungsi di Solo pada awal kemerdekaan, dia masuk madrasah, dan oleh seorang
gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan Takdir
Alisjahbana, Mark Twain, atau Karl Masy. Ketika kembali ke Jakarta, ia
meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng, kemudian
pindah ke Jln. Budi Utomo.
Menulis dan Berorganisasi
Mahbub Djunaidi mulai aktif menulis
sejak ia masih Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karya-karya tulisnya telah
banyak dimuat di berbagai media massa yang terkenal saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Roman, Star
Weekly, dan Cinta. Akan tetapi,
pengalaman yang tak terlupakan olehnya adalah ketika pertama kali cerpennya
yang berjudul Tanah Mati, dimuat
majalah sastra Kisah yang pimpin oleh
H.B. Jassin, paus sastra Indonesia. Sewaktu di Sekolah Menengah Atas (SMA), ia
mengasah bakat jurnalismenya dengan memprakarsai majalah sekolah Siswa.
Selain gemar menulis, Mahbub juga aktif
dalam berorganisasi. Berbagai organisasi ia ikuti, seperti IPPI, IPNU, GP Ansor
dan HMI. Baru pada tahun 1960, dia hijrah dari HMI untuk mendirikan PMII. Aktivitasnya
inilah yang kemudian hari mengantarkannya ke struktur kepengurusan organisasi
NU.
Karir Mahbub di dunia jurnalistik
bermula pada tahun 1958. Ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri, mengajaknya bergabung
dalam Duta Masyarakat. Mahbub lantas
menjadi pemimpin redaksi mulai 1960, hingga berhenti edar pada 1970. Di koran
ini Mahbub mendidik para wartawannya untuk disiplin dalam menulis. baginya
harus sekali jadi. Gagasan mesti selesai dipikirkan, baru dituliskan.
Baca juga: Ahmad Wahib; Yang Mencatat Pembaharuan
Dalam pengantar buku Asal Usul Mahbub Djunaidi, Said Budairy
menulis bahwa Mahbub berkenalan dengan Presiden Soekarno secara pribadi. Presiden
meminta kepada K.H. Saifuddin Zuhri mengajak Mahbub ke istana, karena Presiden
tertarik pada tulisannya. Mahbub menulis tentang kedudukan Pancasila yang lebih
sublim dari Declaration of indefendence-nya
Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson, atau Manifesto Komunis bikinan
Karl Marx bersama sahabatnya Frederich Engels.
Dalam tulisan esainya yang berjudul “Jalan Pintas yang Pernah Dilakukan oleh DPA”,
Soekarno pernah berniat mengangkat Mahbub sebagai anggota DPA pada tahun 1966,
tapi dtolak oleh Mahbub sendiri. Menurutnya, “Kalau tidak ada Bung Karno saya
tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.”
Pada tahun 1960-1970-an adalah periode
paling sibuk dalam hidupnya. Selama satu dekade itu, dia menjadi anggota
DPR-GR/MPRS, dan sempat mengetuai Pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Sementara karirnya
di dunia jurnalistik berkibar dengan terpilih menjadi ketua PWI, 1965 hingga
1970. Hal ini berbarengan dengan aktivitasnya selaku Ketua Umum PMII dan Ketua
II GP Ansor.
Sastra dan Politik
Antusiasmenya pada sastra mengantarkannya
memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974,
lewat novelnya Dari Hari ke Hari. Novel
ini menggambarkan era revolusi kemerdekaan Indonesia di Solo melalui kacamata
seorang bocah. Sejak 1977 ketika Pemilu pertama kali digelar dengan tiga
kontestan, Mahbub merasa kondisi Orde Baru mesti berubah. Ia masuk ke
kampus-kampus untuk membicarakan suksesi kepemimpinan nasional. Akhirnya dia
ditahan hampir setahun di Nirbaya. Karena sakit dia dipindahkan ke RS. Gatot
Subroto.
Dalam masa tahanan ia menulis novel
yang berjudul Angin Musim. Pasca penahanannya,
dia kembali aktif di bidang organisasi dan politik. Ia berbalik menggembosi
suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di basis NU, ketika unsur ormas
tersebut disingkirkan oleh Ketua Umum PPP, H.J. Naro. Di NU ia sempat menjabat
Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU ketika Gus Dur mengampanyekan “NU kembali ke
Khittah 1926.”
Dalam dunia tulis-menulis, Mahbub tetap
menyumbangkan pikirannya di berbagai media massa dan secara rutin mengisi kolom
Asal Usul di Kompas sejak 23 November 1986 hingga akhir hayatnya. Di balik sifat
humor dan riangnya, Mahbub tetap seorang berprinsip teguh (Dia seorang humanis).
Pada maret 1994, dia diwawancarai tabloid Detik
tentang suksesi kepemimpinan nasional. Dia konsisten dengan pendiriannya. Sayangnya
ketika Soeharto lengser dari kursi
presiden, empat tahun sesudah wawancara tersebut, Mahbub pun meninggal dunia. Pada
1 Oktober 1995, dia terbebas dari sakit yang bertahun-tahun dideritanya.
Dalam suratnya ia berpesan: “Kebahagiaan
itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah menterang
dan gemerlap... Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat
hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan.”[]
Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT. Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi,
2016, hal: 83-88.
Ket.gbr: Mahbub Djunaidi
Sumber gbr: http://pmiikotabumilampungutara.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment