YakusaBlog- Sebetulnya tidak ada masalah apabila kita sebagai orang muslim berpedoman pada ajaran Islam, memandang segala segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila.
Saya (Nurcholish Madjid-peny)
disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP, meskipun diformalkan oleh
Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi sebagai dokumen organisasi,
apalagi organisasi mahasiswa, NDP itu cukup tua. Oleh karena itu, ada teman berbicara
tentang NDP dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan
mengubah-mengembangkan dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan
sendirinya memang mungkin untuk diubah dalam arti dikembangkan.
Values
(nilai-.nilai)
tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau disitu misalnya ada nilai Tauhid, tentu
saja tidak berubah-ubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada impliksi NDP
itu mungkin bahkan bisa diubah. Sebab, sepanjang sejarah, Tauhid wujudnya sama,
yaitu paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu
berubah-ubah.
Kita
bisa lihat tekanan misi pada rasul-rasul, itu berubah. misalnya Isa A1- Masih
(Yesus Kristus) datang untuk mengubah Taurat. (Agar aku halalkan bagi kamu
sebagian yang diharamkan bagi kamu). Nabi Isa datang menghalalkan
sebagian yang haramkan pada Perjanjian Lama. Jadi, implikasi Tauhid itu
berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu juga menyangkut masalah
interpretasi. Pengungkapan nilai itu sendiri memang tidak mungkin berubah,
tetapi harus dipertahankan apalagi nilai seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada
kemungkinan mengubah tekanan dan implikasinya, maka ada ruang untuk
pengembanganpengembangan. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK (lalu NDP
kembalipen). Pengembangan adalah tugas/pikiran yang sah dari adik-adik HMI.
Maka dari itu saya persilahkan, kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap
bidang ini.
NDP; Kesimpulan Suatu Perjalanan
Saya
ingin bercerita sedikit. Mungkin ada gunanya walaupun cerita ringan saja. Yaitu
bagaimana NDP itu lahir.
Ahmad
Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam yang sangat kontroversial itu
menulis bahwa saya dalam tahun 1968 diundang untuk mengunjungi
universitas-universitas di Amerika yang waktu itu merupakan pusat-pusat kegiatan
mahasiswa. Dan kepergian saya ke Amerika itu mengubah banyak sekali pendirian
saya, begitu kata Wahib dalam buku itu, maaf saja, tidak benar. Jadi di sini
Ahmad Wahib salah. Memang perlawatan yang dimulai dari Amerika itu banyak
sekalii mempengaruhi saya, tetapi bukan pengalaman di Amerika yang mempengaruhi
saya, melainkan justru di Timur Tengah.
Begini
ceritanya. Waktu itu terus terang saja sebetulnya pemerintah Amerika sudah lama
melihat potensi HMI disini (tentu saja pemerintah Amerika seperti yang diwakili
oleh Kedutaan Amerika di sini). Mereka sudah tahu situasi politik Indonesia
pada zaman Orde Lama, ketika Bung Karno mempermainkan atau sebetulnya boleh
saja dikatakan melakukan politik devide et impera, antara komunis dan
ABRI terutama AD. Bagaimana AD itu sangat banyak bekerja dengan kita. Ini
banyak dibaca oleh pemerintah seperti Amerika. Dan karena itu banyak sekali
pendekatan-pendekatan dari orang kedutaan Amerika itu ke PB HMI. Sebetulnya
sudah lama mereka menginginkan supaya ada tokoh-tokoh HMI yang melihat-lihat
Amerika, tetapi memang waktu itu belum banyak orang yang bisa berbahasa
Inggris, sehingga saya menjadi orang mendapat kesempatan pertama.
Kunjungan
saya ke Amerika, sesuai dengan Undangan, hanya berlangsung satu bulan seminggu
atau satu bulan dua minggu. Sitemnya semua dijamin; ada uang harian, uang perdien.
Waktu itu dolar belum inflasi; sehingga uang yang saya peroleh cukup besar, dan
saya tentu bisa menghemat. Uang inilah yang saya pergunakan untuk keliling
Timur Tengah. Saya lakukan itu, secara sederhana.
Kita
di Indonesia selama ini selalu mengaku muslim dan mengklaim diri sebagai
pejuang-pejuang Islam. Untuk terlaksananya ajaran Islam, sekarang perlu melihat
sendiri bagaimana wujud Islam dalam praktik. Begitulah motif saya pergi ke
Timur Tengah. Meski kita tahu, Indonesia memang negara Muslim yang terbesar di
bumi, secara geografis paling jauh dari pusat-pusat Islam, yaitu Timur Tengah, sehingga
menghasilkan beberapa hal, misalnya Muslim Indonesia itu adalah termasuk yang
paling sedikit ter”arab”kan.
Barangkali
kita tidak menyadari banyak keunikan kita, sebagai bangsa Indonesia. Boleh
dikatakan inilah bangsa Asia satu-satunya yang menuliskan bahasa nasionalnya
dengan huruf latin. Semua bangsa Asia menggunakan huruf nasionalnya masing-masing.
Hanya kita yang menggunakan huruf latin. Filipina memang, tetapi Filipina belum
bisa mengklaim mempunyai bahasa nasional. Bahasa Tagalog masih merupakan bahasa
Manila saja.
Kemudian
Indonesia satu-satunya bangsa Muslim juga yang menggunakan huruf latin untuk
bahasa nasionalnya. Semua bangsa muslim itu menggunakan huruf Arab, kecuali
tiga: Turki disebabkan revolusi Kemal, Bangladesh karena seperti bangsa Asia
lain mempunyai huruf sendiri yaitu huruf Bengali dan Indonesia dikarenakan
penjajahan. Jadi kita itu unik. Dari sudut pandangan dunia Islam, Indonesia
unik. Inilah bangsa Muslim yang kurang tahu huruf Arab, kira-kira begitu. Jangankan
orang Islam Pakistan, Afganistan dan sebagainya, sedangkan orang India yang
Islamnya minoritas, di sana pun mereka menggunak huruf Arab untuk menuliskan
bahasa Urdu, bahasa mereka. Semuanya begitu. Dari situ saja boleh kita ambil
satu kesimpulan bahwa ke-Islaman di Indonesia itu masih demikian dangkal
sehingga masih ada persoalan yaitu bagaimana menghayati nilai – nilai Islam
itu. Itulah yang mendorong saya pergi ke Timur Tengah.
Waktu
saya hendak ke Amerika, saya merasa ogah-ogahan. Akan tetapi biarlah
barangkali dari Amerika saya bisa ke Timur Tengah. Oleh karena itu biarpun di
Amerika, sudah kontak dengan orang-orang dari Timur Tengah, yang kelak ketika saya
ke Timur Tengah memang banyak sekali yang menolong saya. Kunjungan saya ke
Timur Tengah saya mulai dari Istanbul, kemudian ke Libanon. Waktu itu tentu
Libanon masih aman. Lalu ke Syiria, kemudian Irak, sehingga baru pertama kalinya
saya bertemu Abdurrahman Wahid. Dia yang menyambut. Karena terus terang,
walaupun sama-sama orang Jombang, saya belum pernah kenal. Karena keluarga saya
Masyumi, keluarga dia NU. Jadi baru bertemu di Baghdad. Dia baik sekali, mengorganisir
teman-teman Indonesia untuk mengambil dan menemani saya ke stasiun bus dari
Damaskus. Lalu saya ke Kuwait, dari Kuwait ke Saudi Arabia melalui Tmur. Banyak
sekali kenangan di situ. Ketika di Riyadh, saya bertemu seseorang yang pernah
saya kenal sejak di Amerika, Dr. Farid Mustafa, seorang tokoh, Doktor
Engineering. Itulah satu-satun pengalaman saya menjadi tamu keluarga Arab, di
sini kalau makan siang dan malam semua keluarga ikut termasuk istri. Biasanya
orang Arab tidak demikian. Saya tinggal satu minggu di situ dan berkenalan
dengan banyak pelarian Ikhwanul Muslimin.
Kita
mengetahui, Ikhwanul Muslimin umumnya beranggotakan orang-orang Mesir dan
orang-orang Syiria. Mereka dikejar-kejar oleh rezim yang ada di negaranya
masing-masing, dan kebanyakan larinya ke Saudi Arabia. Bukan untuk mendapatkan
kebebasan politik, karena di Saudi Arabia sendiri mereka tidak mendapatkan
kebebasan politik. Karena orang Saudi juga tidak suka terhadap sikap politik
mereka. Akan tetapi dari segi ilmu pengetahuan mereka banyak sekali dihargai.
Mereka kemudian menjadi staf pengajar di Universitas Riyadh. Sejak dari
Istanbul saya banyak sekali mengadakan diskusi kritis. Tentu saya tidak mau hanya
mendengarkan saja, tapi juga membantah, menanyakan dan menentang, termasuk menentang
dan segi literatur.
Di
Turki saya sampai berkenalan dengan suatu gerakan yang betul-betul di bawah
tanah, yang di Istanbul mereka itu bergerak untuk membangkitkan Islam, tetapi
dengan cara-cara yang menurut sebagian kita agak kedengaran sedikit kolot. Yaitu
melalui sufisme atau gerakan-gerakan tarekat. Suatu malam Dr. Mustafa di Riyad
mengajak saya ke Universitas Riyad; ke Fakultas Farmasi yang akan mengadakan
wisuda tamatan Fakultas Farmasi, di mana Menteri Pendidikan hadir, yaitu Syekh
Hasan bin Abdullah Ali Syekh keturunan Muhammad bin Abdul Wahab, salah seorang
pelopor pembaharuan di Arabia yang anak turunannya selalu menjadi Menteri
bidang pengetahuan seperti Menteri Pendidikan, Menteri Ilmu Pengetahuan dan
sebagainya di Saudi Arabia.
Saya
tidak tahu apa yang terjadi, pokoknya Dr. Mustafa mengenalkan saya secara
berbisik-bisik kepada Menteri, lalu Menteri itu minta supaya saya menceritakan
tentang gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia. Setelah saya ceritakan, tentu
saja dengan bahasa Arab — Alhamdulillah saya sedikit banyak tahu bahasa Arab
karena belajar di pesantren Gontor, sebuah proyek gabungan antara sistem
pendidikan Sumatera Barat (KMI-nya) an Jawa (pesantrennya) yang saya kira menjadi
proyek yang sangat sukses yang sekarang berkembang di mana-mana. Menteri itu
demikian senangnya dengan keterangan saya, lalu mengundang 10 orang teman kita,
HMI, untuk naik haji tahun itu juga. Selanjutnya, dari Riyad saya ke Madinah,
terus ke Mekkah, kemudian ke Kharthum untuk bertemu dengan Dr. Hasan Turabi
dari Umin Durman University, tokoh yang sekarang menjadi pusat perhatian di
Sudan, oleh karena dia konseptor dari Islamisasinya Numeiry yang sekarang jatuh
digulingkan. Dari situ saya pergi ke Mesir, kemudian kembali ke Libanon dan
dari situ ke Pakistan.
Pokoknya
dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi macam-macam. Dan konklusinya
begini: saya kecewa terhadap tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur
Tengah saat itu. Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya
minta izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar. Jawab
K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema Islam dahulu dan sebagainya,
“Malik, kalau kamu mau pergi ke Mekkah atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan
fasih berbahasa Arab barangkali. Tetapi paling-paling kamu akan jadi lebai,
kalau pulang. Tetapi sebaliknya kalau kamun ingin mengetahui Islam secara
intelek, lebih baik di sini. Belajar sama saya.” Dan saya setuju dengan pendapat
K.H. Agus Salim.
Padahal
di sini, di Indonesia, kita sudah bergumul dengan Marxisme, dengan macam-macam
di sini. Indonesia adalah tempat pergumulan ideologi yang paling seru pada
zaman Orde Lama, dan kita survive. Kita sudah biasa berdialog denga orang -
orang komunis dengan forum-forum mereka, bukan forum-forum kita. Oleh karena
itu kita lebih banyak terlatih dari pada orang-orang yang saya temui di negara-negara
Timur Tengah berkenaan dengan cara melihat apa yang paling relevan dalam Islam
yang harus kita kembangkan. Sampai-sampai waktu di Riyad, dengan Dr. Mahmud
Syahwi namanya, salah satu tokoh Ikhwanul Muslim, ketika saya merasa jengkel
dengan kekecewaan saya, saya bilang begini saja, “Dari pada Anda kuliahi saya
dengan macam-macam yang tidak masuk akal saya, lebih baik anda kasih saya bahan
bacaan yang menurut anda paling penting dan kalau saya membacanya saya mendapat
jawaban”. Lalu saya diberi buku berjudul Majmu Rasail Hasan Al-Banna,
kumpulan tulisan risalah-risalah Hasan Al-Banna, yang waktu itu buku terlarang
di Saudi Arabia. Buku itu diberikan kepada saya, sambil mewanti-wanti, “jangan
sampai ketahuan orang Saudi, karena kalu ketahuan, Saudara akan mengalami
kesulitan, ditahan dan sebagainya. “ Akan tetapi saya senang sekali menerima
buku itu dan kemudian saya baca.
Waktu
di Mekkah saya menggunakan waktu paling banyak dua minggu, saya baca semuanya.
Akan tetapi maaf saja, saya tidak mendapat kelebihan dari tulisan-tulisan orang
itu. Ya, dengan segala kekaguman saya kepada Hasan Al-Banna, tetapi harus
banyak sekali tidak setuju dengan isinya. Slogan-slogan loyalistik itu kebanyakan.
Jadi isinya slogan-slogan loyalistik. Bukan pemecahan masalah. Oleh karena itu,
saya tidak merasa begitu sesuai dengan buku itu. Kemudian di Mekkah saya
berusaha untuk mengkhatamkan al-Qur’an dengan terjemahan dalam bahasa Inggris
untuk pengecekan. Kemudian setelah melakukan berbagai diskusi tadi, saya lihat
beberapa hal yang relevan untuk kita. Sampai sekarang al-Qur’an itu saya simpan
dan saya coreti dengan komentar-komentar saya.
Kemudian
saya ke Sudan dan pulang. Dan ketika mendengar janji Mentri Pendidikan Saudi
Arabia untuk naik haji itu saya memang diingatkan oleh Dr. Mustafa, orang di
ibukota Riyad itu. “Ini janji Arab,” katanya. “Oleh karena itu, anda harus
rajin menagih”. Jadi, ketika sampai di Mekkah, saya mengirimkan surat. Saya
sampai di Madinah, juga begitu. Dan akhirnya alhamdulillah, terealisir. Akhirnya
Januari 1969 saya pulang ke Indonesia untuk kemudian sibuk untuk merealisir
janji dari Mentri Pendidikan Saudi Arabia itu untuk naik haji yang waktu itu
jatuh bulan Maret. Berarti Cuma ada waktu satu bulan, jadi habislah waktu saya untuk
menyiapkan teman-teman naik haji. Sampai di sana, semua teman ikut sakit karena
tidak cocok dengan makanan kecuali saya. Kebetulan saya sudah terbiasa dengan
masakan orang sana. Sampai Zaitun yang disebut di dalam Al-Qur’an saya makan.
Karena perlu diketahui bahwa buah walaupun tidak enak dan agak pahit bagi yang
belum biasa gizinya tinggi sekali dan dapat menghilangkan rasa mual sebagainya.
Dan saya mendapat service dan seseorang di kedutaan San Fransisco, seorang
novelis yang terkenal di Amerika bernama John Ball, yang salah satu bukunya
difilmkan dan mendapat hadiah besar. Dia mengatakan begini, “Saudara harus
tahu, berkat Zaitun inilah orang Yunani dahulu berfilsafat. Karena Zaitun itu tanaman
yang tahan lama sekali dan tetap berbuah.” Pohon itu bisa ribuan tahun bertahan,
dengan buahnya yang begitu tinggi, sehingga orang Yunani itu dulu boleh dikatakan
tidak lagi memikirkan masalah sumber gizi yang tinggi. Cukup menanam zaitun
saja dan sampai sekarang zaitun merupakan komoditi yang penting negara-negara seperti
Italia Yunani dan sebagainya.
Setelah
pulang dan haji, saya ingin menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar Islam.
Seluruh keinginan saya untuk bikin NDP saya curahkan pada bulan April, untuk
bisa dibawa ke Malang pada bulan Mei. Jadi NDP itu sebetulnya merupakan
kesimpulan saya dari perjalanan yang macam-macam di Timur Tengah selama tiga bulan
lebih itu. Jadi sama sekali salah kalau Ahmad Wahib mengatakan itu adalah
pengaruh kunjungan di Amerika. Begitulah singkatnya cerita. Namanya saja NDP, Nilai-Nilai
Dasar Perjuangan. Tentu saja bahannya itu macam-macam. Saya ingin menceritakan,
mengapa namanya NDP. Sebetulnya teman-teman pada waktu itu dan saya sendiri
berpikir untuk memberikan nama NDI, Nilai-Nilai Dasar Islam, Akan tetapi
setelah saya berpikir, kalau disebut Nilai-Nilai Dasar Islam, maka klaim kita akan
terlalu besar. Kita terlalu mengklaim inilah Nilai-nilai Dasar Islam. Oleh karena
itu, lebih baik disesuaikan dengan aktivitas kita sebagai mahasiswa. Lalu saya
mendapat ilham dari beberapa sumber. Pertama adalah Willy Eicher, seorang ideolog
Partai Sosial Demokrat Jerman yang membikin buku, The Fundamental Values
and Basic Demand of Democratic Socialism. Nilai-nilai Dasar dan
Tuntutantuntutan Asasi Sosialisme Demokrat. Nah, ini ada “nilai-nilai dasar”.
Kemudian “perjuangan”-nya dari mana ? Dan karya Syahrir mengenai ideologi
sosialisme Indonesia yang termuat dalam Perjuangan Kita. Dan ternyata
Syahrir juga tidak orisinal. Dia agaknya telah meniru dari buku Hitler, Mein
Kamf. Jadilah Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) itu. Kemudian saya bawa ke
Ma1ang, ke Kongres IX, Mei 1969. Tetapi di sana tentu saja agak sulit
dibicarakan karena persoalannya demikian luas hingga tidak mungkin suatu
Kongres membicarakannya. Lalu diserahkan pada kami bertiga; Saudara Endang
Saifudin Anshari, Sakib Mahmud dan saya sendiri. Nah, itulah kemudian lahir
NDP, yang namanya diubah lagi oleh Kongres ke-16 HMI menjadi NIK (Nilai
Identitas Kader).
Baca juga: Inti NDP HMI, Bab VIII NDP HMI
Sumber: Hasil-Hasil Kongres HMI XXIX.
Hal: 129-133
Ket.gbr: Net/ilustrasi
Sumber gbr: http://bentogod0.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment