Mahbub Djunaidi; Alumni HMI dan Pendiri PMII yang Tekun Menulis - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 14 November 2017

Mahbub Djunaidi; Alumni HMI dan Pendiri PMII yang Tekun Menulis

YakusaBlog- Mahbub Djunaidi dikenal sebagai kolomnis hebat semasa hidupnya. Kolom-kolomnya (tulisan-red) yang mendalam dan jenaka mengulas apa saja, masalah-masalah sosial, politik, hingga hal-hal remeh sehari-hari. Dia memang sudah dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tekun menulis, sehingga dia mudah dikenal. Dia adalah seorang wartawan dan sastrawan. Dia salah satu pengurus yang aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada periode Ismail Hasan Metareum. Namun demikian, pada 17 April 1960, Mahbub dan para mahasiswa kader Nahdlatul Ulama (NU) membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Mahbub Djunaidi terpilih sebagai Ketua Umum PMII selama tiga periode (1960-1961, 1961-1963, dan 1963-1967). Sebagai pemimpin PMII, Mahbub pernah berdialog langsung dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor, meminta agar supaya HMI jangan dibubarkan.
Mahbub lahir pada 27 Juli 1933. Ayahnya bernama K.H. Muhammad Djanaidi, tokoh NU yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilhan Umum (Pemilu) tahun 1955. Ketika keluarganya mengungsi di Solo pada awal kemerdekaan, dia masuk madrasah, dan oleh seorang gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Mark Twain, atau Karl Masy. Ketika kembali ke Jakarta, ia meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng, kemudian pindah ke Jln. Budi Utomo.
Menulis dan Berorganisasi
Mahbub Djunaidi mulai aktif menulis sejak ia masih Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karya-karya tulisnya telah banyak dimuat di berbagai media massa yang terkenal saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Roman, Star Weekly, dan Cinta. Akan tetapi, pengalaman yang tak terlupakan olehnya adalah ketika pertama kali cerpennya yang berjudul Tanah Mati, dimuat majalah sastra Kisah yang pimpin oleh H.B. Jassin, paus sastra Indonesia. Sewaktu di Sekolah Menengah Atas (SMA), ia mengasah bakat jurnalismenya dengan memprakarsai majalah sekolah Siswa.
Selain gemar menulis, Mahbub juga aktif dalam berorganisasi. Berbagai organisasi ia ikuti, seperti IPPI, IPNU, GP Ansor dan HMI. Baru pada tahun 1960, dia hijrah dari HMI untuk mendirikan PMII. Aktivitasnya inilah yang kemudian hari mengantarkannya ke struktur kepengurusan organisasi NU.
Karir Mahbub di dunia jurnalistik bermula pada tahun 1958. Ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri, mengajaknya bergabung dalam Duta Masyarakat. Mahbub lantas menjadi pemimpin redaksi mulai 1960, hingga berhenti edar pada 1970. Di koran ini Mahbub mendidik para wartawannya untuk disiplin dalam menulis. baginya harus sekali jadi. Gagasan mesti selesai dipikirkan, baru dituliskan.
Dalam pengantar buku Asal Usul Mahbub Djunaidi, Said Budairy menulis bahwa Mahbub berkenalan dengan Presiden Soekarno secara pribadi. Presiden meminta kepada K.H. Saifuddin Zuhri mengajak Mahbub ke istana, karena Presiden tertarik pada tulisannya. Mahbub menulis tentang kedudukan Pancasila yang lebih sublim dari Declaration of indefendence-nya Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson, atau Manifesto Komunis bikinan Karl Marx bersama sahabatnya Frederich Engels.
Dalam tulisan esainya yang berjudul “Jalan Pintas yang Pernah Dilakukan oleh DPA”, Soekarno pernah berniat mengangkat Mahbub sebagai anggota DPA pada tahun 1966, tapi dtolak oleh Mahbub sendiri. Menurutnya, “Kalau tidak ada Bung Karno saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang.”
Pada tahun 1960-1970-an adalah periode paling sibuk dalam hidupnya. Selama satu dekade itu, dia menjadi anggota DPR-GR/MPRS, dan sempat mengetuai Pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Sementara karirnya di dunia jurnalistik berkibar dengan terpilih menjadi ketua PWI, 1965 hingga 1970. Hal ini berbarengan dengan aktivitasnya selaku Ketua Umum PMII dan Ketua II GP Ansor.
Sastra dan Politik
Antusiasmenya pada sastra mengantarkannya memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974, lewat novelnya Dari Hari ke Hari. Novel ini menggambarkan era revolusi kemerdekaan Indonesia di Solo melalui kacamata seorang bocah. Sejak 1977 ketika Pemilu pertama kali digelar dengan tiga kontestan, Mahbub merasa kondisi Orde Baru mesti berubah. Ia masuk ke kampus-kampus untuk membicarakan suksesi kepemimpinan nasional. Akhirnya dia ditahan hampir setahun di Nirbaya. Karena sakit dia dipindahkan ke RS. Gatot Subroto.
Dalam masa tahanan ia menulis novel yang berjudul Angin Musim. Pasca penahanannya, dia kembali aktif di bidang organisasi dan politik. Ia berbalik menggembosi suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di basis NU, ketika unsur ormas tersebut disingkirkan oleh Ketua Umum PPP, H.J. Naro. Di NU ia sempat menjabat Wakil Ketua Tanfidziyah PB NU ketika Gus Dur mengampanyekan “NU kembali ke Khittah 1926.”
Dalam dunia tulis-menulis, Mahbub tetap menyumbangkan pikirannya di berbagai media massa dan secara rutin mengisi kolom Asal Usul di Kompas sejak 23 November 1986 hingga akhir hayatnya. Di balik sifat humor dan riangnya, Mahbub tetap seorang berprinsip teguh (Dia seorang humanis). Pada maret 1994, dia diwawancarai tabloid Detik tentang suksesi kepemimpinan nasional. Dia konsisten dengan pendiriannya. Sayangnya ketika Soeharto lengser dari kursi presiden, empat tahun sesudah wawancara tersebut, Mahbub pun meninggal dunia. Pada 1 Oktober 1995, dia terbebas dari sakit yang bertahun-tahun dideritanya.
Dalam suratnya ia berpesan: “Kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah menterang dan gemerlap... Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan.”[]
Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT. Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi, 2016, hal: 83-88.
Ket.gbr: Mahbub Djunaidi
Sumber gbr: http://pmiikotabumilampungutara.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment