Kalau teman-teman melihat NDP, tentu saja dibagi-bagi
menjadi beberapa bagian. Yang pertama “Dasar Kepercayaan”, Kemanusiaan”,
“Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar dan akdir”. ini tentu saja banyak sekali unsur
dan tulisan H. Agus alim; Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakaf misalnya.
Kemudian “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prikemanusiaan”, lalu “Individu dan
Masyarakat”, “Keadilan Sosial” dan “Keadilan konomi”, “Kemanusiaan dan Ilmu
pengetahuan”, lalu kesimpulan dan penutup. Saya tidak akan menerangkan semua i
NDP. “Dengan demikian sikap hidup manusia menjadi sangat sederhana. Yaitu
beriman, berilmu dan beramal”. Ya, biasa, kalau suatu ungkapan yang sudah
menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa. Apa makna beriman, berilmu,
beramal, saya kira itulah menjadi kata-kata harian.
Saya kira hidup beriman, tentu saja personal, pribadi
sifatnya. Setiap manusia itu harus menyadari, tidak bisa tidak harus punya
nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah segalanya. Oleh karena
iman disitu adalah sandaran nilai kita. ini kemudian diungkapkan secara panjang
lebar dalam bab Dasar-dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki kepercayaan.
Di situ, misalnya, kita menghadapi satu dilema; satu dilema pada manusia, yang
dikembangkan dalam Syahadat La illaha ilallah. Tiada Tuhan melainkan
Allah. Di sini kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat. Artinya negasi
dan afirmasi. Jadi tidak ada Tuhan melainkan Allah. Mengenai soal
ini, saya pernah terlibat dalam polemik tentang Allah ini, bisa tidak
diterjemahkan dengan Tuhan? Saya berpendapat bisa, tapi banyak sekali orang
berpendapat tidak bisa. Kemudian ada polemik yang saya tidak begitu suka.
Memang para ulama berselisih mengenai makna Allah ini.
Maksudnya ada yang berpendapat bahwa Allah ini suatu isim jamid, yaitu
bahwa memang Allah itu begitu adanya yang berpendapat bahwa ini sebetulnya
berasal dan al-ilaah. kemudian menjadi Allah. Jadi menurut mereka yang
berpendapat isim jamid tidak dapat diterjemahkan Allah. Allah tetap
Allah. Dan itu banyak pengikutnya.
Buya Hamka juga pernah mempunyai persoalan, ketika ditanya
orang, “Mengapa Buya Hamka suka bilang Tuhan, kan tidak boleh? Dan mengapa suka
bilang sembahyang, bukan sholat?” Hamka menjawab, “boleh, sebab Allah itu
memang Tuhan, dan sholat juga bisa diterjemahkan menjadi sembahyang”. Beliau
mengutip bahwa dulu di Malaya, Allah itu diterjemahkan dengan Dewata Raya dan
para ulama tidak keberatan.
Tapi sebelum Buya Hamka atau orang Indonesia, yang
menghadapi masalah terjemahan ini ialah orang Persi sebetulnya. Sebab bangsa
Muslim yang pertama bukan orang Arab itu yang besar adalah orang Persi. Memang
sebelum itu orang Syiria, Mesir, semua bukan Arab. Tetapi mungkin karena latar
belakang kultural mereka itu tidak begitu kuat, maka mereka ter-Arabkan sama
sekali. Sehingga orang Mesir sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka semua
menjadi orang Arab. Termasuk Khadafi yang keturunan Kartago, itu juga menjadi
orang Arab. Kalau dari sejarah, Khadafi itu lebih dekat dengan orang-orang
Yunani, orang Romawi dan sebagainya sebagai keturunan Kartago. Libya bukan
tempatnya orang-orang Kartago dulu dan mereka itu lebih banyak orang—orang
Quraisy. Tetapi mereka menjadi Arab dan berbahasa Arab. Maka yang disebut
bangsa-bangsa Arab itu, secara darah sebetulnya sebagian besar bukan
orang-orang Arab, tetapi orang yang berbahasa Arab.
Bangsa Muslim yang pertama bukan Arab dan sampai sekarang
tidak berhasil di-Arabkan adalah bangsa Persi. Padahal secara geografis itu
paling dekat dengan dunia Arab. Mengapa? karena latar belakang kebudayaan Persi
yang besar itu, sehingga mereka tidak bisa di-Arabkan. Oleh karena itu, bangsa
Persilah yang pertama kali menghadapi masalah terjemahan ini Sebab Islam datang
dengan berbahasa Arab. Sehingga mazhab Hanafi yang Abu Hanifah itu sendiri
orang Persi berpendapat, sembahyang dalam terjemahan itu boleh. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang Persi selalu menggunakan Khoda untuk Allah. Kita mengetahui
bahwa bahasa Persi itu adalah satu rumpun dengan bahasa Jerman, Inggris dan
Sansekerta. Sehingga Baitullah misalnya, mereka terjemahkan menjadi Khanih-e
Khoda. Maka dari itu, ketika zaman modern sekrang ini dan umat Islam mulai
menyebar ke mana-mana termasuk ke negeri-negeri Barat, maka ada persoalan,
yaitu kalau Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana
menerjemahkan? Apakah Allah harus diterjemahkan menjadi God, ataukah tidak. Itu
sudah ada dua pendapat. Misalnya, The Meaning of the Glorious Qur’an tidak
menerjemahkan perkataan AlIah. Sama sekali tidak. Tetapi sebaliknya Yusuf Ali
yang orang Pakistan, yang tafsirnya juga diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami
di Mekkah, menerjemahkan Allah dengan God Sehingga dalam terjemahan dia, itu
tidak ada sama sekali perkataan Allah, karena jadi “God” semua. Dan
Khomaeni yang sekarang mendirikan negara Islam di Iran, Konstitusinya dalam
versi bahasa Inggris, menerjemahkan la ilaaha illa-Allah dengan “there
is no god but God.” Ini penting, mengapa ulasan ini agak panjang
karena ada implikasinya. Yaitu salah satu problem kita di Indonesia ini ialah
bahwa tradisi intelektual Islam kita masih muda sekali, sehingga orang sering
kehilangan jejak, akhirnya bingung. Buku Yusuf Ali yang saya beli di Mekkah
yaitu ketika saya mengadakan kunjungan ke beberapa negara ke Timur Tengah diberi
pengantar dari sekjen Rabihtah Alam Islami. Kita bisa melihat sekarang di sini
misalnya perkataan Ia ilha iila-Allah bagaimana diterjemahkan. Begitu
juga dalam tafsir Muhammad Asad atau dalam Konstitusinya Khomeini. Kita boleh
tidak setuju dengan ajaran Syi’ah, tetapi jangan phobi. Justru bobot NDP
sebetulnya untuk menghilangkan itu. Sedangkan Islam itu sendiri berada di
tengah umat manusia .jadi kita ini harus Muslim di tengah umat Islam itu
sendiri. Oleh karena itu, mungkin saudara-saudara juga tahu bahwa saya selalu
mengatakan tidak setuju dengan sensor. Orang boleh tidak dengan tidak setuju
dengan suatu paham, tetapi jangan menyensor.
Karena itu sebenamya, di Indonesia kata Allah itu
diterjemahakan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa. Khomeini saja bisa kok,
mengapa kita tidak bisa. Itu Yusuf bisa, bahkan itu diterbitkan oleh Rabitah
Alam Islami. Jadi tiada Tuhan dengan t kecil (tuhan), kecuali Tuhan itu
bisa. Waktu itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini,
sehingga ketika saya terlibat dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka
rela memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang
melalui surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu
Hamka Menjawab Masalah-masalah Agama.
Dalam psikologi agama ada yang disebut convert complex.
Convert artinya orang yang baru saja memeluk agama. Lalu kompleks, perasaan
sebagai agamawan baru. Misalnya, di masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang
senang pada agama, lalu menjadi fundamentalistik sekali.
Nah, karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu
rapuh, kita sering kehilangan jejak. Kemudian bingung. Ada cerita menyangkut
dua orang Minang: H. Agus Salaim dan Sutan Takdir Alisyahbana. Sudah tahulah
Takdir Alisyahbana, seorang yang mengaku sebagai orang yang modern dan sangat
rasionalistik, oleh karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang,
dunia ini kan persoalan pertengkaran antara Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di
dunia Islam Ghazali yang menang dan di dunia Barat Ibnu Rusd yang menang, maka
akhirnya Ibnu Rusd yang menjajah Ghazali. Jadi Indonesia dijajah Belanda itu
sebetulnya Ghazali dijajah Ibnu Rusd, menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa?
Ghazali mewakili mistisisme, intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalisme.
Ada betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat pak
Takdir konon menggugat H. Agus Salim. Katanya begini, “Pak Haji, pak haji ini
kan orang terpelajar sekali, masa masih biasa sembahyang. Artinya, kok masih
mempercayai agama?” Lalu dibilang oleh H. Agus Salim, “Maksud saudara apa ?“.
“Maksud saya, sebagai orang terpelajar saya tidak membenarkan sesuatu kecuali
kalau saya paham betul”. Betul, memang begitu. Qur’an sendiri menyatakan
begitu. Akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena terbatas kalau rasio kita
sudah pol begitu, maka sebagian kita serahkan kepada iman.” Jadi masalah iman
itu adalah bagian dari pada hidup dan itu adalah kewajiban dari pada rasional
kita. Rupanya Takdir belum puas dengan jawaban itu. Lalu Salim membuat jawaban
yang lucu dan benar. Dia bilang begini, “Begini aja deh, Takdir kan orang
Minang. Kan suka pulang ke Minagkabau, pulang kampung, naik apa?”“naik kapal”
jawab Takdir. Rupanya waktu itu belum bisa naik pesawat, pesawat belum begitu
banyak. “Nah kata Agus Salim, “Kamu naik kapal itu menyalahi prinsipmu “Kamu
tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham seluruhnya. Jadi asumsinya,
kalau kamu naik kapal, adalah kalau sudah paham tentang seluruhnya yang ada
dalam kapal itu. Termasukbagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankannya
bagaimana kompasnya, bagaimana ini dan sebagainya. Nah begitu ketika kamu
menginjakkan kaki ke geladak kapal Tanjung Priok, itu kan sudah ada masalah
iman. Kamu percaya kepada nakhoda, kamu percaya kepada yang bikin kapal ini
bahwa ini nanti tidak pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam.
Percaya, percaya dan semua deretan kepercayaan.
Agus Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui
tentang kapal. Paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang
kamu tahu. Pembuatan tiket juga kamu tidak tahu” katanya. Lalu Salim bilang
begini, “Seandainya kamu konsisten dengan jalan pikiran kamu hai Takdir,
mustinya kamu pulang ke Minang itu berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu
yang paling memungkmkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah.
Bagaimana gerak tangan kamu saja mungkin kamu tidak paham,” katanya. Lalu ini
yang menarik, “nanti kalau kamu berenang, di Selat Sunda kamu di ombang-ambing
ombak dan kamu akan berpegang pada apa saja yang ada. Dalam keadaan panik, kamu
akan berpegang pada apa saja yang ada. Untung kalau kamu ketemu balok yang
mengambang. Akan tetapi kalau kamu ketemu ranting, itupun akan kamu pegang.
Ketemu barang-barang kuning juga kamu pegang”. Itu kata Agus Salim.
Nah inilah yang saya maksudkan. Dalam keadaan panik orang
sering kehilangan jejak, sering kita berpegang kepada suatu masalah secara
harga mati. Padahal itu ranting, kalau kita pegang akan tenggelam lagi kita
nanti. ini maksud saya. Jadi kembali lagi pada laa ilaaha illa-Allah di
sini memang ada diIema. Dilemanya, sebagaimana sudah menjadi kenyataan, manusia
itu hidup tidak mungkin tanpa kepercayaan. Terlalu banyak Tuhan. Itu
problemanya. Jadi sebetulnya kalau kita membaca al-Qur’an, problemnya itu bukan
bagaimana membikin manusia percaya pada Tuhan, tetapi bagaimana membebaskan
manusia dari percaya kepada terlalu banyak Tuhan. Karena itu memang ada tema
ateisme dalam al-Qur’an yaitu dahriyyah tapi kecil sekali. Ateisme itu
satu hal yang tidak mungkin. Justru yang ada dan sangat banyak terjadi pada
manusia ialah politeisme. Problema manusia sebetulnya bukan ateisme yang utama,
tetapi politeisme. Oleh karena itu tema-tema al-Qur’an itu yang dicerminkan
dalam perkataan laa ilaaha ila-Allah, ialah usaha dan ajaran
menghancurkan politeisme. Dan kalau menghancurkan politeisme kita pergunakan
politeisme dalam bahasa sekarang, akan berbunyi, “bebaskan dirimu dan
belenggu-be1enggu yang menjerat dirimu sendiri.” Sebab semua kepercayaan dan
sistem kepercayaan itu membelenggu. Tetapi kalau manusia tidak memiliki
kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Oleh karena itu harus ada
kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak
membelenggu kita, bahkan nenyelamatkan kita. Itulah kepercayaan kepada Allah,
satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the High God, Tuhan Yang Maha
Tinggi. Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu Allah lain dengan Zeus dan Indra yang
merupakan mitologi. Orang Yunani kono itu dulu percaya pada Zeus. Dan Zeus itu
nama dewa dalam mitotologi mereka. Orang Mesir, Ra, kemudian orang India,
Indra.
Jadi masalahnya begini, manusia ini tidak mungkin hidup
kecuali kalau mempunyai kepercayaan. Akan tetapi kalau terlalu banyak yang
dipercayai, akan menjerat manusia sendiri, dan tidak akan banyak membuat
kemajuan. Sementara itu manusia tidak mungkin hidup tanpa kepercayaan. Oleh
karena itu dari sekian banyak kepercayaan harus disisakan yang paling benar,
yaitu la ilaaha ha-Allah ini. Ini keterangan yang banyak sekali, akan
etapi saya mau meloncat sedikit kepada isolasi agama.
Agama Islam itu satu rumpun dengan agama Yahudi dan Kristen
yang disebut agama Ibrahim. Nah, kita masih mewarisi ajaran Nabi Ibrahim, yaitu
Inni Wajjahtu wajhia lillàd Fatharassamawati wal ardha, Hanfam
muslima wama ana minal musyri kin. Itu suatu pernyataan Ibrahim
setelah “eksperimennya” dalam mencari Tuhan. Itu dalam aI-Qur’an yaitu ketika
Ibrahim melihat bintang itu hilang, dia bilang, ah, tidak mungkin Tuhan kok
tenggelam, ini bukan Tuhan.. Setelah melihat bulan, kemudian mendapatkan
matahari itu lebih besar. Dia pun bilang inilah Tuhan. Pokoknya setelah
eksperimen melalui bintang, bulan, matahari, yaitu gejala-gejala aIam. Kalau di
sini ada masalah pembebasan, masalah negatif, masalah karena manusia itu
cenderung untuk menjadikan apa saja yang memenuhi syarat sebagai
misteri/sebagai Tuhan; sesuatu yang mengandung misteri, sesuatu yang mengandung
kehebatan sesuatu yang mengandung rasa ingin tahu. Kalau sebuah gunung yang
setiap kali meletus dan membawa bencana tidak bisa diterangkan oleh orang, maka
mereka melihatnya sebagai misteri dan kemudian menyembahnya. Inilah akar
tentang syirik sebetulnya.
Jadi, syirik itu sebetulnya kelanjutan mitologi. Barangkali
kita sudah mempelajari bagaimana lahirnya mitologi. Oleh karena itu, mitologi
secara bahasa lain boleh dikata sebagai kecenderungan manusia untuk menuju
sesuatu yang tidak dipahami. Begitulah kira-kira. Pemimpin yang kita
agung-agungkan, akhirnya berkembang menjadi mitologi terhadap pemimpin kita
itu. Nah, kalau kita menganut mitologi, maka suatu mitos itu pasti menjerat
kita. Kalau misalnya, kita memitoskan gunung, maka tertutup kemungkinan bagi
kita mempelajari apa sebetulnya hakikatnya. Gunung itu mengandung sebuah
kekuatan misterius, yang setiap kali meletus akan menghancurkan sekian banyak
orang, sawah ladang dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan kita kepada
gunung itu mengarah kepada pendekatan keagamaan; disembah. Nah, itulah ontoh
mitologi yang menyeret kita.
Jadi artinya, suatu mitologi menutup kemungkinan suatu objek
untuk diteliti secara ilmiah. Seorang ahli vulkanologi misalnya, melihat itu
sebagai sesuatu yang biasa, tidak lagi mengandung misteri. Begitulah kira-kira.
Sebab untuk syarat sebagai tuhan haruslah misteri, tidak bisa dipahami. Jangan
lupa bahwa kita masih banyak mewarisi mengapa hari itu tujuh. Dan Tuhan itu
diandaikan bintang-bintang atau benda-benda langit. Jadi yang paling besar
adalah matahari, kemudian yang kedua adalah rembulan, kemudian bintang seperti
mars, venus dan sebagainya. Itu sebabnya kemudian orang-orang Babilonia
menyediakan setiap hari satu tahun. Nah, itu masih bisa dilihat sampai
sekarang. Misalnya namanya dalam bahasa Inggris, seperti Sunday, itu artinya
hari matahari. Waktu itu orang menyembah matahari. Monday artinya hari
rembulan. Kalau dalam bahasa Francis itu lebih kentara lagi: Mardi (hari
mars), Mercredi (hari merkurius), Jeuvi (harijupiter), Vendredi
(hari venus), Saturday (hari saturnus).
Baru ketika bangsa Semit, bangsa Semit yang sudah bertahuhid
yang dimulai oleh Ibrahim mengambil alih, mitos itu dihapus dan kemudian nama
hari yang tujuh diganti dengan angka. Ahad, Senin, Selasa, itu maksudnya satu,
dua, tiga, dan seterusnya. Tapi hari Sabtunya tetap dipertahankan. Jadi artinya
kalau Ibrahim dahulu itu ada pikiran atau usaha begitu, ada pikiran untuk
menyembah bintang, itu sebetulnya karena ia memang orang Babilonia. Tapi
kemudian lihat kesimpulannya, ketika matahari tenggelam, dia bilang “ah masa
tuhan tenggelam “. Nah, lalu diapun bilang, “Inni wajjahtu wajhia lilladzi
tharassamaawaati wal ard”. Sesungguhnya akau menghadapkan wajahku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ini. Jadi, “Janganlah kamu bersujud
kepada matahari dan rembulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang
menciptakannya.”
Nah, jadi meskipun matahari itu sampai sekarang belum
seluruhnya kita pahami, artinya masih mengandung misteri, ada potensi untuk
paham. Karena itu matahari tidak akan memenuhi syarat sebagai Tuhan, karena
suatu saat akan dipahami manusia. Begitu juga seluruh alam ini. Di situlah kita
bisa melihat mengapa Allah menjanjikan: “Kami akan perlihatkan
tanda-tanda-Ku seluruh cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sehingga
terlihat bagi mereka bahwa Allah itu benar”. Artinya, orang akan haqqul
yaqin bahwa Allah itu benar bila seluruh alam ini sudah dipahami, bisa dipahami,
sehingga tidak tersisa misteri lagi. Dengan perkataan lain bahwa Allah itu
Allah, oleh karena itu yang tidak bisa dipahami manusia. Tuhan itu adalah yang
tidak mungkin dipahami manusia, dan sebetulnya konteks ketuhan menurut Tauhid
itu adalah konteks mengenai misteri, laisa kamislihi syai’un (tiada
sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi Dia tidak bisa digambarkan, tidak
dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataan memahami Tuhan itu
kontradiksi inter- minus. Sebab memahami berarti mengetahui
batas-batasnya. Jadi, kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori bahwa Tuhan
terbatas, terjangkau oleh kita.
Oleh karena itu, kalau Allah itu memang mutlak, maka dia
tidak dapat dipahami. Sebetulnya ini kontroversi yang lama di kalangan umat
Islam. Yaitu antara Mu’tazilah dan Asy’ary mengenai isu mengenai apakah manusia
itu bisa melihat Tuhan atau tidak, di surga nanti. Menurut Mu’tazilah tetap
tidak bisa, sedangkan menurut asy’ariyah bisa, meskipun selalu ditutup dengan bila
kaifa, tanpa bagaimana. Jadi sebetulnya antara keduanya tidak ada
perbedaan. Kalau tanpa bagaimana berarti tanpa bisa diketahui sendiri.
Mengetahui tanpa bisa diketahui. Mengetahui tanpa bisa mengetahui bagaimana
mengetahui itu. Itu bila kaifa dari sistem Asy’ariyah yang banyak
dianut sebagian dari kita yang berpaham Sunni.
Yang jelas adalah bahwa dalam al-Qur’an, ajaran yang dominan
itu bukan tentang mengetahui Tuhan, tapi mendeluhan. Jadi taqarrub itu,
mendekati Tuhan. Allah asal tujuan dan segala yang ada dalam hidup ini. Oleh
karena itu, perjalanan hidup kita sebetulnya menuju kepada Allah. Maka dan itu
sebutlah di sini dalam bahasa yang sedikit kontemporer, kesadaran
mengorientasikan hidup kepada Allah. Oleh karena itu, seluruh perbuatan kita
haruslah Lillahi ta‘ala. Jadi justru harus tertuju pada Allah Subhanahu
Wata’ala. Dan ini yang kita ungkapkan dengan berbagai ungkapan, termasuk ridha,
nidha .allah. Dalam al-Qur’an disebutkan “mencari muka Tuhan”. Jadi kita itu
memang mencari muka, yaitu mencari muka Tuhan, artinya bagaimana melakukan
sesuatu yang berkenan pada Tuhan, mendapatkan ridha-Nya.
Kita menuju kepada Allah, jadi selalu mendekat, taqarrub kepada
Allah. Nah, kita mendekati Tuhan itu adalah dinamis; iman itu dinamis, bisa
berkurang dan bisa bertambah. Artinya dinamis, sebab manusia itu dengan segala
keterbatasannya kemungkinan besar dia membuat kesalahan. Oleh karena itu dia
harus mengikuti garis yang lurus membentang antara dirinyya dan Allah, yaitu Alshshirot
al-mustaqiim. Jalan yang lurus, lurus itu terhimpit dengan hati nurani
kita, dengan fitrah kita. Sudah banyak sekali diterangkan dalam NDP tentang
peranan hati nurani yang kadang-kadang disebut juga dhamier dan
sebagainya itu. Dhamier, fitrah atau hati nurani itu adalah kesadaran
yang dalam pada diri kita tentang apa yang baik dan buruk, dan apa yang benar
dan salah. Itu tentu saja tidak bisa dibiarkan sendirian, tapi harus ditolong
oleh suatu ajaran. Di sini kemudian ajaran agama untuk menguatkan apa yang ada
pada hati nurani. Oleh arena itu menurut Ibnu Taymiyyah agama itu tiada lain
adalah fitrah yang diwahyukan, atau fitrah yang diturunkan. Selain ada fitrah
yang diciptakan pada diri kita, juga ada fitrah yang diwahyukan. Itulah agama.
Jadi artinya agama itu adalah fitrah yang diturunkan dari langit oleh Allah Subhanahu
Wataala, untuk memperkuat fitrah yang ada dalam diri kita sendini. Mungkin
teman-teman juga pernah mendengar Robinson Cruso.
Robinson Cruso adalah novel yang dikarang Daniel Deboe,
menceritakan tentang seseorang yang terdampar di pulau dan hidup sendiri dengan
segala romantikanya. Itu sebetulnya adalah plagiat dari seorang filsuf muslim,
namanya Ibn Thufayl yaitu suatu karya yang namanya Al-Hay Ibnu, Yaqdzan. ” Orang
Hidup, Anak kesadarannnya sendiri.”. Ini sebetulnya sebuah kisah filosofis
berdasarkan konsep tentang fitrah itu. Karena manusia itu-seperti dikatakan
oleh hadits “alwaladu yuladu ‘ala al-fitrah ‘ dilahirkan dalam keadaan
suci. Maka seorang filsuf Muslim ini membuat hipotesa kalau seandainya manusia
itu hidup dengan konsisten mendengarkan kesadarannya sendiri dan bebas dan
polusi budaya, polusi kultural (orang ini dikatakan bagai hidup di sebuah pulau
sendirian). Kalau orang ini masih seperti itu, dia akan menjadi manusia
sempurna: insan kamil, maka sebetulnya novel ini yang berurusan dengan
persoalan insan kamil dalam konsep sufi itu. Inilah yang diplagiat oleh
Daniel Deboe dan menjadi Robinson Cruso. Sebetulnya ada urusannya dengan fitrah
ini.
Jadi fitrah itu kemudian diperkuat oleh agama. Nah agama ini
yang kemudian memberi kesadaran tentang bagaimana Allah itu harus dipersepsi,
misalnya dengan ayat-ayat dan Tauhid dan sebagainya itu. Dan manusia harus
berjalan pada jalan ini menuju kepada Allah. Tapi karena Allah itu mutlak, maka
Dia bakalan tidak bisa dicapai. Kita tidak akan bisa mencapai Tuhan dalam arti
menguasai. Sebab itu akan berarti Tuhan itu terbatas. Jadi kontradiksi lagi
dengan pemutlakan Tuhan. ini mempunyai implikasi bahasa kebenaran yang ada pada
benak manusia itu tidak pernah merupakan kebenaran mutlak, sebab keterbatasan kita.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa kebenaran yang ada dari kita itu lalu kita
buang begitu saja, karena relatif. Itu tidak bisa tidak. Misalnya saja kita
dari Jakarta ini mau ke Bandung. Tentu saja sebagai analogi, Bandung menjadi
tujuan kita. Tapi dari Jakarta tidak bisa begitu saja kita loncat ke Bandung.
kita harus melalui Cibinong, melalui Bogor, melalui Puncak dan sebagainya. Nah
itulah yang kita alami dalam hidup, yaitu Cibinong, Bogor, Cianjur, sampai
Padalarang dan sebagainya. Akan tetapi tidak berarti karena itu kita tahu
Cibinong bukan Bandung maka sudahlah kita tak usah ke Cibinong karena tujuannya
Bandung. Soalnya ialah Bandung tidak bisa dicapai, kecuali melalui Cibinong.
Kebenaran mutlak tidak bisa dicapai kecua1i dengan eksperimen relatif, kecuali
dengan mengalami kebenaran-kebenaran relatif. Jadi kebenaran relatif apa pun
yang kita alami, itu harus kita pegang, tetapi karena pada waktu yang sama kita
tahu bahwa ini kebenaran yang relatif, maka kita harus memegangnya sedemikian
rupa sehingga harga tidak mati. karena kita tahu Cibinong bukan tujuan kita,
Cibinong harus kita lewati, tetapi kita harus segera menuju Bogor, segera
menuju ke Puncak, ke Padalarang dan seterusnya.
Nah, oleh karena itu dinamis. Di sini lalu kemudian bergerak
terus menerus. Itulah sebabnya mengapa agama itu, agama Islam terutama, selalu
dilukiskan sebagai jalan. Ini penting sekali. Kita melihat, agama Islam itu
dulu selalu disebut sebagai jalan. Shirat itu artinya jalan. Kalau ada
dongeng al-shirot al-mustaqim itu adalah titian rambut dibelah tujuh
yang membentang dintara dunia dan surga dan di bawahnya api neraka, itu berasal
dari Persi, dan agama Zoroaster. Kemudian tadi syari’ah itu juga jalan.
Kemudian ada lagi, maslak itu juga jalan. Jadi agama itu dilukiskan
sebagai jalan oleh karena mendekati Tuhan itu tidak harus sekali jadi, tetapi
harus berproses. Dalam proses inilah pentingnya ijtihad. Maka dari itu kemudian
ijtihad harus terus menerus dilakukan. Karena, Tuhan tidak pernah bisa untuk
dicapai tapi kita harus dituntut untuk mendekatkan diri pada Tuhan, semakin
dekat, maka ada proses dinamis, dan itu jadi ijtihad.
Sebetulnya akar ijtthad itu ialah j, h, dan d. Jadi
sama dengan jihad. Satu akar kata dengan jihad. Satu akar juga dengan juhd,
juga dengan mujahadah, yang semua itu sebetulnya sama dengan jihad. Jadi
mengandung makna bekerja keras, bekerja dengan sungguh-sungguh. Mujahadah. Lalu
di sini, “walladziina jaahadu fina lanah diyannahum subulana “,
Barang siapa bersungguh-sungguh berusaha untuk mendekati Tuhan, maka akan Tuhan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan. Nah kebetulan ke Cibubur ini tadi saya
melewati Jagorawi sedikit Jagorawi ini jalan ashshirotolmustaqim, tetapi
di situ banyak jalur. Misalnya yang sudah matang dalam Islam, itu ada jalur
sufi, jalur fiqh, dan lain-lain. Orang yang versi ke-Islamannya itu sufisme
apakah anda akan mengatakan bahwa orang-orang sufi itu sesat? Saya kira kita
tidak berhak mengatakan begitu. Ada yang persepsinya kepada Islam itu hukum.
Jadi, masalah agama adalah masalah hukum. Ada yang
persepsinya teologis, mutakallimun, ada yang persepsinya masalah
filsafat dan banyak sekali jalan-jalannya menuju Tuhan ini. Juga disebutkan,
jalan menuju Tuhan itu subulussalam “berbagai jalan menuju keselamatan”.
Mengapa begitu’ .Jadi dengan iman kita mengorientasikan hidup kita kepada
Allah, Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.
Kemudian, berilmu, karena perjalanan menuju Allah itu
meskipun mengikuti al-shirot al-mustaqim dan berhimpit dengan hati
nurani kita, tapi disitu ada masalah perkembangan. OLeh karena itu harus
berilmu, harus mujahadah. Jihad atau mujahadah di sini ada kaitannya dengan
ilmu pengetahuan. Semua itu tentu saja tidak mempunyai arti apa-apa, sebelum
kita amalkan, kita wujudkan dalam amal perbuatan itu. Maka dari itu ideologi misalnya,
tidak bisa menjadi mutlak. Ideologi itu berkembang, ilmu pengetahuan pun
berkembang, tidak ada yang benar-benar mutlak. Lihat saja itu dulu, pada zaman
sahabat, itu tidak ada sifat dua puluh. Maka sifat dua puluh itu muncul oleh
Asy’ari oleh karena ada persoalan yaitu bagaimana membendung pengaruh dari
hellenisme melalui filsafat Yunani, yang pada waktu itu mulai gejala mengancam
Islam itu sendiri. Maka kemudian dia tampil dengan sifat dua puluh itu.
Saya terangkan begitu, dengan kata lain kita harus
menyejarah, bersatu dengan suatu konsep historis dan karena itu kita menjadi
dinamis, terus berkembang, tidak ada yang harga mati. Oleh karena itu,
orientasi hidup kepada Allah yang dalam bahasa agamanya beriman kepada Allah
itu sering kali dalam al-Qur’an itu dikontraskan dengan beriman kepada Thaghut.
Thaghut itu siapa? Thaghut itu tiada lain adalah tirani, sikap-sikap tirani.
Tiranisme. Kenapa disebut tirani? Yang disebut tirani dah sikap memaksakan suatu
kehendak kepada orang lain.
Oleh sebab itu, Nabi atau Rasulullah sendiri sudah
diingatkan, kamu jangan jadi tiran. “Innama anta muzakkir, lasta alaihim
biimushaitir” Hai Muhammad,
kamu itu cuma memperingatkan, tidak untuk mengancam orang, memaksa orang. Muhammad
itu manusia biasa, maka itu suatu saat juga tergoda untuk memaksakan pahamnya
kepada orang lain. Lalu Allah pun turun dengan Firmannya yang berat sekali pada
surat Yunus ayat 101. “Kalau seandainya Tuhanmu mau hai Muhammad,
menghendaki semua manusia tanpa kecuali akan beriman, apakah kamu akan
memaksa setiap orang supaya menjadi beriman?” Tidak boleh, sebab walaupun
dia rasul Allah, kalau dia sudah memaksa, dia sudah terjerembab ke dalam
tirani. Thaghut. Tentu saja tirani yang paling berbahaya ialah tirani politik.
Artinya tirani yang asasi betul. Oleh karena itu tokoh simbol dari pada
tiranisme dalam al-Qur’an itu selalu Fir’aun.
Agama Islam adalah agama yang
sama sekali tidak membenarkan tirani, oleh karena itu salah satu konsekuensi
berorientasi hidup kepada Allah itu adalah sikap-sikap demokratis, sikap
bermusyawarah dan sebagainya. Jadi, begitu kira-kira cakupan seluruhnya itu.
Titik berat argumen dalam NDP itu sebetulnya demikian. Di dalam NDP kita tidak
berbicara mengenai bagaimana orang sholat, bagaimana orang zakat dan
sebagainya, tetapi kita membatasi pembicaraan kepada hal-hal prinsipil dan
strategis, yaitu nilai-nilai dasar yang akan langsung mempengaruhi cara
berpilkir kita dan pandangan hidup kita.[]
Sumber: NDP HMI,
Hasil-Hasil Kongres HMI XXIX. Hal: 134-141
No comments:
Post a Comment